ENAM
(This is
full of FLASHBACK) #ASHILLA’S POV#
9 Desember.
Tepat saat aku baru saja jadian dengan Alvin. Cowok yang aku kenal lewat
jejaring social bernama facebook. Kasus penculikan yang lagi hangat-hangatnya
saat ini, membuat Mama melarang keras aku ketemuan dengan Alvin saat itu. Tepat
2 minggu yang lalu. Apalagi sekarang aku baru kelas 9. Sebentar lagi mau UN,
tapi aku malah punya pacar. Heran ‘kan? Bodo amat, deh.
Pertama aku
ketemu Alvin, rasanya seperti nano-nano. Tapi cuma manisnya aja. Aneh kan?
Yaaa… anggep aja nano-nano nougat, yang enak banget itu. Aku janjian dengan
Alvin di taman kota Jakarta Pusat, yang sudah aku kenal banget karena aku
berada di daerah perbatasan Tangerang Selatan dan Jakarta Selatan. Alvin juga
cukup jauh, dia bilang, sih, rumahnya ada di daerah Jakarta Timur.
Yap.. Alvin.
Cowok itu dingin, berkharisma, cakep, ganteng, gila bola dan begitu cuek. Tapi
aku selalu jatuh cinta dengan cowok cuek. Karena menurutku, cowok cuek itu
nggak playboy. Bener nggak sih?
“Oh, jadi elo
Shilla? Nggak jauh beda sama foto profilnya.,” kata Alvin memulai percakapan
diantara kami waktu itu.
Aneh juga,
sih. Aku yang banyak berceloteh, dan Alvin cuma mendengarkan. Ketika aku nanya,
Alvin cuma jawab seadanya. Bikin aku geregetan, sekaligus penasaran. Alvin
hanya bilang dia suka bola. Dan dia sangat menyukai Barcelona. Aku nggak begitu
ngerti tentang bola, baru setelah aku ngendap-ngendap nyari di google tentang
Barcelona, aku tahu. Ternyata Barcelona itu Barca, ya?
HAHA norak?
Bodo amat, deh. Yang penting aku tetep cantik. Loh?
Aku baru
tahu lagi ternyata Barcelona itu rival beratnya Real Madrid. Dari situ aku
memutuskan untuk suka sama Real Madrid. Biar lucu, gitu. Supaya aku nggak
kehabisan ide kalau harus ngomong sama Alvin yang super irit ngomong.
Seakan-akan kalau dia ngomong, seluruh wartawan yang lagi ngeliput artis
langsung berbondong-bondong nyariin dia.
Tapi
lama-kelamaan, kenapa aku jadi suka bola beneran, ya? Gara-gara Alvin nih,
pasti! Tiap malam aku bbman sama dia, yang kadang cuma di read. Yang kadang cuma ceklis; tanda dia nggak mau diganggu. Sabar
banget aku ngehadepin cowok super dingin macem Alvin.
Lama-kelamaan
kami jadi sering main berdua. Alvin, yang udah lulus SMP dan sekarang duduk di
bangku SMA kelas 1, selalu ngajarin aku empat mata pelajaran yang di-UN-kan.
Satu lagi yang aku tahu tentang Alvin, dia itu cerdas. Dia benar-benar bisa
mengajari aku. Walaupun NEM-nya nggak besar-besar amat, sih. Dia bilang cuma
37, 85. Oke itu dia ya yang bilang ‘Cuma’, bukan aku!
9 Desembernya,
dia nembak aku. Gimana cara nembaknya? HAH! Tidak usah aku ingat. Eh, tapi
keinget juga, sih. Habis, nggak bakal bisa dilupain!
Bayangin aja
seorang Alvin yang cuek bebek, berhasil ngajak aku ke pantai dan main-main
disana sampai puas. Trus di pantai itu, kami juga makan ikan bakar yang… asli
enak banget! Harus coba, deh! Selanjutnya, kami duduk di pasir. Menikmati
semilir angin dan… sunset! Aku
bangkit seraya bertepuk tangan meriah. Norak banget. Kayak belom pernah liat sunset aja.
Tapi, keadaan
dan bersama siapa kamu memandangi sunset,
pasti akan terasa indahnya. Mungkin inilah yang dinamakan cinta. Ketika kamu
hanya bisa merasakan dunia milikmu berdua saja, ketika kamu merasakan darahmu
berdesir sangat cepat dan jantungmu yang lompat kesana-kemari. Itulah cinta.
Alvin
menyentuh pergelangan tanganku, aku menoleh. Kemudian dia berlutut. Aku
benar-benar dapat merasakan tangan Alvin yang bergetar sekarang. Atau itu
adalah tanganku? Alvin tersenyum tulus. Untukku. Jelas kan? Nggak mungkin untuk
seseorang dibelakangku.
“Shilla, aku
bukan cowok romantis. Aku cuma cowok yang jatuh cinta sama kamu karena apa
adanya kamu. Aku nggak mau janji untuk nyakitin kamu, tapi aku bakal buktiin.
Aku cinta kamu, sayang kamu, kamu mau gak..”
“Ya?”
“Mau gak…”
“Mau apa?”
ih! Alvin gagu banget, sih! Tapi aku hanya bisa pasrah nunggu dia. soalnya aku
juga jadi pengen gagu, deh. Biar sehati sama Alvin, gitu. Loh? Nggak lah!
Deg-deg’an tau!
“Kamu tau..”
“Hm?” bodo
amat, aku pura-pura nggak tahu aja.
“Jadi..”
“Ya?”
“P-P-..”
duh, dia gagu lagi!
“P-P?
Pembantu?” errr suer aku kesel!
“NAH!”
“HAH?!!!”
aku melotot. Alvin ini nggak ada romantis-romantisnya sama sekali. Dasar kodok
sipit!
“Kok, kamu
kaget sih? Emang tadi kamu ngomong apa?” tanya Alvin kikuk. Alvin ini bego apa
gimana, sih? Tapi aku tetep sabar. Aku kan cinta sama Alvin<3
“Aku
bilangnya pembantu,”
“EEEHHH!
Bukan, dong! Kamu ini gimana sih??” tuhkan! Alvin ini out of character banget.
“Lah?
Kamunya aja gagu gitu, kok!”
“I-iya maaf.
Aku kan sibuk ngontrol detak jantungku, Shill. Aku ulang, ya!” ucapnya lalu
mengecup punggung tanganku lembut.
“I-iya,
Vin,” aku merona. Tau darimana aku merona? Ngaca aja enggak. Ah, bodo, deh.
“Shilla…,”
dia diam. “aku lupa kata-kataku yang tadi,” ucap Alvin kikuk. Benar-benar
ngabisin stok kesabaran deh, Alvin ini!
“Langsung
ajaaa,” aku buat suaraku semanja mungkin. Supaya nggak terlihat kesal. Alvin
akhirnya manggut-manggut. Sunset
sebentar lagi mau habis, dan Alvin belum juga selesai nembak aku.
“Shil,
langsung aja nih,ya… kamu mau nggak jadi… P-P”
“Pacar,
Vin?!” tanyaku kesal.
“Bukan!”
“HAAAAHH?!”
“Maksudnya,
penjaga hatiku, Shill. Mau kan?”
“Emangnya
aku hansip apa, suruh jaga-jagain hati kamu?”
“Pacar itu
nggak selamanya, Shill. Jadi, aku mau kamu jagain hati aku. Aku bakal kunci
hati aku, dihati kamu. Supaya nggak akan ada lagi yang bisa ngerebutnya.,”
“Kan
harusnya yang jagain tuh kamu. Kamu yang jagain hati aku!” tukasku kesal. Nggak
ngerti lagi deh, sama Alvin.
“Hati cewek
itu seperti kertas, Shill. Bersih, dan rapuh. Cowok itu teledor, Shill. Kalo
kertasnya tiba-tiba jatuh ke lumpur? Kalo kertasnya tiba-tiba kebakar saat
cowok itu mau ngerokok? Dan kepercayaan cewek itu besar. Kalau tiba-tiba cowok
meremasnya, kertas itu nggak akan kembali seperti sedia kala. Kertas itu akan
penuh dengan lipatan-lipatan,” ucap Alvin bijak. Aku hanya bisa tergugu di
depannya.
“Emang
hatinya cowok seperti apa?” tanyaku asal. Coba kita lihat jawaban cowok di
depanku ini.
“Hati cowok
itu seperti cover buku, Shill. Bertugas
melindungi kertas di dalamnya, supaya kertas itu nggak kotor ketika jatuh di
lumpur, atau ketika buku itu mau dibakar, covernya
dulu yang akan merasakan dan berusaha melindungi kertas di dalamnya. dan yang
penting, cover harus sepaket dengan
isinya kan?” ah.. Alvin… kamu membuatku
semakin kagum!
“Jadi… kita
nggak pacaran ya?”
“Nggak. Tapi
jadian!”
“Kan sama
aja, Vin?”
“Hehe.
Yaiyalah. Emangnya ada nembak tapi nggak pacaran? Ya buat apa dong, nembak?”
aku nggak bisa menahan senyumku lagi. Aku langsung memeluk Alvin erat. “kamu
nerima aku nggak?”
“Nggak, ah.
Tapi aku nge ‘accept’ kamu!” kataku
lucu. Nggak tau sih menurut Alvin, tapi menurutku itu lucu.
“Nge ‘accept’ itu apa ya?” tanya Alvin dengan
tanda tanya super besar di kepalanya. Aku sudah melepaskan pelukannya sebelum
Alvin mulai menanyakan hal bego macem tadi. Aku terbengong.
“Kamu…
serius enggak tau?”
“Canda
deeeennngggg!!!!” Alvin langsung membanjiriku dengan air. Aku nggak tau air itu
darimana, yang pasti air itu asin. Kayaknya air pantai, deh.
Aku langsung
mengejar-ngejar Alvin yang sudah lari menjauh. Pasir menyulitkan gerakanku
berlari, tapi aku nggak mau nyerah untuk membalas ‘pacar’ku itu.
Kami
mengalami hari yang indah saat itu. Pakaian yang kami kenakan basah semua.
Karena kami nggak bawa baju ganti, akhirnya kami membelinya di stand terdekat. Di pantai apapun ada
‘kan?
Setelah itu
kami memutuskan untuk membuat tato temporary.
Lucu, sih. Walau cuma sulur-sulur yang menutupi seluruh punggung dan
pergelangan tangan, tapi kesannya sangat anggun dan elegan. Alvin juga sama.
Dia nggak banyak protes waktu aku memintanya untuk ditato sama denganku. Tipe
cowok idaman banget nggak, sih?
Malam hari
aku baru diantar pulang. Nggak begitu malam. Aku masih bisa belajar beberapa
jam sebelum tidur. Alvin nggak suka bawa mobil. Dia bilang mobil itu makan
tempat dan nggak romantis. Diseluruh keluarga Alvin, hanya dia yang nggak suka
bawa mobil dan memilih motor besar untuk kendaraan sehari-hari.
Alvin responsible banget, lho. Seperti lelaki gentle yang lainnya, dia memakaikanku
jaket Barcelona miliknya—yang tadinya aku tolak mentah-mentah karena aku
pendukung Real Madrid—dan memakaikan helm untukku. Hanya perlakuan kecil, tanpa
banyak bicara, tanpa aku harus merajuk, dia memperlakukannya untukku.
Bukankah,
tidak perlu kata cinta untuk mengetahui seseorang mencintaimu? Kau bisa
mengetahuinya melalui setiap perlakuan seseorang itu.
Aku nggak
bisa cerita sama Mama karena nanti aku bisa diamuk. Pasti aku nggak dibolehin
pacaran disaat-saat aku berada di titik puncak perjuanganku. Jadi, aku hanya
menyimpannya di dalam folder hatiku.
Mungkin aku hanya akan menceritakannya pada Ify dan Sivia.
Padahal dulu
biasanya aku selalu bercerita pada Gabriel. Tapi sekarang kakakku itu
menghilang entah kemana. Aku menunggunya. Tapi dia tidak kunjung kembali. Aku
menghubunginya, tapi dia tidak kunjung mengangkatnya. Malah aku benar-benar
tidak bisa menghubunginya.
Oh ya, ini
adalah kali pertama aku berpacaran, lho. Biasanya aku selalu meninggalkan
cowok-cowok yang dekat padaku dalam ‘friendzone’,
atau zona pertemanan. Karena menurutku nggak ada yang cocok untukku. Mereka
kadang terlalu tua atau malah terlalu muda.
Tapi Alvin?
Dia berbeda. Aku hanya… hanya merasakan kenyamanan dan kasih sayang saat
berdekatan dengannya. Dan aku menyukainya.
***
Hari-hari
selanjutnya benar-benar tidak terduga. Alvin semakin diam, dan semakin kelam.
Semakin aku berusaha untuk memahaminya, yang aku dapatkan hanyalah gelap.
Seperti aku berenang di laut lebih dalam. Semakin dalam akan semakin gelap. Dan
yang bisa kurasakan hanyalah takut.
Alvin tetap
baik. Dia tetap memberiku sesuatu. Untuk dikenang. Entah itu kalung, gelang,
foto-foto kami berdua (Alvin memang photographer),
bandana leher—seperti yang selama ini aku inginkan—. Dan aku selalu menyimpan
segala sesuatunya di dalam kotak ini. Kotak berwarna jingga, bekas tempat teddy bear yang Alvin berikan juga
untukku.
Tiket
nonton, foto-foto kami, semua yang ia berikan, bill restoran, apapun itu.
Mungkin aku akan lebih sering membukanya untuk mengenangnya, bukan untuk
memasukkan sesuatu lagi ke dalam sana.
Kini, aku
merasakannya lebih daripada yang lalu. Kami sudah menjalaninya selama 4 bulan.
4 bulan yang
penuh dengan rintangan. Seperti halnya mendaki gunung, aku merasa lelah. Aku
ingin mencapai puncak, tapi aku sudah berdarah-darah terkena ranting. Aku ingin
menerjang badai, tapi aku dengan mudahnya terlempar ke bawah. Aku nggak pernah
begitu mengerti hati Alvin.
Dari raut
wajahnya, kini tidak ada lagi senyum tulus. Yang aku dapati hanya senyuman
kalut dan terlihat dipaksakan. Setiap aku ingin bertanya, dia selalu menjauh.
Dia begitu baik. Tapi aku merasakan kebaikannya hanya karena dia telah
menyiksaku. Dan aku tidak puas dengan hal itu. Aku tidak butuh perhatiannya
yang berlebih ketika kami bertemu, atau barang-barang yang ia belikan. Aku
hanya ingin dia bercerita padaku, apa yang sebenarnya terjadi.
Kami
menjauh. Aku tidak lagi berbicara dengannya. Aku sadar hubungan kami sudah
tidak dapat dilanjutkan. Sebentar lagi aku akan menempuh Ujian Nasional. Dan
alasan itu yang membuatnya jauh dariku.
“Belajar
yang rajin ya, Cherie,” itulah kata terakhirnya. Sebelum kami benar-benar lost
contact.
***
LULUS!
Satu kata
yang aku baca di dalam surat pengumuman. Ify dan Sivia bersorak-sorak girang
disampingku. Sedangkan aku hanya tersenyum. Belajar memang menyita waktuku. Aku
tidak lagi memikirkan Alvin. Aku tidak lagi memikirkan apa-apa selain Ujian
Nasional. Tapi sekarang? Aku tidak begitu yakin.
Aku nggak
pernah ingin melanjutkan sekolah di Negeri. Aku selalu melanjutkannya ke
sekolah swasta. Mama menyetujui saja. Targetku sedari kecil adalah di SMA
Altavia. Aku senang mendengar sekolah itu. Sekolah yang menjamin fasilitas
lengkap bagi siswa/siswinya.
Ify dan
Sivia pun hanya mengikutiku saja. Mereka juga sebenarnya memang ingin
bersekolah di Altavia. Takdir. Kita memang selalu dipersatukan oleh takdir.
“So, where’s
Alvin?” tanya Sivia kepadaku. Aku memang berniat untuk memperkenalkan Alvin
kepada kedua sohibku. Jarak yang cukup jauh membuat Ify dan Sivia tidak sempat
bertemu dengan Alvin.
“Eh… I don’t really know where he is.,”
jawabku linglung. Aku memang nggak tahu dimana dia. Padahal sekarang adalah
hari jadi hubungan kami yang ke-6. Bulan loh ya.
“Udahlah..
jangan pikirin. Mending sekarang kita nonton!” kata Ify. Aku hanya mengangkat
alis sambil tersenyum memaksa. Sesungguhnya aku ingin sekali bertemu dengan
Alvin. Memakinya. Berharap dia tahu seberapa lelahnya aku. Berjuang tanpa
dukungan darinya.
“Masih
kepikiran? Ayolah ajak geng uprit aja! Biar lo bisa ketawa.,” ucap Sivia sambil
menghampiri geng uprit. For your
information, geng uprit itu gengnya anak-anak sarap. Biasanya di kelas 8,
kita suka ngakak-ngakak nggak jelas kalau sudah bergabung dengan geng sarap
itu.
Tapi, ada
satu hal yang aku nggak pernah suka dari geng uprit. Bukan karena cuma 1 orang
yang ganteng diantara keempat lainnya. Atau bukan karena badannya besar-besar.
Atau karena mereka sering mondar-mandir kelas bikin kegaduhan. Tapi…
“Bayarin,
yah!”
Sivia jadi pundung.
Ify meringis. Sedangkan aku hanya geleng-geleng kepala. Pusing.
Tapi dengan
tekad yang kuat, keringat, tenaga, serta waktu yang banyak, akhirnya Sivia bisa
meyakinkan geng uprit untuk ikut nonton bersama kami. Karena sekarang hari
senin, Sivia meyakinkan adanya ‘nomat’, alias ‘nonton hemat’. Yea. Nomat.
Kami ke mal
diantar oleh Papa-nya Ify. Aku dan Sivia bisa memanggil beliau dengan sebuatan
Om Umari. Bersama geng Uprit tentu saja. Kalau kalian mau tahu siapa saja
anggotanya, biar kuperkenalkan.
Disebelah
kiriku, ada Edgar. Dialah yang paling ‘bersih’ diantara yang lainnya. Tapi
setiap orang punya kekurangan, kan? Nah, Edgar ini mempunyai kekurangan di
tinggi badan.
Disebelah
kanan Sivia, ada Abner. Postur tubuhnya tinggi dan lumayan berotot. Setiap
orang juga punya kelebihan, kan? Nah, Abner ini punya kelebihan di warna kulit.
Alias gelap.
Dibelakang
ada Daud, Sion dan Debo. Kelebihan Daud sama dengan Abner, yaitu kelebihan di
warna kulit. Sedangkan Sion dan Debo normal-normal saja.
Satu yang
sama dari mereka; sama-sama ngocol. Selalu membuat kegaduhan di kelas karena
kelucuan mereka. Moodbooster banget,
deh!!
Di sepanjang
perjalanan pun tak pelak kami selalu tertawa akibat ucapan-ucapan konyol dari
mereka. Sejenak melupakan apa yang sudah berada di belakang dan fokus pada apa
yang ada didepan. Bahkan, Om Umari yang biasanya jarang tertawa saja sekarang
mulai melemaskan otot-otot bibirnya. Membentuk lengkungan senyum samar bahkan
tawa kecil.
Setelah
sampai di tempat tujuan kami, kami turun dan bergegas masuk ke dalamnya. Ingin
secepatnya nonton bersama, melepaskan rasa penasaran yang datang setiap aku,
Sivia atau Ify membicarakannya.
Tapi belum
sampai di tempat tujuan kami, aku langsung terhenti. Kuamati dengan seksama apa
yang terjadi didepanku. Di depan toko boneka. Tepat di depan etalase kaca. Aku
tidak sama sekali mengamati boneka-boneka lucu yang sekarang jadi terasa
menakutkan, tapi aku melihat dua muda-mudi yang berdiri disana dengan tawa
bahagianya.
Tak
kuhiraukan tepukan tangan Ify dipundakku, atau teriakan keras Sivia yang
menyuruhku bergegas. Tanpa pikir panjang, aku menghampiri kedua muda-mudi
tersebut. Aku yakin benar dia pacarku. Alvin!
“Oh.. jadi
ini? Selama ini kamu gini dibelakang aku, iya?!” Alvin terdiam kaku setelah
sebelumnya tersentak kaget akan kedatanganku. Sedangkan gadis disebelahnya
mengerutkan kening, bingung.
“Shilla… aku
bisa jelasin—“
“Basi, tau
nggak! Cowok emang semuanya brengsek!”
“Ini nggak
seperti yang kamu pikirin..,” ucap Alvin sok dramatis.
“Brengsek!
Ini bukan drama korea! Bukan sinetron! Bukan Novel! Nggak usah kamu pake
kata-kata itu!” Alvin kembali terdiam. Belum sempat dia berbicara, langsung
saja aku menamparnya. Mungkin semua orang bisa melihat kalau ada asap di
ubun-ubunku. Atau malah sudah berubah jadi api!
“Ada apa
nih, Sob?” aku tidak menghiraukan pertanyaan temannya yang baru saja datang.
Dari pertanyaannya, jelas ia menyiratkan tanya keheranan. Tapi aku malas
melihat potongan-potongan scene yang
malah semakin membuatku sakit, jadi aku memutuskan untuk lari. Menjauhi mereka.
Pulang!
Ify, Sivia
dan yang lainnya mengejarku. Menenangkan sejenak. Aku hanya ingin pulang.
***
#NORMAL POV#
Sejak
kejadian Shilla memergoki Alvin bersama seorang cewek di mall. Shilla jadi
terus-terusan mengurung diri di kamarnya. Tidak ingin bertemu siapa-siapa.
Bahkan Mama yang frekuensi bertemu dengan putrinya sangat besar itupun sampai
hampir tidak pernah melihatnya. Mama hanya mendengar suara-suara Shilla ketika menyahuti
pertanyaan Mama.
Shilla
benar-benar menutup jarak antara dirinya dan dunia luar sementara waktu. Untung
saja ia sedang dalam masa liburan. Jadi masih bisa berkelit. Tidak
terus-terusan dicecar Ify atau Sivia seperti yang biasa mereka lakukan disekolah.
Tapi
pertanyaan demi pertanyaan kini terbesit dalam pikiran Shilla. Mau tidak mau
sekarang pertanyaan itu jadi beban tersendiri untuknya.
Ia jadi
penasaran, ketika setelahnya Alvin terus memohon untuk bertemu. Bahkan Alvin
sampai berlutut di depan pagar rumahnya hingga pagi. Tapi maaf saja, Shilla
paling anti serial drama, sinetron atau novel roman picisan. Shilla selalu
bersikap realistis. Sejenak saja ia membiarkan sakit hati menguasainya.
Membiarkan Alvin kedinginan, kehujanan di depan rumah.
Kalau saja
satpam rumah Shilla tidak menyuruhnya untuk pulang karena kondisinya yang
semakin memburuk, Alvin pasti tidak akan pulang. Shilla juga tidak peduli.
Rentetan
permohonan yang diberikan Alvin melalui SMS dan voice call membuat Shilla kini jadi semakin penasaran. Apa
penjelasan yang akan Alvin jelaskan lagi padanya? Setelah mata kepalanya
melihat sendiri apa yang terjadi di depannya. Shilla telah melihat sendiri
bahwa Alvin telah berkhianat.
“Shilla… ada
Alvin nih dibawah,” ucap Mama setelah mengetuk pintu beberapa kali. Shilla
terlonjak kaget.
“Masih
berani juga tu orang kesini!?” desis Shilla menahan kesal.
Sebelum
keluar, Shilla mencuci muka sebentar, meneteskan satu tetes sampai dua tetes
obat mata agar tidak terlihat kekalahannya di depan Alvin. Tentu saja cowok itu
akan melayang-layang dan merasa menang ketika ia melihat sendiri Shilla
menangis untuknya!
Alvin
benar-benar menunggunya di bawah. Tepatnya di ruang tamu. Berani-beraninya tu
orang masuk wilayah teritori gue, maki Shilla dalam hati. Menurutnya Alvin
menyirami korek yang menyala dengan bensin. Semakin membangkitkan kemarahan
Shilla!
“Ngapain lo
kesini?!” tanya Shilla tajam. Bahkan dalam jarak yang lumayan jauh pun, Shilla
masih merasakan aura cowok itu melekat pada dirinya. Membuatnya ingin sekali
lagi menangis. Tapi mati-matian ditahannya agar cowok itu bisa juga merasakan
perlawanan darinya.
“Gue mau
jelasin semuanya..,” ucap Alvin sedikit bergetar. Ia kemudian melangkah
mendekati Shilla, yang juga dibalas Shilla dengan memundurkan tubuhnya menjauhi
Alvin.
“Gue nggak
butuh penjelasan lo,” kata Shilla menusuk.
Alvin
menghela napas pelan. Merasa sesak karena akhirnya inilah ending dari kisahnya. Alvin kemudian berlutut pada Shilla, memohon.
Sedangkan Shilla hanya memalingkan mukanya, bersikap acuh demi hatinya.
“Gue akan
jelasin.. semuanya. Tapi, nggak disini. Gue mau lo ikut sama gue. Gue mau lo
ngerti. Ini semua cuma salah paham,” ucap Alvin lagi. Cowok ini tidak pernah
sebelumnya memohon. Alvin, tidak pernah memohon. Kepada siapapun. “Gue
mohon..,” dan runtuhlah pertahanan Shilla.
Baru kali
ini Shilla dapat melihat kesungguhan Alvin. Dalam memperjuangkannya. Melihat
cowok itu benar-benar memohon dengan wajah tertunduk, dengan lutut yang
tertekuk sempurna, menandakan cowok itu merendahkan derajat serendah-rendahnya,
hanya demi perhatian Shilla, akhirnya membuat Shilla akhirnya melunak.
“Oke,” kata
Shilla acuh. Ia kemudian berjalan lunglai ke kamarnya, mengambil jaket.
Tapi
kemudian ada sesuatu yang membuat Shilla harus bersiap. Kalau nanti yang
dihadapinya adalah medan perang, maka Shilla harus membawa senjata. Sedikitnya
satu saja agar dirinya bisa tercover.
Dia bukan cewek lemah. Biar Alvin sadar, siapa yang sudah disakitinya!
Shilla lalu
membuka lemarinya, mengambil sebuah kotak, lalu menutupinya dengan jaket yang
dikenakannya.
Alvin pun
tidak berkata apa-apa saat melihat Shilla memeluk sebuah kotak—terlihat dari
lekukan jaketnya—, cowok itu hanya berjalan menuju motornya setelah pamit pada
mamanya Shilla. Berjanji bahwa Shilla tidak akan lama-lama pergi dengannya.
Deru motor
diudara membelah malam, membawa sepasang hati yang patah yang mencoba untuk
bertahan. Mementahkan segala rasa yang membuat luka pada keduanya semakin
menganga. Antara menyakiti dan yang disakiti. Keduanya sama saja, sama-sama
sakit hati. Sama-sama merasakan ada luka yang telah tergores.
Hubungan
keduanya belum kandas. Hanya retak. Salah satu diantara keduanya berusaha untuk
memperbaiki hubungan itu lagi. Mencoba untuk meluruskan kembali hubungan keduanya
yang bengkok karena hantaman keras. Mencoba untuk memplester setiap luka yang
robek dan menyakiti keduanya.
Setelah
kurang lebih 20 menit perjalanan, yang hanya diisi oleh keheningan dan hiruk
pikuk jalanan, akhirnya mereka sampai juga. Shilla turun, Alvin juga ikut
turun.
Cewek itu
tidak ingin melihat wajah Alvin sekarang. Gantinya, cewek itu hanya memandang
berkeliling. Memandangi ujung sepatunya yang kotor akibat tanah basah yang kini
dipijaknya. Dipandanginya sorot lampu taman, yang menjadi satu-satunya penerang
di kegelapan malam.
“Gue…” Alvin
memulai penjelasannya. Ia tahu Shilla tetap mendengarkan, meski cewek itu tidak
melihat ke arahnya. Tapi sebelum penjelasannya berlanjut, sebuah motor besar
seperti milik Alvin berhenti tepat di sebelah motor cowok itu.
Alvin tahu
betul siapa cowok yang kini duduk santai diatas motornya. Dialah penyebab
semuanya. Sahabatnya. Sekaligus biang keroknya. Tanpa sadar rahang Alvin
mengeras.
Tapi ini
semua adalah salahnya. Bukan hanya sahabatnya itu yang salah. Tapi dirinya juga
ikut andil dalam kejadian ini. Untunglah sahabatnya itu mengerti perasaan Alvin
pada Shilla. Jadi cowok itu mau memberi keterangan dan permohonan maaf serta
coveran untuk Alvin. Cowok itu tahu betul cinta Alvin untuk Shilla.
“Apa?” tanya
Shilla menahan kesal. Dia tidak peduli sama sekali pada siapa yang baru datang.
Dia juga tidak peduli pada tatapan nanar Alvin ketika raungan motor itu
terdengar jelas di telinganya.
“Gue.. ikut
taruhan,” jawab Alvin kemudian. Hela napas kelewat lelah lolos begitu saja dari
bibirnya. Shilla mengerutkan kening, heran. “Gue harus.. macarin cewek
seenggaknya 10 dari setiap sekolah yang berbeda,” lanjut Alvin berat.
Shilla
kontan menatap Alvin tajam. Shock!
Alvin tertunduk lesu. Tidak ingin melihat ke dalam mata Shilla lebih lama.
Karena yang dirasakannya nanti adalah sakit.
Sedangkan
Shilla sudah mulai runtuh. Pertahanan yang dibangunnya mati-matian ternyata
harus ambruk tak bersisa. Penuturan Alvin membuatnya tersadar. Alvin hanya
ingin menyakitinya lebih dalam lagi. Shilla berpikir, tertunduknya Alvin adalah
senyum kemenangan yang tercetak jelas disana, yang ia yakini Alvin tidak ingin
terlalu jelas memperlihatkannya pada Shilla.
Cewek itu
kemudian menampar Alvin lagi. Untuk yang kesekian kalinya, hingga Alvin
terhuyung sedikit kebelakang dan akhirnya jatuh. Tapi Alvin tak mampu lagi
bangkit. Dibiarkannya Shilla memakinya dengan rentetan makian kasar.
Dibiarkannya Shilla menumpahkan segala kekesalannya pada dirinya.
“Maksud lo
apa taruhan kayak gitu, HA!!!!??!!!! LO TOLOL APA BEGO, SIH??!!!!??” maki
Shilla kesal. Suaranya ikut bergetar. Kesal yang tidak lagi dapat ditafsir
seberapa kesalnya itu, membuat Shilla akhirnya menangis. Sedih, kesal, malu,
semuanya bercampur jadi satu.
“Tapi
sumpah, Shill… sayang gue ke elo itu bener. Sebelum ini terjadi, gue udah
sayang sama lo. Lo bukan taruhan gue. Sayang gue ke lo, murni. Shilla.. lo
harus—“
“Udah, Vin.
Please! Lo cuma bikin gue sakit, tau nggak?!” Shilla menengadah, berusaha
menghentikan laju tangisnya yang semakin deras. Alvin lalu berdiri, berusaha
meraih tangan Shilla. Meyakinkannya.
“Lo harus
percaya sama gue..,”
“Kenapa lo
setujuin taruhan itu, kalo lo beneran sayang sama gue?! Apa sih jaminannya kalo
lo menang taruhan!?” tanya Shilla geram. Kekesalannya sudah pada tingkat paling
akhir. Dirinya merasa sangat lugu, dibodohi oleh Kakak kelas macam Alvin.
Pertanyaan
itu tak kunjung dijawab oleh Alvin. Sebagai gantinya, sahabatnya lah yang
kemudian berdehem. Memecah keheningan.
“Kasih tau,
Vin. Biar makin jelas.” Alvin memejamkan kedua matanya.
“Porsche.”
Alvin baru saja menyebutkan tawaran dari taruhan tersebut. Sebuah merk mobil
terkenal dengan penjualan laris dipasaran. Dipastikan harganya masih berada
diatas jajaran langit-langit statosfer.
“Lo ngehargain
ketulusan dan kesetiaan setara MOBIL!?” desis Shilla tajam. Tidak percaya.
Terperangah.
“Tapi gue
nyerah sekarang! Gue nyerah untuk lo! Karena perasaan gue ke lo bukan barang
taruhan! Dan perasaan gue ke lo, atau perasaan lo ke gue bukan setara mobil!”
kata Alvin tegas. Berusaha membuat Shilla percaya akan kesungguhannya.
“Apa yang
dibilang sama Alvin bener. Dia beneran cinta kok sama lo,” ucap sobat Alvin
pelan. Tapi Shilla sudah lebih dulu mengeraskan hatinya. Sudah tidak ada lagi
penerimaan untuk Alvin. Sudah cukup hatinya merasa tersakiti oleh Alvin.
“Selama ini,
gue selalu mempertahanin hubungan ini. Lo cuek, gue diem. Lo nggak ngontak gue,
gue diem. Bahkan menjelang kelulusan lo menghilang gitu aja. Lo biarin gue
sendiri menempuh Ujian Nasional. Tanpa dukungan lo!” Shilla menarik napas
sebentar. Berusaha menetralisir sesak didadanya. Shilla kemudian mengeluarkan
kotak dari jaketnya. “Ini. Lo liat ini!? Ini adalah wujud ketulusan gue buat
lo!” ia membuka kotak yang berada di tangannya. Menunjukkannya tepat di depan
wajah Alvin. “tapi apa yang lo kasih buat gue? Cuma sakit.” Shilla memegangi
dadanya. Terlalu sesak.
Tanpa bisa
dicegah, Shilla membuang kotak tersebut jauh. Melewati pagar pembatas taman.
Sedangkan Alvin hanya bisa tercengang menatapi kotak yang melayang terbuang
tadi. Terkesima. Sebelum Alvin sadar, Shilla sudah lebih dulu meninggalkannya.
Shilla
kemudian berhenti. Lalu berbalik menghadap Alvin. “KITA PUTUS!!” lalu ia
meneruskan berjalan hingga berhenti di depan motor milik sahabatnya Alvin.
“Kak, tolong anter gue pulang. Please..,”
pinta Shilla pada sohib Alvin yang masih terbungkus helm dan jaket tersebut.
Shilla hanya bisa sedikit melihat matanya sebelum kemudian cowok itu mengangguk
lalu menstarter motornya.
Seakan baru
tersadar, Alvin tidak mengejar Shilla yang kini telah tancap gas bersama
sohibnya. Tapi ia berlari. Menerjang rumput ilalang yang tumbuh begitu tinggi.
Menyulitkan pergerakannya. Hingga ia menemukan ujung pembatas tembok yang
memisahkan sungai dengan taman tak terurus tersebut.
Alvin
memanjat. Sedikit kesusahan karena tidak ada tempat untuk berpijak. Tapi ia
berhasil melewati pagar pembatas tersebut. Ia turun pelan-pelan. Beruntung
kotak tersebut masih menyangkut di gundukan tanah yang sedikit lebar sebelum jatuh
ke sungai yang kini mengalir deras.
Cowok itu
kemudian mengambilnya, lalu berusaha memanjat lagi ke atas. Butuh sedikitnya
waktu setengah jam untuk berusaha memanjat sambil tetap membawa kotak tersebut
pada genggamannya.
Shilla boleh
melupakannya. Tapi wujud ketulusan cewek itu untuknya, tidak boleh dilupakan
begitu saja. Cowok itu, sekuat apapun, akan terus berjuang demi Shilla.
Berjuang untuk ketulusan cewek itu. Berjuang demi terengkuhnya kembali cewek
itu dan seluruh perjuangannya, bersamanya. Meski itu sama saja dengan mati
perlahan.
***
So this is the 6th part guys. Maaf kalau semakin aneh, semakin lama update, dan lain sebagainya. Komennya yang jelek-jelek juga gapapa yaaa.. follow me @Lysaafeb or Lysa Keyness Hutcherson
Next Part -->
Next Part -->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar