Try! (Part 7)

Minggu, 30 Juni 2013

Maaf lama banget lanjutnya. soalnya kan notebook aku rusak (bukan rahasia umum lagi) wk yo aku juga mau hiatus karena ada project dan aku harus benahin semua system di notebook aku. ENJOY!

 ***

Tujuh (End of Flashback) This Time.

Matahari pagi mulai menyingsing. Menyisakan titik-titik embun di dahan, bekas hujan semalam. Kini kebahagiaan Shilla benar-benar beruntun. Cakka yang pengertian padanya, kembalinya Gabriel. Semuanya berjalan seperti seharusnya.

Tidak ada lagi Alvin. Atau kenangan yang akan membuatnya terhempas kembali ke dalam lubang buaya.

Tapi tanpa Shilla sadari, dirinya malah sekarang bersarang di kandang singa.

Sekolah berjalan seperti biasanya. Bedanya, sekarang Shilla dilanda kebahagiaan. Jadi tidak ada lagi namanya keluh kesah soal bagaimana cara seorang guru mengajar, tentang banyaknya tugas yang guru tersebut berikan, atau ulangan yang begitu susahnya. Shilla menjalaninya dengan riang dan ikhlas.

Melihat itu, Ify dan Sivia juga ikut bahagia. Tuhan memang selalu punya rencana untuk setiap umatnya, kan? Tanpa mereka sadari bahwa kebahagiaan juga perlahan-lahan bisa memudar.

Sepulang sekolah, masih tetap biasa saja. Cakka, seperti biasa datang menjemput. Masih sama. Masih dengan mobil besarnya yang berwarna hitam kelam. Cakka juga masih perhatian seperti dulu. Tidak ada yang berubah.

Dan Shilla berharap, tidak akan ada lagi yang berubah.

**

Pagi itu Shilla sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari berpotong-potong pakaian, sepatu, sendal, dan lain sebagainya. Ify dan Sivia sudah sejak dari semalam menginap di rumahnya. Takut ngerepotin Cakka, katanya.

Hari jumat kemarin, Cakka mendadak mengajak mereka langsung ke Bandung. Seperti yang dijanjikannya pada ketiga cewek ini. Dengan semangat Ify dan Sivia merencakan segala sesuatunya. Sementara Shilla sampai sekarang belum percaya kalau mereka sekarang akan berangkat ke Bandung.

Masalah izin dari mamanya Shilla sih, tidak usah diambil pusing. Ify dan Sivia sampai memohon-mohon begitu, mamanya Shilla mana tega?

Tepat pukul 8 tepat, Cakka telah sampai di depan rumah Shilla. Berpamitan sebentar pada mama Shilla, lalu membawakan tas milik Shilla, Ify dan Sivia. Gentle banget, kan?

Meskipun dengan tampang semangat 45nya, Ify dan Sivia ternyata sudah tepar duluan di mobil. Padahal baru setengah jam perjalanan. Masih beberapa jam perjalanan lagi. Memang sih, dari semalam mereka terus-terusan mengobrol sambil menghabiskan stok makanan kecil yang ada di kamar Shilla.

“Kka..harusnya nggak perlu repot-repot, lagi,” kata Shilla membuka pembicaraan. Pasalnya daritadi Cakka hanya menyenandungkan lirik-lirik dari lagu yang ia dengarkan melalui tape.

“Repot apanya?” tanya Cakka balik. Lalu kemudian kembali menyenandungkan lagu All I Wanted-nya Paramore.

“Ya… elo—eh kamu tuh baik banget, tau,”

“Emang nggak boleh ya?”

“Ya bukan gitu. Ah, yaudah deh.” Shilla mengakhiri percakapannya. Sementara Cakka dengan santai menyetir sambil terus menyanyikan lagu Paramore.

Matahari kian tinggi, Cakka akhirnya mengajak ketiga cewek-cewek itu untuk makan dulu.

Setelah itu, Shilla langsung terlelap beberapa menit di perjalanan. Ify dan Sivia juga. Bangun-bangun, pemandangan lain selain jalan tol memanjakan penglihatan ketiga cewek itu. Sementara Cakka mungkin sudah bosan dengan hijaunya jalanan disini.

Tanpa sadar, Shilla bersorak riang. Ia lalu membuka kaca mobil disampingnya. Berusaha untuk menghirup udara segar yang jarang ia dapat sebanyak-banyaknya. Dengan rakus Shilla menghebuskan dan menghirup udara disana dengan cepat. Benar-benar tidak ada polusi!

Cakka kemudian mengacak-acak rambut Shilla geli. Cowok itu terkekeh pelan melihat kelakuan pacarnya.

“Mau lo napas sampe sehari ke depan juga nggak akan habis kok,” ucap Cakka menahan geli. Shilla langsung duduk seperti biasa, malu.

Beberapa menit setelahnya, pemandangan langsung berubah. Setelah mobil besar Cakka melewati gerbang tinggi yang menjulang, perkebunan strawberry yang luas langsung terpampang jelas dihadapan mereka. Disebelah perkebunan itu, ada sebuah villa. Dan disitulah Cakka memberhentikan mobilnya.

Shilla langsung turun. Tanpa menunggu Cakka. Ify dan Sivia mengikuti.

Ini benar-benar indah. Strawberry itu sekarang sedang berbuah. Banyak. Lebat. Ranum. Besar. Ah, Shilla jadi ngiler!!

Disekitar perkebunan tersebut, ada beberapa pekerja yang sedang mengambil strawberry yang sudah matang. Ada juga yang sudah membawa keranjang besar penuh dengan strawberry ke sebuah gudang. Tak lama Cakka turun.

“Ini punya lo, Kka?” tanya Sivia masih terpukau. Bukan hanya perkebunannya yang membuat indah, tapi juga background gunung seperti Dante’s Peak—yang belum pernah meletus—yang semakin memperindah suasana. Beberapa pohon cemara yang juga tumbuh diluar pagar pembatas kebun menjulang tinggi membuatnya semakin mirip dengan Dante’s Peak.

“Yuk, masuk,” ucap Cakka. Hanya kata itu, sudah menjawab pertanyaan Sivia tadi.

Ketiganya agak rela dan tidak rela meninggalkan view yang bagus untuk foto-foto itu. Sebab Cakka sudah memberikan pandangan tenang-aja-kebunnya-nggak-akan-hilang-dalam-sekejap-kok.

Villa itu benar-benar luas hingga Shilla mengira itu bukan villa. Tapi sebuah hotel pribadi. Semacam resort dengan pemandangan terbaik, gitu deh. Cakka juga bilang, banyak yang mau menyewa villanya pada saat-saat panen stroberi begini. Tapi Cakka menolak semuanya, bahkan dengan tawaran paling tinggi sekalipun, khusus untuk ketiganya.

Shilla jadi makin kagum lagi ketika mendengar penuturan Cakka. Pastilah banyak yang memutuskan untuk berlibur ke sini. Udaranya sejuk, pemandangannya sangat indah, villanya bagus dan bonus panen stroberi. Kata Cakka, panen stroberi yang pertama lebih bagus dan banyak. Jadi lebih enak memetiknya karena semua stroberi sudah ranum dan besar-besar pula.

Shilla, Ify dan Sivia sengaja menempatkan diri mereka dalam satu kamar supaya tidak merepotkan. Lagipula, mereka suka bergosip. Yah..namanya juga cewek.

Dengan secepat kilat ketiganya membongkar koper, berganti baju dengan baju santai dan langsung berlari keluar villa. Tanpa memikirkan Cakka. Biar saja, pasti cowok itu juga sudah bosan dengan situasi disini. Berbeda dengan ketiga cewek—yang keliatan banget udiknya—yang sekarang sedang menjinjing keranjang kecil dan satu buah gunting berukuran sedang pada masing-masing dari mereka.

Karena perkebunan ini sungguh luas, ketiganya berpencar. Mau ngambil yang mana juga nggak apa-apa, kata Cakka. Lagipula stroberi yang dijual hanya setengah dari kebun mahaluas ini. Sisanya dibawa ke Jakarta untuk cemilan, dibagikan kepada tetangga atau kerabat dekat.

Kalau dipikir-pikir, setengah dari kebun ini pastinya banyak sekali. Mau mereka petik hingga kaki tidak bisa lagi berjalan, atau tangan yang terasa lemas lantaran keranjang yang dibawa terlalu berat pun sepertinya tidak akan habis.

Shilla hampir saja menjatuhkan keranjangnya kala melihat Cakka dibelakangnya. Cowok itu kemudian membawakan keranjang milik Shilla. Mengerti bahwa semakin banyak stroberi yang Shilla petik—dengan rakus—semakin berat juga bobotnya. Sementara Shilla masih asyik-asyik saja dengan kegiatan memetik buah merah berbintik itu. Kapan lagi dapat kesempatan emas begini kalau dia tidak pacaran dengan Cakka?

“Kamu metik banyak banget, sih. Yakin bakal dimakan semua?” tanya Cakka dengan nada jenaka. Shilla balik badan, berhadapan sama Cakka.

“Jadi aku nggak boleh metik banyak-banyak, nih?” gantian Shilla yang bertanya dengan nada pura-pura sinis. Cakka menjawil salah satu pipi Shilla sambil tertawa renyah.

“Nggak gitu. I bet you don’t know how to pick a sweet strawberries. Karena kamu metiknya asal aja,” ucap Cakka kemudian meraih gunting dari genggaman Shilla.

“Loh? Bukannya semuanya udah matang?”

“Tapi bukan berarti semuanya manis. Some of strawberries, apalagi banyak begini, pasti luput dari pandangan perawatan yang baik. That’s why ada beberapa stroberi yang nggak begitu manis atau malah asem banget,” jawab Cakka kalem. Ia lalu meletakkan keranjang di tanah, lalu berjongkok sembari meneliti stroberi-stroberi yang ada dihadapannya.

Dengan teliti Cakka memperhatikan buah itu satu-satu. Sebenarnya Shilla jadi gemas sendiri. Pasalnya buah di depannya begitu besar dan merah, membuatnya jadi ingin memakannya semua! Dia juga belum sepenuhnya percaya pada apa yang dikatakan Cakka soal stroberi yang luput dari perawatan baik. Menurutnya semua manis-manis saja, kalau dilihat dari warnanya yang merah dan ukurannya yang besar.

Cakka selesai dengan pekerjaannya. Ia memetik 3 buah stroberi. Contoh untuk Shilla.

“Nah, coba kamu makan yang ini.” Cakka menyodorkan salah satu dari ketiga buah tersebut. Shilla menerimanya dengan pandangan heran. Tapi Shilla tetap memakannya. 

“Gimana?”

“Manis. Enak, kok.” Cakka menyodorkan lagi stroberi yang kedua. Sekilas warna dan ukurannya sama saja seperti yang pertama. Shilla mengambilnya dan langsung memakannya juga. “How?”

“Err—agak asem sih. Tapi seger. Nggak terlalu manis dan nggak asem juga,” jawab Shilla. Cakka menyodorkan lagi stroberi yang terakhir. Shilla jadi was-was, sementara Cakka hanya menaikkan alisnya.

How?”

“Rrrr—baaaddd…”

It’s not ‘bad’ but just ‘not good’. Buat sebagian orang, stroberi yang asem itu menyegarkan. Kalo dibuat jus lebih seger dan rasanya lebih enak daripada yang manis.” Shilla membenarkan perkataan Cakka. Satu hal yang cowok itu ingin tunjukkan pada Shilla; membuktikan pada cewek itu kalau memilih stroberi, tuh, harus jelas. Biar nggak sayang karena dibuang-buang.

Lagi-lagi Shilla berpikir, kalau Cakka hanya memberitahunya, lalu bagaimana dengan Ify dan Sivia?

“Ayo cari lagi! Sampe kamu mabok juga bakal aku temenin, kok,” kata Cakka sambil kembali menjinjing keranjang.

**

Malam begitu gelap. Mungkin karena villa milik Cakka ini merupakan villa yang jauh dari kepadatan penduduk. Jauh juga dari terang-benderangnya lampu-lampu jalan dan lampu dari pemukiman rumah warga.

Tapi dengan begitu Shilla bisa melihat dengan jelas bintang-bintang yang menggantung di langit. Berkedip-kedip genit dengan alurnya yang sama.

Kebun stroberi itu sepi, tidak begitu terlihat karena gelapnya penerangan. Hanya ada satu atau dua lampu disetiap beberapa meter. Terdengar suara jangkrik yang begitu banyak, kadang suara kodok ikut juga menimpali. Shilla jadi rindu kampung halaman.

Di Jakarta mana dapat dia mendengar senandung jangkrik dan kodok? Yang ada hanya suara deru kendaraan bermotor yang kadang—atau malah sering memekakkan telinga dan bikin naik darah.

“Sayang banget teropong bintang di villa ini dibawa papaku ke Jakarta,” ucap Cakka dari belakang. Cowok ini… suka sekali membuat Shilla tersentak kaget. Eh, tadi apa katanya? Teropong bintang?!

“Seru banget ya, jadi kamu. Dari dulu aku pengin banget punya teropong bintang. Supaya bisa ngeliat bintang lebih dekat dari jarak yang seharusnya,” sahut Shilla sendu. Cakka meletakkan tangannya di puncak kepala Shilla, menepuknya pelan berkali-kali.

“Sedekat apapun bintang dari bumi—kecuali matahari, tetap aja cuma titik kecil dari sini. Nggak ada yang istimewa. Kecuali kamu ke Bosscha, disana lebih real. Mirip planetarium banget. Seru!” Shilla mendelik, seakan berkata kamu-mau-manas-manasin-aku?! “Lagipula di Jakarta nggak akan banyak bintang. Kecuali kalo lagi Earth Hour,” ucap Cakka tanpa mengindahkan tatapan mendelik dari Shilla.

Tapi Shilla membenarkan kata-kata Cakka. Benar banget. Jakarta yang begitu gemerlap, dengan bangunan tinggi dimana-mana—yang dipastikan lampunya juga banyak—pasti akan menutupi cahaya bintang yang sangat kecil dan hanya berupa titik dari kejauhan. Bulan saja kadang tidak terlihat. Apalagi bintang?

Shilla kagum juga dengan pengetahuan Cakka yang seabrek—mulai dari cara memilih buah stroberi yang manis, pengetahuannya soal astronomy, dan banyak lagi—. Pantas saja banyak yang bilang Cakka tuh kepribadiannya komplit banget, pacarable banget juga. Selain dia keren, ganteng dan tajir, Cakka juga nggak berotak kosong seperti cowok-cowok tajir dan keren lainnya.

Perlahan-lahan Shilla mengenyahkan segala pikiran ganjalnya tentang Cakka. Cowok ini benar-benar pure. Murni. Seru dan nyambung karena pengetahuannya yang luas. Perhatian, namun dewasa.

Sivia dan Ify bergabung beberapa menit kemudian. Terlihat dari rambut keduanya yang basah, Shilla langsung tahu bahwa mereka baru saja mandi. Ah, indahnya dunia. Disaat pacarmu yang almost perfect dan kedua sahabatmu sama akurnya.

Paginya Shilla terpukau dengan sunrise yang disuguhkan oleh Kota ini. Dengan udara sejuk, pemandangan yang indah, langit tanpa polusi, Shilla benar-benar jatuh cinta dengan daerah ini! Belum lagi Cakka yang memang sengaja membangunkan Shilla dan mengajaknya ke atap villa bertingkat ini. Dari atas Shilla bisa melihat sunrise dari balik gunung. Ah, pemandangan langka yang tidak akan bisa didapat di Jakarta!

“Sayang banget kita pulang hari ini. Kalo pulang besok pasti kamu bisa ngeliat sunset dulu. Kemarin aku mau nunjukkin ke kamu, tapi kayaknya kamu capek banget dan lagi semangat-semangatnya makan semua persediaan stroberi itu,” ujar Cakka sengaja menggoda Shilla. Sementara yang digoda sudah memerah.

Shilla memang suka stroberi dan cokelat (apalagi!). Jadi menurutnya wajar-wajar saja dirinya rakus begitu kalau sudah menemukan stroberi. Di Jakarta nggak ada stroberi sebesar dan sebagus ini. Ada juga stroberi palsu seharga lima ribuan dengan gula halus tambahan. Ew. Nggak banget.

Masalah sunset, Shilla juga tidak sempat memikirkan pemandangan krusial itu. Shilla begitu menyukai sunset karena semburat jingganya begitu menyinari dunia. Menciptakan momen manis dengan sejuta keindahan yang terpatri. Belum lagi, momen itu seperti dirinya mengantarkan matahari kepada belahan dunia yang lain. Membagi momen sunrise yang sekarang sedang dinikmatinya pada dunia bagian barat.

“Nggak apa-apa. Di Jakarta juga ada sunset, kok,” ujar Shilla tertawa. Berusaha menghibur diri sendiri. Padahal di dalam hatinya ia kecewa berat.

“Yah… kalo di Jakarta sih, kayak mengantarkan matahari kepada dunia Harry Potter pas Voldemort lagi nyerang Hogwarts pake tongkat elder.” Sial, dia benar banget, maki Shilla dalam hati. Jakarta yang penuh dengan polusi udara membuat sunset seperti yang dijabarkan oleh Cakka.

“Nggak apa-apa. Bintang yang mirip hujan meteor semalam juga udah cukup, kok,” ucap Shilla ngaco. Jelas-jelas hujan meteor berbeda dengan bintang yang begitu banyak jumlahnya. Tapi karena Shilla belum pernah lihat hujan meteor, jadi biar saja dia beranggapan bahwa bintang yang banyak jumlahnya itu adalah hujan meteor.

“Sori, ya. Aku nggak bisa kalo kita pulang malem. Selain jalanan sepi—biasanya banyak copetnya—, kasian juga mama kamu nunggunya kelamaan.” Benar, Cakka memang minta izin untuk pulang hari Minggu. Dan sore hari harus sudah sampai rumah.

“Iya nggak apa-apa. Makasih, ya. Kamu baik banget,” ujar Shilla lalu mengusap-usap lembut tangan kiri Cakka.

**

Bintang yang biasa Shilla pandangi tidak lagi ada disana. Tidak lagi memancarkan cahayanya seperti biasa. Tidak lagi bisa membuat Shilla mengingat memori-memori lamanya bersama bintang yang lalu. Tidak bisa lagi.

Shilla teramat sadar bahwa Cakka pelan-pelan telah membawa dirinya pergi dari memoar masa lalu. Meninggalkan sesuatu yang seharusnya dari dulu sudah ia tinggalkan. Menariknya dari masa lalu yang menyakitkan. Seharusnya dari dulu saja Shilla bertemu dengan Cakka. Iya kan?

Kesungguhan Cakka benar adanya. Ify dan Sivia—dengan insting yang kuat—sudah berkata demikian padanya. Shilla mempercayai kedua sahabatnya tersebut. Walau dia sudah merasakan sendiri kesungguhan Cakka, bonus kebaikannya. Lambat laun perasaan ragunya hilang tanpa bekas. Akan diperjuangkannya hubungan ini.

Shilla perlahan mendesah. Sepulang dari jalan-jalannya bersama Cakka dan kedua sohibnya tadi, Shilla akhirnya tersadar akan sesuatu. Helaan napasnya yang berat menandakan ia sudah merelakan Alvin. Digantikan oleh sosok yang selama lebih dari sebulan ini bersabar dan mampu membuatnya nyaman lebih dari yang Shilla minta.

Shilla tersadar, Dia bukan lagi bintang yang sama. Telah ada bintang lain yang akhirnya berganti posisi dengannya. Bintang yang lalu telah pergi. Bintang itu meninggalkannya. Keduanya—Shilla dan Alvin—berada dalam jarak pandang yang berbeda. Keduanya berada dalam dua galaksi yang berbeda, dengan jarak ratusan juta cahaya jauhnya. Keduanya terpisah begitu jauh karena kehendak alam dan Mahakuasa secara tiba-tiba dan masuk akal. Masuk akal pula jika keduanya tidak lagi ditemukan di satu galaksi yang sama.

Semuanya berjalan sesuai dengan waktu dan garis edar yang telah ditentukan. Tidak ada lagi jalan untuk kembali. Bintang itu telah pergi menjauh tanpa Shilla sadari. Mungkin saat itu delusinya berkehendak tanpa sepengetahuannya. Menyeruak masuk tanpa ampun karena kerinduan yang mendalam. Hingga tak sadar akhirnya bintang itu telah masuk ke dalam jarak antar galaksi yang berbeda. Kalaupun bintang itu kembali, mungkin dirinya sudah mati. Disebabkan karena menunggu hal yang tak pasti.

Bintang lain itu mengisi langit kosong yang kerap dipandanginya setiap malam. Bintang yang akan silih berganti sampai akhirnya ia sudah lelah mencari, menantikan dan bersabar akan gejolak batin yang selalu menimpanya tanpa mencari pengampunan. Suatu saat akan ada satu bintang yang akan tetap disana. Menunggunya walau jarak memisahkan. Selamanya.

**

Shilla masih merasakan pegal-pegal akibat perjalanan kemarin. Tapi paginya sudah harus sekolah. Kalaupun Shilla minta izin pada mamanya, pasti tidak akan diizinkan. Yang ada Shilla bakal dimarahi. Lagipula, banyak stok stroberi di kulkas. Lumayan untuk penghilang bad mood.

Tanpa disangka-sangka Gabriel muncul tanpa dikehendaki di depan rumahnya. Shilla hafal betul dengan mobil Everest hitam milik Gabriel yang sedari dulu memang menjadi mobil kesayangan cowok itu. Ternyata cowok itu masih setia pada yang lama.

“Ngapain lo, Kak?”

“Nganter lo ke sekolah,” jawab Gabriel enteng. Shilla langsung masuk ke dalam mobil Everest milik Gabriel itu.

“Jangan bilang—”

“Sekarang gue tinggal disini, kok. Di daerah Kemang.” Shilla menghela napas lega. Tapi kemudian ia menyernyit.

“Kemang kan lumayan jauh dari sini. Niat banget mau jemput gue,” ujar Shilla sambil terkekeh. Gabriel hanya mengedikkan bahu.

Sampai di sekolah Shilla langsung turun, tanpa sepengetahuannya Gabriel juga ikut turun. Heran. Mau apa, sih?

“Ngapain lagi?” tanya Shilla heran. Gabriel hendak mengucapkan kata-kata, tapi urung karena Sivia dan Ify langsung beringsut mengimpit Shilla di kanan-kirinya.

“Halo, Shilla… thanks a lot. Strawberry yang superrrr lezat!!!” tukas Ify sumringah. Shilla menyernyit. Harusnya kan berterima kasih-nya pada Cakka, atau para petani di kebunnya. Kenapa malah ke Shilla?

“Siapa ini, Shill?” ah, Shilla lupa sahabatnya sangat kepingin banget tahu semua masalahnya. Termasuk orang-orang yang dekat dengannya.

“Oh ya, ini Gabriel. Dia kakak-kakakan gue. Gab, ini Sivia sama Ify. Sahabat gue sejak SMP,” kata Shilla memperkenalkan ketiganya. Gabriel terlihat santai sementara Ify dan Sivia agak canggung. Dalam pikiran keduanya, ternyata selain Cakka masih ada ciptaan Tuhan yang sebegini indahnya.

“Gab, kok kami nggak pernah liat elo, ya?”

“Eh, anak kecil, yang sopan ngomong sama kakak gue!” tukas Shilla tajam. Merasa malu dengan tindak kekurang-ajaran kedua sohibnya.

“Santai, Shill. Ya, gue tinggal di Inggris. Jadi belum sempat ketemu sama kalian,” jawab Gabriel kalem. Shilla melirik Sivia dan Ify, keduanya malah bengong. Matanya berbinar-binar memantulkan sinar mentari pagi yang belum terlalu tinggi itu. Dasar, nggak dapet Cakka, kakak-kakakannya diembat juga!

“Perasaan matahari belom naik banget kok udah silau, ya! Mana ada dua lagi!” kata Shilla pura-pura sinis sembari mendelik pada kedua sahabat noraknya. Masa ketemu Gabriel aja sampe segitunya, batin Shilla malas.

“Shilla…” Gabriel menengahi. Maklum dengan kelakuan tiga murid kelas 10 yang masih kelihatan banget bocahnya.

“Lain kalo lo nggak usah nganter gue deh, Gab. Abisan, temen-temen gue pada norak, nih. Kayak nggak pernah liat cowok cakep aja,” ujar Shilla ketus. Malu banget. Benar-benar keduanya nggak bisa sedikit saja jaim pada cowok cakep.

“Haha, yaudah gue balik dulu ya, Girls. Take care,” kata Gabriel kemudian melangkah masuk ke mobilnya. Ketiganya melambaikan tangan pada Gabriel sebelum mobil Everest cowok itu meninggalkan parkiran sekolah.

Shilla tahu sebentar lagi Ify atau Sivia akan menyerbunya dengan berbagai macam pertanyaan. Mulai dari siapa Gabriel, kemana dia selama ini, atau kenapa pemuda itu begitu tampan. Sampai pertanyaan; Siapa sih pemahat manusia super ganteng itu? Ah… terlalu melankolis. Ify dan Sivia hanya mengapitnya di kanan-kiri sambil sesekali melihat selebaran di tembok-tembok koridor sekolah, kok.

Ketika melewati mading sekolah, Shilla mendadak terhenti. Ia jadi ingat perkataan kakak kelas yang dulu berada di UKS itu. Siapa namanya? Ma-Martin? Ma-Mati? Ma-Marvel? Ah, tau deh. Shilla menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, lalu melangkah mendekati mading. Diikuti kedua sohibnya dengan tatapan heran.

Dilihatnya papan pengurus OSIS yang terpajang besar-besaran di dalam kotak kaca yang tertempel di dinding tersebut. Mentang-mentang organisasi elite, terus buat daftar pengurusnya juga harus menutupi hampir seluruh tempat yang tersisa, ya? Shilla berdecak.

Mulai dari Ketua, semakin ke bawah dan ke bawah. Cih, semuanya pakai foto. Dasar organisasi pendongkrak ketenaran. Tidak heran banyak peminatnya. OSIS benar-benar bisa menjadi batu loncatan menuju kepopuleran. Pantas saja dari tahun ke tahun ada saja acara yang gagal dilaksanakan.

Shilla hapal betul wajah cowok itu. Makanya dengan cepat ia menelaah foto-foto yang terpajang disana. Nah, Shilla langsung menunjuk-nunjuk foto Rio—Mario Stevano Aditya Haling—dengan ganas. Ternyata cowok itu merupakan seksi ketertiban dan kedisiplinan sekolah. Sial, pantas saja sampai harus memeriksa keadan UKS. Kalau mengingat-ingat alibi yang digunakannya dulu, memang itulah tugas Rio.

“NAH! Ini dia si kakak kelas tengil itu!” jerit Shilla geram. Shilla jadi ingat lagi, ketertiban apanya?! Tidur di bawah pohon saat jam istirahat sekolah?! Ya, secara hukum sah-sah saja, sih. Toh waktu itu sedang istirahat juga. Tapi benar-benar tidak patut dijadikan panutan para murid lainnya!

“Siapa yang lo bilang kakak kelas tengil?” tanya Rio menyentak. Shilla otomatis menurunkan tangannya, kemudian bersiap untuk kabur. Ify dan Sivia bahkan sudah ngibrit duluan.

Sialan. Dasar sahabat tidak bertanggungjawab!

“Maaf, Kak. Udah bel nih. Dah!!” Shilla baru saja hendak lari, saat disadarinya Rio menarik kerah kemejanya. Mau diteruskan berlari, nanti kemejanya malah robek. Bahaya. Di lokernya hanya ada baju olahraga dan buku-buku paket.

“Nggak sopan main kabur-kabur,” ujar Rio dingin. Shilla menahan kesal. Pelajaran pertama adalah Pak Syam dan dia harus tepat waktu masuk ke kelas beliau karena guru itu mengajar dengan disiplin.

“Kak, saya telat kalo gini,”

“Makanya jangan asal ceplos lo. Baru kelas 10 juga. Untung aja masih gue, coba kalo Zevana sama antek-anteknya. Abis lo,” ujar Rio sembari berlalu.

Shilla menyernyit. Apa sih maksudnya? Kok ke Zevana-Zevana segala? Shilla bukannya tidak tahu siapa itu Zevana dan antek-anteknya. Siapa sih, di sekolah ini yang tidak mengenal Zevana? Separuh yayasan sekolah Altavia merupakan milik ayahnya. Makanya, hanya Zevana dan antek-anteknya yang bisa berkuasa disini.

Dibanding dengan donatur-donatur lainnya, Zevana-lah yang memegang saham paling tinggi. Shilla agak segan juga ketika tahu seperti apa seluk beluk SMA Altavia. Jabatan, kekuasaan dan harta merupakan jaminan supaya bisa tenang berada di SMA ini. Untunglah ayah Shilla juga menjadi donatur, walau tidak sampai bahkan seperdelapannya.

Tapi kenapa harus disangkutpautkan dengan Zevana, sih? Memang dirinya salah apa? Selama bersekolah disini rasanya Shilla tidak menimbulkan kekacauan maha dahsyat yang menggemborkan rakyat sekolah.

Shilla menggelengkan kepalanya. Pagi-pagi sudah bikin pusing. Mungkin Rio cuma asal ceplos aja. Lagipula mana kenal Zevana dengan Shilla?

Sepulang sekolah Shilla disesaki banyak pikiran. Mulai dari tugas sekolah yang kadang nggak kira-kira banyaknya, PR, berbagai ujian dadakan dan lain sebagainya. Tolong, jangan tambah bebannya lagi.

Malahan sepulang sekolah mamanya menambah kesan mengerikan untuk Shilla. Benar-benar mamanya ini.

“Shill, tadi Alvin kesini. Dia nyari kamu, ngasih kamu bunga mawar putih kesukaan kamu. Mama senang, deh, sama Alvin. Anaknya asik, baik—”

“Ma, bisa tolong berhenti bangga-banggain Alvin, nggak?” tanya Shilla dingin. Sebelum mamanya sempat bertanya, Shilla lagi-lagi memotong. “Shilla jadian sama Cakka. Berhenti jodoh-jodohin Shilla sama Alvin karena Cakka is much better than him!” lanjut Shilla gusar. Dihentak-hentakan kakinya kesal sembari menaiki tangga.

Mamanya diam-diam tercengang sekaligus tersenyum. Shilla memang kudu dipancing-pancing dulu, ya?

**

Tiga minggu kemudian Shilla tidak tahu jika jarak yang membentang antara dirinya dengan Cakka telah mencapai titik terjauh. Shilla mulai merasa gusar. Jangan sampai kejadian tempo dulu waktu dirinya bersama Alvin tejadi lagi. Sumpah, Shilla belum dan tidak siap.

Walaupun sekarang sudah ada Gabriel yang menemaninya kala dirinya sedang galau memikirkan kemana si brengsek Cakka yang tak kunjung mengabarinya, tetap saja ia merasa gusar. Shilla benar-benar tidak rela jika ia sudah terlanjur sayang pada Cakka, lalu cowok itu meninggalkannya begitu saja?

Tidak. Tidak. Tidak. Sudah cukup ia dipermainkan oleh laki-laki!

Tidak mau dibawa kegundahan semakin dalam, Shilla memutuskan untuk pergi ke Taman Kota. Sejenak mendinginkan pikiran. Satu-satunya lingkungan sempit diantara lingkungan luas lainnya yang tidak terlalu berpolusi. Banyak pedagang kaki lima disana, Shilla tidak perlu takut kelaparan.

Shilla juga memutuskan untuk naik angkutan umum saja sambil membaca novel. Sudah lama tidak dilakoninya kebiasaan yang satu itu. Membaca novel di metromini. Semenjak ada Cakka—atau Alvin pada awalnya—dan kedatangan Gabriel kembali, jarang sekali Shilla naik metromini. Selalu saja ada yang mengantarnya kemana-mana. Termasuk Ify dan Sivia.

Gadis itu menyamankan diri di bawah pohon besar di dekat danau kecil—tanah yang sengaja dibuat menjorok sedikit ke dalam—di tengah taman. Tempat itu adalah tempat favorit Shilla. Selain karena suasananya yang begitu tenang, tempat itu merupakan tempat paling pewe diantara yang lainnya.

20 menit kemudian, konsentrasi Shilla pecah kala mendengar seseorang dibalik pohon menyanyikan lagu rap—yang lebih mirip orang kumur-kumur dibanding nge-rap dengan suara kencang. Shilla mencoba sebisanya untuk kembali pada rentetan kata-kata di depannya, tapi suara itu ternyata membuatnya risi.

Akhirnya Shilla balik badan, berusaha dengan sopan membujuk agar manusia kumur-kumur itu tenang sedikit.

“Mas, tolong— ELO!??!” Shilla membelalak lebar-lebar. Rasanya seperti suatu kesialan.

“Ah, elo ternyata. Kenapa sih, lo hobi banget ngerebut-rebut tempat gue?” tanya Rio kalem. Awalnya Rio memang mau duduk di dekat danau itu, tapi karena ada Shilla—yang dilihatnya sebagai cewek asing—bertengger di tempat persemayamannya, akhirnya ia hanya bisa mengalah.

“Itu tempat gue! Gue udah 3 tahun duduk disana!” tukas Shilla geram. Sebenarnya belum 3 tahun juga. Itu hanya kedok supaya Rio kalah adu bacot dengannya.

“Gila… lama banget lo duduk. Gimana hasilnya? Udah banyak yang ngirim sesajen?” tanya Rio masih kalem. Shilla menggeram pelan. Tapi akhirnya dia mengalah, biarkan saja cowok ini disini. Yang penting tidak mengganggu konsentrasinya.

“Tolong jangan berisik, ya.” Shilla kemudian fokus lagi pada bacaannya.

“Emang ada aturannya, ya? Emang ni taman kota punya lo?” Shilla mengabaikan pertanyaan sarkatis dari Rio. Tetap fokus pada apa yang dibaca. Dia benar-benar penasaran dengan buku ini, jadi harus konsentrasi juga bacanya.

Hening sejenak. Hingga Shilla kembali mendengar Rio bernyanyi lagu One Love dengan suara merdu. Mengingatkannya pada… ah, sial. Rio memang benar-benar suatu perwujudan dari dewa sial!

Tapi mau tidak mau Shilla ikut terhanyut dalam suara Rio. Dari awal cowok itu bernyanyi, hingga bagian akhirnya. Shilla merasa sesak. Dia rindu pada Cakka. Kemana sih, si brengsek itu pergi? Kenapa dia raib tak jelas begitu?

Lama Shilla menunduk, tanpa disadari Rio sudah duduk disebelahnya.

Page 214. Masih ada ketebalan sekitar 7 centi lagi sebelum elo selesai membaca. Looks like lo penasaran banget sama buku itu, kok nggak dibaca cepet-cepet?” pertanyaan Rio membuatnya lagi-lagi tersentak. Sejak kapan cecunguk itu ada disebelahnya?

“Komen aja lo!”

“Yang sopan dong, adik kecil.” Rio menyandarkan tubuhnya pada batang pohon yang sama dengan Shilla. Sementara gadis itu sudah komat-kamit tidak jelas, berharap Rio tidak tidur dan menumpangtindihkan kepalanya lagi pada bahu Shilla.

“Kak..kok elo tau lagu One Love?” tanya Shilla penasaran. Rio membuka matanya, menatap Shilla dengan pandangan sebal.

“Emang kenapa? Lo mau ngatain gue banci karena tau lagu-lagu Justin Bieber?!” hardik Rio tajam. Shilla jadi ciut. Tadinya dia memang mau bilang, kebanyakan laki-laki tidak suka Justin. Alasan klasik. Hanya karena cowok-cowok itu nggak mau dibilang banci.

“E-Enggak, kok..tapi emang biasanya cowok nggak suka Justin,” ucap Shilla takut-takut. Rio menegakkan tubuhnya, lalu mencondongkan diri ke arah Shilla.

“Lo tau arti kata; penikmat musik?” tanya Rio pelan. Shilla mengangguk cepat-cepat. “Nah, itu gue. Jadi, lagu siapapun yang seru, pasti gue dengerin.” Rio kembali menyandarkan tubuhnya pada batang pohon.

“Oh ya, Kak. Masalah tadi, yang…” Shilla sempat meneguk ludah. “Kak Zevana.” Shilla melirik takut-takut. Rio sedikit menyeringai.

“Yoi, Zevana. Hati-hati lo kena damprat sama anak donatur,” ucap Rio masih diiringi seringai. Shilla jadi heran, tapi takut juga.

“Kan gue nggak salah apa-apa, Kak.”

“Itu menurut lo aja. Kalo menurut dia, elo salah, ya salah. Mutlak. Nggak bisa dibantah,” jelas Rio santai.

“Kak Zeva pasti nggak tau gue,”

“Iyalah nggak akan tau lo,”

“Berarti gue nggak bakal kena damprat dong,” elak Shilla.

“Tergantung. Kalo lo berulah, dia bakal ngedamprat lo.”

“Berarti…”

“Iya. Buat persiapan, lo harus diajarin dulu tata-krama. Supaya pas lo berhadapan sama dia, lo udah bisa ngendaliin diri. Jadi dia nggak meledak di depan lo. Soalnya…” Shilla menggigit bibir bawahnya. “sekali lo dikejar-kejar Zevana, dan dicatat sebagai ‘most wanted’ –dalam arti lo ‘diburu’—maka, tamat riwayat lo. Lo dianggep udah mati,” lanjut Rio dramatis. Kesan Rio yang menambahkan sedikit bumbu-bumbu ala pemburu berdarah dingin membuat Shilla jadi panik.

Tapi, kalau dia tidak ada salah, untuk apa juga harus takut. Sekuat apa, sih, pengaruh Zevana di sekolah itu? Eh, tapi besar juga, sih. Lagipula, siapa yang mau masa-masa SMAnya menjadi masa terburuk sepanjang abad dengan dikucilkan teman sekolah?

“Terus tata-kramanya sama elo, gitu?” tanya Shilla heran. Sementara Rio menepuk-nepuk puncak kepalanya tanpa beban.

“Pinter.” Shilla tidak menyadari bahwa mukanya sudah semerah tomat sejak Rio menepuk-nepuk kepalanya tadi.

“Enteng banget, sih, tangan lo!” hardik Shilla kesal. Bukan apa-apa. Rio bukan siapa-siapanya (baiklah, Rio adalah dewa sialnya), dan Rio tidak bisa seenaknya menempatkan sesuatu yang tidak pada posisinya. Haram. Tabu.

Whatever,”

Selanjutnya obrolan diisi dengan percakapan ringan mengenai musik—Shilla juga pecinta musik!—, film, sinteron yang tidak layak tonton, mencari-cari kesalahan dalam sebuah film, atau berbagai macam obrolan lainnya yang tidak penting.

Lambat laun Rio menjadi sosok yang menyenangkan. Enak diajak bicara dan tidak lagi seketus dan sejutek tadi. Walau kadang Rio masih menanggapinya dengan dingin. Tapi Shilla enjoy-enjoy saja. Toh, kadang Rio juga yang bertanya.

Setelah dilihatnya jarum jam telah menunjukkan pukul 4 sore, Shilla beranjak pulang. Biarlah dia sedikit berbincang dengan dewa sialnya, sebelum akhirnya ia dieksekusi tanpa ampun oleh cowok itu. Sekilas Rio mirip Gabriel. Entahlah, mungkin hanya perasaannya saja.

**

Malamnya Shilla kembali termenung di kamarnya. Cakka raib tak jelas, Gabriel dekat dengannya dan hampir setiap hari memikirkan bagaimana cara menemukan adiknya, Alvin mulai datang lagi ke kehidupannya dan lagi, Rio. Dewa sial itu kini mulai terus mengintilinya.

Shilla membuka-buka ponselnya malas. Tapi tanpa disangka-sangka Cakka mengirim pesan untuknya. Tumben, nggak lewat bbm?

Shill, liat kluar jndela kmr km deh

Shilla langsung menuju balok kamarnya. Ternyata Cakka ada disana, sedang melambaikan tangan padanya. Cakka juga membawa seikat mawar putih, bunga kesukaannya. Dan lagi, cowok itu kembali menyanyikan lagu One Love. Tuntas sudah.

Tapi Shilla tidak mau begitu saja memaafkan Cakka yang sudah beberapa hari ini tidak sama sekali mengabarinya. Betul-betul cowok tolol. Membuat Shilla ketar-ketir dan akhirnya jadi negative thinking.

Dan gadis itu juga tidak akan memberinya sapaan hangat lagi. Ia akan memukuli Cakka sekuat yang ia bisa. Dasar idiot. Nggak tahu Shilla kangen setengah mati padanya?!

Catch me if you can!” teriak Cakka dari bawah. Shilla jadi geram. Mau main-main rupanya!

Shilla kemudian turun dengan langkah panjang dan cepat. Ternyata mamanya juga sudah senyam-senyum sendiri melihat Shilla bertingkah seperti itu. Sial, sudah berkomplot dengan Cakka rupanya.

Gadis itu kemudian membuka gerbang rumahnya, sementara Cakka menyodorkan mawar putih yang tadi digenggamnya. Beberapa detik berlalu Shilla hampir saja luluh dengan bunga itu dan memeluk Cakka. Tapi ia kembali pada posisinya semula. Ia menyabet bunga tersebut kasar, kemudian ia letakkan di atas mobil Cakka. Tangannya langsung memukuli Cakka habis-habisan.

Sementara Cakka hanya meringis-ringis sambil sesekali menahan tawa, Shilla langsung berkaca-kaca. Dia betulan kangen dengan cowok di depannya ini. Cakka mengerti, ia langsung memeluk Shilla kala gadis itu berhenti memukulinya.

“Maaf ya…”

“Lo kemana aja, brengsek!?” maki Shilla dalam pelukan Cakka. Cowok itu hanya tertawa.

“Ada urusan mendadak. Latihan basket sekarang udah jalan lagi. Sparingnya makin banyak dan aku harus main terus untuk dapetin sponsor,” ucap Cakka menjelaskan. Mau pura-pura tuli dan menjadi cewek egois, nggak enak. Cakka sepertinya tidak bohong. Cowok itu kan memang sedang cidera dan kemarin dalam masa pemulihan. “Kamu mau maafin, kan?”

Shilla diam tak menjawab. Cakka lalu menghela napas. Ia mengusap-usap lembut rambut Shilla. “Yaudah, sekarang kita jalan aja, yuk.” Shilla melepaskan pelukannya, lalu menatap Cakka setengah kesal. Enak banget main ajak jalan aja!

“Ayolah..you know I miss you. I wanna spend many times with you,” lanjut Cakka yang akhirnya membuat Shilla luluh.

Tanpa berganti baju lagi—karena Shilla belum pakai piyama dan Cakka juga bilang cuma ke taman—Shilla masuk ke dalam mobil. Lebih terkejutnya lagi saat dilihat dari atas jok, terdapat sebuah akuarium kecil dengan kura-kura di dalamnya. Shilla sampai menahan napas saking kagetnya.

Is this for me?”

Who else?” Shilla masuk lalu memangku akuarium tersebut.

Ada dua kura-kura, kelihatannya masih berumur 2 bulan. Shilla suka kura-kura. Dulu ia pernah memeliharanya sekali, tapi sudah menghilang entah kemana. Habis waktu itu Shilla meletakkannya serampangan di taman belakang rumahnya. Kura-kura bukanlah anjing yang saat dipanggil namanya langsung menyahut dan menghampiri. Jadi Shilla merelakan kepergian kura-kuranya.

Setelahnya Shilla ingin membeli lagi, tapi ditahan mamanya karena membeli kura-kura tidak berguna. Lebih baik memelihara kucing atau anjing. Bisa berguna untuk memakan tikus yang berkeliaran (kucing), atau menjaga rumah (anjing). Tentu saja itu ditolak mentah-mentah oleh Shilla. Mengurus hewan manja sangatlah susah dan tidak ada hasilnya. Kucing peliharaan adalah hewan super manja yang hanya mau memakan makanan kucing, bukan mendapatkannya sendiri dengan memburu tikus dan lainnya.

Sementara anjing? Ew no. Pokoknya alasannya banyak dan tidak akan habis hingga perjalanan ini berakhir.

“Kita disini aja, ya. Jagung bakar disini enak kok,” ucap Cakka kalem. Ia memarkirkan mobilnya serampangan, karena jalanan sangat sepi dan tempat ini memang khusus untuk wisata malam. Jalanan dipakai untuk tempat parkir.

Shilla kemudian berusaha mengingat-ingat tempat ini. Sepertinya ia pernah kenal. Rumput ilalang yang menjulang tinggi itu pernah ia lihat. Jalanan ini juga. Bedanya hanya beberapa pedagang kaki lima yang tengah menjajakkan barang dagangannya, serta tempat ini kelihatan ramai dengan muda-mudi bersama pasangannya.

“Duduk disitu aja, yuk.” Cakka menggandeng Shilla menuju trotoar dekat taman tersebut. Suasana memang agak remang-remang, benar-benar cocok untuk orang pacaran.

Hingga Cakka membawakan jagung bakar untuknya, Shilla masih berpikir keras. Dia pernah kesini. Dia hanya tidak ingat—atau karena waktu dia kesini dia sedang kacau.

Tapi ditepisnya pikiran itu dan memusatkan pikirannya pada obrolan bersama Cakka. Untuk sekali ini, dia tidak ingin lagi berpikir.

***

Give me your comment ea guys ;* follow me @Lysaafeb or add me on facebook ; Lysa Keyness Hutcherson . Thankiesss :3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS