Maaf lama banget lanjutnya. soalnya kan notebook aku rusak (bukan rahasia umum lagi) wk yo aku juga mau hiatus karena ada project dan aku harus benahin semua system di notebook aku. ENJOY!
***
Tujuh (End of Flashback) This Time.
Matahari
pagi mulai menyingsing. Menyisakan titik-titik embun di dahan, bekas hujan
semalam. Kini kebahagiaan Shilla benar-benar beruntun. Cakka yang pengertian
padanya, kembalinya Gabriel. Semuanya berjalan seperti seharusnya.
Tidak ada
lagi Alvin. Atau kenangan yang akan membuatnya terhempas kembali ke dalam
lubang buaya.
Sekolah
berjalan seperti biasanya. Bedanya, sekarang Shilla dilanda kebahagiaan. Jadi
tidak ada lagi namanya keluh kesah soal bagaimana cara seorang guru mengajar,
tentang banyaknya tugas yang guru tersebut berikan, atau ulangan yang begitu
susahnya. Shilla menjalaninya dengan riang dan ikhlas.
Melihat itu,
Ify dan Sivia juga ikut bahagia. Tuhan memang selalu punya rencana untuk setiap
umatnya, kan? Tanpa mereka sadari bahwa kebahagiaan juga perlahan-lahan bisa
memudar.
Sepulang
sekolah, masih tetap biasa saja. Cakka, seperti biasa datang menjemput. Masih
sama. Masih dengan mobil besarnya yang berwarna hitam kelam. Cakka juga masih
perhatian seperti dulu. Tidak ada yang berubah.
Dan Shilla
berharap, tidak akan ada lagi yang berubah.
**
Pagi itu
Shilla sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari berpotong-potong
pakaian, sepatu, sendal, dan lain sebagainya. Ify dan Sivia sudah sejak dari
semalam menginap di rumahnya. Takut ngerepotin Cakka, katanya.
Hari jumat
kemarin, Cakka mendadak mengajak mereka langsung ke Bandung. Seperti yang
dijanjikannya pada ketiga cewek ini. Dengan semangat Ify dan Sivia merencakan
segala sesuatunya. Sementara Shilla sampai sekarang belum percaya kalau mereka
sekarang akan berangkat ke Bandung.
Masalah izin
dari mamanya Shilla sih, tidak usah diambil pusing. Ify dan Sivia sampai
memohon-mohon begitu, mamanya Shilla mana tega?
Tepat pukul
8 tepat, Cakka telah sampai di depan rumah Shilla. Berpamitan sebentar pada
mama Shilla, lalu membawakan tas milik Shilla, Ify dan Sivia. Gentle banget,
kan?
Meskipun
dengan tampang semangat 45nya, Ify dan Sivia ternyata sudah tepar duluan di
mobil. Padahal baru setengah jam perjalanan. Masih beberapa jam perjalanan
lagi. Memang sih, dari semalam mereka terus-terusan mengobrol sambil
menghabiskan stok makanan kecil yang ada di kamar Shilla.
“Kka..harusnya
nggak perlu repot-repot, lagi,” kata Shilla membuka pembicaraan. Pasalnya
daritadi Cakka hanya menyenandungkan lirik-lirik dari lagu yang ia dengarkan
melalui tape.
“Repot
apanya?” tanya Cakka balik. Lalu kemudian kembali menyenandungkan lagu All I
Wanted-nya Paramore.
“Ya… elo—eh
kamu tuh baik banget, tau,”
“Emang nggak
boleh ya?”
“Ya bukan
gitu. Ah, yaudah deh.” Shilla mengakhiri percakapannya. Sementara Cakka dengan
santai menyetir sambil terus menyanyikan lagu Paramore.
Matahari
kian tinggi, Cakka akhirnya mengajak ketiga cewek-cewek itu untuk makan dulu.
Setelah itu,
Shilla langsung terlelap beberapa menit di perjalanan. Ify dan Sivia juga.
Bangun-bangun, pemandangan lain selain jalan tol memanjakan penglihatan ketiga
cewek itu. Sementara Cakka mungkin sudah bosan dengan hijaunya jalanan disini.
Tanpa sadar,
Shilla bersorak riang. Ia lalu membuka kaca mobil disampingnya. Berusaha untuk
menghirup udara segar yang jarang ia dapat sebanyak-banyaknya. Dengan rakus
Shilla menghebuskan dan menghirup udara disana dengan cepat. Benar-benar tidak
ada polusi!
Cakka
kemudian mengacak-acak rambut Shilla geli. Cowok itu terkekeh pelan melihat
kelakuan pacarnya.
“Mau lo
napas sampe sehari ke depan juga nggak akan habis kok,” ucap Cakka menahan
geli. Shilla langsung duduk seperti biasa, malu.
Beberapa
menit setelahnya, pemandangan langsung berubah. Setelah mobil besar Cakka
melewati gerbang tinggi yang menjulang, perkebunan strawberry yang luas
langsung terpampang jelas dihadapan mereka. Disebelah perkebunan itu, ada
sebuah villa. Dan disitulah Cakka memberhentikan mobilnya.
Shilla
langsung turun. Tanpa menunggu Cakka. Ify dan Sivia mengikuti.
Ini
benar-benar indah. Strawberry itu sekarang sedang berbuah. Banyak. Lebat.
Ranum. Besar. Ah, Shilla jadi ngiler!!
Disekitar
perkebunan tersebut, ada beberapa pekerja yang sedang mengambil strawberry yang
sudah matang. Ada juga yang sudah membawa keranjang besar penuh dengan
strawberry ke sebuah gudang. Tak lama Cakka turun.
“Ini punya
lo, Kka?” tanya Sivia masih terpukau. Bukan hanya perkebunannya yang membuat
indah, tapi juga background gunung seperti Dante’s Peak—yang belum pernah
meletus—yang semakin memperindah suasana. Beberapa pohon cemara yang juga
tumbuh diluar pagar pembatas kebun menjulang tinggi membuatnya semakin mirip
dengan Dante’s Peak.
“Yuk,
masuk,” ucap Cakka. Hanya kata itu, sudah menjawab pertanyaan Sivia tadi.
Ketiganya
agak rela dan tidak rela meninggalkan view yang bagus untuk foto-foto itu.
Sebab Cakka sudah memberikan pandangan
tenang-aja-kebunnya-nggak-akan-hilang-dalam-sekejap-kok.
Villa itu
benar-benar luas hingga Shilla mengira itu bukan villa. Tapi sebuah hotel
pribadi. Semacam resort dengan pemandangan terbaik, gitu deh. Cakka juga
bilang, banyak yang mau menyewa villanya pada saat-saat panen stroberi begini. Tapi
Cakka menolak semuanya, bahkan dengan tawaran paling tinggi sekalipun, khusus
untuk ketiganya.
Shilla jadi
makin kagum lagi ketika mendengar penuturan Cakka. Pastilah banyak yang
memutuskan untuk berlibur ke sini. Udaranya sejuk, pemandangannya sangat indah,
villanya bagus dan bonus panen stroberi. Kata Cakka, panen stroberi yang
pertama lebih bagus dan banyak. Jadi lebih enak memetiknya karena semua
stroberi sudah ranum dan besar-besar pula.
Shilla, Ify
dan Sivia sengaja menempatkan diri mereka dalam satu kamar supaya tidak
merepotkan. Lagipula, mereka suka bergosip. Yah..namanya juga cewek.
Dengan
secepat kilat ketiganya membongkar koper, berganti baju dengan baju santai dan
langsung berlari keluar villa. Tanpa memikirkan Cakka. Biar saja, pasti cowok
itu juga sudah bosan dengan situasi disini. Berbeda dengan ketiga cewek—yang
keliatan banget udiknya—yang sekarang sedang menjinjing keranjang kecil dan
satu buah gunting berukuran sedang pada masing-masing dari mereka.
Karena
perkebunan ini sungguh luas, ketiganya berpencar. Mau ngambil yang mana juga
nggak apa-apa, kata Cakka. Lagipula stroberi yang dijual hanya setengah dari
kebun mahaluas ini. Sisanya dibawa ke Jakarta untuk cemilan, dibagikan kepada
tetangga atau kerabat dekat.
Kalau
dipikir-pikir, setengah dari kebun ini pastinya banyak sekali. Mau mereka petik
hingga kaki tidak bisa lagi berjalan, atau tangan yang terasa lemas lantaran
keranjang yang dibawa terlalu berat pun sepertinya tidak akan habis.
Shilla
hampir saja menjatuhkan keranjangnya kala melihat Cakka dibelakangnya. Cowok
itu kemudian membawakan keranjang milik Shilla. Mengerti bahwa semakin banyak
stroberi yang Shilla petik—dengan rakus—semakin berat juga bobotnya. Sementara
Shilla masih asyik-asyik saja dengan kegiatan memetik buah merah berbintik itu.
Kapan lagi dapat kesempatan emas begini kalau dia tidak pacaran dengan Cakka?
“Kamu metik
banyak banget, sih. Yakin bakal dimakan semua?” tanya Cakka dengan nada jenaka.
Shilla balik badan, berhadapan sama Cakka.
“Jadi aku
nggak boleh metik banyak-banyak, nih?” gantian Shilla yang bertanya dengan nada
pura-pura sinis. Cakka menjawil salah satu pipi Shilla sambil tertawa renyah.
“Nggak gitu.
I bet you don’t know how to pick a sweet strawberries. Karena kamu metiknya
asal aja,” ucap Cakka kemudian meraih gunting dari genggaman Shilla.
“Loh?
Bukannya semuanya udah matang?”
“Tapi bukan
berarti semuanya manis. Some of strawberries, apalagi banyak begini, pasti
luput dari pandangan perawatan yang baik. That’s why ada beberapa stroberi yang
nggak begitu manis atau malah asem banget,” jawab Cakka kalem. Ia lalu
meletakkan keranjang di tanah, lalu berjongkok sembari meneliti
stroberi-stroberi yang ada dihadapannya.
Dengan
teliti Cakka memperhatikan buah itu satu-satu. Sebenarnya Shilla jadi gemas
sendiri. Pasalnya buah di depannya begitu besar dan merah, membuatnya jadi
ingin memakannya semua! Dia juga belum sepenuhnya percaya pada apa yang
dikatakan Cakka soal stroberi yang luput dari perawatan baik. Menurutnya semua
manis-manis saja, kalau dilihat dari warnanya yang merah dan ukurannya yang
besar.
Cakka
selesai dengan pekerjaannya. Ia memetik 3 buah stroberi. Contoh untuk Shilla.
“Nah, coba
kamu makan yang ini.” Cakka menyodorkan salah satu dari ketiga buah tersebut.
Shilla menerimanya dengan pandangan heran. Tapi Shilla tetap memakannya.
“Gimana?”
“Manis.
Enak, kok.” Cakka menyodorkan lagi stroberi yang kedua. Sekilas warna dan
ukurannya sama saja seperti yang pertama. Shilla mengambilnya dan langsung
memakannya juga. “How?”
“Err—agak
asem sih. Tapi seger. Nggak terlalu manis dan nggak asem juga,” jawab Shilla.
Cakka menyodorkan lagi stroberi yang terakhir. Shilla jadi was-was, sementara
Cakka hanya menaikkan alisnya.
“How?”
“Rrrr—baaaddd…”
“It’s not
‘bad’ but just ‘not good’. Buat sebagian orang, stroberi yang asem itu
menyegarkan. Kalo dibuat jus lebih seger dan rasanya lebih enak daripada yang
manis.” Shilla membenarkan perkataan Cakka. Satu hal yang cowok itu ingin
tunjukkan pada Shilla; membuktikan pada cewek itu kalau memilih stroberi, tuh,
harus jelas. Biar nggak sayang karena dibuang-buang.
Lagi-lagi
Shilla berpikir, kalau Cakka hanya memberitahunya, lalu bagaimana dengan Ify
dan Sivia?
“Ayo cari
lagi! Sampe kamu mabok juga bakal aku temenin, kok,” kata Cakka sambil kembali
menjinjing keranjang.
**
Malam begitu
gelap. Mungkin karena villa milik Cakka ini merupakan villa yang jauh dari
kepadatan penduduk. Jauh juga dari terang-benderangnya lampu-lampu jalan dan
lampu dari pemukiman rumah warga.
Tapi dengan
begitu Shilla bisa melihat dengan jelas bintang-bintang yang menggantung di
langit. Berkedip-kedip genit dengan alurnya yang sama.
Kebun
stroberi itu sepi, tidak begitu terlihat karena gelapnya penerangan. Hanya ada
satu atau dua lampu disetiap beberapa meter. Terdengar suara jangkrik yang
begitu banyak, kadang suara kodok ikut juga menimpali. Shilla jadi rindu
kampung halaman.
Di Jakarta
mana dapat dia mendengar senandung jangkrik dan kodok? Yang ada hanya suara
deru kendaraan bermotor yang kadang—atau malah sering memekakkan telinga dan
bikin naik darah.
“Sayang
banget teropong bintang di villa ini dibawa papaku ke Jakarta,” ucap Cakka dari
belakang. Cowok ini… suka sekali membuat Shilla tersentak kaget. Eh, tadi apa
katanya? Teropong bintang?!
“Seru banget
ya, jadi kamu. Dari dulu aku pengin banget punya teropong bintang. Supaya bisa
ngeliat bintang lebih dekat dari jarak yang seharusnya,” sahut Shilla sendu.
Cakka meletakkan tangannya di puncak kepala Shilla, menepuknya pelan
berkali-kali.
“Sedekat
apapun bintang dari bumi—kecuali matahari, tetap aja cuma titik kecil dari
sini. Nggak ada yang istimewa. Kecuali kamu ke Bosscha, disana lebih real.
Mirip planetarium banget. Seru!” Shilla mendelik, seakan berkata
kamu-mau-manas-manasin-aku?! “Lagipula di Jakarta nggak akan banyak bintang.
Kecuali kalo lagi Earth Hour,” ucap Cakka tanpa mengindahkan tatapan mendelik
dari Shilla.
Tapi Shilla
membenarkan kata-kata Cakka. Benar banget. Jakarta yang begitu gemerlap, dengan
bangunan tinggi dimana-mana—yang dipastikan lampunya juga banyak—pasti akan
menutupi cahaya bintang yang sangat kecil dan hanya berupa titik dari kejauhan.
Bulan saja kadang tidak terlihat. Apalagi bintang?
Shilla kagum
juga dengan pengetahuan Cakka yang seabrek—mulai dari cara memilih buah
stroberi yang manis, pengetahuannya soal astronomy, dan banyak lagi—. Pantas
saja banyak yang bilang Cakka tuh kepribadiannya komplit banget, pacarable
banget juga. Selain dia keren, ganteng dan tajir, Cakka juga nggak berotak
kosong seperti cowok-cowok tajir dan keren lainnya.
Perlahan-lahan
Shilla mengenyahkan segala pikiran ganjalnya tentang Cakka. Cowok ini
benar-benar pure. Murni. Seru dan nyambung karena pengetahuannya yang luas.
Perhatian, namun dewasa.
Sivia dan
Ify bergabung beberapa menit kemudian. Terlihat dari rambut keduanya yang
basah, Shilla langsung tahu bahwa mereka baru saja mandi. Ah, indahnya dunia.
Disaat pacarmu yang almost perfect dan kedua sahabatmu sama akurnya.
Paginya
Shilla terpukau dengan sunrise yang disuguhkan oleh Kota ini. Dengan udara
sejuk, pemandangan yang indah, langit tanpa polusi, Shilla benar-benar jatuh
cinta dengan daerah ini! Belum lagi Cakka yang memang sengaja membangunkan
Shilla dan mengajaknya ke atap villa bertingkat ini. Dari atas Shilla bisa
melihat sunrise dari balik gunung. Ah, pemandangan langka yang tidak akan bisa
didapat di Jakarta!
“Sayang
banget kita pulang hari ini. Kalo pulang besok pasti kamu bisa ngeliat sunset
dulu. Kemarin aku mau nunjukkin ke kamu, tapi kayaknya kamu capek banget dan
lagi semangat-semangatnya makan semua persediaan stroberi itu,” ujar Cakka
sengaja menggoda Shilla. Sementara yang digoda sudah memerah.
Shilla
memang suka stroberi dan cokelat (apalagi!). Jadi menurutnya wajar-wajar saja
dirinya rakus begitu kalau sudah menemukan stroberi. Di Jakarta nggak ada
stroberi sebesar dan sebagus ini. Ada juga stroberi palsu seharga lima ribuan dengan
gula halus tambahan. Ew. Nggak banget.
Masalah
sunset, Shilla juga tidak sempat memikirkan pemandangan krusial itu. Shilla
begitu menyukai sunset karena semburat jingganya begitu menyinari dunia.
Menciptakan momen manis dengan sejuta keindahan yang terpatri. Belum lagi,
momen itu seperti dirinya mengantarkan matahari kepada belahan dunia yang lain.
Membagi momen sunrise yang sekarang sedang dinikmatinya pada dunia bagian
barat.
“Nggak
apa-apa. Di Jakarta juga ada sunset, kok,” ujar Shilla tertawa. Berusaha
menghibur diri sendiri. Padahal di dalam hatinya ia kecewa berat.
“Yah… kalo
di Jakarta sih, kayak mengantarkan matahari kepada dunia Harry Potter pas
Voldemort lagi nyerang Hogwarts pake tongkat elder.” Sial, dia benar banget,
maki Shilla dalam hati. Jakarta yang penuh dengan polusi udara membuat sunset
seperti yang dijabarkan oleh Cakka.
“Nggak
apa-apa. Bintang yang mirip hujan meteor semalam juga udah cukup, kok,” ucap
Shilla ngaco. Jelas-jelas hujan meteor berbeda dengan bintang yang begitu
banyak jumlahnya. Tapi karena Shilla belum pernah lihat hujan meteor, jadi biar
saja dia beranggapan bahwa bintang yang banyak jumlahnya itu adalah hujan
meteor.
“Sori, ya.
Aku nggak bisa kalo kita pulang malem. Selain jalanan sepi—biasanya banyak
copetnya—, kasian juga mama kamu nunggunya kelamaan.” Benar, Cakka memang minta
izin untuk pulang hari Minggu. Dan sore hari harus sudah sampai rumah.
“Iya nggak
apa-apa. Makasih, ya. Kamu baik banget,” ujar Shilla lalu mengusap-usap lembut
tangan kiri Cakka.
**
Bintang yang
biasa Shilla pandangi tidak lagi ada disana. Tidak lagi memancarkan cahayanya
seperti biasa. Tidak lagi bisa membuat Shilla mengingat memori-memori lamanya
bersama bintang yang lalu. Tidak bisa lagi.
Shilla
teramat sadar bahwa Cakka pelan-pelan telah membawa dirinya pergi dari memoar
masa lalu. Meninggalkan sesuatu yang seharusnya dari dulu sudah ia tinggalkan.
Menariknya dari masa lalu yang menyakitkan. Seharusnya dari dulu saja Shilla
bertemu dengan Cakka. Iya kan?
Kesungguhan
Cakka benar adanya. Ify dan Sivia—dengan insting yang kuat—sudah berkata
demikian padanya. Shilla mempercayai kedua sahabatnya tersebut. Walau dia sudah
merasakan sendiri kesungguhan Cakka, bonus kebaikannya. Lambat laun perasaan
ragunya hilang tanpa bekas. Akan diperjuangkannya hubungan ini.
Shilla
perlahan mendesah. Sepulang dari jalan-jalannya bersama Cakka dan kedua
sohibnya tadi, Shilla akhirnya tersadar akan sesuatu. Helaan napasnya yang
berat menandakan ia sudah merelakan Alvin. Digantikan oleh sosok yang selama
lebih dari sebulan ini bersabar dan mampu membuatnya nyaman lebih dari yang
Shilla minta.
Shilla
tersadar, Dia bukan lagi bintang yang sama. Telah ada bintang lain yang
akhirnya berganti posisi dengannya. Bintang yang lalu telah pergi. Bintang itu
meninggalkannya. Keduanya—Shilla dan Alvin—berada dalam jarak pandang yang
berbeda. Keduanya berada dalam dua galaksi yang berbeda, dengan jarak ratusan
juta cahaya jauhnya. Keduanya terpisah begitu jauh karena kehendak alam dan
Mahakuasa secara tiba-tiba dan masuk akal. Masuk akal pula jika keduanya tidak
lagi ditemukan di satu galaksi yang sama.
Semuanya
berjalan sesuai dengan waktu dan garis edar yang telah ditentukan. Tidak ada
lagi jalan untuk kembali. Bintang itu telah pergi menjauh tanpa Shilla sadari.
Mungkin saat itu delusinya berkehendak tanpa sepengetahuannya. Menyeruak masuk
tanpa ampun karena kerinduan yang mendalam. Hingga tak sadar akhirnya bintang
itu telah masuk ke dalam jarak antar galaksi yang berbeda. Kalaupun bintang itu
kembali, mungkin dirinya sudah mati. Disebabkan karena menunggu hal yang tak
pasti.
Bintang lain
itu mengisi langit kosong yang kerap dipandanginya setiap malam. Bintang yang
akan silih berganti sampai akhirnya ia sudah lelah mencari, menantikan dan
bersabar akan gejolak batin yang selalu menimpanya tanpa mencari pengampunan.
Suatu saat akan ada satu bintang yang akan tetap disana. Menunggunya walau
jarak memisahkan. Selamanya.
**
Shilla masih
merasakan pegal-pegal akibat perjalanan kemarin. Tapi paginya sudah harus
sekolah. Kalaupun Shilla minta izin pada mamanya, pasti tidak akan diizinkan.
Yang ada Shilla bakal dimarahi. Lagipula, banyak stok stroberi di kulkas.
Lumayan untuk penghilang bad mood.
Tanpa
disangka-sangka Gabriel muncul tanpa dikehendaki di depan rumahnya. Shilla
hafal betul dengan mobil Everest hitam milik Gabriel yang sedari dulu memang
menjadi mobil kesayangan cowok itu. Ternyata cowok itu masih setia pada yang
lama.
“Ngapain lo,
Kak?”
“Nganter lo
ke sekolah,” jawab Gabriel enteng. Shilla langsung masuk ke dalam mobil Everest
milik Gabriel itu.
“Jangan
bilang—”
“Sekarang
gue tinggal disini, kok. Di daerah Kemang.” Shilla menghela napas lega. Tapi
kemudian ia menyernyit.
“Kemang kan
lumayan jauh dari sini. Niat banget mau jemput gue,” ujar Shilla sambil
terkekeh. Gabriel hanya mengedikkan bahu.
Sampai di
sekolah Shilla langsung turun, tanpa sepengetahuannya Gabriel juga ikut turun.
Heran. Mau apa, sih?
“Ngapain
lagi?” tanya Shilla heran. Gabriel hendak mengucapkan kata-kata, tapi urung
karena Sivia dan Ify langsung beringsut mengimpit Shilla di kanan-kirinya.
“Halo,
Shilla… thanks a lot. Strawberry yang superrrr lezat!!!” tukas Ify sumringah.
Shilla menyernyit. Harusnya kan berterima kasih-nya pada Cakka, atau para
petani di kebunnya. Kenapa malah ke Shilla?
“Siapa ini,
Shill?” ah, Shilla lupa sahabatnya sangat kepingin banget tahu semua
masalahnya. Termasuk orang-orang yang dekat dengannya.
“Oh ya, ini
Gabriel. Dia kakak-kakakan gue. Gab, ini Sivia sama Ify. Sahabat gue sejak
SMP,” kata Shilla memperkenalkan ketiganya. Gabriel terlihat santai sementara
Ify dan Sivia agak canggung. Dalam pikiran keduanya, ternyata selain Cakka
masih ada ciptaan Tuhan yang sebegini indahnya.
“Gab, kok
kami nggak pernah liat elo, ya?”
“Eh, anak
kecil, yang sopan ngomong sama kakak gue!” tukas Shilla tajam. Merasa malu
dengan tindak kekurang-ajaran kedua sohibnya.
“Santai,
Shill. Ya, gue tinggal di Inggris. Jadi belum sempat ketemu sama kalian,” jawab
Gabriel kalem. Shilla melirik Sivia dan Ify, keduanya malah bengong. Matanya
berbinar-binar memantulkan sinar mentari pagi yang belum terlalu tinggi itu.
Dasar, nggak dapet Cakka, kakak-kakakannya diembat juga!
“Perasaan
matahari belom naik banget kok udah silau, ya! Mana ada dua lagi!” kata Shilla
pura-pura sinis sembari mendelik pada kedua sahabat noraknya. Masa ketemu
Gabriel aja sampe segitunya, batin Shilla malas.
“Shilla…”
Gabriel menengahi. Maklum dengan kelakuan tiga murid kelas 10 yang masih
kelihatan banget bocahnya.
“Lain kalo
lo nggak usah nganter gue deh, Gab. Abisan, temen-temen gue pada norak, nih.
Kayak nggak pernah liat cowok cakep aja,” ujar Shilla ketus. Malu banget.
Benar-benar keduanya nggak bisa sedikit saja jaim pada cowok cakep.
“Haha,
yaudah gue balik dulu ya, Girls. Take care,” kata Gabriel kemudian melangkah
masuk ke mobilnya. Ketiganya melambaikan tangan pada Gabriel sebelum mobil
Everest cowok itu meninggalkan parkiran sekolah.
Shilla tahu
sebentar lagi Ify atau Sivia akan menyerbunya dengan berbagai macam pertanyaan.
Mulai dari siapa Gabriel, kemana dia selama ini, atau kenapa pemuda itu begitu
tampan. Sampai pertanyaan; Siapa sih pemahat manusia super ganteng itu? Ah…
terlalu melankolis. Ify dan Sivia hanya mengapitnya di kanan-kiri sambil
sesekali melihat selebaran di tembok-tembok koridor sekolah, kok.
Ketika
melewati mading sekolah, Shilla mendadak terhenti. Ia jadi ingat perkataan
kakak kelas yang dulu berada di UKS itu. Siapa namanya? Ma-Martin? Ma-Mati?
Ma-Marvel? Ah, tau deh. Shilla menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, lalu
melangkah mendekati mading. Diikuti kedua sohibnya dengan tatapan heran.
Dilihatnya
papan pengurus OSIS yang terpajang besar-besaran di dalam kotak kaca yang
tertempel di dinding tersebut. Mentang-mentang organisasi elite, terus buat
daftar pengurusnya juga harus menutupi hampir seluruh tempat yang tersisa, ya?
Shilla berdecak.
Mulai dari
Ketua, semakin ke bawah dan ke bawah. Cih, semuanya pakai foto. Dasar
organisasi pendongkrak ketenaran. Tidak heran banyak peminatnya. OSIS
benar-benar bisa menjadi batu loncatan menuju kepopuleran. Pantas saja dari
tahun ke tahun ada saja acara yang gagal dilaksanakan.
Shilla hapal
betul wajah cowok itu. Makanya dengan cepat ia menelaah foto-foto yang
terpajang disana. Nah, Shilla langsung menunjuk-nunjuk foto Rio—Mario Stevano
Aditya Haling—dengan ganas. Ternyata cowok itu merupakan seksi ketertiban dan
kedisiplinan sekolah. Sial, pantas saja sampai harus memeriksa keadan UKS.
Kalau mengingat-ingat alibi yang digunakannya dulu, memang itulah tugas Rio.
“NAH! Ini
dia si kakak kelas tengil itu!” jerit Shilla geram. Shilla jadi ingat lagi,
ketertiban apanya?! Tidur di bawah pohon saat jam istirahat sekolah?! Ya,
secara hukum sah-sah saja, sih. Toh waktu itu sedang istirahat juga. Tapi benar-benar
tidak patut dijadikan panutan para murid lainnya!
“Siapa yang
lo bilang kakak kelas tengil?” tanya Rio menyentak. Shilla otomatis menurunkan
tangannya, kemudian bersiap untuk kabur. Ify dan Sivia bahkan sudah ngibrit
duluan.
Sialan.
Dasar sahabat tidak bertanggungjawab!
“Maaf, Kak.
Udah bel nih. Dah!!” Shilla baru saja hendak lari, saat disadarinya Rio menarik
kerah kemejanya. Mau diteruskan berlari, nanti kemejanya malah robek. Bahaya.
Di lokernya hanya ada baju olahraga dan buku-buku paket.
“Nggak sopan
main kabur-kabur,” ujar Rio dingin. Shilla menahan kesal. Pelajaran pertama
adalah Pak Syam dan dia harus tepat waktu masuk ke kelas beliau karena guru itu
mengajar dengan disiplin.
“Kak, saya
telat kalo gini,”
“Makanya
jangan asal ceplos lo. Baru kelas 10 juga. Untung aja masih gue, coba kalo
Zevana sama antek-anteknya. Abis lo,” ujar Rio sembari berlalu.
Shilla
menyernyit. Apa sih maksudnya? Kok ke Zevana-Zevana segala? Shilla bukannya
tidak tahu siapa itu Zevana dan antek-anteknya. Siapa sih, di sekolah ini yang
tidak mengenal Zevana? Separuh yayasan sekolah Altavia merupakan milik ayahnya.
Makanya, hanya Zevana dan antek-anteknya yang bisa berkuasa disini.
Dibanding
dengan donatur-donatur lainnya, Zevana-lah yang memegang saham paling tinggi. Shilla
agak segan juga ketika tahu seperti apa seluk beluk SMA Altavia. Jabatan,
kekuasaan dan harta merupakan jaminan supaya bisa tenang berada di SMA ini.
Untunglah ayah Shilla juga menjadi donatur, walau tidak sampai bahkan
seperdelapannya.
Tapi kenapa harus
disangkutpautkan dengan Zevana, sih? Memang dirinya salah apa? Selama
bersekolah disini rasanya Shilla tidak menimbulkan kekacauan maha dahsyat yang
menggemborkan rakyat sekolah.
Shilla
menggelengkan kepalanya. Pagi-pagi sudah bikin pusing. Mungkin Rio cuma asal
ceplos aja. Lagipula mana kenal Zevana dengan Shilla?
Sepulang
sekolah Shilla disesaki banyak pikiran. Mulai dari tugas sekolah yang kadang
nggak kira-kira banyaknya, PR, berbagai ujian dadakan dan lain sebagainya.
Tolong, jangan tambah bebannya lagi.
Malahan
sepulang sekolah mamanya menambah kesan mengerikan untuk Shilla. Benar-benar
mamanya ini.
“Shill, tadi
Alvin kesini. Dia nyari kamu, ngasih kamu bunga mawar putih kesukaan kamu. Mama
senang, deh, sama Alvin. Anaknya asik, baik—”
“Ma, bisa
tolong berhenti bangga-banggain Alvin, nggak?” tanya Shilla dingin. Sebelum
mamanya sempat bertanya, Shilla lagi-lagi memotong. “Shilla jadian sama Cakka.
Berhenti jodoh-jodohin Shilla sama Alvin karena Cakka is much better than him!”
lanjut Shilla gusar. Dihentak-hentakan kakinya kesal sembari menaiki tangga.
Mamanya
diam-diam tercengang sekaligus tersenyum. Shilla memang kudu dipancing-pancing
dulu, ya?
**
Tiga minggu
kemudian Shilla tidak tahu jika jarak yang membentang antara dirinya dengan
Cakka telah mencapai titik terjauh. Shilla mulai merasa gusar. Jangan sampai
kejadian tempo dulu waktu dirinya bersama Alvin tejadi lagi. Sumpah, Shilla
belum dan tidak siap.
Walaupun
sekarang sudah ada Gabriel yang menemaninya kala dirinya sedang galau memikirkan
kemana si brengsek Cakka yang tak kunjung mengabarinya, tetap saja ia merasa
gusar. Shilla benar-benar tidak rela jika ia sudah terlanjur sayang pada Cakka,
lalu cowok itu meninggalkannya begitu saja?
Tidak.
Tidak. Tidak. Sudah cukup ia dipermainkan oleh laki-laki!
Tidak mau
dibawa kegundahan semakin dalam, Shilla memutuskan untuk pergi ke Taman Kota.
Sejenak mendinginkan pikiran. Satu-satunya lingkungan sempit diantara
lingkungan luas lainnya yang tidak terlalu berpolusi. Banyak pedagang kaki lima
disana, Shilla tidak perlu takut kelaparan.
Shilla juga
memutuskan untuk naik angkutan umum saja sambil membaca novel. Sudah lama tidak
dilakoninya kebiasaan yang satu itu. Membaca novel di metromini. Semenjak ada
Cakka—atau Alvin pada awalnya—dan kedatangan Gabriel kembali, jarang sekali
Shilla naik metromini. Selalu saja ada yang mengantarnya kemana-mana. Termasuk
Ify dan Sivia.
Gadis itu
menyamankan diri di bawah pohon besar di dekat danau kecil—tanah yang sengaja
dibuat menjorok sedikit ke dalam—di tengah taman. Tempat itu adalah tempat
favorit Shilla. Selain karena suasananya yang begitu tenang, tempat itu
merupakan tempat paling pewe diantara yang lainnya.
20 menit
kemudian, konsentrasi Shilla pecah kala mendengar seseorang dibalik pohon menyanyikan
lagu rap—yang lebih mirip orang kumur-kumur dibanding nge-rap dengan suara
kencang. Shilla mencoba sebisanya untuk kembali pada rentetan kata-kata di
depannya, tapi suara itu ternyata membuatnya risi.
Akhirnya
Shilla balik badan, berusaha dengan sopan membujuk agar manusia kumur-kumur itu
tenang sedikit.
“Mas,
tolong— ELO!??!” Shilla membelalak lebar-lebar. Rasanya seperti suatu kesialan.
“Ah, elo
ternyata. Kenapa sih, lo hobi banget ngerebut-rebut tempat gue?” tanya Rio
kalem. Awalnya Rio memang mau duduk di dekat danau itu, tapi karena ada
Shilla—yang dilihatnya sebagai cewek asing—bertengger di tempat
persemayamannya, akhirnya ia hanya bisa mengalah.
“Itu tempat
gue! Gue udah 3 tahun duduk disana!” tukas Shilla geram. Sebenarnya belum 3
tahun juga. Itu hanya kedok supaya Rio kalah adu bacot dengannya.
“Gila… lama
banget lo duduk. Gimana hasilnya? Udah banyak yang ngirim sesajen?” tanya Rio
masih kalem. Shilla menggeram pelan. Tapi akhirnya dia mengalah, biarkan saja
cowok ini disini. Yang penting tidak mengganggu konsentrasinya.
“Tolong
jangan berisik, ya.” Shilla kemudian fokus lagi pada bacaannya.
“Emang ada
aturannya, ya? Emang ni taman kota punya lo?” Shilla mengabaikan pertanyaan
sarkatis dari Rio. Tetap fokus pada apa yang dibaca. Dia benar-benar penasaran
dengan buku ini, jadi harus konsentrasi juga bacanya.
Hening
sejenak. Hingga Shilla kembali mendengar Rio bernyanyi lagu One Love dengan
suara merdu. Mengingatkannya pada… ah, sial. Rio memang benar-benar suatu
perwujudan dari dewa sial!
Tapi mau
tidak mau Shilla ikut terhanyut dalam suara Rio. Dari awal cowok itu bernyanyi,
hingga bagian akhirnya. Shilla merasa sesak. Dia rindu pada Cakka. Kemana sih,
si brengsek itu pergi? Kenapa dia raib tak jelas begitu?
Lama Shilla
menunduk, tanpa disadari Rio sudah duduk disebelahnya.
“Page 214.
Masih ada ketebalan sekitar 7 centi lagi sebelum elo selesai membaca. Looks
like lo penasaran banget sama buku itu, kok nggak dibaca cepet-cepet?”
pertanyaan Rio membuatnya lagi-lagi tersentak. Sejak kapan cecunguk itu ada
disebelahnya?
“Komen aja
lo!”
“Yang sopan
dong, adik kecil.” Rio menyandarkan tubuhnya pada batang pohon yang sama dengan
Shilla. Sementara gadis itu sudah komat-kamit tidak jelas, berharap Rio tidak
tidur dan menumpangtindihkan kepalanya lagi pada bahu Shilla.
“Kak..kok
elo tau lagu One Love?” tanya Shilla penasaran. Rio membuka matanya, menatap
Shilla dengan pandangan sebal.
“Emang
kenapa? Lo mau ngatain gue banci karena tau lagu-lagu Justin Bieber?!” hardik
Rio tajam. Shilla jadi ciut. Tadinya dia memang mau bilang, kebanyakan
laki-laki tidak suka Justin. Alasan klasik. Hanya karena cowok-cowok itu nggak
mau dibilang banci.
“E-Enggak,
kok..tapi emang biasanya cowok nggak suka Justin,” ucap Shilla takut-takut. Rio
menegakkan tubuhnya, lalu mencondongkan diri ke arah Shilla.
“Lo tau arti
kata; penikmat musik?” tanya Rio pelan. Shilla mengangguk cepat-cepat. “Nah,
itu gue. Jadi, lagu siapapun yang seru, pasti gue dengerin.” Rio kembali
menyandarkan tubuhnya pada batang pohon.
“Oh ya, Kak.
Masalah tadi, yang…” Shilla sempat meneguk ludah. “Kak Zevana.” Shilla melirik
takut-takut. Rio sedikit menyeringai.
“Yoi,
Zevana. Hati-hati lo kena damprat sama anak donatur,” ucap Rio masih diiringi
seringai. Shilla jadi heran, tapi takut juga.
“Kan gue nggak
salah apa-apa, Kak.”
“Itu menurut
lo aja. Kalo menurut dia, elo salah, ya salah. Mutlak. Nggak bisa dibantah,”
jelas Rio santai.
“Kak Zeva
pasti nggak tau gue,”
“Iyalah
nggak akan tau lo,”
“Berarti gue
nggak bakal kena damprat dong,” elak Shilla.
“Tergantung.
Kalo lo berulah, dia bakal ngedamprat lo.”
“Berarti…”
“Iya. Buat
persiapan, lo harus diajarin dulu tata-krama. Supaya pas lo berhadapan sama
dia, lo udah bisa ngendaliin diri. Jadi dia nggak meledak di depan lo.
Soalnya…” Shilla menggigit bibir bawahnya. “sekali lo dikejar-kejar Zevana, dan
dicatat sebagai ‘most wanted’ –dalam arti lo ‘diburu’—maka, tamat riwayat lo.
Lo dianggep udah mati,” lanjut Rio dramatis. Kesan Rio yang menambahkan sedikit
bumbu-bumbu ala pemburu berdarah dingin membuat Shilla jadi panik.
Tapi, kalau
dia tidak ada salah, untuk apa juga harus takut. Sekuat apa, sih, pengaruh
Zevana di sekolah itu? Eh, tapi besar juga, sih. Lagipula, siapa yang mau
masa-masa SMAnya menjadi masa terburuk sepanjang abad dengan dikucilkan teman sekolah?
“Terus
tata-kramanya sama elo, gitu?” tanya Shilla heran. Sementara Rio menepuk-nepuk
puncak kepalanya tanpa beban.
“Pinter.”
Shilla tidak menyadari bahwa mukanya sudah semerah tomat sejak Rio
menepuk-nepuk kepalanya tadi.
“Enteng
banget, sih, tangan lo!” hardik Shilla kesal. Bukan apa-apa. Rio bukan
siapa-siapanya (baiklah, Rio adalah dewa sialnya), dan Rio tidak bisa seenaknya
menempatkan sesuatu yang tidak pada posisinya. Haram. Tabu.
“Whatever,”
Selanjutnya
obrolan diisi dengan percakapan ringan mengenai musik—Shilla juga pecinta
musik!—, film, sinteron yang tidak layak tonton, mencari-cari kesalahan dalam
sebuah film, atau berbagai macam obrolan lainnya yang tidak penting.
Lambat laun
Rio menjadi sosok yang menyenangkan. Enak diajak bicara dan tidak lagi seketus
dan sejutek tadi. Walau kadang Rio masih menanggapinya dengan dingin. Tapi
Shilla enjoy-enjoy saja. Toh, kadang Rio juga yang bertanya.
Setelah
dilihatnya jarum jam telah menunjukkan pukul 4 sore, Shilla beranjak pulang.
Biarlah dia sedikit berbincang dengan dewa sialnya, sebelum akhirnya ia
dieksekusi tanpa ampun oleh cowok itu. Sekilas Rio mirip Gabriel. Entahlah,
mungkin hanya perasaannya saja.
**
Malamnya
Shilla kembali termenung di kamarnya. Cakka raib tak jelas, Gabriel dekat dengannya
dan hampir setiap hari memikirkan bagaimana cara menemukan adiknya, Alvin mulai
datang lagi ke kehidupannya dan lagi, Rio. Dewa sial itu kini mulai terus
mengintilinya.
Shilla
membuka-buka ponselnya malas. Tapi tanpa disangka-sangka Cakka mengirim pesan
untuknya. Tumben, nggak lewat bbm?
Shill, liat kluar jndela kmr km deh
Shilla
langsung menuju balok kamarnya. Ternyata Cakka ada disana, sedang melambaikan
tangan padanya. Cakka juga membawa seikat mawar putih, bunga kesukaannya. Dan
lagi, cowok itu kembali menyanyikan lagu One Love. Tuntas sudah.
Tapi Shilla
tidak mau begitu saja memaafkan Cakka yang sudah beberapa hari ini tidak sama
sekali mengabarinya. Betul-betul cowok tolol. Membuat Shilla ketar-ketir dan
akhirnya jadi negative thinking.
Dan gadis
itu juga tidak akan memberinya sapaan hangat lagi. Ia akan memukuli Cakka
sekuat yang ia bisa. Dasar idiot. Nggak tahu Shilla kangen setengah mati
padanya?!
“Catch me if
you can!” teriak Cakka dari bawah. Shilla jadi geram. Mau main-main rupanya!
Shilla
kemudian turun dengan langkah panjang dan cepat. Ternyata mamanya juga sudah
senyam-senyum sendiri melihat Shilla bertingkah seperti itu. Sial, sudah
berkomplot dengan Cakka rupanya.
Gadis itu
kemudian membuka gerbang rumahnya, sementara Cakka menyodorkan mawar putih yang
tadi digenggamnya. Beberapa detik berlalu Shilla hampir saja luluh dengan bunga
itu dan memeluk Cakka. Tapi ia kembali pada posisinya semula. Ia menyabet bunga
tersebut kasar, kemudian ia letakkan di atas mobil Cakka. Tangannya langsung
memukuli Cakka habis-habisan.
Sementara
Cakka hanya meringis-ringis sambil sesekali menahan tawa, Shilla langsung
berkaca-kaca. Dia betulan kangen dengan cowok di depannya ini. Cakka mengerti,
ia langsung memeluk Shilla kala gadis itu berhenti memukulinya.
“Maaf ya…”
“Lo kemana
aja, brengsek!?” maki Shilla dalam pelukan Cakka. Cowok itu hanya tertawa.
“Ada urusan
mendadak. Latihan basket sekarang udah jalan lagi. Sparingnya makin banyak dan
aku harus main terus untuk dapetin sponsor,” ucap Cakka menjelaskan. Mau
pura-pura tuli dan menjadi cewek egois, nggak enak. Cakka sepertinya tidak
bohong. Cowok itu kan memang sedang cidera dan kemarin dalam masa pemulihan.
“Kamu mau maafin, kan?”
Shilla diam
tak menjawab. Cakka lalu menghela napas. Ia mengusap-usap lembut rambut Shilla.
“Yaudah, sekarang kita jalan aja, yuk.” Shilla melepaskan pelukannya, lalu
menatap Cakka setengah kesal. Enak banget main ajak jalan aja!
“Ayolah..you
know I miss you. I wanna spend many times with you,” lanjut Cakka yang akhirnya
membuat Shilla luluh.
Tanpa
berganti baju lagi—karena Shilla belum pakai piyama dan Cakka juga bilang cuma
ke taman—Shilla masuk ke dalam mobil. Lebih terkejutnya lagi saat dilihat dari
atas jok, terdapat sebuah akuarium kecil dengan kura-kura di dalamnya. Shilla
sampai menahan napas saking kagetnya.
“Is this for
me?”
“Who else?”
Shilla masuk lalu memangku akuarium tersebut.
Ada dua
kura-kura, kelihatannya masih berumur 2 bulan. Shilla suka kura-kura. Dulu ia
pernah memeliharanya sekali, tapi sudah menghilang entah kemana. Habis waktu
itu Shilla meletakkannya serampangan di taman belakang rumahnya. Kura-kura
bukanlah anjing yang saat dipanggil namanya langsung menyahut dan menghampiri.
Jadi Shilla merelakan kepergian kura-kuranya.
Setelahnya
Shilla ingin membeli lagi, tapi ditahan mamanya karena membeli kura-kura tidak
berguna. Lebih baik memelihara kucing atau anjing. Bisa berguna untuk memakan
tikus yang berkeliaran (kucing), atau menjaga rumah (anjing). Tentu saja itu
ditolak mentah-mentah oleh Shilla. Mengurus hewan manja sangatlah susah dan
tidak ada hasilnya. Kucing peliharaan adalah hewan super manja yang hanya mau
memakan makanan kucing, bukan mendapatkannya sendiri dengan memburu tikus dan
lainnya.
Sementara
anjing? Ew no. Pokoknya alasannya banyak dan tidak akan habis hingga perjalanan
ini berakhir.
“Kita disini
aja, ya. Jagung bakar disini enak kok,” ucap Cakka kalem. Ia memarkirkan
mobilnya serampangan, karena jalanan sangat sepi dan tempat ini memang khusus
untuk wisata malam. Jalanan dipakai untuk tempat parkir.
Shilla
kemudian berusaha mengingat-ingat tempat ini. Sepertinya ia pernah kenal.
Rumput ilalang yang menjulang tinggi itu pernah ia lihat. Jalanan ini juga.
Bedanya hanya beberapa pedagang kaki lima yang tengah menjajakkan barang
dagangannya, serta tempat ini kelihatan ramai dengan muda-mudi bersama
pasangannya.
“Duduk
disitu aja, yuk.” Cakka menggandeng Shilla menuju trotoar dekat taman tersebut.
Suasana memang agak remang-remang, benar-benar cocok untuk orang pacaran.
Hingga Cakka
membawakan jagung bakar untuknya, Shilla masih berpikir keras. Dia pernah
kesini. Dia hanya tidak ingat—atau karena waktu dia kesini dia sedang kacau.
Tapi
ditepisnya pikiran itu dan memusatkan pikirannya pada obrolan bersama Cakka.
Untuk sekali ini, dia tidak ingin lagi berpikir.
***
Give me your comment ea guys ;* follow me @Lysaafeb or add me on facebook ; Lysa Keyness Hutcherson . Thankiesss :3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar