Love In Life (Chapter 1)

Selasa, 28 Mei 2013


Shilla meraba-raba etalase kaca di depannya dengan mata berbinar. Awalnya dia hanya ingin membeli sepatu Santa Barbara keluaran terbaru yang kemarin dia lihat. Tapi matanya ‘tak sengaja’ menatap jam tangan Swatch yang ternyata juga ‘menangkap’ hatinya.

Suara Pop-Rock milik istri Liam Hemsworth dan sudah melahirkan anak bernama Noah, a.k.a Miley Cyrus tersebut terdengar memekakkan dari headset yang dipakai Shilla. Membuat Shilla ikut juga mendendangkan lagu yang didengarkannya tanpa suara sambil sesekali ikut mengangguk-anggukkan kepala.

Gadis itu memang suka jalan-jalan sendirian di Mall. Mall mana saja yang penting mall. Dia suka menghambur-hamburkan uang kalau sedang bosan, sedang galau, sedang sedih, sedang senang. Biasanya dia membeli barang-barang tidak penting yang sepulangnya dari mall hanya teronggok begitu saja di ruang gantinya. Walau kadang kalau moodnya sedang baik, dia pakai juga barang-barang itu.

Kisaran barang-barang yang Shilla beli hanya; Sepatu, baju, kemeja, aksesoris remaja semacam itu. Selebihnya Shilla lebih suka makan. Entah itu makanan Jepang, Korea, Itali, yang penting dia makan. Aneh? Biar saja. Namanya juga orang kaya.

Ashilla Zahrantiara Haling, anak dari pemimpin perusahaan Haling corp., adik dari Mario Stevano Aditya Haling yang juga merangkap sebagai calon pemimpin perusahaan. Status; Pelajar berkuasa Fontana Senior High School. Hobby; menghambur-hamburkan uang, bersenang-senang dengan teman-teman, menemani Mama belanja dan belajar bersama dengan kakaknya, Mario. (Belajar main PS, maksudnya)

Kini Shilla sudah selesai membeli jam tangan berwarna ungu mengkilat tersebut dan keluar dari toko. Alangkah senangnya punya uang banyak. Betulkan?

***

Tap. Alvin turun dari motor gigi andalannya. Parkiran sekolah ini sangat luas. Disebabkan karena 89% muridnya membawa mobil sendiri. Mulai dari anak kelas 10 sampai 12. Hanya segelintir orang yang membawa motor, itupun harganya bisa sekelas dengan mobil.

Fontana Senior High School. Sekolah bertaraf Internasional cabang dari Australia. Selain karena gedungnya yang mirip hotel, fasilitasnya juga sudah pasti lengkap, maka sekolah ini adalah lautannya orang-orang borju. Alvin bersekolah disini juga karena beasiswa yang sudah diberikan padanya sejak SMP dari dinas. Alvin kadang juga suka kesusahan dalam membayar uang SPP yang kalau dikalikan 12—dalam setahun—bisa untuk membeli mobil atau memperbaiki rumah.

Alvin melirik ke arah mobil Porsche putih susu yang baru saja melintas melewati gerbang sekolahnya. Ah, Alvin sudah hapal betul dengan mobil itu. Selain karena setiap hari ‘gadis’ itu selalu membawa Porsche-nya, juga karena Alvin diam-diam memiliki perasaan pada gadis itu.

Shilla namanya. Ya, gadis itu. Gadis yang disukai Alvin. Gadis paling berkuasa yang tidak pernah sedetikpun melirik para rakyat jelata. Siapa juga yang tidak kenal dirinya? Tiga perempat saham sekolah ini kan juga milik Ayahandanya. Haling corp.

Walaupun sering dimaki-maki oleh teman-temannya—yang mau berteman tulus dengannya—bahwa Alvin harusnya berkaca dan sadar diri kalau dia bukan siapa-siapa, tapi ternyata Alvin tidak mau sadar juga. Kalau ada pepatah mengatakan, Bagaikan punuk merindukan bulan. Shilla adalah bulannya. Tapi toh, memangnya cinta bisa dipaksa? Kalaupun bisa, pasti Alvin sudah memaksakan dirinya untuk tidak sedikitpun memiliki rasa untuk gadis manja itu.

Lagipula, Shilla betul-betul tipe cewek pemilih. Shilla juga kalau menyukai seseorang, sekali mengibaskan rambut ala iklan shampoo-nya, pasti seseorang itu akan langsung terpikat padanya.

Siapa sih, yang bisa menolak pesona gadis itu?

Alvin menggeleng-gelengkan kepalanya lemah. Walaupun dia belum mau sadar diri, tapi dia tetap sadar akan kenyataan. Memang menerima kenyataan adalah hal yang sulit. Apalagi ketika kenyataan bahwa tidak ada lagi yang bisa diperbuat olehnya selain membiarkan gadis itu bahagia, dan senyum tetap menghiasi wajah cantiknya. Mungkin… itulah yang dinamakan cinta diam-diam.

*

Shilla memandangi lengan kanannya yang terbalut jam tangan Swatch berwarna ungu yang kemarin dibelinya. Shilla memang suka memakaikan jam tangan di lengan kanannya setiap hari senin. Lalu dikiri setiap hari selasa dan begitu seterusnya. Dan… bisa dipastikan dia adalah orang pertama yang memakai jam itu ke sekolah. Lagipula, siapa yang berani mengikuti gayanya?

Ha to the Ha. Mati saja dia dengan gengnya..

“Shilla!” nah, ini dia. Alyssa Saufika Umari, biasa dipanggil Ify. Sobat karibnya sejak kecil. Lainnya ada; Acha dan Angel. Shilla tidak terlalu dekat dengan dua lainnya. Tapi Shilla tidak peduli kalau mereka berdua hanya sekedar ‘numpang tenar’. Toh, dia sudah baik bersama Ify.

“Jam tangan lo baru lagi, Shill? Dua hari yang lalu kan baru beli Tag Hauer bareng gue,” ucap Ify membuka percakapan. Shilla mengerling ke arah Ify, seakan berkata ‘lo-kayak-nggak-tau-gue-aja-deh’, yang hanya dibalas senyum masam oleh Ify.

“Setelah gue pikir-pikir, Tag Hauer menang mahal doang, ya? Eh, enggak mahal juga, sih. Itu mah, cuma seharga selipan uang gue dikantong baju sekolah, doang. Tapi ternyata gue nggak begitu suka sama modelnya.” Dan begitulah percakapan sepanjang perjalanan ke kelas.

Shilla masuk ke kelas, diikuti yang lainnya. Seperti biasa, Shilla tidak pernah duduk mengikuti aturan. Dia selalu duduk sesuai mood-nya. Ngusir orang sih, gampang. Tapi dia paling malas kalau berhadapan dengan Bu Farida. Ibu guru yang dijuluki ‘Guru mulut cabe’ karena ocehannya yang pedas juga tidak pernah menggunakan jeda saat mengoceh. Shilla harus duduk didepan kalau bagian pelajaran Bu Farida. Padahal Shilla lebih prefer duduk di tengah-tengah. Tidak terlalu belakang dan tidak terlalu depan. Jadi tidak perlu was-was juga kalau ulangan.

Hari ini bagian pelajaran Mr. Arnold, yaitu; Bahasa Inggris. Ha to the Ha. Shilla tidak perlu mengeluarkan buku juga sudah bisa. Tapi toh tetap di keluarkan juga. Kalau-kalau dia mau main hp, atau sekedar memperhatikan kuku-kukunya yang di manicure, dia bisa langsung menutupi dengan bukunya.

Okay, Class. So, 3 weeks again you’ll have final test for next step. I will give you some reviews so you can face the exam well.” Kata Mr. Arnold membuka pertemuan. Beberapa minggu lagi, atau lebih tepatnya 3 minggu lagi akan diadakan Ujian Kenaikan Kelas. Shilla sih, tanpa ujian sudah bisa naik. Tapi yaaa… untuk sekedar pencitraan saja.

Masa cantik-cantik bodoh? Kan nggak elit. Supaya lebih menantang dikit, jadi cowok-cowok yang mendekatinya juga ‘agak’ sadar diri bagaimana sih, Shilla ini.

Hari ini di sekolah masih sama. Masih sama membosankannya seperti hari-hari sebelumnya. Masih sama menyebalkannya karena PR yang kian hari kian banyak—karena belum dikerjakan-. Masih sama lamanya dari berangkat sampai pulang sekolah. Masih sama, masih 2 kali istirahat.

Shilla menghela napas lelah. Padahal dirinya baru kelas 10, tapi kenapa sudah bosan, ya? Apa karena dia terlalu terkenal? Apa karena dia tidak mau sama-sekali melirik dan mengenal murid-murid lainnya? Padahal kan disini banyak juga yang pastinya berselera sama dengan dirinya. Tapi.. ya, masa bodohlah.

Di rumah pun masih sama. Masih sepi, karena orangtuanya yang pergi mengurusi tambang emasnya. Masih sepi, karena biasanya Rio main bersama teman-temannya.

“Woy.” Oh, ternyata Shilla salah. Ngapain Rio dirumah?

“Ngapain lo di rumah? Emang nggak kuliah?” tanya Shilla malas. Ia melemparkan tasnya ke sofa, lalu ikut duduk disebelah sofanya. Rio ikut duduk disebelah Shilla.

“Males, ah. Dosennya juga lagi nggak ngampus.” Jawab Rio setelah beberapa kali dihujani pertanyaan yang sama dari teman-temannya di jejaring sosial. Sedangkan Shilla hanya manggut-manggut menanggapi jawaban Rio.

Eh, tapi kok Shilla jadi mau pizza, ya? Sudah lama juga dia tidak pesta pizza bersama Rio. Taman belakang juga sudah lumayan lama tidak terpakai. Sayang juga. Padahal taman belakangnya adalah taman bermain paling asik, biasa juga dipakai untuk jamuan-jamuan rekan bisnis Papa atau pesta socialite, atau ruangan lain kalau Shilla dan Rio sedang ulang tahun.

“Eh.. kok gue jadi pengin pizza, ya?” pernyataan tepatnya bukan pertanyaan. Lebih kepada dirinya sendiri. Rio mengangkat sebelah alisnya.

Delivery aja, deh. Udah lama juga kita nggak pizza party di taman belakang.” Nah kan. Ternyata Rio juga setuju dengan pemikirannya.


*

Sepulang sekolah Alvin memang tidak pernah langsung pulang. Bukan. Bukan karena dia anak-anak bandel yang biasanya tawuran atau bermain ke suatu tempat yang pastinya tidak baik. Dia juga cukup tahu diri derajatanya sekarang.

Alvin mendapatkan kerja sampingan sebagai petugas delivery di salah satu restoran. Restoran pizza tepatnya. Motor yang ia gunakan sehari-hari juga merupakan pemberian atasannya. Dedikasi atas kerja keras Alvin, katanya. Lagipula Alvin memang pemuda yang rajin. Dia tidak pernah terlambat mengirimkan pizza kecuali jika cuaca sedang buruk.

Nah, kan. Ternyata sekarang awan juga mendengarkan keluhannya. Alvin selalu berdoa agar hari tidak hujan, cuaca cerah-cerah saja, supaya pekerjaannya juga lancar. Dia juga tidak mau membuat Ibunya melulu khawatir tentangnya.

“Alvin. Cepat antarkan pesanan ke alamat ini, ya. Pesanannya langsung kamu ambil saja di dapur.” Alvin langsung mengangguk patuh dan langsung melangkah menuju dapur untuk mengambil pesanan.

Banyak juga, ya. Pasti yang pesan orang kaya. Menu ini kan adanya di bagian ‘Special Menu’, mana pesannya big size lagi, jumlahnya 3 pula. Alvin melihat lagi alamat yang berada di tangan kanannya. Secarik kertas kumal dengan tulisan sambung-sambung ala orang-orang zaman dulu.

“Nih, pesanannya. Kamu bawa jas hujan, kan?” tanya Mas Brata. Koki paling lama di restoran itu. Alvin hanya mengangguk lalu membawa pesanannya dan kembali ke parkiran.

Hujan sudah mulai turun rintik-rintik. Alvin menengadah. Sebentar lagi hujannya pasti akan deras. Ia meletakkan pizza-pizza ukuran besar tersebut ke dalam box yang memang bisa lepas-tempel di bagian belakang motornya. Sebelum itu, ia mengambil jas hujan dari jok motornya.

Perlahan tapi pasti, motor yang dikendarai Alvin masuk juga ke Perumahan Kusuma Dwipa dengan gerbang tinggi menjulang berwarna hijau. Satpam dengan mudah mengizinkannya masuk setelah ia menunjukkan kertas kumal berisi alamat yang tertera.

Dengan perasaan gelisah Alvin melajukan motornya pelan. kok… rasanya dia familiar dengan rumah-rumah ini? Ah.. mungkin hanya perasaannya. Berapa banyak temannya yang pasti berada di dalam perumahan ini, diantara ratusan perumahan lain di Jakarta?

Beruntung rumah-rumah disini ditata-urutkan sesuai nomor. Jadi Alvin tidak perlu susah payah mencari rumah yang akan ditujunya. Lagipula, sepertinya disini betul-betul perumahan elit. Terbukti dari betapa sedikitnya rumah-rumah disini, dan seberapa besar rumah-rumah kokoh ini berdiri.

Ketemu. Nomor 42. Kalau dilihat-lihat, rumah ini yang paling besar diantara yang lainnya.

Pagar besi yang menjulang kokoh di depannya masih tidak mampu menyembunyikan apa yang ada dibaliknya, toh. Alvin mengklakson 3 kali sehingga barulah seorang security membukakan pagar otomatis itu, setelah mengecek bahwa Alvin benar-benar petugas delivery—dilihat dari box dibelakang motornya-.

Pekarangan rumah ini begitu luas. Lambang ‘H’ yang hampir mirip bentuk lambang bintang astrology Pisces menjulang tinggi dengan angkuh dikelilingi bunga-bunga krisan yang ditata rapi. Sedangkan di sebelahnya terdapat kolam air mancur dengan warna-warna yang berubah setiap sekian detik. Belum lagi disekitar rumah ditanami pohon asoka dan akasia—yang kalau diluar negeri, setiap musim gugur para tukang kebun akan memerlukan tenaga yang banyak-. Ini rumah atau apa ya?

Di sebelah rumah, terdapat juga garasi yang kalau Alvin bilang, merangkap sebagai showroom mobil pribadi. Kebanyakan hanya mobil-mobil kecil lincah yang sudah pasti harganya milyaran. Sepertinya pemilik rumah ini tidak takut akan pencurian atau memang sengaja memamerkan mobil-mobil itu, sih?

Alvin menekan-nekan bel yang terdapat di dekat pintu. Sepertinya ada camera cctv-nya. Mengingat betapa besarnya rumah ini. Pencuri juga pasti nekat kalau mau mencuri. Berapa banyak harta yang tertimbun didalamnya? Atau paling tidak, ambil saja mobilnya. ah, mikir apa sih Alvin ini.

“Yaaaa.. sebentaaaar!!” deg. Alvin kenal suara itu. Suara cempreng yang dia hapal betul diluar kepalanya.

Cklek. Pintu dibuka. Dan nampaklah seorang gadis cantik dengan balutan baju rumahan—T-Shirt dan celana pendek—dan rambut yang dikuncir kuda tinggi dengan beberapa helai yang menjuntai, membingkai wajah bulatnya.

“Makasih, Mas. Berapa ya?” ah.. Alvin lupa. Gadis di depannya ini—Shilla—kan tidak pernah melirik dirinya atau anak-anak dengan derajat rendah di sekolah. Jelas saja gadis ini tidak tahu-menahu tentang dirinya.

“Jadi empat ratus dua puluh ribu, Mbak.” Ucap Alvin formal. Sudahlah. Alvin memang hanya sebatas mengagumi, kan? Tidak usah terlalu banyak berharap untuk mendapatkan cinta gadis ini.

“Ini, Mas. Ambil aja kembaliannya.” Alvin menerimanya dengan canggung. Shilla langsung menutup pintu dengan kakinya—karena kedua tangannya membawa pizza ukuran besar—, meninggalkan Alvin yang mematung di tempatnya.
 
Alvin masih mematung kalau saja ia tidak segera sadar apa yang sudah terjadi. Jadi… ini rumah Shilla? Ah ya… ornament tanaman pagar besi yang dibentuk sedemikian rupa menjadi huruf ‘H’ itu berarti; Haling! Bagaimana dirinya bisa lupa? Ah… bahagianya dia menjadi salah satu murid di Fontana yang mengetahui, bahkan mengunjungi rumahnya—walau dengan keadaan seperti ini-.

Pelan-pelan rasa hangat mulai menjalari hati Alvin. Ternyata Shilla tidak seburuk itu. Shilla juga tidak benar-benar sombong, kok. Buktinya tadi gadis itu mau mengambil sendiri pizza pesanannya. Tidak melulu menyuruhi pembantu.

Bahagia itu sederhana. Iya kan? Seperti saat melihat gadis itu dibalut dengan baju rumahan, bukan dengan baju sekolah. Seperti saat gadis itu berbicara padanya, walau tidak menatap matanya. Seperti saat gadis itu dengan terburu-buru mengambil uang dari dompetnya.

Diam-diam Alvin berharap, semoga Shilla sering-sering memesan pizza di tempat kerjanya.

***

Yea, guys. so this is the first chapter. I really hope for ur support guys. Follow me on twitter @Lysaafeb or add me; Lysa Keyness Hutcherson :) thank u

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS