Shilla
meraba-raba etalase kaca di depannya dengan mata berbinar. Awalnya dia hanya
ingin membeli sepatu Santa Barbara keluaran terbaru yang kemarin dia lihat.
Tapi matanya ‘tak sengaja’ menatap jam tangan Swatch yang ternyata juga
‘menangkap’ hatinya.
Suara
Pop-Rock milik istri Liam Hemsworth dan sudah melahirkan anak bernama Noah,
a.k.a Miley Cyrus tersebut terdengar memekakkan dari headset yang dipakai
Shilla. Membuat Shilla ikut juga mendendangkan lagu yang didengarkannya tanpa
suara sambil sesekali ikut mengangguk-anggukkan kepala.
Gadis
itu memang suka jalan-jalan sendirian di Mall. Mall mana saja yang penting
mall. Dia suka menghambur-hamburkan uang kalau sedang bosan, sedang galau,
sedang sedih, sedang senang. Biasanya dia membeli barang-barang tidak penting
yang sepulangnya dari mall hanya teronggok begitu saja di ruang gantinya. Walau
kadang kalau moodnya sedang baik, dia pakai juga barang-barang itu.
Kisaran
barang-barang yang Shilla beli hanya; Sepatu, baju, kemeja, aksesoris remaja
semacam itu. Selebihnya Shilla lebih suka makan. Entah itu makanan Jepang,
Korea, Itali, yang penting dia makan. Aneh? Biar saja. Namanya juga orang kaya.
Ashilla
Zahrantiara Haling, anak dari pemimpin perusahaan Haling corp., adik dari Mario
Stevano Aditya Haling yang juga merangkap sebagai calon pemimpin perusahaan.
Status; Pelajar berkuasa Fontana Senior High School. Hobby;
menghambur-hamburkan uang, bersenang-senang dengan teman-teman, menemani Mama
belanja dan belajar bersama dengan kakaknya, Mario. (Belajar main PS,
maksudnya)
Kini
Shilla sudah selesai membeli jam tangan berwarna ungu mengkilat tersebut dan
keluar dari toko. Alangkah senangnya punya uang banyak. Betulkan?
***
Tap.
Alvin turun dari motor gigi andalannya. Parkiran sekolah ini sangat luas. Disebabkan
karena 89% muridnya membawa mobil sendiri. Mulai dari anak kelas 10 sampai 12.
Hanya segelintir orang yang membawa motor, itupun harganya bisa sekelas dengan
mobil.
Fontana
Senior High School. Sekolah bertaraf Internasional cabang dari Australia. Selain
karena gedungnya yang mirip hotel, fasilitasnya juga sudah pasti lengkap, maka
sekolah ini adalah lautannya orang-orang borju. Alvin bersekolah disini juga
karena beasiswa yang sudah diberikan padanya sejak SMP dari dinas. Alvin kadang
juga suka kesusahan dalam membayar uang SPP yang kalau dikalikan 12—dalam
setahun—bisa untuk membeli mobil atau memperbaiki rumah.
Alvin
melirik ke arah mobil Porsche putih susu yang baru saja melintas melewati
gerbang sekolahnya. Ah, Alvin sudah hapal betul dengan mobil itu. Selain karena
setiap hari ‘gadis’ itu selalu membawa Porsche-nya, juga karena Alvin diam-diam
memiliki perasaan pada gadis itu.
Shilla
namanya. Ya, gadis itu. Gadis yang disukai Alvin. Gadis paling berkuasa yang
tidak pernah sedetikpun melirik para rakyat jelata. Siapa juga yang tidak kenal
dirinya? Tiga perempat saham sekolah ini kan juga milik Ayahandanya. Haling
corp.
Walaupun
sering dimaki-maki oleh teman-temannya—yang mau berteman tulus dengannya—bahwa
Alvin harusnya berkaca dan sadar diri kalau dia bukan siapa-siapa, tapi
ternyata Alvin tidak mau sadar juga. Kalau ada pepatah mengatakan, Bagaikan
punuk merindukan bulan. Shilla adalah bulannya. Tapi toh, memangnya cinta bisa
dipaksa? Kalaupun bisa, pasti Alvin sudah memaksakan dirinya untuk tidak
sedikitpun memiliki rasa untuk gadis manja itu.
Lagipula,
Shilla betul-betul tipe cewek pemilih. Shilla juga kalau menyukai seseorang,
sekali mengibaskan rambut ala iklan shampoo-nya, pasti seseorang itu akan
langsung terpikat padanya.
Siapa
sih, yang bisa menolak pesona gadis itu?
Alvin
menggeleng-gelengkan kepalanya lemah. Walaupun dia belum mau sadar diri, tapi
dia tetap sadar akan kenyataan. Memang menerima kenyataan adalah hal yang
sulit. Apalagi ketika kenyataan bahwa tidak ada lagi yang bisa diperbuat
olehnya selain membiarkan gadis itu bahagia, dan senyum tetap menghiasi wajah
cantiknya. Mungkin… itulah yang dinamakan cinta diam-diam.
*
Shilla
memandangi lengan kanannya yang terbalut jam tangan Swatch berwarna ungu yang
kemarin dibelinya. Shilla memang suka memakaikan jam tangan di lengan kanannya
setiap hari senin. Lalu dikiri setiap hari selasa dan begitu seterusnya. Dan… bisa
dipastikan dia adalah orang pertama yang memakai jam itu ke sekolah. Lagipula,
siapa yang berani mengikuti gayanya?
Ha to
the Ha. Mati saja dia dengan gengnya..
“Shilla!”
nah, ini dia. Alyssa Saufika Umari, biasa dipanggil Ify. Sobat karibnya sejak
kecil. Lainnya ada; Acha dan Angel. Shilla tidak terlalu dekat dengan dua
lainnya. Tapi Shilla tidak peduli kalau mereka berdua hanya sekedar ‘numpang
tenar’. Toh, dia sudah baik bersama Ify.
“Jam
tangan lo baru lagi, Shill? Dua hari yang lalu kan baru beli Tag Hauer bareng
gue,” ucap Ify membuka percakapan. Shilla mengerling ke arah Ify, seakan
berkata ‘lo-kayak-nggak-tau-gue-aja-deh’, yang hanya dibalas senyum masam oleh
Ify.
“Setelah
gue pikir-pikir, Tag Hauer menang mahal doang, ya? Eh, enggak mahal juga, sih.
Itu mah, cuma seharga selipan uang gue dikantong baju sekolah, doang. Tapi
ternyata gue nggak begitu suka sama modelnya.” Dan begitulah percakapan
sepanjang perjalanan ke kelas.
Shilla
masuk ke kelas, diikuti yang lainnya. Seperti biasa, Shilla tidak pernah duduk
mengikuti aturan. Dia selalu duduk sesuai mood-nya. Ngusir orang sih, gampang.
Tapi dia paling malas kalau berhadapan dengan Bu Farida. Ibu guru yang dijuluki
‘Guru mulut cabe’ karena ocehannya yang pedas juga tidak pernah menggunakan
jeda saat mengoceh. Shilla harus duduk didepan kalau bagian pelajaran Bu
Farida. Padahal Shilla lebih prefer duduk di tengah-tengah. Tidak terlalu
belakang dan tidak terlalu depan. Jadi tidak perlu was-was juga kalau ulangan.
Hari
ini bagian pelajaran Mr. Arnold, yaitu; Bahasa Inggris. Ha to the Ha. Shilla
tidak perlu mengeluarkan buku juga sudah bisa. Tapi toh tetap di keluarkan
juga. Kalau-kalau dia mau main hp, atau sekedar memperhatikan kuku-kukunya yang
di manicure, dia bisa langsung menutupi dengan bukunya.
“Okay,
Class. So, 3 weeks again you’ll have final test for next step. I will give you
some reviews so you can face the exam well.” Kata Mr. Arnold membuka pertemuan.
Beberapa minggu lagi, atau lebih tepatnya 3 minggu lagi akan diadakan Ujian
Kenaikan Kelas. Shilla sih, tanpa ujian sudah bisa naik. Tapi yaaa… untuk
sekedar pencitraan saja.
Masa
cantik-cantik bodoh? Kan nggak elit. Supaya lebih menantang dikit, jadi
cowok-cowok yang mendekatinya juga ‘agak’ sadar diri bagaimana sih, Shilla ini.
Hari
ini di sekolah masih sama. Masih sama membosankannya seperti hari-hari
sebelumnya. Masih sama menyebalkannya karena PR yang kian hari kian
banyak—karena belum dikerjakan-. Masih sama lamanya dari berangkat sampai
pulang sekolah. Masih sama, masih 2 kali istirahat.
Shilla
menghela napas lelah. Padahal dirinya baru kelas 10, tapi kenapa sudah bosan,
ya? Apa karena dia terlalu terkenal? Apa karena dia tidak mau sama-sekali
melirik dan mengenal murid-murid lainnya? Padahal kan disini banyak juga yang
pastinya berselera sama dengan dirinya. Tapi.. ya, masa bodohlah.
Di
rumah pun masih sama. Masih sepi, karena orangtuanya yang pergi mengurusi
tambang emasnya. Masih sepi, karena biasanya Rio main bersama teman-temannya.
“Woy.”
Oh, ternyata Shilla salah. Ngapain Rio dirumah?
“Ngapain
lo di rumah? Emang nggak kuliah?” tanya Shilla malas. Ia melemparkan tasnya ke
sofa, lalu ikut duduk disebelah sofanya. Rio ikut duduk disebelah Shilla.
“Males,
ah. Dosennya juga lagi nggak ngampus.” Jawab Rio setelah beberapa kali dihujani
pertanyaan yang sama dari teman-temannya di jejaring sosial. Sedangkan Shilla
hanya manggut-manggut menanggapi jawaban Rio.
Eh,
tapi kok Shilla jadi mau pizza, ya? Sudah lama juga dia tidak pesta pizza
bersama Rio. Taman belakang juga sudah lumayan lama tidak terpakai. Sayang juga.
Padahal taman belakangnya adalah taman bermain paling asik, biasa juga dipakai
untuk jamuan-jamuan rekan bisnis Papa atau pesta socialite, atau ruangan lain
kalau Shilla dan Rio sedang ulang tahun.
“Eh..
kok gue jadi pengin pizza, ya?” pernyataan tepatnya bukan pertanyaan. Lebih
kepada dirinya sendiri. Rio mengangkat sebelah alisnya.
“Delivery
aja, deh. Udah lama juga kita nggak pizza party di taman belakang.” Nah kan.
Ternyata Rio juga setuju dengan pemikirannya.
*
Sepulang
sekolah Alvin memang tidak pernah langsung pulang. Bukan. Bukan karena dia
anak-anak bandel yang biasanya tawuran atau bermain ke suatu tempat yang
pastinya tidak baik. Dia juga cukup tahu diri derajatanya sekarang.
Alvin
mendapatkan kerja sampingan sebagai petugas delivery di salah satu restoran.
Restoran pizza tepatnya. Motor yang ia gunakan sehari-hari juga merupakan
pemberian atasannya. Dedikasi atas kerja keras Alvin, katanya. Lagipula Alvin
memang pemuda yang rajin. Dia tidak pernah terlambat mengirimkan pizza kecuali
jika cuaca sedang buruk.
Nah,
kan. Ternyata sekarang awan juga mendengarkan keluhannya. Alvin selalu berdoa
agar hari tidak hujan, cuaca cerah-cerah saja, supaya pekerjaannya juga lancar.
Dia juga tidak mau membuat Ibunya melulu khawatir tentangnya.
“Alvin.
Cepat antarkan pesanan ke alamat ini, ya. Pesanannya langsung kamu ambil saja
di dapur.” Alvin langsung mengangguk patuh dan langsung melangkah menuju dapur
untuk mengambil pesanan.
Banyak
juga, ya. Pasti yang pesan orang kaya. Menu ini kan adanya di bagian ‘Special
Menu’, mana pesannya big size lagi, jumlahnya 3 pula. Alvin melihat lagi alamat
yang berada di tangan kanannya. Secarik kertas kumal dengan tulisan
sambung-sambung ala orang-orang zaman dulu.
“Nih,
pesanannya. Kamu bawa jas hujan, kan?” tanya Mas Brata. Koki paling lama di
restoran itu. Alvin hanya mengangguk lalu membawa pesanannya dan kembali ke
parkiran.
Hujan
sudah mulai turun rintik-rintik. Alvin menengadah. Sebentar lagi hujannya pasti
akan deras. Ia meletakkan pizza-pizza ukuran besar tersebut ke dalam box yang
memang bisa lepas-tempel di bagian belakang motornya. Sebelum itu, ia mengambil
jas hujan dari jok motornya.
Perlahan
tapi pasti, motor yang dikendarai Alvin masuk juga ke Perumahan Kusuma Dwipa
dengan gerbang tinggi menjulang berwarna hijau. Satpam dengan mudah
mengizinkannya masuk setelah ia menunjukkan kertas kumal berisi alamat yang
tertera.
Dengan
perasaan gelisah Alvin melajukan motornya pelan. kok… rasanya dia familiar
dengan rumah-rumah ini? Ah.. mungkin hanya perasaannya. Berapa banyak temannya
yang pasti berada di dalam perumahan ini, diantara ratusan perumahan lain di
Jakarta?
Beruntung
rumah-rumah disini ditata-urutkan sesuai nomor. Jadi Alvin tidak perlu susah
payah mencari rumah yang akan ditujunya. Lagipula, sepertinya disini
betul-betul perumahan elit. Terbukti dari betapa sedikitnya rumah-rumah disini,
dan seberapa besar rumah-rumah kokoh ini berdiri.
Ketemu.
Nomor 42. Kalau dilihat-lihat, rumah ini yang paling besar diantara yang
lainnya.
Pagar
besi yang menjulang kokoh di depannya masih tidak mampu menyembunyikan apa yang
ada dibaliknya, toh. Alvin mengklakson 3 kali sehingga barulah seorang security
membukakan pagar otomatis itu, setelah mengecek bahwa Alvin benar-benar petugas
delivery—dilihat dari box dibelakang motornya-.
Pekarangan
rumah ini begitu luas. Lambang ‘H’ yang hampir mirip bentuk lambang bintang
astrology Pisces menjulang tinggi dengan angkuh dikelilingi bunga-bunga krisan
yang ditata rapi. Sedangkan di sebelahnya terdapat kolam air mancur dengan
warna-warna yang berubah setiap sekian detik. Belum lagi disekitar rumah
ditanami pohon asoka dan akasia—yang kalau diluar negeri, setiap musim gugur para tukang
kebun akan memerlukan tenaga yang banyak-. Ini rumah atau apa ya?
Di
sebelah rumah, terdapat juga garasi yang kalau Alvin bilang, merangkap sebagai
showroom mobil pribadi. Kebanyakan hanya mobil-mobil kecil lincah yang sudah
pasti harganya milyaran. Sepertinya pemilik rumah ini tidak takut akan
pencurian atau memang sengaja memamerkan mobil-mobil itu, sih?
Alvin
menekan-nekan bel yang terdapat di dekat pintu. Sepertinya ada camera cctv-nya.
Mengingat betapa besarnya rumah ini. Pencuri juga pasti nekat kalau mau
mencuri. Berapa banyak harta yang tertimbun didalamnya? Atau paling tidak,
ambil saja mobilnya. ah, mikir apa sih Alvin ini.
“Yaaaa..
sebentaaaar!!” deg. Alvin kenal suara itu. Suara cempreng yang dia hapal betul
diluar kepalanya.
Cklek.
Pintu dibuka. Dan nampaklah seorang gadis cantik dengan balutan baju
rumahan—T-Shirt dan celana pendek—dan rambut yang dikuncir kuda tinggi dengan
beberapa helai yang menjuntai, membingkai wajah bulatnya.
“Makasih,
Mas. Berapa ya?” ah.. Alvin lupa. Gadis di depannya ini—Shilla—kan tidak pernah
melirik dirinya atau anak-anak dengan derajat rendah di sekolah. Jelas saja
gadis ini tidak tahu-menahu tentang dirinya.
“Jadi
empat ratus dua puluh ribu, Mbak.” Ucap Alvin formal. Sudahlah. Alvin memang
hanya sebatas mengagumi, kan? Tidak usah terlalu banyak berharap untuk
mendapatkan cinta gadis ini.
“Ini,
Mas. Ambil aja kembaliannya.” Alvin menerimanya dengan canggung. Shilla
langsung menutup pintu dengan kakinya—karena kedua tangannya membawa pizza
ukuran besar—, meninggalkan Alvin yang mematung di tempatnya.
Alvin
masih mematung kalau saja ia tidak segera sadar apa yang sudah terjadi. Jadi…
ini rumah Shilla? Ah ya… ornament tanaman pagar besi yang dibentuk sedemikian
rupa menjadi huruf ‘H’ itu berarti; Haling! Bagaimana dirinya bisa lupa? Ah…
bahagianya dia menjadi salah satu murid di Fontana yang mengetahui, bahkan
mengunjungi rumahnya—walau dengan keadaan seperti ini-.
Pelan-pelan
rasa hangat mulai menjalari hati Alvin. Ternyata Shilla tidak seburuk itu.
Shilla juga tidak benar-benar sombong, kok. Buktinya tadi gadis itu mau
mengambil sendiri pizza pesanannya. Tidak melulu menyuruhi pembantu.
Bahagia
itu sederhana. Iya kan? Seperti saat melihat gadis itu dibalut dengan baju
rumahan, bukan dengan baju sekolah. Seperti saat gadis itu berbicara padanya,
walau tidak menatap matanya. Seperti saat gadis itu dengan terburu-buru
mengambil uang dari dompetnya.
Diam-diam
Alvin berharap, semoga Shilla sering-sering memesan pizza di tempat kerjanya.
***
Yea, guys. so this is the first chapter. I really hope for ur support guys. Follow me on twitter @Lysaafeb or add me; Lysa Keyness Hutcherson :) thank u
Tidak ada komentar:
Posting Komentar