Try! (Part 5)

Rabu, 29 Mei 2013


LIMA

Shilla membanting tasnya di meja. Duduk, lalu membenamkan wajahnya diatas tasnya tadi. Shilla nggak peduli ini hari apa, jam berapa atau pelajaran siapa nanti. Dia hanya ingin nangis. Merutuki kesialannya.

Siapa lagi yang membuat Shilla seperti ini? Ya, pasti Mama. Sudah tiga hari ini Shilla selalu diikuti oleh dewa sial. Dia juga harus mati-matian menahan emosinya yang sudah di ubun-ubun. Mama selalu menelepon Alvin kalau ada waktu senggang. Entah itu nanya kabar, nanya jadwal kosong, nanya-nanya soal kepribadian Alvin, malah pernah menyuruh Alvin jemput Shilla.

Hhiiiihhhh~ Mama nggak tahu malu! Ups.

Lagian! Memangnya Alvin bodyguard pribadi Shilla apa?! Shilla memaki dalam hati. Hal yang baru-baru ini sering dilakukannya. Memaki, merutuk, berbicara dengan kesal, hanya dalam hati. HANYA. DALAM. HATI.

What happened with you, dear?” tanya Ify sambil mengelus puncak kepala Shilla yang sedang terkulai lemas diatas meja.

Nothing.,” jawab Shilla ogah-ogahan.

Nothing means everything.,” balas Sivia lembut. Dia memang paling paham sobatnya ini.

Shilla mengangkat kepalanya. Membuka resleting tasnya, lalu mengeluarkan selembar tissue. Ia mulai menyeka air mata yang terasa lengket di pipinya. Ify dan Sivia memandang sambil tersenyum, sabar menunggu Shilla.

I hate everything!” maki Shilla tajam, lumayan keras juga. Shilla bercerita mulai dari pertemuan Mama dengan Alvin, Mama yang minta nomor Alvin, sampai perlakuan Mama terhadap Alvin. Seakan Mama nganggep Alvin itu menantunya saja!

“Emang nyokap lo nggak tau kalo lo pernah jadian sama dia, trus disakitin sama dia?” tanya Sivia hati-hati. Shilla menggeleng pelan, matanya menatap meja nggak fokus. Seperti menerawang jauh.

“Ck. Ya jelas aja, lah. Nyokap lo aja nggak tau. Jadi, lo mau marah juga nggak bisa. Makanya, kalo ada apa-apa, cerita sama nyokap lo.,”

“Belum saatnya.,” balas Shilla pelan. Dia memainkan kesepuluh jarinya.

“Yaudah. Lo siapin aja hati yang tebel, ya. Jangan lupa obat sakit hatinya, lo bakal sangat membutuhkannya!” timpal Ify agak sarkatis. Shilla juga salah, sih. Cerita kepada Mama itu sangat penting. Kalau dipendam sendirian, ya bakal sakit hati. Apalagi kasusnya seperti Shilla.

Tapi tampaknya Ify benar. Shilla harus menyiapkan mental baja. Menghadapi Mama itu sangat sulit. Shilla sepertinya butuh BUANYAK refreshing!

***

Malamnya, Cakka datang ke rumah. Setelah 3 hari cowok itu hanya berkomunikasi dengannya lewat bbm. Cakka juga membawa cokelat yang BUANYAK buat Shilla. Bawa bunga, juga. Shilla, yang semula bete karena Mama, jadi semangat lagi. Cakka memang mengerti Shilla, ya?

Cakka kembali mengajak Shilla ke bukit. Tapi hari ini, Cakka hanya mau suasana tenang. Jadi, cowok itu menyiapkan sebuah perahu kecil—yang entah dapat darimana—diatas danau. Shilla juga senang dengan suasana seperti ini. Hangat. Bersahabat. Dan dekat.

I knew your problem.,” ucap Cakka ketika mereka berdua sudah berada diatas perahu. Shilla tampak kalem memainkan air danau.

“Nggak usah sotil..,” tukas Shilla setengah bercanda. Sebetulnya Shilla hanya malas membicarakan tentang persoalannya saat ini. Dia hanya ingin banyak-banyak refreshing. Pikirannya terlalu banyak. Sakit hati ternyata bisa berpengaruh buruk buat otaknya.

“Nggak usah ngelak..,” balas Cakka telak. Shilla cuma mencibir. Malas menanggapi ucapan Cakka. “Okay, sorry. Tapi serius, you don’t have to think hard for that problem. Kan masih ada gue.,” Shilla menyernyit.

“Maksudnya?” tanya Shilla dengan dahi berkerut. Cakka menggenggam tangan Shilla—yang posisi mereka memang berhadap-hadapan-.

“Shilla.. maybe, I’m not your mother’s favorite. Aku baru kenal kamu 3 minggu-an. But, aku rasa… semakin aku sering jalan sama kamu, aku tau kalo aku sayang sama kamu.,” Shilla terdiam. Dia benar-benar belum siap. “Shill, would you be mine?” ucap Cakka lembut.

Shilla masih mendadak bisu. Dia nggak nyangka Cakka bakal nembak secepat ini. Tapi kalau kata Pak Jusuf Kalla sih, lebih cepat lebih baik. Faster is better. Dengan begitu juga, Cakka nggak akan dapet saingan. Shilla juga lebih bisa dilindungi dari Alvin.

Cakka juga merupakan cowok yang baik. Kalangan kelas atas, bertanggungjawab, perhatian, dan yang terpenting; Dia menyayangi Shilla. Dia bahkan nggak keberatan kalau Shilla mengajak kedua sohibnya yang rempong untuk ikut jalan bersama mereka. Kecuali sekarang, tentunya.

Tapi di satu sisi, Shilla masih belum bisa percaya dengan Cakka. Apa nggak salah cowok ini nembak dia? Apa cowok ini nggak berpikir, dia hanya dijadikan pelampiasan semata? Shilla itu belum terlalu bisa move on dari Alvin. Seberapa keras usahanya untuk lupa dengan cowok itu, Shilla masih belum bisa. Ada saja tentang cowok itu yang nyangkut di kepalanya.

“G-Gue… nggak tau.,” jawab Shilla pasrah. Dia memang betul-betul nggak tahu. Daripada dia nantinya hanya bisa nyakitin Cakka, mending nggak usah, deh.

“Lo masih ragu sama gue?” tanya Cakka pelan, lembut. Shilla jadi nggak enak hati. Cakka sudah betul-betul baik padanya. Kenapa tidak, ia menerima cowok itu sebagai balasan?

“Gue… cuma takut. Nantinya gue bakal nyakitin lo,” ucap Shilla sambil menunduk. Cakka tersenyum, ia kemudian tertawa pelan.

“Masalah itu.. kenapa harus dipikirin sekarang? Gue nembak lo, karena gue sayang sama lo. Karena gue, mau bantuin lo bangkit dari cowok brengsek itu. Dan gue yakin, perasaan cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu.,” kata Cakka bijak. Shilla mengerjapkan matanya berkali-kali. Berusaha mencerna kata-kata Cakka.

Are youserious? Lo nggak takut disakitin sama gue?” tanya Shilla blak-blakan. Cakka tersenyum lagi.

“Buat apa gue takut? Masalah sakit hati, gue udah sering sakit hati. Hidup ini penuh resiko, iya ‘kan? Gue nembak lo juga, gue udah tau resikonya. Tapi gue nggak pernah takut akan resiko yang udah gue perkirakan.,” Shilla tertegun. Dia tidak tahu Cakka se-dewasa itu. Walau memang Cakka satu tingkat diatasnya, tapi sepertinya Cakka sangat mengerti.

“Tapi…”

Look, I promise I won’t hurt you. Cewek memang kayak Barbie, tapi cowok sejati nggak main Barbie. So, you don’t have to scared. I love u for no reason. Gue hanya cinta elo, karena gue mau elo bahagia. That’s all,” ucap Cakka lagi. Shilla kembali tertegun. Apa benar cowok ini adalah cowok yang sudah sekitar 3 minggu ia kenal? Kenapa dia begitu berbeda?

Apa yang sebenarnya yang ada dibalik semua tatapan ketulusan cowok itu? Shilla masih saja diliputi keraguan. Dia tidak tahu-menahu tentang Cakka. Banyak bagian dari cowok itu yang masih misteri untuknya. Dan Shilla tidak tahu apa yang akan cowok itu lakukan lagi ke depannya.

I doubt…”

Need time to think?” tanya Cakka lembut. Tatapan itu begitu teduh, sehingga Shilla seperti tersedot ke dalamnya.

“Sepertinya,” jawab Shilla pelan. Cakka hanya tersenyum, tapi dia tetap tidak melepaskan genggamannya.

Setelah agaknya kejadian tadi menimbulkan kecanggungan, Cakka segera mengeluarkan cokelat-cokelat yang tadi ia bawakan untuk Shilla. Ia lalu membukakannya untuk dirinya sendiri, lalu menawari Shilla. Cokelat itu banyak, Shilla tidak perlu takut kehabisan.

Cakka menginstruksikan Shilla untuk duduk membelakanginya. Shilla menurut, walau ia agak takut dengan perahu yang bergoyang-goyang karena gerakannya. Setelah Shilla membelakangi Cakka, cowok itu menarik Shilla hingga ia menyandar pada dada bidangnya.

Shilla awalnya terkejut. Tapi akhirnya dia merasa nyaman. Cakka begitu hangat, begitu nyaman sebagai sandaran. Shilla pun ikut memakan cokelat bersama Cakka. Mereka membicarakan banyak hal. Shilla juga seperti hanyut dalam pribadi Cakka yang mengalir seperti air.

Dan Shilla juga sudah melupakan tentang sakit hatinya. Pada Alvin dan Mama. Thanks to Cakka!

“Oh ya, Kka.. darimana lo tau tentang masalah gue?” tanya Shilla penasaran.

“Dari dua orang cewek yang udah jadi fans gue sejak gue ikut DBL di Surabaya kira-kira 2 tahun lalu,” jawab Cakka tanpa menyebutkan nama. Tapi Shilla tahu siapa itu.

“Ternyata sohib gue ember banget, ya?”

“Embernya karena kebaikan, kok. dan lebih bagus karena embernya ke gue. Nggak ke orang yang salah,”

Shilla hanya bisa tersenyum. Yaa… Ify dan Sivia memang begitu mengerti. Sekarang Shilla sudah benar-benar bisa melupakan masalah Alvin dan Mama. Yang sekarang Shilla pikirkan adalah; perasaannya pada Cakka.

***

“WHAT??? DITEMBAK???!!!”

“SSSHHHHHHH!!!!!!!!!” Ify dan Sivia langsung memayungi diri mereka dengan buku. Rasanya ingin sekali mendamprat Shilla! Kenapa ketemuannya harus di perpustakaan, sih? Gerutu Ify dan Sivia kompak. Yang pastinya, dalam hati. Sedangkan Shilla ngakak tanpa suara. Dia tahu Ify dan Sivia pasti bakal kaget dan berisik, makanya dia meminta kedua sohibnya untuk ke perpustakaan.

“Rasain! Emang enak di’ujanin’ Bu Marni..” ledek Shilla dengan volume super kecil. Ify merengut, Sivia ikutan merengut. “Jelek lo berdua!” tukas Shilla sembari membalik-balik buku ensiklopedia yang berada di depannya.

“Nah, terus lo sekarang udah jadian?” tanya Ify antusias.

“PJ dong!” tukas Sivia dengan volume sedang. Shilla menghela napas, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kalian pasti mikir gitu. Gue udah tau,” ucap Shilla malas. Ify membulatkan matanya, sedangkan Sivia mengerutkan kening. Ify memang selalu lebih tanggap, ‘kan?

“Lo nolak?!” tanya Ify panik. Kedua tangannya refleks mencengkeram kedua bahu Shilla yang memang berada di depannya. Shilla meringis.

“Bukan nolak.. cuma belom jawab.,”

“Gila lo! Ditembak cowok seganteng Cakka aja masih mikir. Gengsi lo?” tukas Sivia pedas. Tapi Shilla hanya angkat bahu. Shilla bukan Acha—yang waktu nerima Ozy harus nunggu seminggu dulu—, dia hanya Shilla. Yang selalu berpikir dengan perasaan dan hatinya.

“Bukan masalah itu,”

“Lo masih belom bisa move on?” tanya Ify peka. Sivia celingak-celinguk, menatap ke arah Ify dan Shilla bergantian.

“Lebih tepatnya, belum sepenuhya.,” jawab Shilla sendu.

“Loh? Dengan lo jadian sama Cakka, lo akan sepenuhnya bisa move on! Cakka bakal ngelindungin elo dari Alvin. Dan, lo bisa cerita ke nyokap lo kalo lo jadian sama Cakka. So, nyokap lo nggak akan ngejodoh-jodohin lo sama Alvin lagi. Iya ‘kan, Fy?!” usul Sivia bangga. Ify mengangguk-angguk, Sivia akhirnya peka juga.

“Betul! Sivia… LO JENIUS BANGET!!” kata Ify semangat. Shilla juga jadi cerah. Tapi kemudian dia murung lagi.
 
“Apa nggak kasian sama Cakka? Kayaknya gue manfaatin dia banget,”

“Aduh, Shilla… cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Bunga juga tumbuh jadi indah perlu waktu yang banyak ‘kan? Lagipula, manfaatnya positif, kok. Gue yakin Cakka nggak akan keberatan dengan hal itu. Pasti dia ngerti.,” ujar Ify semangat. Shilla pernah mendengar kata-kata itu, dan Shilla mulai bosan dengan kata-kata seperti itu. Nggak Cakka, nggak Ify…

“Iya… dia emang ngerti banget.,”

“Gini aja, deh. Perasaan lo ke dia sebenernya gimana?” tanya Sivia sembari memain-mainkan bolpoin di tangannya.

“Ya… gue suka, sih. Dia baik banget. Dia lucu, romantis, pengertian. Tapi dia terlalu sempurna. Gue nggak tau apa yang ada dibalik sikap sempurnanya. Dia juga lebih kayak Kakak gue dibanding gebetan.,” jawab Shilla apa adanya. Kini gantian Sivia dan Ify yang menghela napas pasrah. Dasar Shilla, hatinya setia banget. Pasti itu hanya akal-akalan dia aja dibalik kata ‘Belum bisa move on’.

“Jalanin aja dulu, Shill. Kalo tiba-tiba lo suka sama Cakka, terus Cakkanya punya pacar lain gara-gara capek nunggu jawaban dari lo, gimana? Inget, penyesalan selalu datang terakhir!” tukas Sivia menggebu-gebu. Dalam hati Shilla membenarkan perkataan Sivia. Penyesalan memang selalu datang terakhir. Jadi, dia harus sadar.

Thanks kaliaaaan!! Kalian emang sohib gueeeee!!!!!!!!” Shilla memeluk keduanya yang dipisahi oleh meja.

“HEI! KALIAN NGGAK DENGER APA BEL UDAH BUNYI 5 MENIT YANG LALU!?!” teriak Bu Marni galak.

“SSSHHHHHHH!!!” damprat Shilla, Ify dan Sivia yang gantian menghujani Bu Marni. Kemudian ketiganya langsung ngacir ke kelas.

***

Sepulang dari sekolah, Shilla pulang ke rumah bersama kedua sohibnya. Sebenarnya Shilla malas membawa dua sohib embernya ini, tapi ternyata keduanya betul-betul kepala batu. Malah Ify berhasil menyatroni mobil Shilla dan menyuruh pemiliknya duduk di bangku penumpang.

Alhasil Shilla hanya bisa pasrah sekarang memasuki rumahnya bersama Ify dan Sivia—yang kenapa akhir-akhir ini dirasakan begitu bawel—. Ify dan Sivia dengan kurangajarnya langsung masuk ke kamarnya—setelah bersalaman dengan Mama—dan meninggalkan Shilla yang menyandarkan diri dulu di sofa.

“Shill, kamu pake susuk, ya?” tanya Mama asal. Shilla langsung melotot. Apa-apaan sih mamanya ini? Emang Shilla nggak cukup cantik apa? Segala pake susuk. Emang dia sinden?!

“Apaansih Mama! Nanyanya asal banget!” jawab Shilla emosi.

“Abisan kamu dicariin sama tiga cowok sekaligus tadi siang, habis pulang sekolah. Tadi kamu kemana dulu, emang?” Shilla menyernyit. Banyak banget tiga? Setahu Shilla, dia cuma lagi deket sama satu cowok, deh.

“Tadi aku ke KFC bentar. Emang siapa, Ma?” tanya Shilla penasaran.

“Nggak tau.,”

“Loh? Kok nggak tau, sih, Ma??” tanya Shilla menuntut. Sial. Penyakit kepo-nya mulai kambuh. Terima kasih kepada Mama.

“Paling-paling ntar pada kesini lagi nyariin kamu.,” kata Mama ambigu. Shilla hanya bisa diam menanggapi perkataan Mama. Dia akhirnya menaiki tangga dan masuk ke kamar.

“Shil, pinjem hp lo dah.,” ujar Ify cepat. Padahal Shilla baru saja memasukki kamarnya. Tapi kini kamarnya sudah disatroni oleh kedua sohibnya. Mana keduanya memakan persediaan beng-bengnya hingga kandas, pula! Sedangkan sampahnya dibiarkan berserakan di lantai. Benar-benar kurangajar!

“Buat apaan sih? Hei, kamar gue kotor!” hardik Shilla sembari memunguti sampah beng-beng yang berserakan.

“Cepetan ah,” tukas Sivia nggak sabaran. Ini kenapa Sivia jadi ikut-ikutan juga?

“Jangan dipake yang aneh-aneh,” ucap Shilla memperingati. Dia sudah cukup waspada ketika Sivia sedikit menyeringai dan Ify yang menatapnya penuh kemenangan. Tak mau ambil pusing, Shilla memilih untuk berganti baju. Dia sudah cukup gerah dengan melihat kedua sohibnya.

Setelah berganti baju, Shilla makin curiga. Ify dan Sivia semakin menjadi-jadi, keduanya semakin nggak bisa menyembunyikan senyuman lebarnya. Shilla memicingkan mata. Dia lalu dengan sigap merebut ponselnya. Ify dan Sivia hobinya ngebajak twitter atau bbmnya, jadi siapa tau…

Cakka NRG
I’m on my way, now. Wait ya princess <3

Mata Shilla membulat. Apa-apaan ini?! Dia langsung men-scroll hingga ke paling atas percakapan. Sebelum Shilla menyudahi acara membaca bbmnya sendiri, Ify dan Sivia sudah ngacir ke bawah menuju taman belakang yang notabene-nya adalah basecamp mereka.

“IFY!!! SIVIA!!!!!!!!!!!!” teriakan Shilla langsung menggema ke seluruh penjuru rumah. Mama sendiri cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah laku ketiganya.

***

Beberapa menit kemudian Cakka sudah sampai dirumahnya. Diam-diam Shilla juga menghitung, kalau tadi ada 3 orang datang ke rumahnya, pasti salah satunya adalah Cakka. Dan dia jadi makin was-was kala Cakka masuk ke taman belakang rumahnya. Sedangkan Ify dan Sivia sudah cekikikan nggak karuan.

Shilla mempersilakan Cakka duduk di depan meja kecil bundar bersama kedua sohibnya, sementara dia masuk ke dalam untuk mengambil minuman. Taman belakang Shilla memang sangat nyaman. Ketiganya duduk dirumput yang tebal dengan alas kain bergambar berukuran besar. Cemilan juga selalu tersedia disana.

Cakka juga langsung merasa nyaman dengan suasana di taman belakang ‘calon pacar’nya ini. Ketiganya kemudian terlibat omongan seru. Setidaknya sampai Shilla datang, kemudian suasana langsung berubah canggung. Shilla sendiri nggak tahu mau berkata apa. sedangkan Ify dan Sivia sudah siap dengan kamera yang disembunyikan dibawah bantal.

“Kka.. sebenernya yang bbm tadi tuh…”

“Ah! Katanya lo mau ngomong sesuatu yang penting ‘kan?” Ify langsung nyamber bak petir. Shilla nggak memelototi Ify seperti biasa, dia hanya menggaruk kepalanya yang nggak gatal.

“Iya, Shill! Lo mau nerima Cakka ‘kan?” ucap Sivia frontal. Ify langsung menggetok kepala sohibnya itu. Shilla jadi makin gelagapan. Apalagi Cakka memandangnya intens.

“Aa.. Kka..,”

“Nggak usah dengerin kata mereka, Shill. Kamu mau ngomong apa?” tanya Cakka kalem. Shilla menghembuskan napasnya pelan.

“I-iya Kka.. bener kata Sivia,” ucap Shilla ambigu. Cakka menaikkan kedua alisnya, sementara kedua sohibnya makin kuat menahan tawa mereka agar tidak segera menyembur keluar.

“Oh ya? Kata yang seperti apa?” tanya Cakka menjebak. Shilla menguatkan hatinya. Ia menggigit bibir bawahnya sebentar.

“K-Kalo.. A-Aku.. ne-nerima pe-pe-pernyataan cinta ka-ka-kamu,” jawab Shilla gagu. Ify dan Sivia langsung memotret keduanya, kemudian keduanya juga langsung tertawa lepas. Di dalam foto tersebut, terlihat jelas Shilla sedang gugup dengan wajah memerah dan mimik muka yang kikuk. Di depannya Cakka berwajah kalem dan tenang.

“I-Ify! Si-Sivia! Kalian apaan-apaansih!” Shilla masih aja gagu. Sementara Ify dan Sivia sudah menertawakannya dengan keras. Dasar Shilla, kelewat polosnya. Tapi lebih polos Sivia, sih.

“Muka lo lucu abis, sumpah! By the way, selamat ya! Tanggal jadian kalian adalah  22 Desember pukul 17.15!” kata Ify semangat. Cakka hanya tersenyum simpul sementara Shilla makin memerah.

“Yeayers PJ!!!!” gantian Sivia yang semangat. Shilla sudah memelototi Sivia tajam. Tapi dasar Sivia yang kelewat nggak peka, dia hanya tetap cekikikan sambil terus memandang kamera di tangannya.

“Jangan dihiraukan ya teman-teman gue yang gila ini.,” kata Shilla malu-malu. Cakka mendekati Shilla, kemudian merangkul bahunya.

“So, karena kita berdua udah jadian, gue bakal ajak kalian ke kebun strawberry punya bokap gue di Bandung. Kebetulan sekarang lagi panen juga. Sekalian nginep di villa gue kalo kalian mau. Gimana?” Ify dan Sivia langsung berbinar-binar. Kapan lagi bisa jalan-jalan ke kebun Strawberry diantara kesibukan menjalani hari-hari di SMA? Punya bokapnya Cakka, pula! Berarti bisa ngambil banyak-banyak, dong! Dan… apa tadi dia bilang ‘nginep di villa gue’?! Cakka tajir banget.. itulah yang ada dipikiran ketiga cewek disekelilingnya ini.

“Boleh banget! Kapan kapan?!” tanya Ify dan Sivia kompak. Heboh, pula. Shilla hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kedua sohibnya yang nggak tahu malu ini.

“Kalo kalian mau nginep, Jum’at atau Sabtu aja. Kalo nggak mau nginep ya hari Minggu.,”

“Sabtu pagi aja! Nginep bukan ide buruk, kok! Ya ‘kan, Shill?!” tukas Sivia menggebu-gebu. Sivia sampai mencengkeram kedua pergelangan tangan Shilla supaya Shilla bisa mengerti ke-antusiasme-annya. Dasar, Sivia.

“Aduh, gimana ya.. gue nggak tau nyokap gue ngebolehin atau enggak,”

“Oh.. masalah nyokap lo mah biar kita bertiga yang atur. Ya ‘kan Kka? Fy?” kembali suara cempreng Sivia masuk dan memekakkan telinga Shilla. Daripada Shilla budek gara-gara rujukannya Sivia, jadi lebih baik dia mengangguk saja. “AAA MAKASIH SHILLAAAAA!!!” Sivia reflek memeluk Shilla sambil berteriak tepat di telinga sohibnya itu. Cakka dan Ify sama-sama tertawa, sedangkan Shilla? Entahlah… dia juga tidak tahu harus senang atau sedih. Perasaannya begitu campur aduk.

***

Cakka, Ify dan Sivia pulang sekitar pukul 7, dan karena itulah Shilla baru selesai mandi pukul setengah 8. Shilla begitu lelah hari ini. Mungkin beberapa persen kalorinya terbakar tanpa harus olahraga. Menghadapi dua sohib plus pacar barunya ternyata begitu menyusahkan dan melelahkan.

Mengingat soal ‘Pacar Baru’ sama seperti memulai kehidupan baru untuknya. Mulai sekarang pasti ponselnya akan terus berdering dan berisi tentang kabar cowoknya itu. Shilla juga meminta Cakka untuk tidak menutupi apapun darinya. Tentu aja Cakka menyanggupi dengan anggukan mantap dan senyuman khasnya.

Tapi Shilla juga masih penasaran dengan cowok kedua dan ketiga, yang kata Mama mencarinya siang tadi.

“Shill… ada tamu, nih!” teriak Mama dari ruang tamu. Shilla—yang notabenenya sedang berada di ruang keluarga—langsung beranjak ke ruang tamu dengan sedikit terburu-buru.

“Siapa, Ma?”

“Udah… samperin aja,” jawab Mama ambigu. Sial, Shilla benci dipermainkan oleh Mama. Tapi Shilla nggak ngomong apa-apa lagi sambil terus berjalan ke ruang tamu.

Shilla mengintip malu-malu. Bukan malu juga, tapi takut. Tapi itu cuma berlangsung beberapa saat aja. Selanjutnya, Shilla langsung berteriak keras—khas Shilla—sambil lari dan memeluk tamunya itu.

“GABRIEEEEELLLL!!! I MISSYAAAAAA!!!!!!!!!!!!! LO TEGA SAMA GUE !!!!!!!” teriak Shilla lebay. Gabriel—tamu tadi—hanya bisa terkekeh kala tubuhnya diguncang-guncang dengan dahsyat oleh Shilla. Gabriel ini adalah Kakak-kakakannya Shilla yang beda 3 tahun darinya. Tapi meski begitu, Shilla tetep nyolot sama Gabriel.

“Badan lo makin gajah aja. Gue kayak lagi kena gempa bumi, nih!” kata Gabriel sambil berusaha memberhentikan Shilla. Tapi sepertinya Shilla nggak peduli. Dia malah tetap mengguncang-guncang tubuh Gabriel di pelukannya.

“LO TEGAAA HUAAA!!! GILA LO GILA!!!!”

“Lo yang gila, bodoh. Teriak-teriak kayak orangutan. Rumah lo juga ikut tutup kuping, nih.,” ucap Gabriel datar. Dia pusing mendengar teriakan Shilla, sekaligus mual karena tubuhnya terus diguncang-guncang. “Shill… berenti, Shill. Gue pusing, bodoh!”

Sorry, Bang Kambing. Soalnya gue kangen banget sama elo. Gue peluk terus ya,” kata Shilla sambil tetap memeluk Gabriel. Sedangkan cowok itu hanya pasrah.

“Dasar… tetep nggak berubah. Manja, childish, lebay, alay..”

“Heh.. lo mah ngatain guenya keterusan. Dari hati banget lagi,”

“Haha.. tapi kayaknya sampe sekarang yang berani lo peluk cuma gue doang, ya?” tanya Gabriel berniat menyindir. Shilla langsung melepaskan pelukannya, lalu memukul-mukul Gabriel.

“Apaansih lo! Rese!”

“Ye… rese rese ngapain dikangenin?”

“Yaudah pulang aja lo sono ke alam lo!”

“Alam gue kan dihati elo, Shill.,” Shilla membeku.

“Anjir… gombalan lo. Please jangan bilang lo cucunya Eyang Subur!”

“Astaga, Shill. Eyang Subur, mulu. Kaga bosen? DEMI TU-HAAAAN!! Gue bukan cucunya!” kata Gabriel seraya mengangkat jari telunjuk dan tengahnya. Shilla kemudian menyernyit, memikirkan sesuatu.

“Lo tinggal dimana sekarang? Kenapa lo pergi nggak bilang-bilang sama gue? Kenapa elo sekarang ada disini lagi? Lo kesini sama siapa? Naik apa? dari kapan?”

“Buset.. lo udah cocok jadi reporter, Shill!”

“JAWAAAABBBBBBBB!!!!” teriak Shilla membahana. Gabriel sampai harus menutup kedua telinganya, saking kencengnya teriakan cewek disebelahnya ini.

“Lo berisik bener, sih.”

“JA—“

“IYA IYA GUE JAWAB!” tukas Gabriel, sebelum Shilla menghancurkan gendang telinganya. “Gue pergi ke UK..”

“Ngapain? Ngamen?”

“Yoi,”

“Serius lo?”

“Serius dong. By the way, di UK nggak ada grup band yang namanya ‘Serius’ lho,”

“Yaiyalah! Adanya juga ‘Serious’!”

“Bego lo, Shill.,”

“Lo tolol yang bego.,”

“Anjir makin banyak aja dosa gue disini,” tukas Gabriel prihatin. Shilla langsung tertawa ngakak. Memang hanya Gabriel yang bisa membuatnya tertawa lepas.

“Eh.. udah, ayo dong serius.,”

“Serius udah bubar.,” tukas Gabriel lagi. Shilla mendelik.

“Cepet!”

“Siapa duluan yang ngajak bercanda?”

“BURUAAAANNN!!”

“Shill… woy! Udah malem woy..” tukas Gabriel masih menutupi kedua telinganya. Gabriel langsung membekap mulut Shilla ketika dilihatnya cewek itu mau teriak lagi. “Mau lanjut nggak nih?” Shilla mengangguk. “Oke… jadi gini..” Gabriel jeda sejenak. “Jadi gitu ceritanya,”

“Kan elo belom cerita, kampret!” tukas Shilla kesal. Gabriel ketawa.

“Abisan muka lo serius banget, sih. Gue jadi nggak tega mau serius juga,”

“Gabriel Pangemanan!!”

“Itu sepupu gue, bodoh!” tukas Gabriel lalu menjitak pelan kepala Shilla. Cewek itu juga langsung melancarkan serangan balasan. Yaitu; memukul-mukul Gabriel dengan bantal sofa dibelakangnya.

“Gab… gue capek,”

“Suruh siapa mukul-mukul gue?”

“Makanya lo cerita, dong!” timpal Shilla memelas. Ia memajukan bibirnya seseksi yang dia bisa, tapi Gabriel malah mendamprat muka Shilla dengan bantal.

“Jangan sok seksi lo!”

“Gab, cepetan ah!”

“Iya.. iya..” Gabriel terlihat berpikir. “Lo mau gue cerita versi Adi Bing Slamet atau Arya Wiguna, nih?”

“Gab… jangan makanin infotainment mulu deh,” tukas Shilla malas.

“Okeoke…” Gabriel menghela sebentar. Mimik mukanya terlihat serius. “Gue ke UK, untuk nengok nenek gue yang sakit. Ternyata, setelah sampe disana, gue disuruh sekolah dan belajar ngurus perusahaan kakek yang disana, soalnya bokap gue udah megang perusahaan sendiri. nyokap bilang itu permintaan nenek. Beliau mau perusahaan kakek tetap dipimpin oleh keturunan Damanik. Dan sialnya, atau beruntungnya, gue adalah anak satu-satunya.”
“Gue nggak sempet bilang sama lo karena handphone gue diganti. Otomatis nomornya juga, soalnya nomor disana beda sama disini. Setelah sekitar 3 atau 4 tahun Nyokap gue bilang; beliau bakal nemenin gue disini, jadi rumah itu, rumah yang disamping rumah lo, dijual.”

“Tunggu! Terus bokap lo?”

“Tunggu dong, Shill…” Shilla manyun.
“Ternyata bokap sama sekali nggak tau kalo nyokap udah jual rumah itu. Terus bokap gue langsung nyusul nyokap ke UK buat minta penjelasan. Disanalah puncaknya…” Shilla bersumpah, baru kali ini ia melihat wajah Gabriel yang begitu pilu dan galau. Cewek itu lalu menggenggam tangan Gabriel. Berusaha menguatkannya.

“Gab…”

“Nyokap dan bokap berantem parah. Bokap nggak mau gue ngurus perusahaan kakek karena bokap udah punya surat wasiat yang isinya pimpinan perusahaan bokap jatuh ke tangan gue. Dan disitu gue baru tau kalo ternyata…”

“Ternyata?”

“Gue punya adik.,” Shilla hanya bisa diam sambil berusaha mencerna perkataan Gabriel.

“A-Adik?”

“Ya. Kata nyokap, waktu kecil gue selalu sakit-sakitan. Keluarga gue begitu miskin karena bokap nggak mau tumpangtindih sama kakek. Bokap sama nyokap udah abis-abisan untuk pengobatan gue. Belum lagi kebutuhan adik gue itu. Tapi kemudian ada keluarga kaya di seberang rumah gue yang dulu berniat membeli adik gue. Soalnya mereka nggak punya anak,”
“Dengan berat hati nyokap gue nyetujuin itu. Akhirnya gue sembuh dan bokap bisa merintis perusahaan dari nol sampai sekarang. Makanya, karena dua perusahaan ini, nyokap sama bokap setuju untuk nyari adik gue.,”

“Tapi.. kalo keluarga itu nggak mau balikin adik lo?”

“Ya.. gue juga bilang gitu sama nyokap-bokap gue. Tapi mereka cuma angkat bahu sambil bilang; ‘Sekarang cari aja dulu Brian—nama adik gue—‘” ucap Gabriel pilu. Shilla langsung mendekap Gabriel erat. Dia begitu sayang dengan Gabriel. Pemuda ini yang begitu mengerti dirinya dan banyak membantunya. Kini, giliran Shilla yang akan membantunya.

“Sekarang lo tinggal dimana?”

“Gue tinggal di deket-deket sini juga, kok.”

“Gue bakal bantuin lo, Gab!”

“Nyari orang itu susah, Shill. Belom lagi kalo ternyata Brian ganti nama,” kata Gabriel lesu. Shilla juga ikut lesu. Jujur, sepengetahuannya, nyari orang itu susah. Seperti kata Gabriel. Tapi…

“Tapi.. gue yakin lo bakal nemuin adik lo, Gab. Nyokap gue pernah bilang, kalo darah lebih pekat dari air. Lo pasti bisa ngerasain darah adik lo. Gue yakin!” ucap Shilla meyakinkan, Gabriel ikut tersenyum.

By the way.. gimana kabar lo? Masih jomblo ya?”

“Yeee enak aja! Elo tuh yang masih jomblo. Makanya, jangan nge-stuck mulu di Kak Saras!” tukas Shilla balik meledek. Gabriel tertawa mencemooh, antara niat dan nggak niat.

“Gue udah berkali-kali ganti cewek di UK, kaleee..!”

“Tapi nggak ada yang sebaik dan secantik gue kaaan?”

“Ewwh… disana ceweknya 1000 kali lebih baik dari elo, Shill. Lo tuh ya; bawel, sok imut, sok cantik, sok pinter, sok dewasa… ah lo tuh ‘master of nothing’ deh!!” kata Gabriel sambil menghitung dengan jarinya. Tapi tanpa disangka-sangka, ternyata Shilla malah terdiam. Gabriel melihat bahu cewek itu bergetar. Shilla nangis?

“Lo jahat, Gab.,”

“Shill.. sorry, Shill. Gue nggak maksud.. lo nggak seru banget sih masa gitu aja nangis?”

“Lo kalo nggak suka s-sama gu-gue bilang, Gab.,” ucap Shilla parau sambil terisak. Gabriel merutuk dalam hati, kenapa setiap kebahagiaan selalu berakhir dengan tangisan? Dan Gabriel benci mengalaminya.

“Gue nggak gitu, kok. Lebay ah masa gitu aja ngambek, lo kan sering gue bully. Lo kayak nggak kenal gue, deh.,”

“Bodo.,”

“Yaudah, yaudah, gue minta maaf.”

“Nggak gue maafin!”

“Trus gimana caranya biar lo maafin gue?” tanya Gabriel menyerah. Dia paling malas melihat Shilla menangis—walau dia nggak benar-benar ngeliat cewek itu nangis sekarang. Seumur-umur Gabriel baru melihat Shilla menangis satu kali, dan itu sudah bertahun-tahun yang lalu.

“Lo harus kasih tau gue apa yang ada di pikiran lo tentang gue selama ini,” ucap Shilla lebih tenang. Gabriel menghela napas. Shilla dari dulu nggak pernah berubah, selalu seperti anak kecil.

“Lo itu; baik, lucu, cantik, pinter, anak kecil, moody, lebay, aneh, beda dari yang lain. Dan yang terpenting…” Gabriel mendekati cewek itu, lalu memeluknya. “lo adalah cewek yang selama ini paling deket sama gue. Karena lo udah gue anggep adik gue sendiri. Kalo gue punya pacar, trus gue disuruh milih; main sama lo atau jemput pacar gue buat dinner, gue pasti bakal milih elo. Karena gue nggak mau kehilangan elo,” ujar Gabriel lembut. Shilla perlahan-lahan tersenyum, lalu balas memeluk Gabriel.

“Lo percaya kalo gue nangis?”

“Enggak, lah. Lo itu cewek terkuat yang pernah gue kenal selain nyokap gue. Mana mungkin lo nangis cuma gara-gara gue kata-katain?”

“Rese lo. Ngambil kesempatan dalam kesempitan.,”

“Kalo nggak suka gausah dibales dong pelukan gue. Sekarang siapa yang gak mau ngelepas?” tanya Gabriel menggoda. Shilla tetap memeluk Gabriel walau cowok itu sudah melepaskan pelukannya.

“Lo rese, Gab. Tapi gue sayang banget sama lo. Jangan tinggalin gue, ya.,”

“Gue bukan pacar lo,” kata Gabriel lalu tertawa.

“Iya emang bukan. Mana mau gue pacaran sama kakak gue sendiri,” ucap Shilla hangat. Perlahan Gabriel ikut tersenyum, lalu kembali memeluk Shilla.

“Adik gue yang paling manja itu ya elo.”

“Kan lo cuma punya gue, bego.,”

“Yap.. dan gue bersyukur punya elo,”

***

Gabriel baru pulang pukul 10 malam. Shilla sudah benar-benar kelelahan hari ini. Menghadapi Cakka, Ify, Sivia, Mama dan Gabriel dalam satu hari adalah hal paling berat dalam hidupnya. Soalnya semuanya sama-sama rese. Pacar dan kedua sohibnya bikin ribet, Mama suka bikin kepo, sedangkan Gabriel bikin Shilla capek ketawa.

Shilla menaiki undakan tangga untuk menuju kamarnya. Rumah sudah sepi. Papa pulang pukul 9 tadi sewaktu masih ada Gabriel. Dan Mama kelihatannya juga sudah tidur.

Setelah berada di kamar, Shilla mengurungkan diri untuk langsung tidur. Dia lebih tertarik dengan balkon kamarnya. Ia sudah lama tidak memandangi langit. Mungkin saja langit penuh dengan bintang, soalnya kan sekarang sudah malam. Semakin malam, semakin sedikit cahaya dari bumi, maka bintang yang muncul akan semakin banyak.

Tapi setelah Shilla duduk di balkon, lalu memandang langit, hanya ada pesawat yang lampunya berkelap-kelip mirip bintang. Sial? Mungkin. Karena setiap Shilla berada di balkon untuk memandangi langit, ia selalu bisa melihat satu bintang yang tetap bersinar terang disana. Tepat dimana Shilla memandanginya. Dan sialnya, Shilla selalu mengingat Alvin ketika ia memandangi bintang itu.

Ingat ketika Alvin menyakitinya. Ingat ketika Alvin begitu membuatnya jatuh cinta. Ingat ketika Alvin menyemangatinya. Ingat semua tentang Alvin. Tentang mantan pacarnya itu.

Shilla memejamkan matanya. Ia ingin kembali mengingat tentang Alvin. Ia tidak pernah, sama sekali melupakan Alvin. Hanya otaknya sajalah yang memerintahkannya untuk melupakan cowok itu. Tapi hatinya tetap mengingat dengan jelas, setiap detail cerita cintanya dengan cowok tersebut.

** 

So this is Part 5. sori kalo gak nyambung yea guys. makanya Comment, yang terburuk sekalipun, jadi aku bisa buat lebih bagus lagi. oke guys (: Thank u. 

Next Part --> 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS