LIMA
Shilla
membanting tasnya di meja. Duduk, lalu membenamkan wajahnya diatas tasnya tadi.
Shilla nggak peduli ini hari apa, jam berapa atau pelajaran siapa nanti. Dia
hanya ingin nangis. Merutuki kesialannya.
Siapa lagi
yang membuat Shilla seperti ini? Ya, pasti Mama. Sudah tiga hari ini Shilla
selalu diikuti oleh dewa sial. Dia juga harus mati-matian menahan emosinya yang
sudah di ubun-ubun. Mama selalu menelepon Alvin kalau ada waktu senggang. Entah
itu nanya kabar, nanya jadwal kosong, nanya-nanya soal kepribadian Alvin, malah
pernah menyuruh Alvin jemput Shilla.
Hhiiiihhhh~
Mama nggak tahu malu! Ups.
Lagian!
Memangnya Alvin bodyguard pribadi Shilla apa?! Shilla memaki dalam hati. Hal
yang baru-baru ini sering dilakukannya. Memaki, merutuk, berbicara dengan
kesal, hanya dalam hati. HANYA. DALAM. HATI.
“What
happened with you, dear?” tanya Ify sambil mengelus puncak kepala Shilla yang
sedang terkulai lemas diatas meja.
“Nothing.,”
jawab Shilla ogah-ogahan.
“Nothing
means everything.,” balas Sivia lembut. Dia memang paling paham sobatnya ini.
Shilla
mengangkat kepalanya. Membuka resleting tasnya, lalu mengeluarkan selembar
tissue. Ia mulai menyeka air mata yang terasa lengket di pipinya. Ify dan Sivia
memandang sambil tersenyum, sabar menunggu Shilla.
“I hate
everything!” maki Shilla tajam, lumayan keras juga. Shilla bercerita mulai dari
pertemuan Mama dengan Alvin, Mama yang minta nomor Alvin, sampai perlakuan Mama
terhadap Alvin. Seakan Mama nganggep Alvin itu menantunya saja!
“Emang
nyokap lo nggak tau kalo lo pernah jadian sama dia, trus disakitin sama dia?”
tanya Sivia hati-hati. Shilla menggeleng pelan, matanya menatap meja nggak
fokus. Seperti menerawang jauh.
“Ck. Ya
jelas aja, lah. Nyokap lo aja nggak tau. Jadi, lo mau marah juga nggak bisa.
Makanya, kalo ada apa-apa, cerita sama nyokap lo.,”
“Belum
saatnya.,” balas Shilla pelan. Dia memainkan kesepuluh jarinya.
“Yaudah. Lo
siapin aja hati yang tebel, ya. Jangan lupa obat sakit hatinya, lo bakal sangat
membutuhkannya!” timpal Ify agak sarkatis. Shilla juga salah, sih. Cerita
kepada Mama itu sangat penting. Kalau dipendam sendirian, ya bakal sakit hati.
Apalagi kasusnya seperti Shilla.
Tapi
tampaknya Ify benar. Shilla harus menyiapkan mental baja. Menghadapi Mama itu
sangat sulit. Shilla sepertinya butuh BUANYAK refreshing!
***
Malamnya,
Cakka datang ke rumah. Setelah 3 hari cowok itu hanya berkomunikasi dengannya
lewat bbm. Cakka juga membawa cokelat yang BUANYAK buat Shilla. Bawa bunga,
juga. Shilla, yang semula bete karena Mama, jadi semangat lagi. Cakka memang
mengerti Shilla, ya?
Cakka
kembali mengajak Shilla ke bukit. Tapi hari ini, Cakka hanya mau suasana
tenang. Jadi, cowok itu menyiapkan sebuah perahu kecil—yang entah dapat
darimana—diatas danau. Shilla juga senang dengan suasana seperti ini. Hangat.
Bersahabat. Dan dekat.
“I knew your
problem.,” ucap Cakka ketika mereka berdua sudah berada diatas perahu. Shilla
tampak kalem memainkan air danau.
“Nggak usah
sotil..,” tukas Shilla setengah bercanda. Sebetulnya Shilla hanya malas
membicarakan tentang persoalannya saat ini. Dia hanya ingin banyak-banyak
refreshing. Pikirannya terlalu banyak. Sakit hati ternyata bisa berpengaruh
buruk buat otaknya.
“Nggak usah
ngelak..,” balas Cakka telak. Shilla cuma mencibir. Malas menanggapi ucapan
Cakka. “Okay, sorry. Tapi serius, you don’t have to think hard for that
problem. Kan masih ada gue.,” Shilla menyernyit.
“Maksudnya?”
tanya Shilla dengan dahi berkerut. Cakka menggenggam tangan Shilla—yang posisi
mereka memang berhadap-hadapan-.
“Shilla..
maybe, I’m not your mother’s favorite. Aku baru kenal kamu 3 minggu-an. But,
aku rasa… semakin aku sering jalan sama kamu, aku tau kalo aku sayang sama
kamu.,” Shilla terdiam. Dia benar-benar belum siap. “Shill, would you be mine?”
ucap Cakka lembut.
Shilla masih
mendadak bisu. Dia nggak nyangka Cakka bakal nembak secepat ini. Tapi kalau
kata Pak Jusuf Kalla sih, lebih cepat lebih baik. Faster is better. Dengan
begitu juga, Cakka nggak akan dapet saingan. Shilla juga lebih bisa dilindungi
dari Alvin.
Cakka juga
merupakan cowok yang baik. Kalangan kelas atas, bertanggungjawab, perhatian,
dan yang terpenting; Dia menyayangi Shilla. Dia bahkan nggak keberatan kalau
Shilla mengajak kedua sohibnya yang rempong untuk ikut jalan bersama mereka.
Kecuali sekarang, tentunya.
Tapi di satu
sisi, Shilla masih belum bisa percaya dengan Cakka. Apa nggak salah cowok ini
nembak dia? Apa cowok ini nggak berpikir, dia hanya dijadikan pelampiasan
semata? Shilla itu belum terlalu bisa move on dari Alvin. Seberapa keras
usahanya untuk lupa dengan cowok itu, Shilla masih belum bisa. Ada saja tentang
cowok itu yang nyangkut di kepalanya.
“G-Gue…
nggak tau.,” jawab Shilla pasrah. Dia memang betul-betul nggak tahu. Daripada
dia nantinya hanya bisa nyakitin Cakka, mending nggak usah, deh.
“Lo masih
ragu sama gue?” tanya Cakka pelan, lembut. Shilla jadi nggak enak hati. Cakka
sudah betul-betul baik padanya. Kenapa tidak, ia menerima cowok itu sebagai
balasan?
“Gue… cuma
takut. Nantinya gue bakal nyakitin lo,” ucap Shilla sambil menunduk. Cakka
tersenyum, ia kemudian tertawa pelan.
“Masalah
itu.. kenapa harus dipikirin sekarang? Gue nembak lo, karena gue sayang sama
lo. Karena gue, mau bantuin lo bangkit dari cowok brengsek itu. Dan gue yakin,
perasaan cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu.,” kata Cakka bijak.
Shilla mengerjapkan matanya berkali-kali. Berusaha mencerna kata-kata Cakka.
“Are you…
serious? Lo nggak takut disakitin sama gue?” tanya Shilla blak-blakan. Cakka
tersenyum lagi.
“Buat apa
gue takut? Masalah sakit hati, gue udah sering sakit hati. Hidup ini penuh
resiko, iya ‘kan? Gue nembak lo juga, gue udah tau resikonya. Tapi gue nggak
pernah takut akan resiko yang udah gue perkirakan.,” Shilla tertegun. Dia tidak
tahu Cakka se-dewasa itu. Walau memang Cakka satu tingkat diatasnya, tapi
sepertinya Cakka sangat mengerti.
“Tapi…”
“Look, I
promise I won’t hurt you. Cewek memang kayak Barbie, tapi cowok sejati nggak
main Barbie. So, you don’t have to scared. I love u for no reason. Gue hanya
cinta elo, karena gue mau elo bahagia. That’s all,” ucap Cakka lagi. Shilla
kembali tertegun. Apa benar cowok ini adalah cowok yang sudah sekitar 3 minggu
ia kenal? Kenapa dia begitu berbeda?
Apa yang
sebenarnya yang ada dibalik semua tatapan ketulusan cowok itu? Shilla masih
saja diliputi keraguan. Dia tidak tahu-menahu tentang Cakka. Banyak bagian dari
cowok itu yang masih misteri untuknya. Dan Shilla tidak tahu apa yang akan
cowok itu lakukan lagi ke depannya.
“I doubt…”
“Need time
to think?” tanya Cakka lembut. Tatapan itu begitu teduh, sehingga Shilla
seperti tersedot ke dalamnya.
“Sepertinya,”
jawab Shilla pelan. Cakka hanya tersenyum, tapi dia tetap tidak melepaskan
genggamannya.
Setelah
agaknya kejadian tadi menimbulkan kecanggungan, Cakka segera mengeluarkan
cokelat-cokelat yang tadi ia bawakan untuk Shilla. Ia lalu membukakannya untuk
dirinya sendiri, lalu menawari Shilla. Cokelat itu banyak, Shilla tidak perlu
takut kehabisan.
Cakka
menginstruksikan Shilla untuk duduk membelakanginya. Shilla menurut, walau ia
agak takut dengan perahu yang bergoyang-goyang karena gerakannya. Setelah
Shilla membelakangi Cakka, cowok itu menarik Shilla hingga ia menyandar pada
dada bidangnya.
Shilla
awalnya terkejut. Tapi akhirnya dia merasa nyaman. Cakka begitu hangat, begitu
nyaman sebagai sandaran. Shilla pun ikut memakan cokelat bersama Cakka. Mereka
membicarakan banyak hal. Shilla juga seperti hanyut dalam pribadi Cakka yang
mengalir seperti air.
Dan Shilla
juga sudah melupakan tentang sakit hatinya. Pada Alvin dan Mama. Thanks to
Cakka!
“Oh ya,
Kka.. darimana lo tau tentang masalah gue?” tanya Shilla penasaran.
“Dari dua
orang cewek yang udah jadi fans gue sejak gue ikut DBL di Surabaya kira-kira 2
tahun lalu,” jawab Cakka tanpa menyebutkan nama. Tapi Shilla tahu siapa itu.
“Ternyata
sohib gue ember banget, ya?”
“Embernya
karena kebaikan, kok. dan lebih bagus karena embernya ke gue. Nggak ke orang
yang salah,”
Shilla hanya
bisa tersenyum. Yaa… Ify dan Sivia memang begitu mengerti. Sekarang Shilla
sudah benar-benar bisa melupakan masalah Alvin dan Mama. Yang sekarang Shilla
pikirkan adalah; perasaannya pada Cakka.
***
“WHAT???
DITEMBAK???!!!”
“SSSHHHHHHH!!!!!!!!!”
Ify dan Sivia langsung memayungi diri mereka dengan buku. Rasanya ingin sekali
mendamprat Shilla! Kenapa ketemuannya harus di perpustakaan, sih? Gerutu Ify
dan Sivia kompak. Yang pastinya, dalam hati. Sedangkan Shilla ngakak tanpa
suara. Dia tahu Ify dan Sivia pasti bakal kaget dan berisik, makanya dia
meminta kedua sohibnya untuk ke perpustakaan.
“Rasain!
Emang enak di’ujanin’ Bu Marni..” ledek Shilla dengan volume super kecil. Ify
merengut, Sivia ikutan merengut. “Jelek lo berdua!” tukas Shilla sembari
membalik-balik buku ensiklopedia yang berada di depannya.
“Nah, terus
lo sekarang udah jadian?” tanya Ify antusias.
“PJ dong!”
tukas Sivia dengan volume sedang. Shilla menghela napas, lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kalian
pasti mikir gitu. Gue udah tau,” ucap Shilla malas. Ify membulatkan matanya,
sedangkan Sivia mengerutkan kening. Ify memang selalu lebih tanggap, ‘kan?
“Lo nolak?!”
tanya Ify panik. Kedua tangannya refleks mencengkeram kedua bahu Shilla yang
memang berada di depannya. Shilla meringis.
“Bukan
nolak.. cuma belom jawab.,”
“Gila lo!
Ditembak cowok seganteng Cakka aja masih mikir. Gengsi lo?” tukas Sivia pedas.
Tapi Shilla hanya angkat bahu. Shilla bukan Acha—yang waktu nerima Ozy harus
nunggu seminggu dulu—, dia hanya Shilla. Yang selalu berpikir dengan perasaan
dan hatinya.
“Bukan
masalah itu,”
“Lo masih
belom bisa move on?” tanya Ify peka. Sivia celingak-celinguk, menatap ke arah
Ify dan Shilla bergantian.
“Lebih
tepatnya, belum sepenuhya.,” jawab Shilla sendu.
“Loh? Dengan
lo jadian sama Cakka, lo akan sepenuhnya bisa move on! Cakka bakal ngelindungin
elo dari Alvin. Dan, lo bisa cerita ke nyokap lo kalo lo jadian sama Cakka. So,
nyokap lo nggak akan ngejodoh-jodohin lo sama Alvin lagi. Iya ‘kan, Fy?!” usul
Sivia bangga. Ify mengangguk-angguk, Sivia akhirnya peka juga.
“Betul!
Sivia… LO JENIUS BANGET!!” kata Ify semangat. Shilla juga jadi cerah. Tapi
kemudian dia murung lagi.
“Apa nggak
kasian sama Cakka? Kayaknya gue manfaatin dia banget,”
“Aduh,
Shilla… cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Bunga juga tumbuh jadi
indah perlu waktu yang banyak ‘kan? Lagipula, manfaatnya positif, kok. Gue
yakin Cakka nggak akan keberatan dengan hal itu. Pasti dia ngerti.,” ujar Ify
semangat. Shilla pernah mendengar kata-kata itu, dan Shilla mulai bosan dengan
kata-kata seperti itu. Nggak Cakka, nggak Ify…
“Iya… dia
emang ngerti banget.,”
“Gini aja,
deh. Perasaan lo ke dia sebenernya gimana?” tanya Sivia sembari memain-mainkan
bolpoin di tangannya.
“Ya… gue
suka, sih. Dia baik banget. Dia lucu, romantis, pengertian. Tapi dia terlalu
sempurna. Gue nggak tau apa yang ada dibalik sikap sempurnanya. Dia juga lebih
kayak Kakak gue dibanding gebetan.,” jawab Shilla apa adanya. Kini gantian
Sivia dan Ify yang menghela napas pasrah. Dasar Shilla, hatinya setia banget.
Pasti itu hanya akal-akalan dia aja dibalik kata ‘Belum bisa move on’.
“Jalanin aja
dulu, Shill. Kalo tiba-tiba lo suka sama Cakka, terus Cakkanya punya pacar lain
gara-gara capek nunggu jawaban dari lo, gimana? Inget, penyesalan selalu datang
terakhir!” tukas Sivia menggebu-gebu. Dalam hati Shilla membenarkan perkataan
Sivia. Penyesalan memang selalu datang terakhir. Jadi, dia harus sadar.
“Thanks
kaliaaaan!! Kalian emang sohib gueeeee!!!!!!!!” Shilla memeluk keduanya yang
dipisahi oleh meja.
“HEI! KALIAN
NGGAK DENGER APA BEL UDAH BUNYI 5 MENIT YANG LALU!?!” teriak Bu Marni galak.
“SSSHHHHHHH!!!”
damprat Shilla, Ify dan Sivia yang gantian menghujani Bu Marni. Kemudian
ketiganya langsung ngacir ke kelas.
***
Sepulang
dari sekolah, Shilla pulang ke rumah bersama kedua sohibnya. Sebenarnya Shilla
malas membawa dua sohib embernya ini, tapi ternyata keduanya betul-betul kepala
batu. Malah Ify berhasil menyatroni mobil Shilla dan menyuruh pemiliknya duduk
di bangku penumpang.
Alhasil
Shilla hanya bisa pasrah sekarang memasuki rumahnya bersama Ify dan Sivia—yang
kenapa akhir-akhir ini dirasakan begitu bawel—. Ify dan Sivia dengan kurangajarnya
langsung masuk ke kamarnya—setelah bersalaman dengan Mama—dan meninggalkan
Shilla yang menyandarkan diri dulu di sofa.
“Shill, kamu
pake susuk, ya?” tanya Mama asal. Shilla langsung melotot. Apa-apaan sih
mamanya ini? Emang Shilla nggak cukup cantik apa? Segala pake susuk. Emang dia
sinden?!
“Apaansih
Mama! Nanyanya asal banget!” jawab Shilla emosi.
“Abisan kamu
dicariin sama tiga cowok sekaligus tadi siang, habis pulang sekolah. Tadi kamu
kemana dulu, emang?” Shilla menyernyit. Banyak banget tiga? Setahu Shilla, dia
cuma lagi deket sama satu cowok, deh.
“Tadi aku ke
KFC bentar. Emang siapa, Ma?” tanya Shilla penasaran.
“Nggak
tau.,”
“Loh? Kok
nggak tau, sih, Ma??” tanya Shilla menuntut. Sial. Penyakit kepo-nya mulai kambuh. Terima kasih kepada Mama.
“Paling-paling
ntar pada kesini lagi nyariin kamu.,” kata Mama ambigu. Shilla hanya bisa diam
menanggapi perkataan Mama. Dia akhirnya menaiki tangga dan masuk ke kamar.
“Shil,
pinjem hp lo dah.,” ujar Ify cepat. Padahal Shilla baru saja memasukki kamarnya.
Tapi kini kamarnya sudah disatroni oleh kedua sohibnya. Mana keduanya memakan
persediaan beng-bengnya hingga kandas, pula! Sedangkan sampahnya dibiarkan
berserakan di lantai. Benar-benar kurangajar!
“Buat apaan
sih? Hei, kamar gue kotor!” hardik Shilla sembari memunguti sampah beng-beng
yang berserakan.
“Cepetan
ah,” tukas Sivia nggak sabaran. Ini kenapa Sivia jadi ikut-ikutan juga?
“Jangan
dipake yang aneh-aneh,” ucap Shilla memperingati. Dia sudah cukup waspada
ketika Sivia sedikit menyeringai dan Ify yang menatapnya penuh kemenangan. Tak
mau ambil pusing, Shilla memilih untuk berganti baju. Dia sudah cukup gerah
dengan melihat kedua sohibnya.
Setelah
berganti baju, Shilla makin curiga. Ify dan Sivia semakin menjadi-jadi,
keduanya semakin nggak bisa menyembunyikan senyuman lebarnya. Shilla
memicingkan mata. Dia lalu dengan sigap merebut ponselnya. Ify dan Sivia
hobinya ngebajak twitter atau bbmnya, jadi siapa tau…
Cakka NRG
I’m on my
way, now. Wait ya princess <3
Mata Shilla
membulat. Apa-apaan ini?! Dia langsung men-scroll hingga ke paling atas
percakapan. Sebelum Shilla menyudahi acara membaca bbmnya sendiri, Ify dan
Sivia sudah ngacir ke bawah menuju taman belakang yang notabene-nya adalah
basecamp mereka.
“IFY!!!
SIVIA!!!!!!!!!!!!” teriakan Shilla langsung menggema ke seluruh penjuru rumah.
Mama sendiri cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah laku ketiganya.
***
Beberapa
menit kemudian Cakka sudah sampai dirumahnya. Diam-diam Shilla juga menghitung,
kalau tadi ada 3 orang datang ke rumahnya, pasti salah satunya adalah Cakka.
Dan dia jadi makin was-was kala Cakka masuk ke taman belakang rumahnya.
Sedangkan Ify dan Sivia sudah cekikikan nggak karuan.
Shilla
mempersilakan Cakka duduk di depan meja kecil bundar bersama kedua sohibnya,
sementara dia masuk ke dalam untuk mengambil minuman. Taman belakang Shilla
memang sangat nyaman. Ketiganya duduk dirumput yang tebal dengan alas kain
bergambar berukuran besar. Cemilan juga selalu tersedia disana.
Cakka juga
langsung merasa nyaman dengan suasana di taman belakang ‘calon pacar’nya ini.
Ketiganya kemudian terlibat omongan seru. Setidaknya sampai Shilla datang,
kemudian suasana langsung berubah canggung. Shilla sendiri nggak tahu mau
berkata apa. sedangkan Ify dan Sivia sudah siap dengan kamera yang
disembunyikan dibawah bantal.
“Kka..
sebenernya yang bbm tadi tuh…”
“Ah! Katanya
lo mau ngomong sesuatu yang penting ‘kan?” Ify langsung nyamber bak petir.
Shilla nggak memelototi Ify seperti biasa, dia hanya menggaruk kepalanya yang
nggak gatal.
“Iya, Shill!
Lo mau nerima Cakka ‘kan?” ucap Sivia frontal. Ify langsung menggetok kepala
sohibnya itu. Shilla jadi makin gelagapan. Apalagi Cakka memandangnya intens.
“Aa..
Kka..,”
“Nggak usah
dengerin kata mereka, Shill. Kamu mau ngomong apa?” tanya Cakka kalem. Shilla
menghembuskan napasnya pelan.
“I-iya Kka..
bener kata Sivia,” ucap Shilla ambigu. Cakka menaikkan kedua alisnya, sementara
kedua sohibnya makin kuat menahan tawa mereka agar tidak segera menyembur
keluar.
“Oh ya? Kata
yang seperti apa?” tanya Cakka menjebak. Shilla menguatkan hatinya. Ia
menggigit bibir bawahnya sebentar.
“K-Kalo..
A-Aku.. ne-nerima pe-pe-pernyataan cinta ka-ka-kamu,” jawab Shilla gagu. Ify
dan Sivia langsung memotret keduanya, kemudian keduanya juga langsung tertawa
lepas. Di dalam foto tersebut, terlihat jelas Shilla sedang gugup dengan wajah
memerah dan mimik muka yang kikuk. Di depannya Cakka berwajah kalem dan tenang.
“I-Ify!
Si-Sivia! Kalian apaan-apaansih!” Shilla masih aja gagu. Sementara Ify dan
Sivia sudah menertawakannya dengan keras. Dasar Shilla, kelewat polosnya. Tapi
lebih polos Sivia, sih.
“Muka lo
lucu abis, sumpah! By the way, selamat ya! Tanggal jadian kalian adalah 22 Desember pukul 17.15!” kata Ify semangat.
Cakka hanya tersenyum simpul sementara Shilla makin memerah.
“Yeayers
PJ!!!!” gantian Sivia yang semangat. Shilla sudah memelototi Sivia tajam. Tapi
dasar Sivia yang kelewat nggak peka, dia hanya tetap cekikikan sambil terus
memandang kamera di tangannya.
“Jangan
dihiraukan ya teman-teman gue yang gila ini.,” kata Shilla malu-malu. Cakka
mendekati Shilla, kemudian merangkul bahunya.
“So, karena
kita berdua udah jadian, gue bakal ajak kalian ke kebun strawberry punya bokap
gue di Bandung. Kebetulan sekarang lagi panen juga. Sekalian nginep di villa
gue kalo kalian mau. Gimana?” Ify dan Sivia langsung berbinar-binar. Kapan lagi
bisa jalan-jalan ke kebun Strawberry diantara kesibukan menjalani hari-hari di
SMA? Punya bokapnya Cakka, pula! Berarti bisa ngambil banyak-banyak, dong! Dan…
apa tadi dia bilang ‘nginep di villa gue’?! Cakka tajir banget.. itulah yang
ada dipikiran ketiga cewek disekelilingnya ini.
“Boleh
banget! Kapan kapan?!” tanya Ify dan Sivia kompak. Heboh, pula. Shilla hanya
bisa geleng-geleng kepala melihat kedua sohibnya yang nggak tahu malu ini.
“Kalo kalian
mau nginep, Jum’at atau Sabtu aja. Kalo nggak mau nginep ya hari Minggu.,”
“Sabtu pagi
aja! Nginep bukan ide buruk, kok! Ya ‘kan, Shill?!” tukas Sivia menggebu-gebu.
Sivia sampai mencengkeram kedua pergelangan tangan Shilla supaya Shilla bisa
mengerti ke-antusiasme-annya. Dasar, Sivia.
“Aduh,
gimana ya.. gue nggak tau nyokap gue ngebolehin atau enggak,”
“Oh..
masalah nyokap lo mah biar kita bertiga yang atur. Ya ‘kan Kka? Fy?” kembali
suara cempreng Sivia masuk dan memekakkan telinga Shilla. Daripada Shilla budek
gara-gara rujukannya Sivia, jadi lebih baik dia mengangguk saja. “AAA MAKASIH
SHILLAAAAA!!!” Sivia reflek memeluk Shilla sambil berteriak tepat di telinga
sohibnya itu. Cakka dan Ify sama-sama tertawa, sedangkan Shilla? Entahlah… dia
juga tidak tahu harus senang atau sedih. Perasaannya begitu campur aduk.
***
Cakka, Ify
dan Sivia pulang sekitar pukul 7, dan karena itulah Shilla baru selesai mandi
pukul setengah 8. Shilla begitu lelah hari ini. Mungkin beberapa persen
kalorinya terbakar tanpa harus olahraga. Menghadapi dua sohib plus pacar
barunya ternyata begitu menyusahkan dan melelahkan.
Mengingat
soal ‘Pacar Baru’ sama seperti memulai kehidupan baru untuknya. Mulai sekarang
pasti ponselnya akan terus berdering dan berisi tentang kabar cowoknya itu.
Shilla juga meminta Cakka untuk tidak menutupi apapun darinya. Tentu aja Cakka
menyanggupi dengan anggukan mantap dan senyuman khasnya.
Tapi Shilla
juga masih penasaran dengan cowok kedua dan ketiga, yang kata Mama mencarinya
siang tadi.
“Shill… ada
tamu, nih!” teriak Mama dari ruang tamu. Shilla—yang notabenenya sedang berada
di ruang keluarga—langsung beranjak ke ruang tamu dengan sedikit terburu-buru.
“Siapa, Ma?”
“Udah…
samperin aja,” jawab Mama ambigu. Sial, Shilla benci dipermainkan oleh Mama.
Tapi Shilla nggak ngomong apa-apa lagi sambil terus berjalan ke ruang tamu.
Shilla
mengintip malu-malu. Bukan malu juga, tapi takut. Tapi itu cuma berlangsung
beberapa saat aja. Selanjutnya, Shilla langsung berteriak keras—khas
Shilla—sambil lari dan memeluk tamunya itu.
“GABRIEEEEELLLL!!!
I MISSYAAAAAA!!!!!!!!!!!!! LO TEGA SAMA GUE !!!!!!!” teriak Shilla lebay. Gabriel—tamu
tadi—hanya bisa terkekeh kala tubuhnya diguncang-guncang dengan dahsyat oleh
Shilla. Gabriel ini adalah Kakak-kakakannya Shilla yang beda 3 tahun darinya.
Tapi meski begitu, Shilla tetep nyolot sama Gabriel.
“Badan lo
makin gajah aja. Gue kayak lagi kena gempa bumi, nih!” kata Gabriel sambil
berusaha memberhentikan Shilla. Tapi sepertinya Shilla nggak peduli. Dia malah
tetap mengguncang-guncang tubuh Gabriel di pelukannya.
“LO TEGAAA
HUAAA!!! GILA LO GILA!!!!”
“Lo yang
gila, bodoh. Teriak-teriak kayak orangutan. Rumah lo juga ikut tutup kuping,
nih.,” ucap Gabriel datar. Dia pusing mendengar teriakan Shilla, sekaligus mual
karena tubuhnya terus diguncang-guncang. “Shill… berenti, Shill. Gue pusing,
bodoh!”
“Sorry, Bang
Kambing. Soalnya gue kangen banget sama elo. Gue peluk terus ya,” kata Shilla
sambil tetap memeluk Gabriel. Sedangkan cowok itu hanya pasrah.
“Dasar…
tetep nggak berubah. Manja, childish, lebay, alay..”
“Heh.. lo
mah ngatain guenya keterusan. Dari hati banget lagi,”
“Haha.. tapi
kayaknya sampe sekarang yang berani lo peluk cuma gue doang, ya?” tanya Gabriel
berniat menyindir. Shilla langsung melepaskan pelukannya, lalu memukul-mukul
Gabriel.
“Apaansih
lo! Rese!”
“Ye… rese
rese ngapain dikangenin?”
“Yaudah
pulang aja lo sono ke alam lo!”
“Alam gue
kan dihati elo, Shill.,” Shilla membeku.
“Anjir…
gombalan lo. Please jangan bilang lo cucunya Eyang Subur!”
“Astaga,
Shill. Eyang Subur, mulu. Kaga bosen? DEMI TU-HAAAAN!! Gue bukan cucunya!” kata
Gabriel seraya mengangkat jari telunjuk dan tengahnya. Shilla kemudian
menyernyit, memikirkan sesuatu.
“Lo tinggal
dimana sekarang? Kenapa lo pergi nggak bilang-bilang sama gue? Kenapa elo
sekarang ada disini lagi? Lo kesini sama siapa? Naik apa? dari kapan?”
“Buset.. lo
udah cocok jadi reporter, Shill!”
“JAWAAAABBBBBBBB!!!!”
teriak Shilla membahana. Gabriel sampai harus menutup kedua telinganya, saking
kencengnya teriakan cewek disebelahnya ini.
“Lo berisik
bener, sih.”
“JA—“
“IYA IYA GUE
JAWAB!” tukas Gabriel, sebelum Shilla menghancurkan gendang telinganya. “Gue
pergi ke UK..”
“Ngapain?
Ngamen?”
“Yoi,”
“Serius lo?”
“Serius
dong. By the way, di UK nggak ada grup band yang namanya ‘Serius’ lho,”
“Yaiyalah!
Adanya juga ‘Serious’!”
“Bego lo,
Shill.,”
“Lo tolol
yang bego.,”
“Anjir makin
banyak aja dosa gue disini,” tukas Gabriel prihatin. Shilla langsung tertawa
ngakak. Memang hanya Gabriel yang bisa membuatnya tertawa lepas.
“Eh.. udah,
ayo dong serius.,”
“Serius udah
bubar.,” tukas Gabriel lagi. Shilla mendelik.
“Cepet!”
“Siapa
duluan yang ngajak bercanda?”
“BURUAAAANNN!!”
“Shill… woy!
Udah malem woy..” tukas Gabriel masih menutupi kedua telinganya. Gabriel
langsung membekap mulut Shilla ketika dilihatnya cewek itu mau teriak lagi. “Mau lanjut nggak nih?” Shilla mengangguk. “Oke… jadi gini..” Gabriel jeda
sejenak. “Jadi gitu ceritanya,”
“Kan elo
belom cerita, kampret!” tukas Shilla kesal. Gabriel ketawa.
“Abisan muka
lo serius banget, sih. Gue jadi nggak tega mau serius juga,”
“Gabriel
Pangemanan!!”
“Itu sepupu gue,
bodoh!” tukas Gabriel lalu menjitak pelan kepala Shilla. Cewek itu juga
langsung melancarkan serangan balasan. Yaitu; memukul-mukul Gabriel dengan
bantal sofa dibelakangnya.
“Gab… gue
capek,”
“Suruh siapa
mukul-mukul gue?”
“Makanya lo
cerita, dong!” timpal Shilla memelas. Ia memajukan bibirnya seseksi yang dia
bisa, tapi Gabriel malah mendamprat muka Shilla dengan bantal.
“Jangan sok
seksi lo!”
“Gab,
cepetan ah!”
“Iya..
iya..” Gabriel terlihat berpikir. “Lo mau gue cerita versi Adi Bing Slamet atau
Arya Wiguna, nih?”
“Gab… jangan
makanin infotainment mulu deh,” tukas Shilla malas.
“Okeoke…”
Gabriel menghela sebentar. Mimik mukanya terlihat serius. “Gue ke UK, untuk
nengok nenek gue yang sakit. Ternyata, setelah sampe disana, gue disuruh
sekolah dan belajar ngurus perusahaan kakek yang disana, soalnya bokap gue udah
megang perusahaan sendiri. nyokap bilang itu permintaan nenek. Beliau mau
perusahaan kakek tetap dipimpin oleh keturunan Damanik. Dan sialnya, atau
beruntungnya, gue adalah anak satu-satunya.”
“Gue nggak
sempet bilang sama lo karena handphone gue diganti. Otomatis nomornya juga,
soalnya nomor disana beda sama disini. Setelah sekitar 3 atau 4 tahun Nyokap
gue bilang; beliau bakal nemenin gue disini, jadi rumah itu, rumah yang
disamping rumah lo, dijual.”
“Tunggu!
Terus bokap lo?”
“Tunggu
dong, Shill…” Shilla manyun.
“Ternyata
bokap sama sekali nggak tau kalo nyokap udah jual rumah itu. Terus bokap gue
langsung nyusul nyokap ke UK buat minta penjelasan. Disanalah puncaknya…”
Shilla bersumpah, baru kali ini ia melihat wajah Gabriel yang begitu pilu dan
galau. Cewek itu lalu menggenggam tangan Gabriel. Berusaha menguatkannya.
“Gab…”
“Nyokap dan
bokap berantem parah. Bokap nggak mau gue ngurus perusahaan kakek karena bokap
udah punya surat wasiat yang isinya pimpinan perusahaan bokap jatuh ke tangan
gue. Dan disitu gue baru tau kalo ternyata…”
“Ternyata?”
“Gue punya
adik.,” Shilla hanya bisa diam sambil berusaha mencerna perkataan Gabriel.
“A-Adik?”
“Ya. Kata
nyokap, waktu kecil gue selalu sakit-sakitan. Keluarga gue begitu miskin karena
bokap nggak mau tumpangtindih sama kakek. Bokap sama nyokap udah abis-abisan
untuk pengobatan gue. Belum lagi kebutuhan adik gue itu. Tapi kemudian ada
keluarga kaya di seberang rumah gue yang dulu berniat membeli adik gue. Soalnya
mereka nggak punya anak,”
“Dengan
berat hati nyokap gue nyetujuin itu. Akhirnya gue sembuh dan bokap bisa
merintis perusahaan dari nol sampai sekarang. Makanya, karena dua perusahaan
ini, nyokap sama bokap setuju untuk nyari adik gue.,”
“Tapi.. kalo
keluarga itu nggak mau balikin adik lo?”
“Ya.. gue
juga bilang gitu sama nyokap-bokap gue. Tapi mereka cuma angkat bahu sambil
bilang; ‘Sekarang cari aja dulu Brian—nama adik gue—‘” ucap Gabriel pilu.
Shilla langsung mendekap Gabriel erat. Dia begitu sayang dengan Gabriel. Pemuda
ini yang begitu mengerti dirinya dan banyak membantunya. Kini, giliran Shilla
yang akan membantunya.
“Sekarang lo
tinggal dimana?”
“Gue tinggal
di deket-deket sini juga, kok.”
“Gue bakal
bantuin lo, Gab!”
“Nyari orang
itu susah, Shill. Belom lagi kalo ternyata Brian ganti nama,” kata Gabriel
lesu. Shilla juga ikut lesu. Jujur, sepengetahuannya, nyari orang itu susah.
Seperti kata Gabriel. Tapi…
“Tapi.. gue
yakin lo bakal nemuin adik lo, Gab. Nyokap gue pernah bilang, kalo darah lebih
pekat dari air. Lo pasti bisa ngerasain darah adik lo. Gue yakin!” ucap Shilla
meyakinkan, Gabriel ikut tersenyum.
“By the
way.. gimana kabar lo? Masih jomblo ya?”
“Yeee enak
aja! Elo tuh yang masih jomblo. Makanya, jangan nge-stuck mulu di Kak Saras!”
tukas Shilla balik meledek. Gabriel tertawa mencemooh, antara niat dan nggak
niat.
“Gue udah
berkali-kali ganti cewek di UK, kaleee..!”
“Tapi nggak
ada yang sebaik dan secantik gue kaaan?”
“Ewwh…
disana ceweknya 1000 kali lebih baik dari elo, Shill. Lo tuh ya; bawel, sok
imut, sok cantik, sok pinter, sok dewasa… ah lo tuh ‘master of nothing’ deh!!”
kata Gabriel sambil menghitung dengan jarinya. Tapi tanpa disangka-sangka,
ternyata Shilla malah terdiam. Gabriel melihat bahu cewek itu bergetar. Shilla
nangis?
“Lo jahat,
Gab.,”
“Shill..
sorry, Shill. Gue nggak maksud.. lo nggak seru banget sih masa gitu aja
nangis?”
“Lo kalo
nggak suka s-sama gu-gue bilang, Gab.,” ucap Shilla parau sambil terisak.
Gabriel merutuk dalam hati, kenapa setiap kebahagiaan selalu berakhir dengan
tangisan? Dan Gabriel benci mengalaminya.
“Gue nggak
gitu, kok. Lebay ah masa gitu aja ngambek, lo kan sering gue bully. Lo kayak
nggak kenal gue, deh.,”
“Bodo.,”
“Yaudah,
yaudah, gue minta maaf.”
“Nggak gue
maafin!”
“Trus gimana
caranya biar lo maafin gue?” tanya Gabriel menyerah. Dia paling malas melihat
Shilla menangis—walau dia nggak benar-benar ngeliat cewek itu nangis sekarang.
Seumur-umur Gabriel baru melihat Shilla menangis satu kali, dan itu sudah
bertahun-tahun yang lalu.
“Lo harus
kasih tau gue apa yang ada di pikiran lo tentang gue selama ini,” ucap Shilla
lebih tenang. Gabriel menghela napas. Shilla dari dulu nggak pernah berubah,
selalu seperti anak kecil.
“Lo itu; baik,
lucu, cantik, pinter, anak kecil, moody, lebay, aneh, beda dari yang lain. Dan
yang terpenting…” Gabriel mendekati cewek itu, lalu memeluknya. “lo adalah
cewek yang selama ini paling deket sama gue. Karena lo udah gue anggep adik gue
sendiri. Kalo gue punya pacar, trus gue disuruh milih; main sama lo atau jemput
pacar gue buat dinner, gue pasti bakal milih elo. Karena gue nggak mau
kehilangan elo,” ujar Gabriel lembut. Shilla perlahan-lahan tersenyum, lalu
balas memeluk Gabriel.
“Lo percaya
kalo gue nangis?”
“Enggak,
lah. Lo itu cewek terkuat yang pernah gue kenal selain nyokap gue. Mana mungkin
lo nangis cuma gara-gara gue kata-katain?”
“Rese lo.
Ngambil kesempatan dalam kesempitan.,”
“Kalo nggak
suka gausah dibales dong pelukan gue. Sekarang siapa yang gak mau ngelepas?”
tanya Gabriel menggoda. Shilla tetap memeluk Gabriel walau cowok itu sudah
melepaskan pelukannya.
“Lo rese,
Gab. Tapi gue sayang banget sama lo. Jangan tinggalin gue, ya.,”
“Gue bukan
pacar lo,” kata Gabriel lalu tertawa.
“Iya emang bukan.
Mana mau gue pacaran sama kakak gue sendiri,” ucap Shilla hangat. Perlahan
Gabriel ikut tersenyum, lalu kembali memeluk Shilla.
“Adik gue
yang paling manja itu ya elo.”
“Kan lo cuma
punya gue, bego.,”
“Yap.. dan
gue bersyukur punya elo,”
***
Gabriel baru
pulang pukul 10 malam. Shilla sudah benar-benar kelelahan hari ini. Menghadapi
Cakka, Ify, Sivia, Mama dan Gabriel dalam satu hari adalah hal paling berat
dalam hidupnya. Soalnya semuanya sama-sama rese. Pacar dan kedua sohibnya bikin
ribet, Mama suka bikin kepo, sedangkan Gabriel bikin Shilla capek ketawa.
Shilla
menaiki undakan tangga untuk menuju kamarnya. Rumah sudah sepi. Papa pulang
pukul 9 tadi sewaktu masih ada Gabriel. Dan Mama kelihatannya juga sudah tidur.
Setelah
berada di kamar, Shilla mengurungkan diri untuk langsung tidur. Dia lebih
tertarik dengan balkon kamarnya. Ia sudah lama tidak memandangi langit. Mungkin
saja langit penuh dengan bintang, soalnya kan sekarang sudah malam. Semakin
malam, semakin sedikit cahaya dari bumi, maka bintang yang muncul akan semakin
banyak.
Tapi setelah
Shilla duduk di balkon, lalu memandang langit, hanya ada pesawat yang lampunya
berkelap-kelip mirip bintang. Sial? Mungkin. Karena setiap Shilla berada di
balkon untuk memandangi langit, ia selalu bisa melihat satu bintang yang tetap
bersinar terang disana. Tepat dimana Shilla memandanginya. Dan sialnya, Shilla
selalu mengingat Alvin ketika ia memandangi bintang itu.
Ingat ketika
Alvin menyakitinya. Ingat ketika Alvin begitu membuatnya jatuh cinta. Ingat
ketika Alvin menyemangatinya. Ingat semua tentang Alvin. Tentang mantan
pacarnya itu.
Shilla
memejamkan matanya. Ia ingin kembali mengingat tentang Alvin. Ia tidak pernah,
sama sekali melupakan Alvin. Hanya otaknya sajalah yang memerintahkannya untuk
melupakan cowok itu. Tapi hatinya tetap mengingat dengan jelas, setiap detail
cerita cintanya dengan cowok tersebut.
**
So this is Part 5. sori kalo gak nyambung yea guys. makanya Comment, yang terburuk sekalipun, jadi aku bisa buat lebih bagus lagi. oke guys (: Thank u.
Next Part -->
Next Part -->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar