Try! (Part 6)

Sabtu, 08 Juni 2013


ENAM

(This is full of FLASHBACK) #ASHILLA’S POV#

9 Desember. Tepat saat aku baru saja jadian dengan Alvin. Cowok yang aku kenal lewat jejaring social bernama facebook. Kasus penculikan yang lagi hangat-hangatnya saat ini, membuat Mama melarang keras aku ketemuan dengan Alvin saat itu. Tepat 2 minggu yang lalu. Apalagi sekarang aku baru kelas 9. Sebentar lagi mau UN, tapi aku malah punya pacar. Heran ‘kan? Bodo amat, deh.

Pertama aku ketemu Alvin, rasanya seperti nano-nano. Tapi cuma manisnya aja. Aneh kan? Yaaa… anggep aja nano-nano nougat, yang enak banget itu. Aku janjian dengan Alvin di taman kota Jakarta Pusat, yang sudah aku kenal banget karena aku berada di daerah perbatasan Tangerang Selatan dan Jakarta Selatan. Alvin juga cukup jauh, dia bilang, sih, rumahnya ada di daerah Jakarta Timur.

Yap.. Alvin. Cowok itu dingin, berkharisma, cakep, ganteng, gila bola dan begitu cuek. Tapi aku selalu jatuh cinta dengan cowok cuek. Karena menurutku, cowok cuek itu nggak playboy. Bener nggak sih?

“Oh, jadi elo Shilla? Nggak jauh beda sama foto profilnya.,” kata Alvin memulai percakapan diantara kami waktu itu.

Aneh juga, sih. Aku yang banyak berceloteh, dan Alvin cuma mendengarkan. Ketika aku nanya, Alvin cuma jawab seadanya. Bikin aku geregetan, sekaligus penasaran. Alvin hanya bilang dia suka bola. Dan dia sangat menyukai Barcelona. Aku nggak begitu ngerti tentang bola, baru setelah aku ngendap-ngendap nyari di google tentang Barcelona, aku tahu. Ternyata Barcelona itu Barca, ya?

HAHA norak? Bodo amat, deh. Yang penting aku tetep cantik. Loh?

Aku baru tahu lagi ternyata Barcelona itu rival beratnya Real Madrid. Dari situ aku memutuskan untuk suka sama Real Madrid. Biar lucu, gitu. Supaya aku nggak kehabisan ide kalau harus ngomong sama Alvin yang super irit ngomong. Seakan-akan kalau dia ngomong, seluruh wartawan yang lagi ngeliput artis langsung berbondong-bondong nyariin dia.

Tapi lama-kelamaan, kenapa aku jadi suka bola beneran, ya? Gara-gara Alvin nih, pasti! Tiap malam aku bbman sama dia, yang kadang cuma di read. Yang kadang cuma ceklis; tanda dia nggak mau diganggu. Sabar banget aku ngehadepin cowok super dingin macem Alvin.

Lama-kelamaan kami jadi sering main berdua. Alvin, yang udah lulus SMP dan sekarang duduk di bangku SMA kelas 1, selalu ngajarin aku empat mata pelajaran yang di-UN-kan. Satu lagi yang aku tahu tentang Alvin, dia itu cerdas. Dia benar-benar bisa mengajari aku. Walaupun NEM-nya nggak besar-besar amat, sih. Dia bilang cuma 37, 85. Oke itu dia ya yang bilang ‘Cuma’, bukan aku!

9 Desembernya, dia nembak aku. Gimana cara nembaknya? HAH! Tidak usah aku ingat. Eh, tapi keinget juga, sih. Habis, nggak bakal bisa dilupain!

Bayangin aja seorang Alvin yang cuek bebek, berhasil ngajak aku ke pantai dan main-main disana sampai puas. Trus di pantai itu, kami juga makan ikan bakar yang… asli enak banget! Harus coba, deh! Selanjutnya, kami duduk di pasir. Menikmati semilir angin dan… sunset! Aku bangkit seraya bertepuk tangan meriah. Norak banget. Kayak belom pernah liat sunset aja.

Tapi, keadaan dan bersama siapa kamu memandangi sunset, pasti akan terasa indahnya. Mungkin inilah yang dinamakan cinta. Ketika kamu hanya bisa merasakan dunia milikmu berdua saja, ketika kamu merasakan darahmu berdesir sangat cepat dan jantungmu yang lompat kesana-kemari. Itulah cinta.

Alvin menyentuh pergelangan tanganku, aku menoleh. Kemudian dia berlutut. Aku benar-benar dapat merasakan tangan Alvin yang bergetar sekarang. Atau itu adalah tanganku? Alvin tersenyum tulus. Untukku. Jelas kan? Nggak mungkin untuk seseorang dibelakangku.

“Shilla, aku bukan cowok romantis. Aku cuma cowok yang jatuh cinta sama kamu karena apa adanya kamu. Aku nggak mau janji untuk nyakitin kamu, tapi aku bakal buktiin. Aku cinta kamu, sayang kamu, kamu mau gak..”

“Ya?”

“Mau gak…”

“Mau apa?” ih! Alvin gagu banget, sih! Tapi aku hanya bisa pasrah nunggu dia. soalnya aku juga jadi pengen gagu, deh. Biar sehati sama Alvin, gitu. Loh? Nggak lah! Deg-deg’an tau!

“Kamu tau..”

“Hm?” bodo amat, aku pura-pura nggak tahu aja.

“Jadi..”

“Ya?”

“P-P-..” duh, dia gagu lagi!

“P-P? Pembantu?” errr suer aku kesel!

“NAH!”

“HAH?!!!” aku melotot. Alvin ini nggak ada romantis-romantisnya sama sekali. Dasar kodok sipit!

“Kok, kamu kaget sih? Emang tadi kamu ngomong apa?” tanya Alvin kikuk. Alvin ini bego apa gimana, sih? Tapi aku tetep sabar. Aku kan cinta sama Alvin<3

“Aku bilangnya pembantu,”

“EEEHHH! Bukan, dong! Kamu ini gimana sih??” tuhkan! Alvin ini out of character banget.

“Lah? Kamunya aja gagu gitu, kok!”

“I-iya maaf. Aku kan sibuk ngontrol detak jantungku, Shill. Aku ulang, ya!” ucapnya lalu mengecup punggung tanganku lembut.

“I-iya, Vin,” aku merona. Tau darimana aku merona? Ngaca aja enggak. Ah, bodo, deh.

“Shilla…,” dia diam. “aku lupa kata-kataku yang tadi,” ucap Alvin kikuk. Benar-benar ngabisin stok kesabaran deh, Alvin ini!

“Langsung ajaaa,” aku buat suaraku semanja mungkin. Supaya nggak terlihat kesal. Alvin akhirnya manggut-manggut. Sunset sebentar lagi mau habis, dan Alvin belum juga selesai nembak aku.

“Shil, langsung aja nih,ya… kamu mau nggak jadi… P-P”

“Pacar, Vin?!” tanyaku kesal.

“Bukan!”

“HAAAAHH?!”

“Maksudnya, penjaga hatiku, Shill. Mau kan?”

“Emangnya aku hansip apa, suruh jaga-jagain hati kamu?”

“Pacar itu nggak selamanya, Shill. Jadi, aku mau kamu jagain hati aku. Aku bakal kunci hati aku, dihati kamu. Supaya nggak akan ada lagi yang bisa ngerebutnya.,”

“Kan harusnya yang jagain tuh kamu. Kamu yang jagain hati aku!” tukasku kesal. Nggak ngerti lagi deh, sama Alvin.

“Hati cewek itu seperti kertas, Shill. Bersih, dan rapuh. Cowok itu teledor, Shill. Kalo kertasnya tiba-tiba jatuh ke lumpur? Kalo kertasnya tiba-tiba kebakar saat cowok itu mau ngerokok? Dan kepercayaan cewek itu besar. Kalau tiba-tiba cowok meremasnya, kertas itu nggak akan kembali seperti sedia kala. Kertas itu akan penuh dengan lipatan-lipatan,” ucap Alvin bijak. Aku hanya bisa tergugu di depannya.

“Emang hatinya cowok seperti apa?” tanyaku asal. Coba kita lihat jawaban cowok di depanku ini.

“Hati cowok itu seperti cover buku, Shill. Bertugas melindungi kertas di dalamnya, supaya kertas itu nggak kotor ketika jatuh di lumpur, atau ketika buku itu mau dibakar, covernya dulu yang akan merasakan dan berusaha melindungi kertas di dalamnya. dan yang penting, cover harus sepaket dengan isinya kan?”  ah.. Alvin… kamu membuatku semakin kagum!

“Jadi… kita nggak pacaran ya?”

“Nggak. Tapi jadian!”

“Kan sama aja, Vin?”

“Hehe. Yaiyalah. Emangnya ada nembak tapi nggak pacaran? Ya buat apa dong, nembak?” aku nggak bisa menahan senyumku lagi. Aku langsung memeluk Alvin erat. “kamu nerima aku nggak?”

“Nggak, ah. Tapi aku nge ‘accept’ kamu!” kataku lucu. Nggak tau sih menurut Alvin, tapi menurutku itu lucu.

“Nge ‘accept’ itu apa ya?” tanya Alvin dengan tanda tanya super besar di kepalanya. Aku sudah melepaskan pelukannya sebelum Alvin mulai menanyakan hal bego macem tadi. Aku terbengong.

“Kamu… serius enggak tau?”

“Canda deeeennngggg!!!!” Alvin langsung membanjiriku dengan air. Aku nggak tau air itu darimana, yang pasti air itu asin. Kayaknya air pantai, deh.

Aku langsung mengejar-ngejar Alvin yang sudah lari menjauh. Pasir menyulitkan gerakanku berlari, tapi aku nggak mau nyerah untuk membalas ‘pacar’ku itu.

Kami mengalami hari yang indah saat itu. Pakaian yang kami kenakan basah semua. Karena kami nggak bawa baju ganti, akhirnya kami membelinya di stand terdekat. Di pantai apapun ada ‘kan?

Setelah itu kami memutuskan untuk membuat tato temporary. Lucu, sih. Walau cuma sulur-sulur yang menutupi seluruh punggung dan pergelangan tangan, tapi kesannya sangat anggun dan elegan. Alvin juga sama. Dia nggak banyak protes waktu aku memintanya untuk ditato sama denganku. Tipe cowok idaman banget nggak, sih?

Malam hari aku baru diantar pulang. Nggak begitu malam. Aku masih bisa belajar beberapa jam sebelum tidur. Alvin nggak suka bawa mobil. Dia bilang mobil itu makan tempat dan nggak romantis. Diseluruh keluarga Alvin, hanya dia yang nggak suka bawa mobil dan memilih motor besar untuk kendaraan sehari-hari.

Alvin responsible banget, lho. Seperti lelaki gentle yang lainnya, dia memakaikanku jaket Barcelona miliknya—yang tadinya aku tolak mentah-mentah karena aku pendukung Real Madrid—dan memakaikan helm untukku. Hanya perlakuan kecil, tanpa banyak bicara, tanpa aku harus merajuk, dia memperlakukannya untukku.

Bukankah, tidak perlu kata cinta untuk mengetahui seseorang mencintaimu? Kau bisa mengetahuinya melalui setiap perlakuan seseorang itu.

Aku nggak bisa cerita sama Mama karena nanti aku bisa diamuk. Pasti aku nggak dibolehin pacaran disaat-saat aku berada di titik puncak perjuanganku. Jadi, aku hanya menyimpannya di dalam folder hatiku. Mungkin aku hanya akan menceritakannya pada Ify dan Sivia.

Padahal dulu biasanya aku selalu bercerita pada Gabriel. Tapi sekarang kakakku itu menghilang entah kemana. Aku menunggunya. Tapi dia tidak kunjung kembali. Aku menghubunginya, tapi dia tidak kunjung mengangkatnya. Malah aku benar-benar tidak bisa menghubunginya.

Oh ya, ini adalah kali pertama aku berpacaran, lho. Biasanya aku selalu meninggalkan cowok-cowok yang dekat padaku dalam ‘friendzone’, atau zona pertemanan. Karena menurutku nggak ada yang cocok untukku. Mereka kadang terlalu tua atau malah terlalu muda.

Tapi Alvin? Dia berbeda. Aku hanya… hanya merasakan kenyamanan dan kasih sayang saat berdekatan dengannya. Dan aku menyukainya.

***

Hari-hari selanjutnya benar-benar tidak terduga. Alvin semakin diam, dan semakin kelam. Semakin aku berusaha untuk memahaminya, yang aku dapatkan hanyalah gelap. Seperti aku berenang di laut lebih dalam. Semakin dalam akan semakin gelap. Dan yang bisa kurasakan hanyalah takut.

Alvin tetap baik. Dia tetap memberiku sesuatu. Untuk dikenang. Entah itu kalung, gelang, foto-foto kami berdua (Alvin memang photographer), bandana leher—seperti yang selama ini aku inginkan—. Dan aku selalu menyimpan segala sesuatunya di dalam kotak ini. Kotak berwarna jingga, bekas tempat teddy bear yang Alvin berikan juga untukku.

Tiket nonton, foto-foto kami, semua yang ia berikan, bill restoran, apapun itu. Mungkin aku akan lebih sering membukanya untuk mengenangnya, bukan untuk memasukkan sesuatu lagi ke dalam sana.

Kini, aku merasakannya lebih daripada yang lalu. Kami sudah menjalaninya selama 4 bulan.

4 bulan yang penuh dengan rintangan. Seperti halnya mendaki gunung, aku merasa lelah. Aku ingin mencapai puncak, tapi aku sudah berdarah-darah terkena ranting. Aku ingin menerjang badai, tapi aku dengan mudahnya terlempar ke bawah. Aku nggak pernah begitu mengerti hati Alvin.

Dari raut wajahnya, kini tidak ada lagi senyum tulus. Yang aku dapati hanya senyuman kalut dan terlihat dipaksakan. Setiap aku ingin bertanya, dia selalu menjauh. Dia begitu baik. Tapi aku merasakan kebaikannya hanya karena dia telah menyiksaku. Dan aku tidak puas dengan hal itu. Aku tidak butuh perhatiannya yang berlebih ketika kami bertemu, atau barang-barang yang ia belikan. Aku hanya ingin dia bercerita padaku, apa yang sebenarnya terjadi.

Kami menjauh. Aku tidak lagi berbicara dengannya. Aku sadar hubungan kami sudah tidak dapat dilanjutkan. Sebentar lagi aku akan menempuh Ujian Nasional. Dan alasan itu yang membuatnya jauh dariku.

“Belajar yang rajin ya, Cherie,” itulah kata terakhirnya. Sebelum kami benar-benar lost contact.

***

LULUS!

Satu kata yang aku baca di dalam surat pengumuman. Ify dan Sivia bersorak-sorak girang disampingku. Sedangkan aku hanya tersenyum. Belajar memang menyita waktuku. Aku tidak lagi memikirkan Alvin. Aku tidak lagi memikirkan apa-apa selain Ujian Nasional. Tapi sekarang? Aku tidak begitu yakin.

Aku nggak pernah ingin melanjutkan sekolah di Negeri. Aku selalu melanjutkannya ke sekolah swasta. Mama menyetujui saja. Targetku sedari kecil adalah di SMA Altavia. Aku senang mendengar sekolah itu. Sekolah yang menjamin fasilitas lengkap bagi siswa/siswinya.

Ify dan Sivia pun hanya mengikutiku saja. Mereka juga sebenarnya memang ingin bersekolah di Altavia. Takdir. Kita memang selalu dipersatukan oleh takdir.

So, where’s Alvin?” tanya Sivia kepadaku. Aku memang berniat untuk memperkenalkan Alvin kepada kedua sohibku. Jarak yang cukup jauh membuat Ify dan Sivia tidak sempat bertemu dengan Alvin.

“Eh… I don’t really know where he is.,” jawabku linglung. Aku memang nggak tahu dimana dia. Padahal sekarang adalah hari jadi hubungan kami yang ke-6. Bulan loh ya.

“Udahlah.. jangan pikirin. Mending sekarang kita nonton!” kata Ify. Aku hanya mengangkat alis sambil tersenyum memaksa. Sesungguhnya aku ingin sekali bertemu dengan Alvin. Memakinya. Berharap dia tahu seberapa lelahnya aku. Berjuang tanpa dukungan darinya.

“Masih kepikiran? Ayolah ajak geng uprit aja! Biar lo bisa ketawa.,” ucap Sivia sambil menghampiri geng uprit. For your information, geng uprit itu gengnya anak-anak sarap. Biasanya di kelas 8, kita suka ngakak-ngakak nggak jelas kalau sudah bergabung dengan geng sarap itu.

Tapi, ada satu hal yang aku nggak pernah suka dari geng uprit. Bukan karena cuma 1 orang yang ganteng diantara keempat lainnya. Atau bukan karena badannya besar-besar. Atau karena mereka sering mondar-mandir kelas bikin kegaduhan. Tapi…

“Bayarin, yah!”

Sivia jadi pundung. Ify meringis. Sedangkan aku hanya geleng-geleng kepala. Pusing.

Tapi dengan tekad yang kuat, keringat, tenaga, serta waktu yang banyak, akhirnya Sivia bisa meyakinkan geng uprit untuk ikut nonton bersama kami. Karena sekarang hari senin, Sivia meyakinkan adanya ‘nomat’, alias ‘nonton hemat’. Yea. Nomat.

Kami ke mal diantar oleh Papa-nya Ify. Aku dan Sivia bisa memanggil beliau dengan sebuatan Om Umari. Bersama geng Uprit tentu saja. Kalau kalian mau tahu siapa saja anggotanya, biar kuperkenalkan.

Disebelah kiriku, ada Edgar. Dialah yang paling ‘bersih’ diantara yang lainnya. Tapi setiap orang punya kekurangan, kan? Nah, Edgar ini mempunyai kekurangan di tinggi badan.

Disebelah kanan Sivia, ada Abner. Postur tubuhnya tinggi dan lumayan berotot. Setiap orang juga punya kelebihan, kan? Nah, Abner ini punya kelebihan di warna kulit. Alias gelap.

Dibelakang ada Daud, Sion dan Debo. Kelebihan Daud sama dengan Abner, yaitu kelebihan di warna kulit. Sedangkan Sion dan Debo normal-normal saja.

Satu yang sama dari mereka; sama-sama ngocol. Selalu membuat kegaduhan di kelas karena kelucuan mereka. Moodbooster banget, deh!!

Di sepanjang perjalanan pun tak pelak kami selalu tertawa akibat ucapan-ucapan konyol dari mereka. Sejenak melupakan apa yang sudah berada di belakang dan fokus pada apa yang ada didepan. Bahkan, Om Umari yang biasanya jarang tertawa saja sekarang mulai melemaskan otot-otot bibirnya. Membentuk lengkungan senyum samar bahkan tawa kecil.

Setelah sampai di tempat tujuan kami, kami turun dan bergegas masuk ke dalamnya. Ingin secepatnya nonton bersama, melepaskan rasa penasaran yang datang setiap aku, Sivia atau Ify membicarakannya.

Tapi belum sampai di tempat tujuan kami, aku langsung terhenti. Kuamati dengan seksama apa yang terjadi didepanku. Di depan toko boneka. Tepat di depan etalase kaca. Aku tidak sama sekali mengamati boneka-boneka lucu yang sekarang jadi terasa menakutkan, tapi aku melihat dua muda-mudi yang berdiri disana dengan tawa bahagianya.

Tak kuhiraukan tepukan tangan Ify dipundakku, atau teriakan keras Sivia yang menyuruhku bergegas. Tanpa pikir panjang, aku menghampiri kedua muda-mudi tersebut. Aku yakin benar dia pacarku. Alvin!

“Oh.. jadi ini? Selama ini kamu gini dibelakang aku, iya?!” Alvin terdiam kaku setelah sebelumnya tersentak kaget akan kedatanganku. Sedangkan gadis disebelahnya mengerutkan kening, bingung.

“Shilla… aku bisa jelasin—“

“Basi, tau nggak! Cowok emang semuanya brengsek!”

“Ini nggak seperti yang kamu pikirin..,” ucap Alvin sok dramatis.

“Brengsek! Ini bukan drama korea! Bukan sinetron! Bukan Novel! Nggak usah kamu pake kata-kata itu!” Alvin kembali terdiam. Belum sempat dia berbicara, langsung saja aku menamparnya. Mungkin semua orang bisa melihat kalau ada asap di ubun-ubunku. Atau malah sudah berubah jadi api!

“Ada apa nih, Sob?” aku tidak menghiraukan pertanyaan temannya yang baru saja datang. Dari pertanyaannya, jelas ia menyiratkan tanya keheranan. Tapi aku malas melihat potongan-potongan scene yang malah semakin membuatku sakit, jadi aku memutuskan untuk lari. Menjauhi mereka. Pulang!

Ify, Sivia dan yang lainnya mengejarku. Menenangkan sejenak. Aku hanya ingin pulang.

***
#NORMAL POV#

Sejak kejadian Shilla memergoki Alvin bersama seorang cewek di mall. Shilla jadi terus-terusan mengurung diri di kamarnya. Tidak ingin bertemu siapa-siapa. Bahkan Mama yang frekuensi bertemu dengan putrinya sangat besar itupun sampai hampir tidak pernah melihatnya. Mama hanya mendengar suara-suara Shilla ketika menyahuti pertanyaan Mama.

Shilla benar-benar menutup jarak antara dirinya dan dunia luar sementara waktu. Untung saja ia sedang dalam masa liburan. Jadi masih bisa berkelit. Tidak terus-terusan dicecar Ify atau Sivia seperti yang biasa mereka lakukan disekolah.

Tapi pertanyaan demi pertanyaan kini terbesit dalam pikiran Shilla. Mau tidak mau sekarang pertanyaan itu jadi beban tersendiri untuknya.

Ia jadi penasaran, ketika setelahnya Alvin terus memohon untuk bertemu. Bahkan Alvin sampai berlutut di depan pagar rumahnya hingga pagi. Tapi maaf saja, Shilla paling anti serial drama, sinetron atau novel roman picisan. Shilla selalu bersikap realistis. Sejenak saja ia membiarkan sakit hati menguasainya. Membiarkan Alvin kedinginan, kehujanan di depan rumah.

Kalau saja satpam rumah Shilla tidak menyuruhnya untuk pulang karena kondisinya yang semakin memburuk, Alvin pasti tidak akan pulang. Shilla juga tidak peduli.

Rentetan permohonan yang diberikan Alvin melalui SMS dan voice call membuat Shilla kini jadi semakin penasaran. Apa penjelasan yang akan Alvin jelaskan lagi padanya? Setelah mata kepalanya melihat sendiri apa yang terjadi di depannya. Shilla telah melihat sendiri bahwa Alvin telah berkhianat.

“Shilla… ada Alvin nih dibawah,” ucap Mama setelah mengetuk pintu beberapa kali. Shilla terlonjak kaget.

“Masih berani juga tu orang kesini!?” desis Shilla menahan kesal.

Sebelum keluar, Shilla mencuci muka sebentar, meneteskan satu tetes sampai dua tetes obat mata agar tidak terlihat kekalahannya di depan Alvin. Tentu saja cowok itu akan melayang-layang dan merasa menang ketika ia melihat sendiri Shilla menangis untuknya!

Alvin benar-benar menunggunya di bawah. Tepatnya di ruang tamu. Berani-beraninya tu orang masuk wilayah teritori gue, maki Shilla dalam hati. Menurutnya Alvin menyirami korek yang menyala dengan bensin. Semakin membangkitkan kemarahan Shilla!

“Ngapain lo kesini?!” tanya Shilla tajam. Bahkan dalam jarak yang lumayan jauh pun, Shilla masih merasakan aura cowok itu melekat pada dirinya. Membuatnya ingin sekali lagi menangis. Tapi mati-matian ditahannya agar cowok itu bisa juga merasakan perlawanan darinya.

“Gue mau jelasin semuanya..,” ucap Alvin sedikit bergetar. Ia kemudian melangkah mendekati Shilla, yang juga dibalas Shilla dengan memundurkan tubuhnya menjauhi Alvin.

“Gue nggak butuh penjelasan lo,” kata Shilla menusuk.

Alvin menghela napas pelan. Merasa sesak karena akhirnya inilah ending dari kisahnya. Alvin kemudian berlutut pada Shilla, memohon. Sedangkan Shilla hanya memalingkan mukanya, bersikap acuh demi hatinya.

“Gue akan jelasin.. semuanya. Tapi, nggak disini. Gue mau lo ikut sama gue. Gue mau lo ngerti. Ini semua cuma salah paham,” ucap Alvin lagi. Cowok ini tidak pernah sebelumnya memohon. Alvin, tidak pernah memohon. Kepada siapapun. “Gue mohon..,” dan runtuhlah pertahanan Shilla.

Baru kali ini Shilla dapat melihat kesungguhan Alvin. Dalam memperjuangkannya. Melihat cowok itu benar-benar memohon dengan wajah tertunduk, dengan lutut yang tertekuk sempurna, menandakan cowok itu merendahkan derajat serendah-rendahnya, hanya demi perhatian Shilla, akhirnya membuat Shilla akhirnya melunak.

“Oke,” kata Shilla acuh. Ia kemudian berjalan lunglai ke kamarnya, mengambil jaket.

Tapi kemudian ada sesuatu yang membuat Shilla harus bersiap. Kalau nanti yang dihadapinya adalah medan perang, maka Shilla harus membawa senjata. Sedikitnya satu saja agar dirinya bisa tercover. Dia bukan cewek lemah. Biar Alvin sadar, siapa yang sudah disakitinya!

Shilla lalu membuka lemarinya, mengambil sebuah kotak, lalu menutupinya dengan jaket yang dikenakannya.

Alvin pun tidak berkata apa-apa saat melihat Shilla memeluk sebuah kotak—terlihat dari lekukan jaketnya—, cowok itu hanya berjalan menuju motornya setelah pamit pada mamanya Shilla. Berjanji bahwa Shilla tidak akan lama-lama pergi dengannya.

Deru motor diudara membelah malam, membawa sepasang hati yang patah yang mencoba untuk bertahan. Mementahkan segala rasa yang membuat luka pada keduanya semakin menganga. Antara menyakiti dan yang disakiti. Keduanya sama saja, sama-sama sakit hati. Sama-sama merasakan ada luka yang telah tergores.

Hubungan keduanya belum kandas. Hanya retak. Salah satu diantara keduanya berusaha untuk memperbaiki hubungan itu lagi. Mencoba untuk meluruskan kembali hubungan keduanya yang bengkok karena hantaman keras. Mencoba untuk memplester setiap luka yang robek dan menyakiti keduanya.

Setelah kurang lebih 20 menit perjalanan, yang hanya diisi oleh keheningan dan hiruk pikuk jalanan, akhirnya mereka sampai juga. Shilla turun, Alvin juga ikut turun.

Cewek itu tidak ingin melihat wajah Alvin sekarang. Gantinya, cewek itu hanya memandang berkeliling. Memandangi ujung sepatunya yang kotor akibat tanah basah yang kini dipijaknya. Dipandanginya sorot lampu taman, yang menjadi satu-satunya penerang di kegelapan malam.

“Gue…” Alvin memulai penjelasannya. Ia tahu Shilla tetap mendengarkan, meski cewek itu tidak melihat ke arahnya. Tapi sebelum penjelasannya berlanjut, sebuah motor besar seperti milik Alvin berhenti tepat di sebelah motor cowok itu.

Alvin tahu betul siapa cowok yang kini duduk santai diatas motornya. Dialah penyebab semuanya. Sahabatnya. Sekaligus biang keroknya. Tanpa sadar rahang Alvin mengeras.

Tapi ini semua adalah salahnya. Bukan hanya sahabatnya itu yang salah. Tapi dirinya juga ikut andil dalam kejadian ini. Untunglah sahabatnya itu mengerti perasaan Alvin pada Shilla. Jadi cowok itu mau memberi keterangan dan permohonan maaf serta coveran untuk Alvin. Cowok itu tahu betul cinta Alvin untuk Shilla.

“Apa?” tanya Shilla menahan kesal. Dia tidak peduli sama sekali pada siapa yang baru datang. Dia juga tidak peduli pada tatapan nanar Alvin ketika raungan motor itu terdengar jelas di telinganya.

“Gue.. ikut taruhan,” jawab Alvin kemudian. Hela napas kelewat lelah lolos begitu saja dari bibirnya. Shilla mengerutkan kening, heran. “Gue harus.. macarin cewek seenggaknya 10 dari setiap sekolah yang berbeda,” lanjut Alvin berat.

Shilla kontan menatap Alvin tajam. Shock! Alvin tertunduk lesu. Tidak ingin melihat ke dalam mata Shilla lebih lama. Karena yang dirasakannya nanti adalah sakit.

Sedangkan Shilla sudah mulai runtuh. Pertahanan yang dibangunnya mati-matian ternyata harus ambruk tak bersisa. Penuturan Alvin membuatnya tersadar. Alvin hanya ingin menyakitinya lebih dalam lagi. Shilla berpikir, tertunduknya Alvin adalah senyum kemenangan yang tercetak jelas disana, yang ia yakini Alvin tidak ingin terlalu jelas memperlihatkannya pada Shilla.

Cewek itu kemudian menampar Alvin lagi. Untuk yang kesekian kalinya, hingga Alvin terhuyung sedikit kebelakang dan akhirnya jatuh. Tapi Alvin tak mampu lagi bangkit. Dibiarkannya Shilla memakinya dengan rentetan makian kasar. Dibiarkannya Shilla menumpahkan segala kekesalannya pada dirinya.

“Maksud lo apa taruhan kayak gitu, HA!!!!??!!!! LO TOLOL APA BEGO, SIH??!!!!??” maki Shilla kesal. Suaranya ikut bergetar. Kesal yang tidak lagi dapat ditafsir seberapa kesalnya itu, membuat Shilla akhirnya menangis. Sedih, kesal, malu, semuanya bercampur jadi satu.

“Tapi sumpah, Shill… sayang gue ke elo itu bener. Sebelum ini terjadi, gue udah sayang sama lo. Lo bukan taruhan gue. Sayang gue ke lo, murni. Shilla.. lo harus—“

“Udah, Vin. Please! Lo cuma bikin gue sakit, tau nggak?!” Shilla menengadah, berusaha menghentikan laju tangisnya yang semakin deras. Alvin lalu berdiri, berusaha meraih tangan Shilla. Meyakinkannya.

“Lo harus percaya sama gue..,”

“Kenapa lo setujuin taruhan itu, kalo lo beneran sayang sama gue?! Apa sih jaminannya kalo lo menang taruhan!?” tanya Shilla geram. Kekesalannya sudah pada tingkat paling akhir. Dirinya merasa sangat lugu, dibodohi oleh Kakak kelas macam Alvin.

Pertanyaan itu tak kunjung dijawab oleh Alvin. Sebagai gantinya, sahabatnya lah yang kemudian berdehem. Memecah keheningan.

“Kasih tau, Vin. Biar makin jelas.” Alvin memejamkan kedua matanya.

“Porsche.” Alvin baru saja menyebutkan tawaran dari taruhan tersebut. Sebuah merk mobil terkenal dengan penjualan laris dipasaran. Dipastikan harganya masih berada diatas jajaran langit-langit statosfer.

“Lo ngehargain ketulusan dan kesetiaan setara MOBIL!?” desis Shilla tajam. Tidak percaya. Terperangah.

“Tapi gue nyerah sekarang! Gue nyerah untuk lo! Karena perasaan gue ke lo bukan barang taruhan! Dan perasaan gue ke lo, atau perasaan lo ke gue bukan setara mobil!” kata Alvin tegas. Berusaha membuat Shilla percaya akan kesungguhannya.

“Apa yang dibilang sama Alvin bener. Dia beneran cinta kok sama lo,” ucap sobat Alvin pelan. Tapi Shilla sudah lebih dulu mengeraskan hatinya. Sudah tidak ada lagi penerimaan untuk Alvin. Sudah cukup hatinya merasa tersakiti oleh Alvin.

“Selama ini, gue selalu mempertahanin hubungan ini. Lo cuek, gue diem. Lo nggak ngontak gue, gue diem. Bahkan menjelang kelulusan lo menghilang gitu aja. Lo biarin gue sendiri menempuh Ujian Nasional. Tanpa dukungan lo!” Shilla menarik napas sebentar. Berusaha menetralisir sesak didadanya. Shilla kemudian mengeluarkan kotak dari jaketnya. “Ini. Lo liat ini!? Ini adalah wujud ketulusan gue buat lo!” ia membuka kotak yang berada di tangannya. Menunjukkannya tepat di depan wajah Alvin. “tapi apa yang lo kasih buat gue? Cuma sakit.” Shilla memegangi dadanya. Terlalu sesak.

Tanpa bisa dicegah, Shilla membuang kotak tersebut jauh. Melewati pagar pembatas taman. Sedangkan Alvin hanya bisa tercengang menatapi kotak yang melayang terbuang tadi. Terkesima. Sebelum Alvin sadar, Shilla sudah lebih dulu meninggalkannya.

Shilla kemudian berhenti. Lalu berbalik menghadap Alvin. “KITA PUTUS!!” lalu ia meneruskan berjalan hingga berhenti di depan motor milik sahabatnya Alvin. “Kak, tolong anter gue pulang. Please..,” pinta Shilla pada sohib Alvin yang masih terbungkus helm dan jaket tersebut. Shilla hanya bisa sedikit melihat matanya sebelum kemudian cowok itu mengangguk lalu menstarter motornya.

Seakan baru tersadar, Alvin tidak mengejar Shilla yang kini telah tancap gas bersama sohibnya. Tapi ia berlari. Menerjang rumput ilalang yang tumbuh begitu tinggi. Menyulitkan pergerakannya. Hingga ia menemukan ujung pembatas tembok yang memisahkan sungai dengan taman tak terurus tersebut.

Alvin memanjat. Sedikit kesusahan karena tidak ada tempat untuk berpijak. Tapi ia berhasil melewati pagar pembatas tersebut. Ia turun pelan-pelan. Beruntung kotak tersebut masih menyangkut di gundukan tanah yang sedikit lebar sebelum jatuh ke sungai yang kini mengalir deras.

Cowok itu kemudian mengambilnya, lalu berusaha memanjat lagi ke atas. Butuh sedikitnya waktu setengah jam untuk berusaha memanjat sambil tetap membawa kotak tersebut pada genggamannya.

Shilla boleh melupakannya. Tapi wujud ketulusan cewek itu untuknya, tidak boleh dilupakan begitu saja. Cowok itu, sekuat apapun, akan terus berjuang demi Shilla. Berjuang untuk ketulusan cewek itu. Berjuang demi terengkuhnya kembali cewek itu dan seluruh perjuangannya, bersamanya. Meski itu sama saja dengan mati perlahan.

***

So this is the 6th part guys. Maaf kalau semakin aneh, semakin lama update, dan lain sebagainya. Komennya yang jelek-jelek juga gapapa yaaa.. follow me @Lysaafeb or Lysa Keyness Hutcherson 

Next Part --> 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS