Ini ada cerita selingan buat kalian. soalnya Permintaan Takdir ditunda dulu, walau ceritanya udah banyak :D
OKE CEKIDOT !!
=================
Cahaya matahari
yang baru saja terbit masuk melalui celah jendela kamarku. Membuat aku sedikit
menggeliat karena cahaya yang begitu menyilaukan. Aku melihat jam weker di
sebelah ranjangku, sudah pukul 6 pagi.
Aku segera menuju
kamar mandi karena tidak ingin terlambat sekolah. Setelah aku mandi, kemudian
berganti baju, aku menuju ruang bawah untuk sarapan. Ayahku selalu menganjurkan
aku untuk sarapan, entah mengapa ayah dan ibuku terlalu over protective
kepadaku dibanding dengan kakak-kakakku yang lain.
Oh ya, namaku
Marisha Nur Fatimah. Aku biasa dipanggil Shasha. Kakakku ada 2, yang satu
kuliah menginjak semester 4 dan yang satu lagi kelas 1 SMA. Kakakku-kakakku ini
pintar-pintar loh, tapi aku juga tidak kalah pintar dengan mereka.
Alhamdulillah, aku selalu mendapat peringkat 3 besar di sekolahku. Sekarang aku
duduk di bangku kelas 3 SMP. Cukup jauh dari kakakku yang pertama, dan dengan
kakakku yang kedua, kami sangat dekat. Ibuku bernama Nur Fatihah dan ayahku
Zainnal James Laverton. Aneh ya?
Ayahku memang
keturunan luar negeri atau biasa dipanggil orang Indo. Maka dari itu wajahku
dan kedua kakakku agak bule. Kedua kakakku sudah berangkat ke sekolah sejak
tadi, sedangkan aku masih berdiam disini. Menunggu ayah mengeluarkan mobil
pribadinya untuk mengantarkan aku ke sekolah. Kakakku yang pertama, kak Ira,
membawa motor bebek ke kampusnya. Sedangkan kakakku yang kedua, Rio, lebih
memilih naik metro mini ke sekolahnya. Jadi, akulah yang paling dimanja oleh
kedua orang tuaku. Padahal aku ingin sekali seperti kak Rio, belajar mandiri.
Aku kan sudah besar, sudah kelas 3 SMP. Tapi ayah dan ibuku selalu ‘ngotot’
memerintahkan aku untuk selalu diantar-jemput oleh ayah. Tidak mengerti kenapa
orang tuaku begitu over protective, yang membuatku lebih heran lagi, mengapa
kedua kakakku tidak pernah merasa iri denganku yang begitu dimanja.
Ayahku sudah
mengeluarkan mobil dari garasi, aku pun segera naik dan duduk di kursi depan.
Perjalanan dari rumahku ke sekolah tidak begitu jauh, cukup 3 kilometer saja.
Hanya butuh sekitar 20 menit untuk sampai ke sekolah. Saat sampai di sekolah,
aku bersalaman dengan ayah untuk memohon doa nya. Kulihat beliau menangis,
tidak tahu mengapa.
“Ayah pasti akan
mendo’akan kamu nak. Jadikan sisa hidupmu yang berarti ini lebih berguna lagi,”
kata ayah masih menangis. Aku hanya manggut-manggut saja, tidak mengerti apa
yang diucapkan ayah kali ini. Bahkan baru kali ini aku mendengar ayah berbicara
tentang kehidupan. Masih memikirkan pembicaraan ayah tadi, aku jadi menabrak
seseorang.
“Eh, maaf. Saya
tidak sengaja,” kataku berusaha sesopan mungkin. Perempuan yang kutabrak itu
hanya menyunggingkan senyuman. Bodoh sekali aku ini, memikirkan sesuatu yang
berlalu sampai-sampai menabrak orang seperti itu. Aku memasuki ruang kelas yang
tidak begitu jauh dari gerbang sekolah. Hari ini hari senin, jadi aku harus
bersiap-siap untuk upacara bendera di lapangan. Cuaca sepertinya sangat
mendukung jalannya upacara. Tapi tidak untuk para murid. Melihat para petugas
upacara yang sedang mempersiapkan bendera dan gladi resik untuk upacara
sesungguhnya, aku jadi iri. Ingin sekali aku menjadi petugas upacara. Apalagi
pengibar bendera, pengalaman yang belum pernah aku coba di tingkat sekolah yang
sudah tinggi ini. Alasannya, ya seperti biasa. Ayah dan ibuku tidak mengizinkan
aku untuk ikut ekstarkulikuler yang mengandung baris-berbaris.
***
Aku telah berkumpul di lapangan bersama rombongan murid kelas 9 atau
kelas 3 SMP. Sepertinya hari ini hari sialku, aku mendapat tempat yang panas.
Matahari juga sepertinya tidak memberiku semacam dispensasi dari sinarnya.
Untung saja aku pakai topi, tapi tetap saja terasa panasnya. Panas matahari
yang begitu menyengat, membuatku tidak konsetrasi akan jalannya upacara kali
ini. Mungkin aku terlalu sibuk menutupi wajahku dari sinar matahari yang sudah
terbit seutuhnya ini. Tepat pada saat protocol berkata, “Pengibaran bendera
merah putih diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya,” aku merasa ada seseorang
yang menutupiku dari sinar matahari. Saat aku melihat siapa orang itu, aku
tersentak dan hampir jatuh. Cowok terpopuler di sekolahku, Adhi Raditya. Ia
menyunggingkan senyumannya untukku, aku membalasnya agak canggung. Saat
pemimpin memberi aba-aba untuk hormat kepada bendera merah-putih, aku merasakan
tubuhku mulai lemas dan akhirnya tidak sadarkan diri.
***
Aku tidak ingat sejak kapan aku berada di UKS dan siapa yang
mengantarku. Tapi aku hanya mengingat Adhi berteriak minta tolong kepada
anggota PMR yang berbaris dibelakang. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali,
tubuhku masih lemas sekali rasanya.
“Ini diminum dulu tehnya,” ucap seorang guru BP sambil menyodorkan
segelas teh hangat kepadaku. Sedikit demi sedikit aku meminum teh itu hingga
tinggal separuh gelas. Kemudian, aku meletakkan gelas itu disamping ranjang.
“Bu, kalau boleh saya tahu, siapa yang mengantar saya kemari?” tanyaku
pelan.
“Anak-anak PMR. Adhi juga ikut tadi,” jawab ibu guru tersebut kemudian
berlalu. Sejenak fikiranku melayang kearah tadi, membayangkan bila aku menjadi
petugas upacara. Mengapa ayah dan ibuku terus melarangku untuk melakukan
sesuatu yang aku suka? Aku benci itu.
“Sha, gimana? Udah baikan?” tanya seseorang dari arah pintu, oh .. Adhi.
“Alhamdulillah. Makasih ya kamu udah antar saya,” kataku lembut. Aku
tidak mau disebut sok kenal, apalagi ke Adhi ini, yang notebannya cowok
terpopuler di sekolah.
“Iya. Sama-sama,” katanya lalu duduk disamping ranjang. Aku berusaha
duduk, supaya terlihat menghargai. “Gak usah, tiduran aja. Gak apa-apa kok,”
katanya lagi. Terpaksa aku tiduran saja. Adhi hanya memandangku sambil
tersenyum. Membuatku sedikit aneh dengan sikapnya.
“Shasha!!” panggil ayah dan ibu yang langsung menghampiriku. Ini yang
tidak aku suka, mereka terlalu over protective.
“Pulang aja ya Sha,” ajak ayah. Aku menggeleng keras-keras, tidak ingin
pulang hanya karena pingsan sewaktu upacara.
“Shasha mau disini aja. Nanti ada ulangan matematika,” ucapku yang
memang kenyataan. Ayah dan ibu saling berpandangan, kemudian menatapku lagi.
“Ayah sama ibu pulang aja. Aku gak apa-apa kok,” kataku mencoba meyakinkan mereka.
Adhi sedikit menjauh dari kami.
“Lagipula ada Adhi, ya kan?” ucapku sekali
lagi. Adhi hanya tersenyum ramah, akhirnya ayah dan ibuku pulang.
“Seharusnya tadi kamu pulang aja,” kata Adhi sedikit khawatir. Aku tersenyum
dan menggeleng pelan.
“Buat apa aku pulang? Aku baik-baik aja,” kataku masih tersenyum. Adhi
juga tersenyum, kemudian ia mengantarku ke kelas.
***
Bel istirahat telah berkumandang sekitar 5 menit yang lalu, tapi aku
masih berkutat dengan buku fisika yang lumayan tebal ini. Sehabis istirahat,
ada ulangan fisika, jadi aku sempatkan belajar lagi.
“Shasha, mau ke kantin gak?” tanya temanku, Ikha.
“Maaf Kha, aku bawa bekal. Maaf ya,” tolakku halus. Ikha hanya
mengangguk sambil tersenyum, kemudian lenyap dari pandanganku. Sebenarnya, Ikha
sedah berulang kali mengajakku ke kantin. Tapi aku tidak pernah mau dan tidak
akan pernah bisa. Karena setiap hari, ibu menyuruhku untuk diam saja di kelas
dan makan makanan yang dibawakan dari rumah.
Aku melihat isi kotak makan yang dibawakan ibuku, nasi dan udang bakar
asam manis, kesukannku. Tapi, diam-diam aku bosan dengan semua ini. Ingin
sekali aku bebas seperti kedua kakakku. Aku berjalan ke kantin, ramai dan penuh
sesak. Tapi, fikiranku bergulat dengan rasa penasaran yang kalau dibilang,
tingkat akut. Aku berjalan dengan pelan, melihat-lihat apa saja yang bisa
dibeli di kantin.
“Shasha!! Ngapain kamu disini?” tanya Adhi dari kejauhan, kemudian
menghampiriku. Tumben sekali Adhi perhatian, biasanya dia selalu tidak peduli.
“Emangnya kenapa?” tanyaku yang merasa aneh dengan sikap Adhi belakangan
ini. Adhi hanya menggeleng dan menarik lenganku menuju kelas. Merasa tidak enak
dengan teman-teman cewekku, karena aku dan Adhi seperti mempunyai hubungan special.
“Kamu gak bawa bekal?” tanya Adhi tepat di depan kelasku. Aku menggaruk
tengkuk belakangku, takut-takut kalau Adhi memberitahu kedua orangtuaku.
“Emangnya ada apa sih?” tanyaku balik. Ada urusan apa Adhi nanya-nanya
begitu.
“Engga. Cuma nanya kok. Kalau bawa bekal, mending dimakan. Jangan
berlagak jajan di kantin. Makanannya belum tentu cocok sama perut kamu,”
jelasnya kemudian berlari ke kantin. Aku merutuki diriku, kenapa tidak ada yang
memperbolehkan aku untuk bebas? Terpaksa aku memakan bekal yang telah dibawakan
ibuku.
***
Pulang sekolah. Rasanya hambar sekali, menunggu jemputan. Huftt… Coba
saja kalau aku naik metro mini seperti kak Rio, pasti akan terasa menyenangkan.
Suara klakson mobil membuyarkan lamunanku, itu ayah. Aku segera masuk ke mobil
ayah. Sepanjang perjalanan aku diam saja, jika ayah bertanya, aku hanya
menjawab yang penting-penting saja. Bahkan hanya anggukan dan gelengan kepala.
Cukup senang melihat ayah yang seperti tidak tega karena terlalu mengekang
diriku. Sesampainya di rumah, aku disambut hangat kak Rio dan kak Ira. Mereka
mengajakku nonton bioskop di salah satu pusat perbelanjaan di kotaku. Aku
senang sekali, akhirnya aku diperbolehkan keluar rumah, meski hanya dengan
kedua kakakku.
“Emangnya boleh kak?” tanyaku memastikan.
“Ibu yang nyuruh kok,” jawab kak Ira sambil memanaskan mobil. Kak Ira
juga bisa menyetir mobil, pokoknya dia bisa segalanya deh.
Saat di bioskop, aku begitu memperhatikan film yang sedang diputar.
Cukup menegangkan bagiku, 3D menurutku sangat asyik. Setelah kami selesai
menonton bioskop, kak Rio dan kak Ira mengajakku untuk makan di sebuah restoran
jepang disana. Rasanya menyenangkan bisa bebas seperti ini.
“Pulang yuk! Udah sore,” ajak kak Ira sehabis makan. Kami pun pulang ke
rumah.
Sebenarnya, masih pukul 4 sore. Aku pulang sekolah pukul 1 tadi.
Biasanya kalau hari senin dan jum’at, sekolahku pulang lebih awal. Aku
memutuskan untuk menonton tv, kulihat acara NBA Basketball. Rasanya seru sekali
bisa bermain basket, aku baru ingat kak Rio adalah kapten tim basket di
sekolahnya. Pasti dia punya bola basket. Diam-diam aku ke kamarnya dan mencuri
bola basket miliknya. Ku masukkan ke dalam tas dan menyelinap keluar rumah.
Dug.. dug.. dug..
Suara basket yang ku drible menggema. Shoot ke ring, dan masuk! Wow!
Ternyata aku bisa juga main basket.
“Sha!” panggil seseorang. Aku segera menoleh, kak Rio. Bagaimana ia bisa
tahu aku ada disini? Ah, padahal lagi asik-asiknya. “Pulang!! Nanti kamu
dimarahi ibu sama ayah!!” bentak kak Rio sambil merebut bola basketnya. Aku
terpaksa menuruti kemauan kak Rio. Sampai di rumah, aku dimarahi habis-habisan.
“Kamu itu!! Mau belajar jadi maling ya? Keluar rumah, ngambil basket
kakak kamu! Kamu itu nggak tau apa yang ada diluar sana!!” ayah terus saja
memarahiku. Kak Ira hanya bisa mengelus dada.
“Kenapa sih ayah sama ibu gak pernah ngasih kebebasan buat Shasha?”
tanyaku yang bercucuran air mata. Ayah sontak berhenti dan memandangku iba. Aku
berlari menuju kamar dan mengunci pintunya. Tidak akan ada yang bakal memberiku
kebebasan, kecuali Allah swt.
***
Aku memandang langit dengan nanar, sudah lumayan sore. Aku berjalan
mengendap-endap keluar rumah. Seperti biasa, mencari kebebasan yang seharusnya
telah aku dapatkan sekarang. Aku teringat akan petugas upacara selanjutnya
bagian kelasku. Dan aku? Tidak pernah bisa jadi petugas upacara. Sejenak, hand
phone yang daritadi ku genggam berbunyi tanda adanya 1 sms masuk. Kak Rio
mengirim pesan untukku,
‘Kamu dimana?’ aku tidak berniat membalasnya. Aku lebih memilih memikirkan soal
petugas upacara itu. Bagaimana caranya agar aku bisa menjadi petugas upacara.
Hari ini mungkin sudah ditentukan, siapa yang akan menjadi petugas-petugas
upacara. Aku, dari dulu hanya menjadi pengiring lagu dengan menggunakan suling.
Jujur aku iri, kepada Ikha yang telah direncanakan menjadi pembawa bendera.
“Shasha? Ngapain kamu ada disini?” tanya seseorang sembari ikut duduk di
dekatku. Dia Ari, kembaran Adhi yang juga tetanggaku. Tapi Ari tidak satu
sekolah dengan aku dan Adhi.
“Engga kok. Aku Cuma lagi nyari udara segar aja,” jawabku halus. Ari
hanya mengangguk dan ikut memandangi matahari yang sebentar lagi akan
menyembunyikan cahayanya.
“Kamu gak pulang? Ini udah sore loh,” ucap Ari lebih lembut dari Adhi.
Aku hanya menggeleng pelan, kemudian tersenyum paksa.
“Aku males dirumah,” ujarku lirih. Adi mengelus punggungku pelan.
Memberi ketabahan.
“Kenapa? Karena minggu depan kelas kamu jadi petugas upacara ya? Terus kamu
gak dapat bagian? Iya kan?” tebak Ari tepat sasaran. Aku menoleh padanya yang sedang
menaik-turunkan alisnya.
“Kok kamu tau sih?” tanyaku heran. Ari tertawa pelan, lalu memandang
matahari lagi.
“Lebih baik kamu pulang aja,” ucapnya mengalihkan pertanyaanku. Dengan
sedikit kekecewaan, aku pulang ke rumah. Meninggalkan Ari yang tengah duduk
memandang langit yang kian gelap.
Aku pulang ke rumah, tidak lewat pintu depan. Melainkan memanjat lewat
jendela kamarku. Tepat saat aku sampai di kamar, kak Ira telah berada diambang
pintu sambil memegang kunci cadangan.
“Darimana aja kamu? Sore-sore baru pulang,” tanya kak Ira yang membuatku
harus berfikir keras-keras untuk memberikan jawaban. Seketika, kepalaku terasa
sakit dan aku mulai limbung.
***
Aroma khas rumah sakit sangat menyengat. Aku tidak dapat membuka mataku,
kudengar tangisan ayah dan ibu yang histeris. Kak Rio terus memanggil namaku
dan kak Ira membacakan ayat-ayat Al-qur’an. Baru aku sadar, aku koma. Aku hanya
dapat mendengar, merasakan, tapi tidak bisa membuka mataku.
Cukup lama, 2 sampai 3 tahun sudah aku koma. Ayah, ibu, kak Rio dan kak
Ira sangat setia mendampingiku. Merekalah orang-orang yang paling aku sayangi.
Hingga pada saat kak Ira membacakan surat An-Nas, surat yang terakhir di
al-qur’an, aku terbangun dari koma yang panjang. Namun aku merasa malaikat
izroil telah menjemputku, tapi seperti memberiku kesempatan untuk berbicara pada
orang-orang yang kusayang.
“Maaf kalau Shasha punya salah. Shasha gak pernah mematuhi perintah ibu
sama ayah. Maaf Shasha sering buat kalian khawatir,” kataku lirih. Kak Ira
menggenggam tanganku, sambil menangis.
“Shasha gak punya salah,” kata kak Rio membelai rambutku yang kian lama
makin tipis.
“Shasha udah gak kuat lagi. Sekali lagi maaf,” kataku lalu terpejam.
Untuk selama-lamanya. Tidak ada lagi Adhi atau Ari yang akan memperhatikanku.
Tidak ada lagi kak Ira dan kak Rio yang mengajakku menonton bioskop. Tidak ada
lagi ayah yang selalu mengantar-jemputku sekolah. Tidak ada lagi permainan
basket yang pernah aku mainkan. Aku masih tidak bisa mendapatkan yang aku mau,
menjadi petugas upacara dan kebebasan. Tapi sekarang aku tau, ayah dan ibu over
protective karena aku yang mengidap penyakit gagal jantung dan kanker otak
stadium akhir. Terima kasih ayah, ibu, kak Ira, kak Rio, Adhi, Ari, dan Ikha.
Aku tidak akan melupakan kalian disini, dunia yang berbeda dari dunia kalian.
Kalian akan selalu ada dihatiku, meskipun maut memisahkan kita semua J
Maaf kalo jelek, ini bikinan pas kelas 7 soalnya :)