Aku dan Hidupku (Repost from facebook)

Kamis, 24 November 2011

Ini ada cerita selingan buat kalian. soalnya Permintaan Takdir ditunda dulu, walau ceritanya udah banyak :D

OKE CEKIDOT !!

=================

Cahaya matahari yang baru saja terbit masuk melalui celah jendela kamarku. Membuat aku sedikit menggeliat karena cahaya yang begitu menyilaukan. Aku melihat jam weker di sebelah ranjangku, sudah pukul 6 pagi.

Aku segera menuju kamar mandi karena tidak ingin terlambat sekolah. Setelah aku mandi, kemudian berganti baju, aku menuju ruang bawah untuk sarapan. Ayahku selalu menganjurkan aku untuk sarapan, entah mengapa ayah dan ibuku terlalu over protective kepadaku dibanding dengan kakak-kakakku yang lain.

Oh ya, namaku Marisha Nur Fatimah. Aku biasa dipanggil Shasha. Kakakku ada 2, yang satu kuliah menginjak semester 4 dan yang satu lagi kelas 1 SMA. Kakakku-kakakku ini pintar-pintar loh, tapi aku juga tidak kalah pintar dengan mereka. Alhamdulillah, aku selalu mendapat peringkat 3 besar di sekolahku. Sekarang aku duduk di bangku kelas 3 SMP. Cukup jauh dari kakakku yang pertama, dan dengan kakakku yang kedua, kami sangat dekat. Ibuku bernama Nur Fatihah dan ayahku Zainnal James Laverton. Aneh ya?

Ayahku memang keturunan luar negeri atau biasa dipanggil orang Indo. Maka dari itu wajahku dan kedua kakakku agak bule. Kedua kakakku sudah berangkat ke sekolah sejak tadi, sedangkan aku masih berdiam disini. Menunggu ayah mengeluarkan mobil pribadinya untuk mengantarkan aku ke sekolah. Kakakku yang pertama, kak Ira, membawa motor bebek ke kampusnya. Sedangkan kakakku yang kedua, Rio, lebih memilih naik metro mini ke sekolahnya. Jadi, akulah yang paling dimanja oleh kedua orang tuaku. Padahal aku ingin sekali seperti kak Rio, belajar mandiri. Aku kan sudah besar, sudah kelas 3 SMP. Tapi ayah dan ibuku selalu ‘ngotot’ memerintahkan aku untuk selalu diantar-jemput oleh ayah. Tidak mengerti kenapa orang tuaku begitu over protective, yang membuatku lebih heran lagi, mengapa kedua kakakku tidak pernah merasa iri denganku yang begitu dimanja.

Ayahku sudah mengeluarkan mobil dari garasi, aku pun segera naik dan duduk di kursi depan. Perjalanan dari rumahku ke sekolah tidak begitu jauh, cukup 3 kilometer saja. Hanya butuh sekitar 20 menit untuk sampai ke sekolah. Saat sampai di sekolah, aku bersalaman dengan ayah untuk memohon doa nya. Kulihat beliau menangis, tidak tahu mengapa.

“Ayah pasti akan mendo’akan kamu nak. Jadikan sisa hidupmu yang berarti ini lebih berguna lagi,” kata ayah masih menangis. Aku hanya manggut-manggut saja, tidak mengerti apa yang diucapkan ayah kali ini. Bahkan baru kali ini aku mendengar ayah berbicara tentang kehidupan. Masih memikirkan pembicaraan ayah tadi, aku jadi menabrak seseorang.

“Eh, maaf. Saya tidak sengaja,” kataku berusaha sesopan mungkin. Perempuan yang kutabrak itu hanya menyunggingkan senyuman. Bodoh sekali aku ini, memikirkan sesuatu yang berlalu sampai-sampai menabrak orang seperti itu. Aku memasuki ruang kelas yang tidak begitu jauh dari gerbang sekolah. Hari ini hari senin, jadi aku harus bersiap-siap untuk upacara bendera di lapangan. Cuaca sepertinya sangat mendukung jalannya upacara. Tapi tidak untuk para murid. Melihat para petugas upacara yang sedang mempersiapkan bendera dan gladi resik untuk upacara sesungguhnya, aku jadi iri. Ingin sekali aku menjadi petugas upacara. Apalagi pengibar bendera, pengalaman yang belum pernah aku coba di tingkat sekolah yang sudah tinggi ini. Alasannya, ya seperti biasa. Ayah dan ibuku tidak mengizinkan aku untuk ikut ekstarkulikuler yang mengandung baris-berbaris.

***

Aku telah berkumpul di lapangan bersama rombongan murid kelas 9 atau kelas 3 SMP. Sepertinya hari ini hari sialku, aku mendapat tempat yang panas. Matahari juga sepertinya tidak memberiku semacam dispensasi dari sinarnya. Untung saja aku pakai topi, tapi tetap saja terasa panasnya. Panas matahari yang begitu menyengat, membuatku tidak konsetrasi akan jalannya upacara kali ini. Mungkin aku terlalu sibuk menutupi wajahku dari sinar matahari yang sudah terbit seutuhnya ini. Tepat pada saat protocol berkata, “Pengibaran bendera merah putih diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya,” aku merasa ada seseorang yang menutupiku dari sinar matahari. Saat aku melihat siapa orang itu, aku tersentak dan hampir jatuh. Cowok terpopuler di sekolahku, Adhi Raditya. Ia menyunggingkan senyumannya untukku, aku membalasnya agak canggung. Saat pemimpin memberi aba-aba untuk hormat kepada bendera merah-putih, aku merasakan tubuhku mulai lemas dan akhirnya tidak sadarkan diri.

***

Aku tidak ingat sejak kapan aku berada di UKS dan siapa yang mengantarku. Tapi aku hanya mengingat Adhi berteriak minta tolong kepada anggota PMR yang berbaris dibelakang. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, tubuhku masih lemas sekali rasanya.

“Ini diminum dulu tehnya,” ucap seorang guru BP sambil menyodorkan segelas teh hangat kepadaku. Sedikit demi sedikit aku meminum teh itu hingga tinggal separuh gelas. Kemudian, aku meletakkan gelas itu disamping ranjang.

“Bu, kalau boleh saya tahu, siapa yang mengantar saya kemari?” tanyaku pelan.

“Anak-anak PMR. Adhi juga ikut tadi,” jawab ibu guru tersebut kemudian berlalu. Sejenak fikiranku melayang kearah tadi, membayangkan bila aku menjadi petugas upacara. Mengapa ayah dan ibuku terus melarangku untuk melakukan sesuatu yang aku suka? Aku benci itu.

“Sha, gimana? Udah baikan?” tanya seseorang dari arah pintu, oh .. Adhi.

“Alhamdulillah. Makasih ya kamu udah antar saya,” kataku lembut. Aku tidak mau disebut sok kenal, apalagi ke Adhi ini, yang notebannya cowok terpopuler di sekolah.

“Iya. Sama-sama,” katanya lalu duduk disamping ranjang. Aku berusaha duduk, supaya terlihat menghargai. “Gak usah, tiduran aja. Gak apa-apa kok,” katanya lagi. Terpaksa aku tiduran saja. Adhi hanya memandangku sambil tersenyum. Membuatku sedikit aneh dengan sikapnya.

“Shasha!!” panggil ayah dan ibu yang langsung menghampiriku. Ini yang tidak aku suka, mereka terlalu over protective.

“Pulang aja ya Sha,” ajak ayah. Aku menggeleng keras-keras, tidak ingin pulang hanya karena pingsan sewaktu upacara.

“Shasha mau disini aja. Nanti ada ulangan matematika,” ucapku yang memang kenyataan. Ayah dan ibu saling berpandangan, kemudian menatapku lagi. “Ayah sama ibu pulang aja. Aku gak apa-apa kok,” kataku mencoba meyakinkan mereka. Adhi sedikit menjauh dari kami. 
“Lagipula ada Adhi, ya kan?” ucapku sekali lagi. Adhi hanya tersenyum ramah, akhirnya ayah dan ibuku pulang.

“Seharusnya tadi kamu pulang aja,” kata Adhi sedikit khawatir. Aku tersenyum dan menggeleng pelan.

“Buat apa aku pulang? Aku baik-baik aja,” kataku masih tersenyum. Adhi juga tersenyum, kemudian ia mengantarku ke kelas.

***

Bel istirahat telah berkumandang sekitar 5 menit yang lalu, tapi aku masih berkutat dengan buku fisika yang lumayan tebal ini. Sehabis istirahat, ada ulangan fisika, jadi aku sempatkan belajar lagi.

“Shasha, mau ke kantin gak?” tanya temanku, Ikha.

“Maaf Kha, aku bawa bekal. Maaf ya,” tolakku halus. Ikha hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian lenyap dari pandanganku. Sebenarnya, Ikha sedah berulang kali mengajakku ke kantin. Tapi aku tidak pernah mau dan tidak akan pernah bisa. Karena setiap hari, ibu menyuruhku untuk diam saja di kelas dan makan makanan yang dibawakan dari rumah.

Aku melihat isi kotak makan yang dibawakan ibuku, nasi dan udang bakar asam manis, kesukannku. Tapi, diam-diam aku bosan dengan semua ini. Ingin sekali aku bebas seperti kedua kakakku. Aku berjalan ke kantin, ramai dan penuh sesak. Tapi, fikiranku bergulat dengan rasa penasaran yang kalau dibilang, tingkat akut. Aku berjalan dengan pelan, melihat-lihat apa saja yang bisa dibeli di kantin.

“Shasha!! Ngapain kamu disini?” tanya Adhi dari kejauhan, kemudian menghampiriku. Tumben sekali Adhi perhatian, biasanya dia selalu tidak peduli.

“Emangnya kenapa?” tanyaku yang merasa aneh dengan sikap Adhi belakangan ini. Adhi hanya menggeleng dan menarik lenganku menuju kelas. Merasa tidak enak dengan teman-teman cewekku, karena aku dan Adhi seperti mempunyai hubungan special.

“Kamu gak bawa bekal?” tanya Adhi tepat di depan kelasku. Aku menggaruk tengkuk belakangku, takut-takut kalau Adhi memberitahu kedua orangtuaku.

“Emangnya ada apa sih?” tanyaku balik. Ada urusan apa Adhi nanya-nanya begitu.

“Engga. Cuma nanya kok. Kalau bawa bekal, mending dimakan. Jangan berlagak jajan di kantin. Makanannya belum tentu cocok sama perut kamu,” jelasnya kemudian berlari ke kantin. Aku merutuki diriku, kenapa tidak ada yang memperbolehkan aku untuk bebas? Terpaksa aku memakan bekal yang telah dibawakan ibuku.

***

Pulang sekolah. Rasanya hambar sekali, menunggu jemputan. Huftt… Coba saja kalau aku naik metro mini seperti kak Rio, pasti akan terasa menyenangkan. Suara klakson mobil membuyarkan lamunanku, itu ayah. Aku segera masuk ke mobil ayah. Sepanjang perjalanan aku diam saja, jika ayah bertanya, aku hanya menjawab yang penting-penting saja. Bahkan hanya anggukan dan gelengan kepala. Cukup senang melihat ayah yang seperti tidak tega karena terlalu mengekang diriku. Sesampainya di rumah, aku disambut hangat kak Rio dan kak Ira. Mereka mengajakku nonton bioskop di salah satu pusat perbelanjaan di kotaku. Aku senang sekali, akhirnya aku diperbolehkan keluar rumah, meski hanya dengan kedua kakakku.

“Emangnya boleh kak?” tanyaku memastikan.

“Ibu yang nyuruh kok,” jawab kak Ira sambil memanaskan mobil. Kak Ira juga bisa menyetir mobil, pokoknya dia bisa segalanya deh.
Saat di bioskop, aku begitu memperhatikan film yang sedang diputar. Cukup menegangkan bagiku, 3D menurutku sangat asyik. Setelah kami selesai menonton bioskop, kak Rio dan kak Ira mengajakku untuk makan di sebuah restoran jepang disana. Rasanya menyenangkan bisa bebas seperti ini.

“Pulang yuk! Udah sore,” ajak kak Ira sehabis makan. Kami pun pulang ke rumah.

Sebenarnya, masih pukul 4 sore. Aku pulang sekolah pukul 1 tadi. Biasanya kalau hari senin dan jum’at, sekolahku pulang lebih awal. Aku memutuskan untuk menonton tv, kulihat acara NBA Basketball. Rasanya seru sekali bisa bermain basket, aku baru ingat kak Rio adalah kapten tim basket di sekolahnya. Pasti dia punya bola basket. Diam-diam aku ke kamarnya dan mencuri bola basket miliknya. Ku masukkan ke dalam tas dan menyelinap keluar rumah.

Dug.. dug.. dug..

Suara basket yang ku drible menggema. Shoot ke ring, dan masuk! Wow! Ternyata aku bisa juga main basket.

“Sha!” panggil seseorang. Aku segera menoleh, kak Rio. Bagaimana ia bisa tahu aku ada disini? Ah, padahal lagi asik-asiknya. “Pulang!! Nanti kamu dimarahi ibu sama ayah!!” bentak kak Rio sambil merebut bola basketnya. Aku terpaksa menuruti kemauan kak Rio. Sampai di rumah, aku dimarahi habis-habisan.

“Kamu itu!! Mau belajar jadi maling ya? Keluar rumah, ngambil basket kakak kamu! Kamu itu nggak tau apa yang ada diluar sana!!” ayah terus saja memarahiku. Kak Ira hanya bisa mengelus dada.

“Kenapa sih ayah sama ibu gak pernah ngasih kebebasan buat Shasha?” tanyaku yang bercucuran air mata. Ayah sontak berhenti dan memandangku iba. Aku berlari menuju kamar dan mengunci pintunya. Tidak akan ada yang bakal memberiku kebebasan, kecuali Allah swt.

***

Aku memandang langit dengan nanar, sudah lumayan sore. Aku berjalan mengendap-endap keluar rumah. Seperti biasa, mencari kebebasan yang seharusnya telah aku dapatkan sekarang. Aku teringat akan petugas upacara selanjutnya bagian kelasku. Dan aku? Tidak pernah bisa jadi petugas upacara. Sejenak, hand phone yang daritadi ku genggam berbunyi tanda adanya 1 sms masuk. Kak Rio mengirim pesan untukku,

‘Kamu dimana?’ aku tidak berniat membalasnya. Aku lebih memilih memikirkan soal petugas upacara itu. Bagaimana caranya agar aku bisa menjadi petugas upacara. Hari ini mungkin sudah ditentukan, siapa yang akan menjadi petugas-petugas upacara. Aku, dari dulu hanya menjadi pengiring lagu dengan menggunakan suling. Jujur aku iri, kepada Ikha yang telah direncanakan menjadi pembawa bendera.

“Shasha? Ngapain kamu ada disini?” tanya seseorang sembari ikut duduk di dekatku. Dia Ari, kembaran Adhi yang juga tetanggaku. Tapi Ari tidak satu sekolah dengan aku dan Adhi.

“Engga kok. Aku Cuma lagi nyari udara segar aja,” jawabku halus. Ari hanya mengangguk dan ikut memandangi matahari yang sebentar lagi akan menyembunyikan cahayanya.

“Kamu gak pulang? Ini udah sore loh,” ucap Ari lebih lembut dari Adhi. Aku hanya menggeleng pelan, kemudian tersenyum paksa.

“Aku males dirumah,” ujarku lirih. Adi mengelus punggungku pelan. Memberi ketabahan.

“Kenapa? Karena minggu depan kelas kamu jadi petugas upacara ya? Terus kamu gak dapat bagian? Iya kan?” tebak Ari tepat sasaran. Aku menoleh padanya yang sedang menaik-turunkan alisnya.

“Kok kamu tau sih?” tanyaku heran. Ari tertawa pelan, lalu memandang matahari lagi.

“Lebih baik kamu pulang aja,” ucapnya mengalihkan pertanyaanku. Dengan sedikit kekecewaan, aku pulang ke rumah. Meninggalkan Ari yang tengah duduk memandang langit yang kian gelap.

Aku pulang ke rumah, tidak lewat pintu depan. Melainkan memanjat lewat jendela kamarku. Tepat saat aku sampai di kamar, kak Ira telah berada diambang pintu sambil memegang kunci cadangan.

“Darimana aja kamu? Sore-sore baru pulang,” tanya kak Ira yang membuatku harus berfikir keras-keras untuk memberikan jawaban. Seketika, kepalaku terasa sakit dan aku mulai limbung.

***

Aroma khas rumah sakit sangat menyengat. Aku tidak dapat membuka mataku, kudengar tangisan ayah dan ibu yang histeris. Kak Rio terus memanggil namaku dan kak Ira membacakan ayat-ayat Al-qur’an. Baru aku sadar, aku koma. Aku hanya dapat mendengar, merasakan, tapi tidak bisa membuka mataku.

Cukup lama, 2 sampai 3 tahun sudah aku koma. Ayah, ibu, kak Rio dan kak Ira sangat setia mendampingiku. Merekalah orang-orang yang paling aku sayangi. Hingga pada saat kak Ira membacakan surat An-Nas, surat yang terakhir di al-qur’an, aku terbangun dari koma yang panjang. Namun aku merasa malaikat izroil telah menjemputku, tapi seperti memberiku kesempatan untuk berbicara pada orang-orang yang kusayang.

“Maaf kalau Shasha punya salah. Shasha gak pernah mematuhi perintah ibu sama ayah. Maaf Shasha sering buat kalian khawatir,” kataku lirih. Kak Ira menggenggam tanganku, sambil menangis.

“Shasha gak punya salah,” kata kak Rio membelai rambutku yang kian lama makin tipis.

“Shasha udah gak kuat lagi. Sekali lagi maaf,” kataku lalu terpejam. Untuk selama-lamanya. Tidak ada lagi Adhi atau Ari yang akan memperhatikanku. Tidak ada lagi kak Ira dan kak Rio yang mengajakku menonton bioskop. Tidak ada lagi ayah yang selalu mengantar-jemputku sekolah. Tidak ada lagi permainan basket yang pernah aku mainkan. Aku masih tidak bisa mendapatkan yang aku mau, menjadi petugas upacara dan kebebasan. Tapi sekarang aku tau, ayah dan ibu over protective karena aku yang mengidap penyakit gagal jantung dan kanker otak stadium akhir. Terima kasih ayah, ibu, kak Ira, kak Rio, Adhi, Ari, dan Ikha. Aku tidak akan melupakan kalian disini, dunia yang berbeda dari dunia kalian. Kalian akan selalu ada dihatiku, meskipun maut memisahkan kita semua J


Maaf kalo jelek, ini bikinan pas kelas 7 soalnya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS