Try! (Part 3)

Selasa, 28 Mei 2013


TIGA

Shilla senyum-senyum sendiri di kamarnya. Cakka benar-benar tipe cowok yang almost perfect! Benar-benar pria idaman! Sekali bertemu, Cakka langsung bisa mengakrabkan diri. Mereka seperti teman lama yang tidak pernah bertemu. Bahkan Cakka memperbolehkan Ify dan Sivia memainkan iPad yang ia bawa.

Cakka juga tadi memainkan blackberry Shilla walau sebentar, ternyata dia meng-invite pinnya sendiri dari ponsel Shilla. Sekarang Cakka dan Shilla masih setia bbman, meski jam dinding di kamarnya telah menunjukkan pukul 10 malam.

Ternyata Cakka bohong. Kalau Cakka bilang ganti ruginya harus bayarin dia makan—hasil patungan nggak ikhlas dari Shilla, Ify dan Sivia—ternyata malah tu cowok yang bayarin makanan mereka berempat. Tipe cowok idaman banget, ‘kan?

Ashilla
Mobil lo gimana? Udah bae?

Cakka NRG
Udah bae? Emangnya mobil gue orang-_-

Ashilla
Yaelah Kka-___- you know what I mean.

Cakka NRG
Emm.. masih lecet-lecet sih. Mungkin kalo gue ngajak lo makan malem besok, mobilnya bakal sembuh dari lecet2nya.

Shilla langsung blushing. Padahal Cakka lagi nggak ada disini. Tapi Shilla tetap tersipu. Bukan satu dua kali aja Cakka membuatnya blushing, dari tadi siang Cakka—yang ditatapnya mirip Justin banget itu—selalu membuatnya merona merah.

Ashilla
Gombal lo! Gak ah. Gue gak mau diajak makan malem lewat bbm begini,

Cakka NRG
Yauda. Besok gue ke rmh lo. Harus bawa bunga sambil nyanyi gak nih? =))

Ashilla
Yee nantangin ceritanya?

Cakka NRG
Loh? Pokoknya lo harus mau makan malem sama gue. Itung-itung ganti rugi,

Ashilla
Ganti rugi mulu. Kan td udah?

Cakka NRG
Itukan ttp gue yg bayar. Jd lo temenin gue mkn mlm. Lagipula, yg ngelecetin kan elo.

Ashilla
Yaudah yaudah. Tapi jgn ngaret ya! Awas kl ngaret lo gue tendang!

Cakka NRG
Iya iya ampun Nyonya Nuraga :p

Ashilla
Yea gombaaaallll!!!!!

***

Shilla terbangun dengan senyum mengembang di bibirnya. Tiba-tiba jantungnya jadi berdegup dengan kencang. Ia menangkupkan kedua tangannya untuk menutupi wajahnya yang entah kenapa akhir-akhir ini jadi gampang panas.

Shilla mandi dengan semangat, berdandan dengan semangat, sarapan dengan semangat dan berangkat sekolah dengan semangat juga.

Tapi ketika sampai di pekarangan depan rumahnya, tepatnya di depan gerbang, langkah Shilla harus terhenti. Pemuda dengan motor Cagiva merah dan berhelm fullface menunggunya dengan sabar. Shilla tahu siapa pemuda itu—walau helm full face masih setia melekat dikepalanya.

Shilla langsung menegang. Berusaha untuk bersikap dingin kepada pemuda ini. Pemuda yang sudah menghancurkan tiga bulan terakhirnya. Tiga bulan yang harusnya bisa dimanfaatkan dengan baik olehnya. Tiga bulan masa-masa pertama SMA-nya. Tapi pemuda ini, menghancurkannya tanpa ampun.

Shilla langsung melangkah lagi setelah ia berpikir, bahwa tak ada gunanya menghardik pemuda brengsek di depannya ini. Tapi sebuah tangan kokoh mencegahnya untuk melangkah lebih jauh. Shilla memberontak, ingin menepis. Tapi kekuatannya seakan hilang, malah airmata yang jatuh dari kelopak matanya. Jatuh menuju pipinya.

Pemuda itu melepas helm full face-nya, lalu turun dari motornya. Ia masih tetap menahan tangan Shilla—yang kehilangan kekuatannya untuk memberontak. Susah payah pemuda ini menatap manik mata Shilla yang basah. Basah karena airmata.

“Shilla, gue mau ngomong.,” ucap pemuda ini lembut. Pandangannya lemah, dan Shilla makin tak mampu memandang wajah nanar pemuda ini. Ia memalingkan wajahnya.

“Gue mau sekolah, Vin. Lepas!” ucap Shilla pada Alvin, nama pemuda yang kini ganti menggenggam tangannya.

“Gue anter lo ke sekolah.,” kata Alvin membantah. Shilla menggeleng tak kuasa. Ia langsung menyentak tangannya dan berlari menjauhi Alvin.

Alvin merasakan nyeri di dadanya. Melihat tangis gadisnya. Gadis yang dulu dan sampai sekarang masih setia singgah di hati rongsoknya. Hanya dia, dia yang mampu menerima Alvin apa adanya. Hanya dia yang mampu tersenyum dengan tulus, berusaha menyukai apa yang ia sukai.

Tapi apa yang Alvin berikan padanya? Hanya luka dan sakit. Luka yang tidak tahu kapan akan menutup. Sakit yang tidak tahu harus diobati dengan apa. Terlalu banyak yang gadis itu korbankan untuknya. Tapi apa balasnya? Hanya tangis. Tangis yang tidak tahu sampai kapan akan mengering.

Terlalu banyak kata yang ingin ia jelaskan, tapi tak tahu kapan akan tersampaikan. Kalimat-kalimat yang telah ia susun, seakan memudar. Menghilang tanpa bekas setelah melihat kenyataan. Kenyataan bahwa tidak semudah itu menjelaskan semuanya. Setelah apa yang ia lakukan.

Dan Alvin benci dipermainkan oleh takdir. Benci dipermainkan oleh kenyataan. Kenyataan bahwa hanya sepersekian persen dirinya bisa menutup luka gadisnya, merawat sakit hati gadisnya dan menghapus seluruh tangisnya. Mengganti dengan tawa bahagia.

Tapi kapan?

***

“Kenapa lo lesu?” tanya Ify setelah dirinya sudah berada di kelas. Kalau boleh, pelajaran kedua nanti ia ingin berdiam diri di UKS. Sekedar mencari, apa ada obat sakit hati?

“Sakit gue kambuh lagi.,” jawab Shilla melankolis. Tapi ternyata Sivia salah mengartikan.

“Sakit apa, Shill? Gue ambilin obat, ya. Atau lo mau ke UKS?” tanya Sivia panik. Shilla menubrukkan kepalanya di meja, berusaha menutupi tangisnya dari kedua sohibnya ini.

“Andaikan ada obatnya… ini terlalu sakit,” ucap Shilla sedikit terisak. Sivia menyernyit heran, tak lama ia pun paham apa yang dibicarakan oleh Shilla.

“Shill? Jangan bilang elo…,”

“Ssst… mending lo sembunyiin kepala Shilla pake buku. Nanti ketauan Pak Heri!” saran Ify cepat. Masalahnya, yang sebangku dengannya adalah Sivia, yang notabene-nya kurang tangkas dari Ify. Sivia langsung mengambil buku paketnya, lalu mendirikannya. Shilla masih tetap menangis.

Ify dan Sivia menatap nanar Shilla. Sedangkan Shilla mati-matian menahan isakan tangisnya dengan menutup mulutnya kuat-kuat. Rasa sesak di dadanya benar-benar membuatnya mati rasa. Kerongkongannya terasa kering dan matanya terasa sakit.

Luka. Luka itu begitu dalam. Luka itu belum sepenuhnya menutup. Bahkan sepertiganya saja belum tertutup. Luka itu masih sangat basah, masih butuh tambalan disana-sini. Kini haruskah ada luka baru? Luka baru yang memperdalam luka lamanya?

Shilla merasakan tangan Sivia mengelus-elus punggungnya, berusaha menenangkan Shilla walau mungkin tidak berpengaruh banyak. Ia menengadah, menatap Sivia yang masih serius mencatat sambil tangan kirinya mengusap punggungnya perhatian. Sedangkan Ify, setiap lima detik sekali pasti melihat ke arahnya. Berharap Shilla segera membaik.

“Cabut guys,” bisik Shilla meng-kode Sivia. Ify yang tak sengaja mendengar hanya tersenyum mengiyakan.

Pelajaran kedua, Shilla dan kedua sohibnya segera menghambur ke UKS setelah sebelumnya meminta izin kepada Bu Endah, guru Bahasa Inggris. Shilla ingin menangis sepuasnya disana. Berharap Ibu Penjaga UKS, Bu Romi tidak sedang bertugas. Atau ia terpaksa meminta bantuan Sivia dan Ify lagi untuk ‘mengusir’ Bu Romi.

UKS terletak di gedung barat SMA Altavia, yang letaknya disebelah perpustakaan. Shilla kadang-kadang merutuki sekolahnya yang mahamegah ini. Betul-betul bisa membuat kakinya pegal sekaligus membesarkan betisnya secara mudah.

Sampai di UKS, ternyata satu dari dua ranjang yang ada di UKS telah terpakai. Dari badge-nya Shilla tahu ia kelas 11. Kakak kelasnya. Shilla langsung mendudukkan diri di ranjang yang tak terisi. Ia langsung saja menangis. Tanpa aba-aba.

Sivia mengambil gelas di rak, lalu menuangkan air putih ke dalamnya. Kemudian ia menyerahkannya pada Shilla. Sedangkan Ify mengambil tissue dan menyodorkannya pada Shilla. Sekarang tinggal menunggu cewek itu selesai menangis dan menceritakan SEMUANYA.

“Ada yang sakit?” Ify dan Sivia terlonjak. Sedangkan Shilla tidak mempedulikannya. Ia malah menangis semakin parau.

“E-Eh… A-ada Kak.,” jawab Ify gagu. Masalahnya yang bertanya adalah kakak kelas, kelas 11. Cakep, keren, tinggi, alis yang hampir menyatu dan tatapan mata yang dalam dan tenang. Bagaikan danau diatas samudra.

“Dikasih obat, lah. Jangan cuma air putih sama tissue. Mana nangisnya sampe begitu, lagi.,” balas kakak kelas tersebut sengit. Ify menggigit bibirnya, bingung. Keduanya bergeming.

“Dia… dia cuma lagi s-sakit perut kok, Kak!” hanya itu yang tercetus keluar dari otak Ify.

“I-iya Kak!! Di-dia lagi PMS!” timpal Sivia cepat. Walau nggak setangkas Ify, Sivia bisa cepat mengerti dengan situasi.

“Nah, iya betul tuh!” Kakak kelas tersebut menyipit. Dari name tag-nya, Ify mengetahui ia bernama ‘Mario S.A. Haling’.

“Oke. Saya catet dulu, ya.” Shilla terbelalak. Rio sudah memegang buku ditangan kirinya, dan pulpen ditangan kanannya. Bersiap mencatat nama mereka bertiga.

“H-Hah?!!! Kok dicatet, Kak? B-Biasanya kan enggak?” tanya Shilla gagap. Rio menyeringai, membuatnya terlihat semakin seksi.

“Kalian udah melanggar peraturan sekolah. Pertama, kayaknya kalian udah sering ke UKS tanpa pengawasan, deh. Jadi kalian nggak tau peraturannya.,” kata Rio cuek. “Hhh.. malah pada pasang tampang bego, lagi. Peraturannya; semua murid yang kena PMS, nggak boleh masuk ruang UKS. Soalnya, itu udah lumrah bagi cewek yang lagi PMS. Kalo cewek yang lagi PMS boleh masuk UKS, berapa banyak murid yang bakal masuk kesini? Misalnya yang lagi PMS ada 20 orang, sedangkan UKS cuma nyediain 2 ranjang, terus yang lain mau ditaro dimana? Perpustakaan? Lama-lama ni sekolah bisa jadi tempat pengungsian murid PMS, deh.,” jelas Rio panjang lebar. Shilla, Ify dan Sivia hanya bisa tergugu. Termangu di tempat.

“M-Maaf, Kak. Kami cuma nggak tega sama sohib kami. Daripada di dicurigain guru karena mewek kejer begitu, jadi lebih baik kami kesini.,” ucap Sivia berkilah. Rio menghela napas. Ditatapnya Shilla yang kini masih sesenggukan sambil berusaha menghapus airmatanya yang terus mengalir.

“Hhh… dasar cewek. Kalian terlalu ambigu. Terlalu dalam dan terlalu sulit untuk dipahami.,” ujar Rio menyerah. “Lo boleh disini, tapi sebentar aja. Sampe istirahat, setelah itu lo cuci muka dan pakai obat mata. Mata lo udah kayak bola pingpong, tuh!” lanjut Rio sambil berlalu ke ranjang sebelah. Dia mengusap lengan gadis yang sedang terbaring tersebut sebentar, lalu pergi keluar.

Ify mendekati ranjang tersebut, berusaha mengetahui siapa yang ada disana. Ia membaca name tag yang tersemat di dada kiri cewek itu. ‘Dea Christa A.’

“Ngomong-ngomong, Kakak yang tadi itu siapa ya? Kok dia bisa ada disini, sih?” tanya Sivia nggak penting. Tapi mau nggak mau Shilla dan Ify berpikir juga. Sepertinya mereka belum pernah melihat cowok itu sebelumnya.

“Iya juga, ya. Apa jangan-jangan dia cuma halusinasi kita aja?” tanya Shilla yang masih sedikit sesenggukan.

“Masa sih? Kalo dia cuma halusinasi, nggak mungkin dia bisa megang buku, megang pulpen terus ngomong sama kita. Lagipula, tadi gue sempet liat name tag-nya kok.,” balas Ify yakin. Dia memang melihat name tag cowok itu, kok.

“Serius lo liat name tag-nya?”

“Mau gue jawab serius, tapi serius udah bubar.,”

“Yeee serius, Fy!” tukas Shilla geram. Ify nyengir.

“Iya iya gue serius, kok!”

“Yaudah. Lo cari aja informasi tentang dia.,”

“Ngapain? Emang penting, ya?” tanya Ify malas. Walaupun sebenarnya dia agak penasaran juga dengan cowok itu. Tapi, dia kelas 11 ! Ify nggak akan berani ngorek-ngorek informasi tentang kakak kelas. Apalagi ganteng!

“Gimana kalo ternyata tu cowok punya jabatan tinggi? Trus banyak fans-nya? Gue bisa digencet!” tukas Ify horror. Shilla memutar bola matanya, diikuti Sivia.

“Lo kan punya gue dan Sivia. Nggak usah horror gitu, deh.,” ucap Shilla kalem. Ify mencibir, Sivia tersenyum meyakinkan.

“Hhh… sibuk ya punya sohib kepo plus gila. Kerjaannya cuma nyusahin aja,”

“Kayak elo nggak ajaaaa!!” tukas Shilla dan Sivia bersamaan. Membuat tawa ketiganya meledak. Mengabaikan bahwa ada orang lain disana selain mereka yang keadaannya tidak bisa dikatakan baik-baik saja.

***

Malamnya, Shilla dapat bbm dari Cakka. Cowok itu akan datang pukul 7. Shilla langsung berdandan secepat kilat. Walaupun aslinya Shilla nggak bisa dandan juga, sih. Dia hanya memakai terusan selutut berwarna peach dan sepatu flat putih oleh-oleh Agni—sepupunya—dari Singapore. Shilla juga hanya mengurai rambutnya yang ikal dan memakaikan bando berwarna senada dengan terusannya.

Selesainya, Shilla nggak memoleskan apa-apa lagi di wajahnya. Hanya lipgloss berwarna pink tipis saja dan baby cologne. Shilla begitu khawatir dengan penampilannya. Ia sampai mematut dirinya di kaca lamaaaaaa sekali. Kepalanya seakan takut untuk berputar secenti saja. Seakan lehernya akan patah kalau ia menoleh.

Lebay deh. Maklum, kencan pertama.

Ini lebih baik, daripada dia harus mengingat pertemuannya dengan Alvin. Dia sudah bertekad, hari ini akan jadi hari yang terbaik dalam masa-masa SMA-nya. Tidak ada lagi Alvin yang akan menghancurkan kenangan manisnya. Dan ini adalah kencan pertama di masa SMAnya—ia tidak sudi menganggap jalan dengan Alvin adalah sebuah kencan—yang akan ia tulis di buku diary.

Walaupun Shilla malas menulis di buku diary tua-nya, tapi dia tetap bertekad untuk menulisnya. Semoga saja Cakka bisa memberikan hari yang special untuknya. Setidaknya… untuk melupakan pertemuan menyakitkannya dengan Alvin.

“Shillaaa!! Ada temen kamu nih! Cepet turun!!” teriak Mama dari lantai bawah. Shilla langsung gusar. Ia mengambil tas kecil—yang lagi-lagi berwarna peach—lalu turun ke bawah.

Perjalanan turun dari lantai atas ke bawah terasa begitu lama untuk Shilla. Ia hanya dapat menghela dan terus menghela. Berharap kegugupan akan sirna dihatinya. Tapi ditengah perjalanan, Shilla jadi teringat film twilight. Dia ingat ketika Edward menjemput Bella saat aktris itu masih digypsum. Sekarang Shilla hanya tersenyum geli.

Cakka tersenyum, lalu mengulurkan tangannya. Tadinya Shilla berharap cowok itu benar-benar akan membawakannya bunga dan menyanyikan lagu untuknya. Tapi tidak apa-apa, cowok itu sudah datang on time juga Shilla sudah senang. Lagipula sebenarnya ini adalah ‘ganti rugi’, jadi Shilla nggak begitu muluk-muluk.

“Kami berangkat dulu, Tante. Saya janji akan jagain Shilla dan nggak akan pulang malam-malam,” kata Cakka tegas dan kalem. Mama hanya tersenyum lalu mengangguk.

“Aku berangkat ya, Ma.,” ucap Shilla setelah mengecup punggung tangan Mama. Keduanya lalu berlalu keluar rumah, menuju mobil Land Cruiser hitam milik Cakka.

Shilla menyipit. Entah karena efek malam hari, jadi terasa gelap. Atau memang penglihatan Shilla yang kurang sensitif?

“Kok mobilnya udah bener, sih?” tanya Shilla heran. Cakka membukakkan pintu untuk Shilla.

“Silakan masuk, Nyonya Nuraga.,” kata Cakka dengan senyum yang—ekhem—menggoda. Shilla memutuskan untuk menanyakannya nanti saja, di dalam mobil. Kemudian setelah Cakka menutup pintu untuk Shilla, ia segera berlari kecil menuju kursi pengemudi.

“Lo belom jawab pertanyaan gue,”

“Hm?” Cakka memasukkan gigi, lalu memundurkan mobilnya keluar dari pekarangan rumah Shilla. “Oh… itu, ya… emang mobil gue kenapa?”

“Bukannya lecet, ya?”

“Ah lebay, deh. diserempetnya aja sama cewek cantik, kok. Ngapain lecet lama-lama,” jawab Cakka ngawur. Tapi mau nggak mau Shilla jadi blushing. Kurangajar juga Cakka ini.

“Lo kok gitu, sih.. harusnya gue tolak aja ajakan lo sekarang,”

“Loh kok gitu?”

“Yaaa… makan malam ini ‘kan untuk ganti rugi. Kayak yang lo bilang kemaren di bbm,” kata Shilla pura-pura kesal. Cakka hanya tersenyum lalu terkekeh pelan.

“Oh.. mungkin itu tangan gue yang jail. Biasa, jarang bbman sama cewek cakep jadi gitu. Padahal sih, emang pengin ngajak jalan.,” balas Cakka kalem. Dan Shilla jadi blushing lagi.

“Lo kok gombal, sih? Anak siape sih lo?” tanya Shilla masih disertai blushingannya. Cakka hanya tertawa pelan. Membuat Shilla merasa nyaman dengannya.

Beberapa menit mobil terus melaju dengan kecepatan rendah, Shilla merasa asing dengan daerah yang dilewati Cakka. Walaupun lampu-lampu jalan masih terus menerangi jalan, juga lampu-lampu dari toko dan warung-warung disamping jalan masih terlihat cukup banyak.

Tak lama, Cakka memberhentikan mobilnya di dekat sebuah bukit. Agak jauh dari keramaian, tapi jalanan yang dilewati masih cukup ramai. Cakka menarik rem tangannya dan melepas sabuk pengamannya. Ia juga melepaskan sabuk pengaman milik Shilla.

Cakka segera turun dari mobil, berlari kecil memutari mobilnya sebelum Shilla sempat membuka pintu mobil. Cakka membiarkan Shilla turun, lalu sejenak menghirup udara malam di daerah perbukitan tersebut. Sementara Cakka membuka pintu penumpang, mengeluarkan sebuah keranjang piknik dan membawanya dengan satu tangan.

Shilla menyernyit heran. “Kita mau kemana, sih?”

“Udah, ikut aja. Tapi jangan nyesel, ya!” jawab Cakka disertai seulas senyum menawan. Cakka menggandeng tangan Shilla dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya menenteng keranjang piknik tadi.

“Ini bukit, ya?”

“Bukan. Ini cuma gundukkan tanah menyerupai gunung!” tukas Cakka asal, dia lalu tertawa karena ceplosannya barusan. Shilla langsung menjitak pelipis Cakka pelan.

“Sama aja, bodoh.,”

“Iya, ini emang bukit. Tapi gue nggak ngajak lo ke bukit. Nanti aja kalo udah mau pulang, baru lo puas main-main di bukit. Bakal gue tunjukkin, deh!” Shilla cuma mampu mengangguk sambil terus mengikuti langkah Cakka.

Shilla belum merasakan apapun. Walaupun Cakka sebegitu perhatian padanya, dia tetap tidak bisa merasakan gemuruh yang berarti di dadanya. Walau Cakka menggandengnya, menggenggam tangannya seakan-akan Shilla akan hilang kalau ia melepaskannya sebentar saja, Shilla tetap tidak bisa merasakan jantungnya melompat-lompat.

Shilla memang sering dibuat blushing oleh Cakka, tapi bukan berarti cewek itu suka. Siapa juga yang nggak blushing digombalin cowok cakep model Cakka? Siapa juga yang nggak blushing digandeng-gandeng cowok cakep inceran banyak sekolah? Jadi itu adalah hal yang lumrah.

Pipinya boleh memanas. Tapi hatinya tidak berjalan sinkron dengan pipinya. Berbeda saat ia bersama Alvin. Kalau dengan cowok itu, hanya dengan menatapnya saja Shilla sudah merasakan dirinya melayang. Jantungnya sudah lari luntang-lantung kesana-kemari. Cowok itu nggak pernah menggombalinya, dia hanya memberikan perhatian yang kadang sulit untuk ditangkap Shilla.

Tapi Shilla tidak pernah keberatan dengan sikap dingin Alvin. Shilla tidak pernah keberatan walau Alvin tidak menggandengnya. Dengan berjalan beriringan saja, Shilla sudah tidak dapat mengontrol detak jantungnya. Yaaa… walau kalau sedang ‘sadar’ Alvin menggandengnya juga, sih.

Mungkin, cinta belum mendatanginya ‘lagi’. Mungkin, cupid yang terbang kesana-kemari belum berhasil menemukannya bersama Cakka. Atau mungkin, cupid tersebut belum ada niat untuk memanah dirinya.

“Kita sampai.,” kata Cakka pelan. Kemudian ia melepaskan gandengannya, lalu menurunkan keranjang piknik yang dibawanya.

Ia mengeluarkan sebuah taplak meja berukuran besar, lalu menebarkannya di rumput. Cakka langsung melepas sepatunya dan duduk disana, Shilla mengikuti. Diambilnya seluruh makanan yang ia bawa dari keranjang piknik tersebut.

“Lo bebas mau makan yang mana aja. Kalo diliat-liat, sih, lo doyan ngemil.”

“Kurangajar!!” hardik Shilla setengah bercanda. Walau sebagian dirinya menhardik dengan sepenuh hati.

“Haha.. tapi emang bener ‘kan?” tanya Cakka menggoda. Shilla hanya meringis.

“Anak siapa sih lo? Eyang Subur? Tadi lo ngegombal, sekarang lo mirip dukun.,” Cakka tertawa refleks. Cowok itu sontak memegangi perutnya yang terasa bergejolak geli.

“Bukan! Gue anaknya Eyang Cangkok! Puas ?” tawa Cakka kembali membahana, mau nggak mau Shilla juga ikut tertawa. Meski tidak semeledak Cakka.

Selanjutnya, hanya obrolan-obrolan kecil yang seru yang tercipta diantara keduanya. Saling bertukar kesukaan, bercerita tentang masa kecil mereka. Cakka bahkan dengan senang hati menceritakan aibnya, yang segera dibalas Shilla dengan tawa sekencang-kencangnya.

Cakka tidak mengajak Shilla ke cafĂ© atau restoran seperti dalam cerita anak ABG lainnya. Cakka juga nggak berniat untuk duduk di bukit seperti kebanyakan film roman yang sering Shilla tonton. Cowok itu hanya menyediakan makanan yang kira-kira Shilla suka semua—memang Shilla menyukai semuanya, apalagi makanannya mahal, cuk!—dan mengajak cewek itu bertukar cerita dengannya.

Hamparan danau yang luas, berwarna biru kehijauan. Keduanya duduk mengampar di bawah pohon rindang. Bintang-bintang semakin mempercantik suasana. Bukit yang tadi dilewati keduanya juga terlihat dengan jelas, semakin menciptakan keindahan tersendiri.

“Udah selesai belum makannya?” tanya Cakka lembut. Shilla menepuk-nepuk tangannya, berusaha menyingkirkan remah-remah makanan meskipun tidak berpengaruh banyak. Cakka segera menyodorkan tissue basah untuknya.

Thanks. Kalo udah, kenapa? Pulang?” tanya Shilla sembari mengangkat kedua alisnya. Cakka balas dengan mengangkat sebelah alisnya juga.

“Buru-buru amat mau pulang. Masih banyak yang mau gue tunjukkin ke lo.,” ucap Cakka sambil memunguti sampah makanan mereka dan memasukkannya lagi ke dalam keranjang miliknya. “Ayo berdiri,” Shilla langsung berdiri dan memakai sepatunya, diikuti Cakka.

Cowok itu lalu melipat taplak meja yang ia pakai untuk alas duduk tadi, dan memasukkannya juga ke dalam keranjang piknik. Menyatu bersama sampah.

Cakka kembali mengamit tangan Shilla, dengan tangan kiri yang juga kembali menjinjing keranjang piknik. Keduanya naik ke atas bukit, lalu duduk disana. Shilla sempat bingung, apa yang akan cowok itu tunjukkan padanya.

“Lo duduk aja dulu disini. Bentaaaaar aja! Gue mau ke mobil dulu bentar.,” kata Cakka sembari bangkit berdiri. Tapi Shilla menahan Cakka, sehingga cowok itu memandang heran pada Shilla.

“Jangan kabur! Gue penggal kepala lo kalo lo coba-coba tinggalin gue!” hardik Shilla cemas. Jujur Shilla buta arah. Dia memang cepat panik kalau ditinggal sendirian. Shilla juga nggak suka menunggu. Lagipula, mana ada sih nunggu yang menyenangkan?

“Iyaaa.. nggak akan, lah, Shill. Emang gue cowok apaan?” Cakka tersenyum meyakinkan, kemudian berlari menuruni bukit. Kembali ke mobilnya untuk mengambil ‘sesuatu’. Seperti yang cowok itu katakan.

Shilla mengedarkan pandangannya ke seluruh bukit tersebut. Ternyata bukit ini cukup luas, banyak sekali bunga yang tumbuh diatasnya. Kalau senja datang, dipastikan bukit ini akan sangat indah. Sayangnya, sekarang sudah malam. Cahaya remang-remang tidak dapat membantu memanjakan matanya terhadap bunga-bunga tersebut.

Terkadang Shilla berharap diatas bukit ini, ia bisa melihat aurora. Tapi itu MUSTAHIL. Sangat mustahil. Memang dia pikir ini di Kutub Utara?!

Walaupun begitu, Shilla cukup senang bisa melihat bintang yang bertaburan di langit. Gradasi warna langit sekarang masih terlihat cukup bagus, dengan warna hitam-putih-keunguan yang terlihat di ufuk barat meski waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Dan ia juga merasa lebih dekat pada langit.

Kalau saja Shilla tidak terlalu khawatir dengan rumput yang kotor dan basah, cewek itu pasti sudah rebahan untuk menikmati indahnya langit.

Tak lama, Cakka kembali. Cowok itu sudah tidak lagi menjinjing keranjang piknik, diganti dengan gitar akustik berwarna coklat. Ia juga membawa beberapa batangan berbentuk silinder, entah apa itu. Shilla tidak mampu melihat dengan jelas.

Cowok itu lalu duduk disebelahnya, berusaha mengatur napasnya yang tersenggal. Senyum masih setia menempel di wajahnya yang berkeringat. Cakka menyeka keringat tersebut dengan punggung tangannya.

“Ekhem.. misi ya, Mbak. Saya mau ngamen,” ucap Cakka dengan suara ala mas-mas. Shilla tertawa geli. Cakka mulai menggenjreng gitarnya.

I won’t let the night, stand in my way
I know what I want. I know what I get
Yeah
I’m only here to find you, you..
All I need is you by my side
All I, wanna do.. is lay down next to you

[chorus]
‘Cause all I need is one love, one love, one heart
‘Cause all I need is one love, one love, one heart
Baby give it to me
‘Cause I don’t want-want nobody when I got-got your body
Baby no-no-nobody, has got what I need
‘Cause I don’t want-want nobody when I got-got your body
Baby no-no-nobody has got what I need tonight

See I’ve made mistakes, time after time, time, time..
But no not today, won’t leave til I find what I’m looking for
I’m only here to find you, you..
All I need is you by my side
All I, wanna do.. is dance under the moon

[back to chorus]

Your love is like a roller-coaster
The way that you take my breath away
It feels like I’m slowly fallin’
Deeper and deeper… deeper and deeper

‘Cause all I need is one love, one love, one heart
‘Cause all I need is one love, one love, one heart
Baby give it to me
‘Cause I don’t want-want nobody when I got-got your body
Baby no-no-nobody, has got what I need
‘Cause I don’t want-want nobody when I got-got your body
Baby no-no-nobody (baby give it to me)
‘Cause all I need is one love, one love, one heart
‘Cause all I need is one love, one love, one heart
Baby give it to me
‘Cause I don’t want-want nobody when I got-got your body
Baby no-no-nobody, has got what I need
‘Cause I don’t want-want nobody when I got-got your body
Baby no-no-nobody has got what I need tonight

~ Justin Bieber – One Love (BELIEVE Album) ~

Shilla yang mendengarkan Cakka hanya bisa tersenyum kagum. Kadang ia juga ikut mengalunkan lagu yang ia hapal diluar kepala tersebut. Kalau tadi Shilla sempat berharap Cakka benar-benar akan menyanyikannya ketika sampai dirumahnya, sekarang harapan Shilla terkabul. Cakka tidak main-main dengan apa yang sudah ia katakan di bbm waktu itu.

Kini, Cakka meletakkan gitarnya di tanah. Ia bangkit berdiri dan sedikit berlari turun ke bawah. Menuju hamparan bunga yang luas. Shilla sempat khawatir juga kaget. Bagaimanapun, Cakka nggak tahu ada binatang apa saja yang ada disana. Belum lagi, rumput ilalang yang menjulang hampir mencapai pinggang cowok itu.

“CAKKA!! APAANSIH ! CEPETAN BALIK KESINI!” teriak Shilla panik. Tapi Cakka masih sibuk berada disana, sementara Shilla sudah khawatir bukan main.

Tak lama, cowok itu kembali dengan beberapa tangkai bunga yang telah ia ikat dengan pita—yang sengaja dibawanya—berwarna ungu. Mungkin lebih dari 20 macam bunga yang berbeda. Terlihat dari warna dan bentuk bunga tersebut. Cakka tersenyum sambil menyodorkan bunga itu pada Shilla.

“Nih. Sesuai kata-kata gue di bbm, ‘kan?” tanya Cakka sumringah. Shilla tersenyum tulus, begitu tulus. Cowok ini.. apalagi selanjutnya? “Maaf ya. Kesannya gue nggak modal banget ngasih bunga dari bukit. Serius gue nggak ada waktu untuk beli bunga. Lagian, bunga disini lebih bagus dari bunga di toko.,”

“Lo repot! Dasar aneh. Bbm doang dianggep penting,” tukas Shilla malu-malu. Ia memainkan kelopak-kelopak bunga yang dipegangnya.

“Padahal lo emang ngarep itu kejadian, ‘kan?” goda Cakka telak. Shilla hanya bisa merengut pasrah.

“Apaansih. Sotil deh,”

“Ohya.. masih ada lagi, nih. Lo mau ikutan, apa cuma mau liatin?” tanya Cakka sambil mengambil satu batangan berbentuk silinder dari tanah, sementara beberapa lainnya masih dibiarkan di tanah. Shilla mengerutkan kening.

“Itu apa?”

“Kembang api,” jawab Cakka singkat. Ia mengeluarkan sebuah korek api gas dari kantung celananya. Ia mulai menyalakan korek tersebut dan membakar sumbu sebuah kembang api yang ia pegang.

Cowok itu mengarahkan kembang api itu ke atas, tidak terlalu ke atas tapi menyerong. Mengarahkannya ke padang bunga yang baru saja ia singgahi untuk mengambil beberapa bunga. Shilla berteriak kecil saat kembang api tersebut keluar dan membuat suara decit aneh yang lumayan keras.

Dan terbentuklah kembang api yang indah. Shilla sudah sering melihat yang seperti itu. Memang bentuknya biasa saja, tapi keindahan itu diperkuat karena taman bunga dibawahnya. Mata Shilla berbinar-binar senang. Ia lalu bertepuk tangan layaknya anak kecil sambil bersorak riang.

Kini Cakka mengarahkan tembakan kedua yang punya jeda beberapa detik dari tembakan pertama ke arah danau disebelah kiri bukit. Shilla kembali bersorak girang. Refleksi kembang api tersebut terlihat dari air danau dibawahnya. Ditambah dengan bulan yang menghiasi background tempat kembang api tersebut berpijar.

“Mau coba, nggak?” tanya Cakka setelah tembakan terakhir. Hanya ada sekitar 5 sampai 6 tembakan dalam satu kembang api. “Nggak usah takut. Ada gue kok,” Shilla mengangguk ragu. Ia lalu memegang kembang api yang disodorkan Cakka untuknya.

“Kka…”

“Jangan dipegang ditengahnya, agak ke ujung. Ntar lo kaget.,” ucap Cakka yang segera ditanggapi Shilla dengan memundurkan tangannya ke ujung kembang api.

Cowok itu bersiaga di belakang Shilla. Shilla bahkan dapat merasakan punggungnya menempel dengan Cakka. Wangi maskulin dari pemuda itu menguar dan menelusup ke dalam penciuman Shilla.

Cakka juga menggenggam tangan Shilla yang sedang memegang kembang api. Ia lalu membakar sumbu kembang api, lalu mengarahkan kembang api tersebut ke arah yang sama seperti tadi. Cakka masih menggenggam tangan Shilla.

Cewek itu tidak lagi menghiraukan Cakka yang berada di belakangnya. Ia segera bersorak girang saat keindahan kembali memanjakan penglihatannya. Cakka juga ikut bersorak, dan bukit sunyi itu kini terasa lebih hidup dengan adanya kedua manusia diatasnya.

Keduanya memutuskan untuk menyudahi kegiatan mereka saat Shilla dengan terkejutnya mendapati malam sudah sangat larut—dalam pandangannya—dan jam ditangannya menunjukkan pukul 9 malam. Walaupun masih ada beberapa kembang api yang tersisa, tapi Cakka tidak keberatan. Lagipula, masih ada waktu lain.

Cakka membawa lagi kembang api tersebut dan menggandeng Shilla turun dari bukit menuju mobilnya. Mengantarkan Shilla pulang dengan selamat plus hati cewek itu yang dipenuhi oleh bunga yang bermekaran, juga jantung seperti kembang api. Meletup-letup dengan warna-warni yang menghiasi.

Shilla memandang bunga berpita yang tadi Cakka kumpulkan untuknya. Ia tersenyum setelahnya. Bahagia membuncah dalam hatinya dan ia merasa lega. Setelah beberapa bulan sebelumnya ia begitu menderita.

Tapi, Shilla belum memantapkan hatinya untuk Cakka sekarang. Mungkin karena masih terlalu cepat. Semua ini masih terlalu terburu-buru untuknya. Lagipula, Shilla baru mengenal cowok itu tadi siang! Tadi. Siang! Dan baru menonton dirinya bertanding satu kali! SATU. KALI!

Jadi, Shilla juga masih harus mengerti betul dengan pemuda disampingnya ini. Mengetahui kesungguhannya, berusaha memahami isi hatinya dan mendalami karakternya.

Semoga saja tidak ada lagi sakit hati seperti yang lalu-lalu. Semoga saja pemuda disampingnya ini bisa mengobati luka dihatinya. Menutup lubang yang menganga terlalu lebar dihatinya dan menghentikan tangis yang sudah terlalu lama menganak sungai di dalam dirinya.

***

Ini part 3nya guys. give me your comment so I can fix it guys. follow me @Lysaafeb or add me Lysa Keyness Hutcherson . Thank u. 

Next Part -->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS