TIGA
Shilla
senyum-senyum sendiri di kamarnya. Cakka benar-benar tipe cowok yang almost
perfect! Benar-benar pria idaman! Sekali bertemu, Cakka langsung bisa mengakrabkan
diri. Mereka seperti teman lama yang tidak pernah bertemu. Bahkan Cakka
memperbolehkan Ify dan Sivia memainkan iPad yang ia bawa.
Cakka juga
tadi memainkan blackberry Shilla walau sebentar, ternyata dia meng-invite
pinnya sendiri dari ponsel Shilla. Sekarang Cakka dan Shilla masih setia bbman,
meski jam dinding di kamarnya telah menunjukkan pukul 10 malam.
Ternyata
Cakka bohong. Kalau Cakka bilang ganti ruginya harus bayarin dia makan—hasil
patungan nggak ikhlas dari Shilla, Ify dan Sivia—ternyata malah tu cowok yang
bayarin makanan mereka berempat. Tipe cowok idaman banget, ‘kan?
Ashilla
Mobil lo
gimana? Udah bae?
Cakka NRG
Udah bae?
Emangnya mobil gue orang-_-
Ashilla
Yaelah
Kka-___- you know what I mean.
Cakka NRG
Emm.. masih
lecet-lecet sih. Mungkin kalo gue ngajak lo makan malem besok, mobilnya bakal
sembuh dari lecet2nya.
Shilla
langsung blushing. Padahal Cakka lagi nggak ada disini. Tapi Shilla tetap
tersipu. Bukan satu dua kali aja Cakka membuatnya blushing, dari tadi siang
Cakka—yang ditatapnya mirip Justin banget itu—selalu membuatnya merona merah.
Ashilla
Gombal lo!
Gak ah. Gue gak mau diajak makan malem lewat bbm begini,
Cakka NRG
Yauda. Besok
gue ke rmh lo. Harus bawa bunga sambil nyanyi gak nih? =))
Ashilla
Yee
nantangin ceritanya?
Cakka NRG
Loh?
Pokoknya lo harus mau makan malem sama gue. Itung-itung ganti rugi,
Ashilla
Ganti rugi
mulu. Kan td udah?
Cakka NRG
Itukan ttp
gue yg bayar. Jd lo temenin gue mkn mlm. Lagipula, yg ngelecetin kan elo.
Ashilla
Yaudah
yaudah. Tapi jgn ngaret ya! Awas kl ngaret lo gue tendang!
Cakka NRG
Iya iya
ampun Nyonya Nuraga :p
Ashilla
Yea
gombaaaallll!!!!!
***
Shilla
terbangun dengan senyum mengembang di bibirnya. Tiba-tiba jantungnya jadi
berdegup dengan kencang. Ia menangkupkan kedua tangannya untuk menutupi
wajahnya yang entah kenapa akhir-akhir ini jadi gampang panas.
Shilla mandi
dengan semangat, berdandan dengan semangat, sarapan dengan semangat dan
berangkat sekolah dengan semangat juga.
Tapi ketika
sampai di pekarangan depan rumahnya, tepatnya di depan gerbang, langkah Shilla
harus terhenti. Pemuda dengan motor Cagiva merah dan berhelm fullface
menunggunya dengan sabar. Shilla tahu siapa pemuda itu—walau helm full face
masih setia melekat dikepalanya.
Shilla
langsung menegang. Berusaha untuk bersikap dingin kepada pemuda ini. Pemuda
yang sudah menghancurkan tiga bulan terakhirnya. Tiga bulan yang harusnya bisa
dimanfaatkan dengan baik olehnya. Tiga bulan masa-masa pertama SMA-nya. Tapi
pemuda ini, menghancurkannya tanpa ampun.
Shilla langsung
melangkah lagi setelah ia berpikir, bahwa tak ada gunanya menghardik pemuda
brengsek di depannya ini. Tapi sebuah tangan kokoh mencegahnya untuk melangkah
lebih jauh. Shilla memberontak, ingin menepis. Tapi kekuatannya seakan hilang,
malah airmata yang jatuh dari kelopak matanya. Jatuh menuju pipinya.
Pemuda itu
melepas helm full face-nya, lalu turun dari motornya. Ia masih tetap menahan
tangan Shilla—yang kehilangan kekuatannya untuk memberontak. Susah payah pemuda
ini menatap manik mata Shilla yang basah. Basah karena airmata.
“Shilla, gue
mau ngomong.,” ucap pemuda ini lembut. Pandangannya lemah, dan Shilla makin tak
mampu memandang wajah nanar pemuda ini. Ia memalingkan wajahnya.
“Gue mau
sekolah, Vin. Lepas!” ucap Shilla pada Alvin, nama pemuda yang kini ganti
menggenggam tangannya.
“Gue anter
lo ke sekolah.,” kata Alvin membantah. Shilla menggeleng tak kuasa. Ia langsung
menyentak tangannya dan berlari menjauhi Alvin.
Alvin
merasakan nyeri di dadanya. Melihat tangis gadisnya. Gadis yang dulu dan sampai
sekarang masih setia singgah di hati rongsoknya. Hanya dia, dia yang mampu
menerima Alvin apa adanya. Hanya dia yang mampu tersenyum dengan tulus,
berusaha menyukai apa yang ia sukai.
Tapi apa
yang Alvin berikan padanya? Hanya luka dan sakit. Luka yang tidak tahu kapan
akan menutup. Sakit yang tidak tahu harus diobati dengan apa. Terlalu banyak
yang gadis itu korbankan untuknya. Tapi apa balasnya? Hanya tangis. Tangis yang
tidak tahu sampai kapan akan mengering.
Terlalu
banyak kata yang ingin ia jelaskan, tapi tak tahu kapan akan tersampaikan.
Kalimat-kalimat yang telah ia susun, seakan memudar. Menghilang tanpa bekas
setelah melihat kenyataan. Kenyataan bahwa tidak semudah itu menjelaskan
semuanya. Setelah apa yang ia lakukan.
Dan Alvin
benci dipermainkan oleh takdir. Benci dipermainkan oleh kenyataan. Kenyataan
bahwa hanya sepersekian persen dirinya bisa menutup luka gadisnya, merawat
sakit hati gadisnya dan menghapus seluruh tangisnya. Mengganti dengan tawa
bahagia.
Tapi kapan?
***
“Kenapa lo
lesu?” tanya Ify setelah dirinya sudah berada di kelas. Kalau boleh, pelajaran
kedua nanti ia ingin berdiam diri di UKS. Sekedar mencari, apa ada obat sakit
hati?
“Sakit gue
kambuh lagi.,” jawab Shilla melankolis. Tapi ternyata Sivia salah mengartikan.
“Sakit apa,
Shill? Gue ambilin obat, ya. Atau lo mau ke UKS?” tanya Sivia panik. Shilla
menubrukkan kepalanya di meja, berusaha menutupi tangisnya dari kedua sohibnya
ini.
“Andaikan
ada obatnya… ini terlalu sakit,” ucap Shilla sedikit terisak. Sivia menyernyit
heran, tak lama ia pun paham apa yang dibicarakan oleh Shilla.
“Shill?
Jangan bilang elo…,”
“Ssst…
mending lo sembunyiin kepala Shilla pake buku. Nanti ketauan Pak Heri!” saran
Ify cepat. Masalahnya, yang sebangku dengannya adalah Sivia, yang notabene-nya
kurang tangkas dari Ify. Sivia langsung mengambil buku paketnya, lalu
mendirikannya. Shilla masih tetap menangis.
Ify dan
Sivia menatap nanar Shilla. Sedangkan Shilla mati-matian menahan isakan
tangisnya dengan menutup mulutnya kuat-kuat. Rasa sesak di dadanya benar-benar
membuatnya mati rasa. Kerongkongannya terasa kering dan matanya terasa sakit.
Luka. Luka
itu begitu dalam. Luka itu belum sepenuhnya menutup. Bahkan sepertiganya saja
belum tertutup. Luka itu masih sangat basah, masih butuh tambalan disana-sini.
Kini haruskah ada luka baru? Luka baru yang memperdalam luka lamanya?
Shilla merasakan
tangan Sivia mengelus-elus punggungnya, berusaha menenangkan Shilla walau
mungkin tidak berpengaruh banyak. Ia menengadah, menatap Sivia yang masih
serius mencatat sambil tangan kirinya mengusap punggungnya perhatian. Sedangkan
Ify, setiap lima detik sekali pasti melihat ke arahnya. Berharap Shilla segera
membaik.
“Cabut guys,” bisik Shilla meng-kode Sivia. Ify yang tak sengaja mendengar hanya tersenyum
mengiyakan.
Pelajaran
kedua, Shilla dan kedua sohibnya segera menghambur ke UKS setelah sebelumnya
meminta izin kepada Bu Endah, guru Bahasa Inggris. Shilla ingin menangis
sepuasnya disana. Berharap Ibu Penjaga UKS, Bu Romi tidak sedang bertugas. Atau
ia terpaksa meminta bantuan Sivia dan Ify lagi untuk ‘mengusir’ Bu Romi.
UKS terletak
di gedung barat SMA Altavia, yang letaknya disebelah perpustakaan. Shilla
kadang-kadang merutuki sekolahnya yang mahamegah ini. Betul-betul bisa membuat
kakinya pegal sekaligus membesarkan betisnya secara mudah.
Sampai di
UKS, ternyata satu dari dua ranjang yang ada di UKS telah terpakai. Dari
badge-nya Shilla tahu ia kelas 11. Kakak kelasnya. Shilla langsung mendudukkan
diri di ranjang yang tak terisi. Ia langsung saja menangis. Tanpa aba-aba.
Sivia
mengambil gelas di rak, lalu menuangkan air putih ke dalamnya. Kemudian ia
menyerahkannya pada Shilla. Sedangkan Ify mengambil tissue dan menyodorkannya
pada Shilla. Sekarang tinggal menunggu cewek itu selesai menangis dan
menceritakan SEMUANYA.
“Ada yang
sakit?” Ify dan Sivia terlonjak. Sedangkan Shilla tidak mempedulikannya. Ia
malah menangis semakin parau.
“E-Eh… A-ada
Kak.,” jawab Ify gagu. Masalahnya yang bertanya adalah kakak kelas, kelas 11.
Cakep, keren, tinggi, alis yang hampir menyatu dan tatapan mata yang dalam dan
tenang. Bagaikan danau diatas samudra.
“Dikasih
obat, lah. Jangan cuma air putih sama tissue. Mana nangisnya sampe begitu,
lagi.,” balas kakak kelas tersebut sengit. Ify menggigit bibirnya, bingung.
Keduanya bergeming.
“Dia… dia
cuma lagi s-sakit perut kok, Kak!” hanya itu yang tercetus keluar dari otak
Ify.
“I-iya Kak!!
Di-dia lagi PMS!” timpal Sivia cepat. Walau nggak setangkas Ify, Sivia bisa
cepat mengerti dengan situasi.
“Nah, iya betul
tuh!” Kakak kelas tersebut menyipit. Dari name tag-nya, Ify mengetahui ia
bernama ‘Mario S.A. Haling’.
“Oke. Saya
catet dulu, ya.” Shilla terbelalak. Rio sudah memegang buku ditangan kirinya,
dan pulpen ditangan kanannya. Bersiap mencatat nama mereka bertiga.
“H-Hah?!!!
Kok dicatet, Kak? B-Biasanya kan enggak?” tanya Shilla gagap. Rio menyeringai,
membuatnya terlihat semakin seksi.
“Kalian udah
melanggar peraturan sekolah. Pertama, kayaknya kalian udah sering ke UKS tanpa
pengawasan, deh. Jadi kalian nggak tau peraturannya.,” kata Rio cuek. “Hhh..
malah pada pasang tampang bego, lagi. Peraturannya; semua murid yang kena PMS,
nggak boleh masuk ruang UKS. Soalnya, itu udah lumrah bagi cewek yang lagi PMS.
Kalo cewek yang lagi PMS boleh masuk UKS, berapa banyak murid yang bakal masuk
kesini? Misalnya yang lagi PMS ada 20 orang, sedangkan UKS cuma nyediain 2
ranjang, terus yang lain mau ditaro dimana? Perpustakaan? Lama-lama ni sekolah
bisa jadi tempat pengungsian murid PMS, deh.,” jelas Rio panjang lebar. Shilla,
Ify dan Sivia hanya bisa tergugu. Termangu di tempat.
“M-Maaf,
Kak. Kami cuma nggak tega sama sohib kami. Daripada di dicurigain guru karena
mewek kejer begitu, jadi lebih baik kami kesini.,” ucap Sivia berkilah. Rio
menghela napas. Ditatapnya Shilla yang kini masih sesenggukan sambil berusaha
menghapus airmatanya yang terus mengalir.
“Hhh… dasar
cewek. Kalian terlalu ambigu. Terlalu dalam dan terlalu sulit untuk dipahami.,”
ujar Rio menyerah. “Lo boleh disini, tapi sebentar aja. Sampe istirahat, setelah
itu lo cuci muka dan pakai obat mata. Mata lo udah kayak bola pingpong, tuh!”
lanjut Rio sambil berlalu ke ranjang sebelah. Dia mengusap lengan gadis yang
sedang terbaring tersebut sebentar, lalu pergi keluar.
Ify
mendekati ranjang tersebut, berusaha mengetahui siapa yang ada disana. Ia
membaca name tag yang tersemat di dada kiri cewek itu. ‘Dea Christa A.’
“Ngomong-ngomong,
Kakak yang tadi itu siapa ya? Kok dia bisa ada disini, sih?” tanya Sivia nggak
penting. Tapi mau nggak mau Shilla dan Ify berpikir juga. Sepertinya mereka
belum pernah melihat cowok itu sebelumnya.
“Iya juga,
ya. Apa jangan-jangan dia cuma halusinasi kita aja?” tanya Shilla yang masih
sedikit sesenggukan.
“Masa sih?
Kalo dia cuma halusinasi, nggak mungkin dia bisa megang buku, megang pulpen
terus ngomong sama kita. Lagipula, tadi gue sempet liat name tag-nya kok.,”
balas Ify yakin. Dia memang melihat name tag cowok itu, kok.
“Serius lo
liat name tag-nya?”
“Mau gue
jawab serius, tapi serius udah bubar.,”
“Yeee
serius, Fy!” tukas Shilla geram. Ify nyengir.
“Iya iya gue
serius, kok!”
“Yaudah. Lo
cari aja informasi tentang dia.,”
“Ngapain?
Emang penting, ya?” tanya Ify malas. Walaupun sebenarnya dia agak penasaran
juga dengan cowok itu. Tapi, dia kelas 11 ! Ify nggak akan berani ngorek-ngorek
informasi tentang kakak kelas. Apalagi ganteng!
“Gimana kalo
ternyata tu cowok punya jabatan tinggi? Trus banyak fans-nya? Gue bisa
digencet!” tukas Ify horror. Shilla memutar bola matanya, diikuti Sivia.
“Lo kan
punya gue dan Sivia. Nggak usah horror gitu, deh.,” ucap Shilla kalem. Ify
mencibir, Sivia tersenyum meyakinkan.
“Hhh… sibuk
ya punya sohib kepo plus gila. Kerjaannya cuma nyusahin aja,”
“Kayak elo
nggak ajaaaa!!” tukas Shilla dan Sivia bersamaan. Membuat tawa ketiganya
meledak. Mengabaikan bahwa ada orang lain disana selain mereka yang keadaannya
tidak bisa dikatakan baik-baik saja.
***
Malamnya,
Shilla dapat bbm dari Cakka. Cowok itu akan datang pukul 7. Shilla langsung
berdandan secepat kilat. Walaupun aslinya Shilla nggak bisa dandan juga, sih.
Dia hanya memakai terusan selutut berwarna peach dan sepatu flat putih
oleh-oleh Agni—sepupunya—dari Singapore. Shilla juga hanya mengurai rambutnya
yang ikal dan memakaikan bando berwarna senada dengan terusannya.
Selesainya,
Shilla nggak memoleskan apa-apa lagi di wajahnya. Hanya lipgloss berwarna pink
tipis saja dan baby cologne. Shilla begitu khawatir dengan penampilannya. Ia
sampai mematut dirinya di kaca lamaaaaaa sekali. Kepalanya seakan takut untuk
berputar secenti saja. Seakan lehernya akan patah kalau ia menoleh.
Lebay deh.
Maklum, kencan pertama.
Ini lebih
baik, daripada dia harus mengingat pertemuannya dengan Alvin. Dia sudah
bertekad, hari ini akan jadi hari yang terbaik dalam masa-masa SMA-nya. Tidak
ada lagi Alvin yang akan menghancurkan kenangan manisnya. Dan ini adalah kencan
pertama di masa SMAnya—ia tidak sudi menganggap jalan dengan Alvin adalah
sebuah kencan—yang akan ia tulis di buku diary.
Walaupun
Shilla malas menulis di buku diary tua-nya, tapi dia tetap bertekad untuk menulisnya.
Semoga saja Cakka bisa memberikan hari yang special untuknya. Setidaknya… untuk
melupakan pertemuan menyakitkannya dengan Alvin.
“Shillaaa!!
Ada temen kamu nih! Cepet turun!!” teriak Mama dari lantai bawah. Shilla
langsung gusar. Ia mengambil tas kecil—yang lagi-lagi berwarna peach—lalu turun
ke bawah.
Perjalanan
turun dari lantai atas ke bawah terasa begitu lama untuk Shilla. Ia hanya dapat
menghela dan terus menghela. Berharap kegugupan akan sirna dihatinya. Tapi
ditengah perjalanan, Shilla jadi teringat film twilight. Dia ingat ketika
Edward menjemput Bella saat aktris itu masih digypsum. Sekarang Shilla hanya
tersenyum geli.
Cakka
tersenyum, lalu mengulurkan tangannya. Tadinya Shilla berharap cowok itu
benar-benar akan membawakannya bunga dan menyanyikan lagu untuknya. Tapi tidak
apa-apa, cowok itu sudah datang on time juga Shilla sudah senang. Lagipula
sebenarnya ini adalah ‘ganti rugi’, jadi Shilla nggak begitu muluk-muluk.
“Kami
berangkat dulu, Tante. Saya janji akan jagain Shilla dan nggak akan pulang
malam-malam,” kata Cakka tegas dan kalem. Mama hanya tersenyum lalu mengangguk.
“Aku
berangkat ya, Ma.,” ucap Shilla setelah mengecup punggung tangan Mama. Keduanya
lalu berlalu keluar rumah, menuju mobil Land Cruiser hitam milik Cakka.
Shilla
menyipit. Entah karena efek malam hari, jadi terasa gelap. Atau memang
penglihatan Shilla yang kurang sensitif?
“Kok
mobilnya udah bener, sih?” tanya Shilla heran. Cakka membukakkan pintu untuk
Shilla.
“Silakan
masuk, Nyonya Nuraga.,” kata Cakka dengan senyum yang—ekhem—menggoda. Shilla
memutuskan untuk menanyakannya nanti saja, di dalam mobil. Kemudian setelah
Cakka menutup pintu untuk Shilla, ia segera berlari kecil menuju kursi
pengemudi.
“Lo belom
jawab pertanyaan gue,”
“Hm?” Cakka
memasukkan gigi, lalu memundurkan mobilnya keluar dari pekarangan rumah Shilla.
“Oh… itu, ya… emang mobil gue kenapa?”
“Bukannya
lecet, ya?”
“Ah lebay,
deh. diserempetnya aja sama cewek cantik, kok. Ngapain lecet lama-lama,” jawab
Cakka ngawur. Tapi mau nggak mau Shilla jadi blushing. Kurangajar juga Cakka
ini.
“Lo kok
gitu, sih.. harusnya gue tolak aja ajakan lo sekarang,”
“Loh kok
gitu?”
“Yaaa… makan
malam ini ‘kan untuk ganti rugi. Kayak yang lo bilang kemaren di bbm,” kata
Shilla pura-pura kesal. Cakka hanya tersenyum lalu terkekeh pelan.
“Oh..
mungkin itu tangan gue yang jail. Biasa, jarang bbman sama cewek cakep jadi
gitu. Padahal sih, emang pengin ngajak jalan.,” balas Cakka kalem. Dan Shilla
jadi blushing lagi.
“Lo kok
gombal, sih? Anak siape sih lo?” tanya Shilla masih disertai blushingannya.
Cakka hanya tertawa pelan. Membuat Shilla merasa nyaman dengannya.
Beberapa
menit mobil terus melaju dengan kecepatan rendah, Shilla merasa asing dengan
daerah yang dilewati Cakka. Walaupun lampu-lampu jalan masih terus menerangi
jalan, juga lampu-lampu dari toko dan warung-warung disamping jalan masih
terlihat cukup banyak.
Tak lama,
Cakka memberhentikan mobilnya di dekat sebuah bukit. Agak jauh dari keramaian,
tapi jalanan yang dilewati masih cukup ramai. Cakka menarik rem tangannya dan
melepas sabuk pengamannya. Ia juga melepaskan sabuk pengaman milik Shilla.
Cakka segera
turun dari mobil, berlari kecil memutari mobilnya sebelum Shilla sempat membuka
pintu mobil. Cakka membiarkan Shilla turun, lalu sejenak menghirup udara malam
di daerah perbukitan tersebut. Sementara Cakka membuka pintu penumpang,
mengeluarkan sebuah keranjang piknik dan membawanya dengan satu tangan.
Shilla
menyernyit heran. “Kita mau kemana, sih?”
“Udah, ikut
aja. Tapi jangan nyesel, ya!” jawab Cakka disertai seulas senyum menawan. Cakka
menggandeng tangan Shilla dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya
menenteng keranjang piknik tadi.
“Ini bukit,
ya?”
“Bukan. Ini
cuma gundukkan tanah menyerupai gunung!” tukas Cakka asal, dia lalu tertawa
karena ceplosannya barusan. Shilla langsung menjitak pelipis Cakka pelan.
“Sama aja,
bodoh.,”
“Iya, ini
emang bukit. Tapi gue nggak ngajak lo ke bukit. Nanti aja kalo udah mau pulang,
baru lo puas main-main di bukit. Bakal gue tunjukkin, deh!” Shilla cuma mampu mengangguk
sambil terus mengikuti langkah Cakka.
Shilla belum
merasakan apapun. Walaupun Cakka sebegitu perhatian padanya, dia tetap tidak
bisa merasakan gemuruh yang berarti di dadanya. Walau Cakka menggandengnya,
menggenggam tangannya seakan-akan Shilla akan hilang kalau ia melepaskannya
sebentar saja, Shilla tetap tidak bisa merasakan jantungnya melompat-lompat.
Shilla
memang sering dibuat blushing oleh Cakka, tapi bukan berarti cewek itu suka.
Siapa juga yang nggak blushing digombalin cowok cakep model Cakka? Siapa juga
yang nggak blushing digandeng-gandeng cowok cakep inceran banyak sekolah? Jadi
itu adalah hal yang lumrah.
Pipinya
boleh memanas. Tapi hatinya tidak berjalan sinkron dengan pipinya. Berbeda saat
ia bersama Alvin. Kalau dengan cowok itu, hanya dengan menatapnya saja Shilla
sudah merasakan dirinya melayang. Jantungnya sudah lari luntang-lantung
kesana-kemari. Cowok itu nggak pernah menggombalinya, dia hanya memberikan
perhatian yang kadang sulit untuk ditangkap Shilla.
Tapi Shilla
tidak pernah keberatan dengan sikap dingin Alvin. Shilla tidak pernah keberatan
walau Alvin tidak menggandengnya. Dengan berjalan beriringan saja, Shilla sudah
tidak dapat mengontrol detak jantungnya. Yaaa… walau kalau sedang ‘sadar’ Alvin
menggandengnya juga, sih.
Mungkin,
cinta belum mendatanginya ‘lagi’. Mungkin, cupid yang terbang kesana-kemari
belum berhasil menemukannya bersama Cakka. Atau mungkin, cupid tersebut belum
ada niat untuk memanah dirinya.
“Kita
sampai.,” kata Cakka pelan. Kemudian ia melepaskan gandengannya, lalu
menurunkan keranjang piknik yang dibawanya.
Ia
mengeluarkan sebuah taplak meja berukuran besar, lalu menebarkannya di rumput.
Cakka langsung melepas sepatunya dan duduk disana, Shilla mengikuti. Diambilnya
seluruh makanan yang ia bawa dari keranjang piknik tersebut.
“Lo bebas
mau makan yang mana aja. Kalo diliat-liat, sih, lo doyan ngemil.”
“Kurangajar!!”
hardik Shilla setengah bercanda. Walau sebagian dirinya menhardik dengan
sepenuh hati.
“Haha.. tapi
emang bener ‘kan?” tanya Cakka menggoda. Shilla hanya meringis.
“Anak siapa
sih lo? Eyang Subur? Tadi lo ngegombal, sekarang lo mirip dukun.,” Cakka
tertawa refleks. Cowok itu sontak memegangi perutnya yang terasa bergejolak
geli.
“Bukan! Gue
anaknya Eyang Cangkok! Puas ?” tawa Cakka kembali membahana, mau nggak mau
Shilla juga ikut tertawa. Meski tidak semeledak Cakka.
Selanjutnya,
hanya obrolan-obrolan kecil yang seru yang tercipta diantara keduanya. Saling
bertukar kesukaan, bercerita tentang masa kecil mereka. Cakka bahkan dengan senang
hati menceritakan aibnya, yang segera dibalas Shilla dengan tawa
sekencang-kencangnya.
Cakka tidak
mengajak Shilla ke café atau restoran seperti dalam cerita anak ABG lainnya.
Cakka juga nggak berniat untuk duduk di bukit seperti kebanyakan film roman
yang sering Shilla tonton. Cowok itu hanya menyediakan makanan yang kira-kira
Shilla suka semua—memang Shilla menyukai semuanya, apalagi makanannya mahal,
cuk!—dan mengajak cewek itu bertukar cerita dengannya.
Hamparan
danau yang luas, berwarna biru kehijauan. Keduanya duduk mengampar di bawah
pohon rindang. Bintang-bintang semakin mempercantik suasana. Bukit yang tadi
dilewati keduanya juga terlihat dengan jelas, semakin menciptakan keindahan
tersendiri.
“Udah
selesai belum makannya?” tanya Cakka lembut. Shilla menepuk-nepuk tangannya,
berusaha menyingkirkan remah-remah makanan meskipun tidak berpengaruh banyak.
Cakka segera menyodorkan tissue basah untuknya.
“Thanks.
Kalo udah, kenapa? Pulang?” tanya Shilla sembari mengangkat kedua alisnya.
Cakka balas dengan mengangkat sebelah alisnya juga.
“Buru-buru
amat mau pulang. Masih banyak yang mau gue tunjukkin ke lo.,” ucap Cakka sambil
memunguti sampah makanan mereka dan memasukkannya lagi ke dalam keranjang
miliknya. “Ayo berdiri,” Shilla langsung berdiri dan memakai sepatunya, diikuti
Cakka.
Cowok itu
lalu melipat taplak meja yang ia pakai untuk alas duduk tadi, dan memasukkannya
juga ke dalam keranjang piknik. Menyatu bersama sampah.
Cakka
kembali mengamit tangan Shilla, dengan tangan kiri yang juga kembali menjinjing
keranjang piknik. Keduanya naik ke atas bukit, lalu duduk disana. Shilla sempat
bingung, apa yang akan cowok itu tunjukkan padanya.
“Lo duduk
aja dulu disini. Bentaaaaar aja! Gue mau ke mobil dulu bentar.,” kata Cakka
sembari bangkit berdiri. Tapi Shilla menahan Cakka, sehingga cowok itu
memandang heran pada Shilla.
“Jangan
kabur! Gue penggal kepala lo kalo lo coba-coba tinggalin gue!” hardik Shilla
cemas. Jujur Shilla buta arah. Dia memang cepat panik kalau ditinggal
sendirian. Shilla juga nggak suka menunggu. Lagipula, mana ada sih nunggu yang
menyenangkan?
“Iyaaa..
nggak akan, lah, Shill. Emang gue cowok apaan?” Cakka tersenyum meyakinkan,
kemudian berlari menuruni bukit. Kembali ke mobilnya untuk mengambil ‘sesuatu’.
Seperti yang cowok itu katakan.
Shilla
mengedarkan pandangannya ke seluruh bukit tersebut. Ternyata bukit ini cukup
luas, banyak sekali bunga yang tumbuh diatasnya. Kalau senja datang, dipastikan
bukit ini akan sangat indah. Sayangnya, sekarang sudah malam. Cahaya
remang-remang tidak dapat membantu memanjakan matanya terhadap bunga-bunga
tersebut.
Terkadang
Shilla berharap diatas bukit ini, ia bisa melihat aurora. Tapi itu MUSTAHIL.
Sangat mustahil. Memang dia pikir ini di Kutub Utara?!
Walaupun
begitu, Shilla cukup senang bisa melihat bintang yang bertaburan di langit.
Gradasi warna langit sekarang masih terlihat cukup bagus, dengan warna
hitam-putih-keunguan yang terlihat di ufuk barat meski waktu sudah menunjukkan
pukul 8 malam. Dan ia juga merasa lebih dekat pada langit.
Kalau saja
Shilla tidak terlalu khawatir dengan rumput yang kotor dan basah, cewek itu
pasti sudah rebahan untuk menikmati indahnya langit.
Tak lama,
Cakka kembali. Cowok itu sudah tidak lagi menjinjing keranjang piknik, diganti
dengan gitar akustik berwarna coklat. Ia juga membawa beberapa batangan
berbentuk silinder, entah apa itu. Shilla tidak mampu melihat dengan jelas.
Cowok itu
lalu duduk disebelahnya, berusaha mengatur napasnya yang tersenggal. Senyum
masih setia menempel di wajahnya yang berkeringat. Cakka menyeka keringat
tersebut dengan punggung tangannya.
“Ekhem..
misi ya, Mbak. Saya mau ngamen,” ucap Cakka dengan suara ala mas-mas. Shilla
tertawa geli. Cakka mulai menggenjreng gitarnya.
I won’t let
the night, stand in my way
I know what
I want. I know what I get
Yeah
I’m only
here to find you, you..
All I need
is you by my side
All I, wanna
do.. is lay down next to you
[chorus]
‘Cause all I
need is one love, one love, one heart
‘Cause all I
need is one love, one love, one heart
Baby give it
to me
‘Cause I
don’t want-want nobody when I got-got your body
Baby
no-no-nobody, has got what I need
‘Cause I
don’t want-want nobody when I got-got your body
Baby
no-no-nobody has got what I need tonight
See I’ve
made mistakes, time after time, time, time..
But no not
today, won’t leave til I find what I’m looking for
I’m only
here to find you, you..
All I need
is you by my side
All I, wanna
do.. is dance under the moon
[back to
chorus]
Your love is
like a roller-coaster
The way that
you take my breath away
It feels
like I’m slowly fallin’
Deeper and
deeper… deeper and deeper
‘Cause all I
need is one love, one love, one heart
‘Cause all I
need is one love, one love, one heart
Baby give it
to me
‘Cause I
don’t want-want nobody when I got-got your body
Baby
no-no-nobody, has got what I need
‘Cause I
don’t want-want nobody when I got-got your body
Baby
no-no-nobody (baby give it to me)
‘Cause all I
need is one love, one love, one heart
‘Cause all I
need is one love, one love, one heart
Baby give it
to me
‘Cause I
don’t want-want nobody when I got-got your body
Baby
no-no-nobody, has got what I need
‘Cause I
don’t want-want nobody when I got-got your body
Baby
no-no-nobody has got what I need tonight
~ Justin
Bieber – One Love (BELIEVE Album) ~
Shilla yang
mendengarkan Cakka hanya bisa tersenyum kagum. Kadang ia juga ikut mengalunkan
lagu yang ia hapal diluar kepala tersebut. Kalau tadi Shilla sempat berharap
Cakka benar-benar akan menyanyikannya ketika sampai dirumahnya, sekarang
harapan Shilla terkabul. Cakka tidak main-main dengan apa yang sudah ia katakan
di bbm waktu itu.
Kini, Cakka
meletakkan gitarnya di tanah. Ia bangkit berdiri dan sedikit berlari turun ke
bawah. Menuju hamparan bunga yang luas. Shilla sempat khawatir juga kaget.
Bagaimanapun, Cakka nggak tahu ada binatang apa saja yang ada disana. Belum
lagi, rumput ilalang yang menjulang hampir mencapai pinggang cowok itu.
“CAKKA!!
APAANSIH ! CEPETAN BALIK KESINI!” teriak Shilla panik. Tapi Cakka masih sibuk
berada disana, sementara Shilla sudah khawatir bukan main.
Tak lama,
cowok itu kembali dengan beberapa tangkai bunga yang telah ia ikat dengan
pita—yang sengaja dibawanya—berwarna ungu. Mungkin lebih dari 20 macam bunga
yang berbeda. Terlihat dari warna dan bentuk bunga tersebut. Cakka tersenyum
sambil menyodorkan bunga itu pada Shilla.
“Nih. Sesuai
kata-kata gue di bbm, ‘kan?” tanya Cakka sumringah. Shilla tersenyum tulus,
begitu tulus. Cowok ini.. apalagi selanjutnya? “Maaf ya. Kesannya gue nggak
modal banget ngasih bunga dari bukit. Serius gue nggak ada waktu untuk beli
bunga. Lagian, bunga disini lebih bagus dari bunga di toko.,”
“Lo repot!
Dasar aneh. Bbm doang dianggep penting,” tukas Shilla malu-malu. Ia memainkan
kelopak-kelopak bunga yang dipegangnya.
“Padahal lo
emang ngarep itu kejadian, ‘kan?” goda Cakka telak. Shilla hanya bisa merengut
pasrah.
“Apaansih.
Sotil deh,”
“Ohya..
masih ada lagi, nih. Lo mau ikutan, apa cuma mau liatin?” tanya Cakka sambil
mengambil satu batangan berbentuk silinder dari tanah, sementara beberapa
lainnya masih dibiarkan di tanah. Shilla mengerutkan kening.
“Itu apa?”
“Kembang
api,” jawab Cakka singkat. Ia mengeluarkan sebuah korek api gas dari kantung
celananya. Ia mulai menyalakan korek tersebut dan membakar sumbu sebuah kembang
api yang ia pegang.
Cowok itu
mengarahkan kembang api itu ke atas, tidak terlalu ke atas tapi menyerong.
Mengarahkannya ke padang bunga yang baru saja ia singgahi untuk mengambil
beberapa bunga. Shilla berteriak kecil saat kembang api tersebut keluar dan
membuat suara decit aneh yang lumayan keras.
Dan
terbentuklah kembang api yang indah. Shilla sudah sering melihat yang seperti
itu. Memang bentuknya biasa saja, tapi keindahan itu diperkuat karena taman
bunga dibawahnya. Mata Shilla berbinar-binar senang. Ia lalu bertepuk tangan
layaknya anak kecil sambil bersorak riang.
Kini Cakka
mengarahkan tembakan kedua yang punya jeda beberapa detik dari tembakan pertama
ke arah danau disebelah kiri bukit. Shilla kembali bersorak girang. Refleksi
kembang api tersebut terlihat dari air danau dibawahnya. Ditambah dengan bulan
yang menghiasi background tempat kembang api tersebut berpijar.
“Mau coba,
nggak?” tanya Cakka setelah tembakan terakhir. Hanya ada sekitar 5 sampai 6
tembakan dalam satu kembang api. “Nggak usah takut. Ada gue kok,” Shilla
mengangguk ragu. Ia lalu memegang kembang api yang disodorkan Cakka untuknya.
“Kka…”
“Jangan
dipegang ditengahnya, agak ke ujung. Ntar lo kaget.,” ucap Cakka yang segera
ditanggapi Shilla dengan memundurkan tangannya ke ujung kembang api.
Cowok itu
bersiaga di belakang Shilla. Shilla bahkan dapat merasakan punggungnya menempel
dengan Cakka. Wangi maskulin dari pemuda itu menguar dan menelusup ke dalam
penciuman Shilla.
Cakka juga
menggenggam tangan Shilla yang sedang memegang kembang api. Ia lalu membakar
sumbu kembang api, lalu mengarahkan kembang api tersebut ke arah yang sama
seperti tadi. Cakka masih menggenggam tangan Shilla.
Cewek itu
tidak lagi menghiraukan Cakka yang berada di belakangnya. Ia segera bersorak
girang saat keindahan kembali memanjakan penglihatannya. Cakka juga ikut
bersorak, dan bukit sunyi itu kini terasa lebih hidup dengan adanya kedua
manusia diatasnya.
Keduanya
memutuskan untuk menyudahi kegiatan mereka saat Shilla dengan terkejutnya
mendapati malam sudah sangat larut—dalam pandangannya—dan jam ditangannya
menunjukkan pukul 9 malam. Walaupun masih ada beberapa kembang api yang
tersisa, tapi Cakka tidak keberatan. Lagipula, masih ada waktu lain.
Cakka
membawa lagi kembang api tersebut dan menggandeng Shilla turun dari bukit menuju
mobilnya. Mengantarkan Shilla pulang dengan selamat plus hati cewek itu yang
dipenuhi oleh bunga yang bermekaran, juga jantung seperti kembang api.
Meletup-letup dengan warna-warni yang menghiasi.
Shilla
memandang bunga berpita yang tadi Cakka kumpulkan untuknya. Ia tersenyum
setelahnya. Bahagia membuncah dalam hatinya dan ia merasa lega. Setelah
beberapa bulan sebelumnya ia begitu menderita.
Tapi, Shilla
belum memantapkan hatinya untuk Cakka sekarang. Mungkin karena masih terlalu
cepat. Semua ini masih terlalu terburu-buru untuknya. Lagipula, Shilla baru
mengenal cowok itu tadi siang! Tadi. Siang! Dan baru menonton dirinya
bertanding satu kali! SATU. KALI!
Jadi, Shilla
juga masih harus mengerti betul dengan pemuda disampingnya ini. Mengetahui
kesungguhannya, berusaha memahami isi hatinya dan mendalami karakternya.
Semoga saja
tidak ada lagi sakit hati seperti yang lalu-lalu. Semoga saja pemuda
disampingnya ini bisa mengobati luka dihatinya. Menutup lubang yang menganga
terlalu lebar dihatinya dan menghentikan tangis yang sudah terlalu lama
menganak sungai di dalam dirinya.
***
Ini part 3nya guys. give me your comment so I can fix it guys. follow me @Lysaafeb or add me Lysa Keyness Hutcherson . Thank u.
Next Part -->
Next Part -->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar