EMPAT
Sudah
seminggu ini Shilla mengenal Cakka. Pemuda itu semakin hari semakin menunjukkan
perhatiannya pada Shilla. Sesekali pernah gadis itu nyuekin Cakka seharian,
tapi cowok itu malah datang ke rumahnya dan menyanyikan sebuah lagu dari luar
gerbang. Membuat Shilla akhirnya luluh.
Meskipun
Shilla masih belum terlalu yakin dengan perasaannya. Jujur, ia masih ragu. Ia
belum siap menjalin hubungan dengan siapa-siapa lagi sekarang. Ia masih selalu
teringat akan Alvin, teringat akan apa yang sudah cowok itu perbuat kepadanya.
Teringat kalau semua cowok itu sama aja, cuma bisa menghancurkan ketulusan.
Cowok itu
egois. Cuma mikirin perasaan mereka sendiri, tanpa mau tahu perasaan cewek.
Nggak ada cowok yang benar-benar mengerti perasaan cewek. Dan Shilla sudah tahu
hal itu. Sama seperti halnya Alvin, cowok itu juga tidak mendatanginya lagi
belakangan ini. Mungkin cowok itu sudah menyerah.
Tapi ada
sebagian dari diri Shilla yang menyayangkan hal itu. Menyayangkan kalau Alvin
benar-benar sudah menyerah. Shilla tidak mau cowok itu menyerah. Ia ingin
melihat kesungguhan pemuda itu untuknya. Tapi rasanya tidak mungkin juga. Toh,
dari dulu Alvin memang hanya berniat menyakitinya ‘kan?
Buktinya;
selama pacaran Alvin nggak pernah menyatakan dia cinta—setelah acara
penembakan—cowok itu juga selalu mengacuhkannya. Bahkan cowok itu tidak pernah
berniat menjelaskan yang sebenarnya. Mungkin memang inilah yang sebenarnya.
Kemudian
Shilla menggeleng pelan. Untuk apa ia kembali memikirkan cowok brengsek itu?
Dia sudah cukup bahagia dengan dunianya yang baru. Dan ia yakin, setelah cowok
itu nggak datang lagi ke kehidupannya, kesempatan Shilla untuk menutup lukanya
pun akan semakin besar.
Lagipula, ia
punya Cakka. Yaaa… meskipun belum ada tanda-tanda cowok itu akan menembaknya
dalam waktu dekat—mengingat mereka masih belum cukup mengenal—tapi Shilla yakin
suatu saat Cakka akan menyatakan perasaannya.
Bukan
apa-apa. Tapi selama seminggu ini, Cakka sering mengajaknya pergi. Mungkin
Cakka juga punya banyak waktu sekarang, soalnya dia masih kelas 11. Tingkatan
kelas yang paling enak. Cakka juga bilang dia nggak ikut latihan sementara
karena sedang dalam masa pemulihan.
Selama
semingguan ini, Cakka selalu saja punya alasan untuk mengajaknya keluar. Entah
itu menemaninya check up ke dokter—yang dihadiahi perkiraan bahwa Shilla adalah
istri Cakka, mengingat betapa tingginya cowok itu—, sekedar bermain basket di
lapangan basket dekat rumah Shilla atau bahkan pergi makan malam ke restoran
mahal di daerah Kemang.
“DORRR!!!”
Shilla tersentak kaget. Untung saja Shilla nggak punya latah macem Acha. Kalo
enggak, Shilla bakal malu setengah mati.
Dibelakangnya,
Sivia dan Ify sedang nyengir-nyengir nggak jelas. Shilla mengerutkan keningnya,
memandang kedua sohibnya dengan heran. Ify lalu duduk di depan Shilla, diikuti
Sivia yang juga duduk di dekat Ify.
“Shillaaaa~
tumben banget lo ada di PERPUSTAKAAN. Ada wangsit apa nih?” tanya Ify dengan
tawa kecilnya. Takut penjaga perpustakaan mendadak menghujaninya. (maksudnya
bilang ‘ssstttt’ keras dengan ludah yang menyembur kemana-mana.)
“Sialan.
Emangnya nggak boleh ya, sekali-kali gue rajin? Lagian di kelas bosen.
Guru-guru kan lagi pada rapat,” jawab Shilla malas-malasan. Sivia mengangkat
sebelah alisnya.
“Rajin
darimana? Yang lo lakuin sekarang cuma duduk sambil bertopang dagu. Bukan lagi
baca buku seperti tujuan khalayak orang banyak kalo dateng ke perpus.,” tukas
Sivia pelan. Sama seperti Ify, Sivia juga takut dihujani dengan librarian sekolahnya. Shilla menghela
napas. Dia memang tidak akan pernah bisa bersembunyi dari kedua sohibnya ini.
“Kapan sih,
gue bisa sehariiiii aja kabur dari kalian?” tanya Shilla masih sambil bertopang
dagu. Ia mengeluarkan ponselnya, memencet-mencet keypadnya asal. Berusaha
menghilangkan kebimbangannya.
“Jadi lo mau
kabur dari kita berdua?!” tanya Sivia keras. Ify langsung menyenggol lengan
Sivia, takut ia juga kena ‘hujannya’ si librarian.
“Ada masalah
apa, sih? Kan nggak biasanya lo galau begini. Jujur, gue lebih lega liat lo
nangis daripada menyendiri di perpustakaan sambil galau. Galauin apaansih?” Ify
menuntut penjelasan. Tapi Shilla hanya menghela napas panjang, mengacuhkan Ify.
“Nggak ada
apa-apa, kok. Serius,”
“Kita ini
sama-sama cewek, Shill. Nggak ada apa-apa versi cewek itu, berarti ‘ada
apa-apa’. Kita sobatan udah berapa lama, sih?” timpal Sivia gemas. Walau kadang
Sivia suka kurang tangkas, tapi Shilla akui, cewek itu luar biasa. Sivia selalu
menegaskan padanya bahwa ada Sivia dan Ify yang akan terus bersamanya.
Begitupun sebaliknya.
“Iya, gue
seakan lupa kalo kita udah sobatan hampir 3 tahun.,” jawab Shilla tanpa
semangat. Ketiganya memang sudah bersahabat dari SMP. 3 tahun sudah cukup untuk
membuat ketiganya memahami karakter masing-masing.
“Hhhh~ dasar
Ratu Galau.,” ujar Ify lalu memutar bola matanya. Shilla hanya menanggapinya
dengan helaan—lagi—.
“Sorry,
guys. Tapi gue mau sendiri dulu.,” ujar Shilla langsung bangkit dari duduknya
dan meninggalkan Ify dan Sivia yang terbengong-bengong menatapi kepergian
Shilla.
***
Sebenarnya
ada apa sih dengan Shilla? Tadi pagi rasanya dia baik-baik aja. Dia nggak
bertemu Alvin di depan rumahnya seperti seminggu yang lalu, dia juga nggak
dijemput Cakka tadi pagi. Lagipula, ngarep amat Cakka jemput dia. palingan
nanti juga Cakka ngajak main.
Shilla sih,
bukan galau. Cuma lagi bimbang. Antara move on tapi sekarat, atau mundur malah
makin sakit hati. Antara Cakka yang selama seminggu ini membahagiakannya, atau
Alvin yang selalu menyakitinya? Bahkan Alvin membuat luka invisible untuk
Shilla yang langka obatnya.
Tapi
diantara kebaikan Cakka, Shilla masih merasakan sesuatu yang ganjal. Dia tidak
bisa tenang saat bersama pemuda itu. Tidak pernah benar-benar menangkap
sinyal-sinyal cinta yang tipis dari pemuda itu. Lagipula, sepertinya Cakka juga
nggak berniat mengirimkan sinyal-sinyal cinta yang pasti. Dia hanya menjalankan
yang patut ia jalankan.
Shilla juga
jadi merasa nggak enak dengan kedua sohibnya. Mereka seakan menjauh, soalnya
Shilla jarang teleponan lagi sama mereka. Biasanya, Shilla selalu curhat pada
Ify dan Sivia soal Alvin. Walaupun sahabat, Shilla nggak mau dianggap sebagai
kacang lupa kulit. Atau cuma butuh sohib kalau lagi sedih aja.
Gimanapun
juga, sahabat adalah bagian dari keluarganya. Shilla harusnya juga membagi
kebahagiaannya disaat-saat bersama Cakka. Lagipula, kalau cowok itu benar-benar
menyayanginya, dia nggak akan keberatan kalau setiap mau main Shilla harus
mengajak Ify dan Sivia.
Karena kedua
sohibnya pun harus tahu kalau ia sedang dekat dengan Cakka. Jadi kedua sohibnya
nggak perlu repot nyari pengganti Alvin untuknya. Dan juga, kedua sohibnya
harus benar-benar mengenal ‘calon pacar’nya kan?
Sebenarnya
Shilla juga nggak begitu suka jalan berdua saja dengan Cakka. Cowok itu kelewat
manja, kelewat manis dan kelewat perhatian padanya. Kesannya jadi lebay.
Padahal Shilla pikir Cakka itu cowok yang nggak banyak omong. Tapi, yeaah… isi
buku nggak sama ‘kan dengan cover-nya?
“Yah, ada
orang..,” Shilla menengadah. Sekarang ia memang sedang berada di bawah pohon
dekat lapangan basket. Lapangan itu lumayan ramai karena para OSIS lagi tanding
basket.
“Kenapa? Mau
duduk disini? Gue bisa geser, kok.,” ucap Shilla pelan. Rio langsung
mendudukkan diri di dekat Shilla. “Tunggu, tunggu! Lo bukannya yang di UKS itu,
ya?” tanya Shilla sambil menunjuk-nunjuk Rio. Yang ditunjuk langsung menjauh
sedikit dari jari-jari Shilla yang tengah menunjuknya.
“Ah… elo. Si
cengeng. Yah, yah.. kayaknya dewa sial lagi ngikutin gue, nih.,” jawab Rio
sarkatis. Shilla melotot, sedangkan Rio hanya menyandarkan tubuhnya ke batang
pohon dengan acuh.
“Gue nggak
cengeng! Lagian lo siapa, sih? Kelas 11 aja belagu.,” liat aja nanti juga gue
kelas 11, tambah Shilla dalam hati. Kadang-kadang Shilla kalo membatin emang
nggak pake mikir.
“Serius lo
nggak tau gue?”
“Kalo gue
udah tau juga nggak bakalan nanya, kaleee!” tukas Shilla sewot. Rio tersenyum
sedikit. Dan itu malah membuat Shilla—errr—melting?
“Gue Mario
Stevano, panggilannya Rio. Gue nggak suka dipanggil Mario soalnya gue bukan
game.,” kata Rio kalem. Shilla mengangguk-anggukan kepalanya.
“Oh ya,
emang jabatan lo di sekolah ini apaan, sih? Kenapa lo jagain UKS?”
“Gue bukan
jagain UKS, tapi gue lagi ambil laporan soal siswa yang udah pernah masuk UKS
selama seminggu ini. Kalo lo belum tau gue, mending lo liat di mading aja
nanti, ya. Gue capek jelasinnya,” jawab Rio lalu memejamkan matanya. Shilla
memandang Rio heran.
Mungkin
pohon ini adalah persemayamannya Rio kali, ya? Buktinya tadi cowok itu bilang,
‘yah.. ada orang,’. Sudah gitu, dengan santainya Rio langsung memejamkan
matanya seperti nggak ada orang disampingnya. Padahal sekarang cukup berisik,
mau tidur juga nggak bakal bisa.
Tapi Shilla
nggak mau tahu. Selama cowok itu nggak keberatan dengan adanya Shilla, cewek
itu masih mau disana. Menikmati semilir angin sambil meredakan hatinya yang
sedang bimbang. Walau sekarang sudah nggak begitu bimbang. Terimakasih untuk
Rio yang sedikit melupakan kebimbangannya.
Shilla masih
duduk di bawah pohon, sampai akhirnya… Rio jatuh ke pundaknya. Shilla
terbelalak. Sialan ni cowok, batinnya berseru lantang. Langsung saja tangan
Shilla berusaha menyingkirkan kepala Rio dari pundaknya. Namun Rio malah jatuh
ke pahanya.
“KAK! KAK
RIO! WOY BANGUN WOY! Ah kurangajar!” seru Shilla kesal. Dia takut ada yang
iseng atau jail mengambil fotonya saat sedang seperti ini. Walau bagaimanapun,
Shilla malas jadi bahan gossip. Apalagi kena gencet kakak kelas cewek.
Shilla sudah
membulatkan tekad, dia mengangkat kepala Rio dan meletakkannya lagi di
rerumputan setelah cewek itu berhasil menyingkir. Tanpa aba-aba, Shilla
langsung lari luntang-lantung kembali ke kelasnya.
***
Sepulang
sekolah, Shilla terkejut mendapati mobil Cakka sudah berada di depan gerbang.
Pemuda itu turun dari mobilnya dan langsung menghampiri Shilla. Membuat
beberapa murid cewek menatap Shilla iri.
“Ada waktu
‘kan?” tanya Cakka setelah berhadapan dengan Shilla.
“Hmm… ada
sih, kalo sekarang. Tapi nanti malem gue mau anter nyokap belanja,” jawab
Shilla sembari memperhatikan jam tangannya, yang kini menunjukkan pukul 14.35.
Cakka mengangguk-anggukkan kepalanya paham.
“Temenin
latihan basket, yuk!” ajak Cakka—lebih tepatnya meminta—. Shilla berpikir
sebentar. Mungkin ini adalah saat terbaik baginya untuk mendeklrasikan kedekatannya
dengan Cakka kepada kedua sohibnya. Lagian, Shilla memang ingin agar setiap
Cakka mengajaknya jalan, kedua sohibnya juga ikut ‘kan?
“Boleh.
Tapi, lo ajakin Ify sama Sivia dong. Biar nyokap gue bisa maklum kalo pulang
telat.,” ucap Shilla sedikit menambahkan disana-sini. Padahal memang niatnya
cewek itu mau ngajak Ify dan Sivia.
“Iya..
terserah lo aja,” kata Cakka selow. Shilla tersenyum senang. Ia lalu
mengeluarkan ponselnya, kemudian mengirim pesan pada Ify dan Sivia agar mereka
segera ke mobil land cruiser Cakka yang berada di luar gerbang.
Tak lama,
Ify dan Sivia datang dan langsung masuk ke mobil Cakka. Shilla duduk di depan,
disamping Cakka. Terlihat gurat ingin tahu serta keheranan dari Ify juga Sivia.
Sejak kapan Shilla dekat dengan Cakka?
“Lo berutang
penjelasan ke gue sama Sivia.,” kata Ify tegas. Shilla meringis, sementara
Cakka sudah melajukan mobilnya.
“Sebenernya
kita udah deket dari seminggu yang lalu.,” ucap Shilla berusaha menjelaskan.
Ify menaikkan sebelah alisnya.
“Guys,
Shilla juga punya privasi ‘kan? So, nggak semua gerak-geriknya kalian harus
tau. Yang penting, sekarang Shilla mau ngajak kalian kalo gue ajak main.
Mungkin seminggu yang lalu, Shilla masih harus menyesuaikan sama gue. Kalo
sekarang kan Shilla udah kenal, jadi kalian nggak perlu canggung juga.,” jelas
Cakka menengahi. Cowok itu lalu tersenyum pada Shilla. Sementara cewek itu
hanya bisa memandang Cakka takjub.
Mungkinkah
cowok itu tahu kalau Shilla mau terus ngajak kedua sohibnya setiap Cakka ajak
jalan? Jangan-jangan, perkataan Cakka tentang dia cucu-nya Eyang Cangkok bener
lagi?
Shilla
memandang Cakka, menuntut meminta penjelasan. Nggak peduli walau cowok itu
sedang berkonsentrasi menyetir. Cakka hanya tersenyum menenangkan, seakan
berkata ‘selow. Ntar-gue-jelasin.’
Sesampainya
di lapangan basket taman kota, keempatnya langsung turun dan meregangkan otot.
Cakka mengeluarkan bola basketnya dan langsung men-dribble bola tersebut. Ify
dan Sivia langsung ikut-ikutan Cakka main basket dengan semangat. Nggak peduli
walau mereka lagi pakai seragam sekolah.
Sedangkan
Shilla hanya duduk di undakan dekat mobil. Menatap ketiga teman-temannya sambil
tersenyum. Ternyata Ify dan Sivia cepat akrab dengan Cakka. Apalagi ketiganya
itu gila basket. Shilla juga malas ikut-ikutan main, karena selain panas,
Shilla nggak nyaman dengan seragamnya. Shilla juga nggak bisa main basket.
“Shilla!!
Ayo ikut main!!” ajak Sivia dari kejauhan. Wajahnya agak berkilau di bawah
matahari karena keringat. Shilla cuma tersenyum miris.
“Ayo turun,
Shill!” Ify ikut menimpali. Ketiganya serempak memberhentikan permainan dan
hanya menuntut Shilla untuk ikut main.
Shilla
menghela napas. Dia paling malas dengan puppy eyes-nya Sivia, padahal matanya
sedang menghalau cahaya matahari yang begitu bersinar. Sementara Ify, seperti
biasa, selalu memandang Shilla dengan pandangan tegas dan mengintimidasi. Hhh…
susah juga punya sohib yang punya watak keras dan nggak mau dibantah.
Akhirnya
Shilla turun, walau sambil menghela napas malas. Tapi agaknya Ify dan Sivia
nggak memperdulikan ekspresi malas sohibnya. Cuma Cakka yang menatap Shilla
khawatir. Kali aja Shilla punya alergi panas? Kali ajaaa….
“Gue nggak
bisa main basket.,” ucap Shilla pelan. Matanya menyipit karena silaunya cahaya
matahari. Cakka mengangkat kedua alisnya, dibalas dengan kedua bahu yang
diangkat oleh Shilla.
“Kenapa
nggak ngomong dari tadi? Gue, Ify sama Sivia ‘kan bisa sertamerta ngajarin
lo.,” kata Cakka sembari menyodorkan bola basketnya yang berwarna oranye ke
arah Shilla.
“Ify sama
Sivia mana mau ngajarin gue,” sunggut Shilla pelan. yang pasti hanya didengar
oleh Cakka, karena Ify dan Sivia lagi asik rebutan bola berwarna hitam milik
Cakka juga.
“Yaudah, gue
aja yang ajarin. Gue ‘kan lebih jago dari mereka,” kata Cakka narsis. Shilla
menjitak pelan pelipis Cakka. Maklum, Shilla mana nyampe kalau harus menjitak
kepala Cakka?
Cakka
kembali memposisikan dirinya dibelakang Shilla, seperti waktu mereka berdua
berada di bukit. Shilla merasakan déjà vu saat itu, bedanya, sekarang matahari
begitu terik. Dan Shilla juga jadi malas ber-déjà vu. Aneh ‘kan?
Kemudian
cowok itu menumpang-tindihkan tangannya diatas tangan Shilla yang memegang
bola, ia lalu mengarahkan bola tersebut ke arah ring. Shilla menahan napas kala
Cakka menginstruksikan apa yang harus Shilla perhatikan saat hendak melempar
bola ke dalam ring.
“Jangan pake
kekuatan pergelangan tangan, yang ada malah jadi sakit. Pake kekuatan lengan
tangan supaya bola yang terlempar jadi lebih kuat dan terarah.,” ucap Cakka
pelan, supaya hanya terdengar oleh Shilla. Dibelakang, Ify dan Sivia hanya
memperhatikan keduanya sambil cekikikan. Kadang Ify atau Sivia envy juga, sih.
Yang pertama kenal Cakka ‘kan mereka berdua, tapi yang deket duluan malah
Shilla.
Cakka
langsung men-shoot bola tersebut dengan kencang, Shilla sebenarnya hanya
tumpang-tindihannya Cakka saja. Shilla juga nggak sedikitpun mengeluarkan
kekuatan. Itu murni kekuatan lengan Cakka. Tapi hebatnya, bola bundar oranye
itu masuk ke dalam ring dengan cepat dan terarah.
Shilla jadi
tahu seberapa jagonya Cakka, dan alasan kenapa cowok itu selalu jadi top scorer
dan best player of the game. Dengar-dengar, Cakka di Rajawali juga dibayar per
tahunnya. Itu sih dengar-dengarnya juga dari Ify dan Sivia, yang selama ini
gencar cari informasi tentang Cakka.
“Kalian mau
diajarin juga? Itung-itung buat pamer ntar di sekolah,” kata Cakka dengan alis
terangkat. Shilla tersenyum menahan tawa. Cakka ini ada-ada aja..
Tapi Ify dan
Sivia langsung mengangguk sumringah, kemudian Cakka juga menumpang-tindihkan
tangannya seperti yang dilakukannya pada Shilla tadi. Shilla juga nggak
keberatan dengan hal itu, mungkin itu memang metode pemain basket kalau
ngajarin cewek yang buta soal basket.
Toh, Shilla
mengajak Ify dan Sivia juga supaya akrab dengan Cakka ‘kan? Lagipula, Cakka
juga bukan siapa-siapanya, dan Shilla juga belum merasakan apa yang namanya
‘jealous’. Semuanya murni seperti pertemanan ala kadarnya. Seperti keempatnya
adalah satu geng yang memang sudah bersahabat dari lama.
Tak lama,
Shilla, Ify, Sivia dan Cakka sudah bertarung dengan seru. One by one yang
acak-acakan. Bola yang mondar-mandir kesana-kemari. Yang Shilla salutkan dari
Cakka adalah; cowok itu sama sekali nggak menunjukkan skill-nya seperti di
lapangan. Cowok itu nggak show off, dan cowok itu juga tampak menikmati
permainan asal-asalannya dengan ketiga cewek ini.
Diam-diam
Shilla tersenyum. Mungkin pandangannya tentang Cakka sudah cukup kuat. Tapi
Shilla masih belum yakin. Masih terlalu cepat untuk menafsirkan dan memutuskan.
Shilla masih butuh banyak waktu untuk memahami segalanya tentang Cakka.
Segalanya.
***
Shilla
pulang pukul setengah 6 sore. Tentunya diantar oleh Cakka. Cowok itu juga
sebelumnya telah mengantar Ify dan Sivia yang arah rumahnya memang lebih dekat
daripada Shilla. Jadilah, cowok itu menjelaskan kenapa dia tahu kalau Shilla
mau kedua sohibnya diajak setiap Cakka ngajak Shilla main.
Cakka sih,
cuma bilang; rata-rata cewek tipe Shilla, alias tipe pecinta sohib, pasti bakal
melakukan hal yang kayak gitu. Bagi Cakka, itu lumrah-lumrah aja. Lagipula,
Cakka juga nggak akan tertarik dengan Ify atau Sivia ‘kan? Kalau target yang
sudah di ‘lock’-nya adalah Shilla, kenapa harus membuka kunci itu lagi? Cakka
juga sudah membuang kuncinya jauh-jauh.
Shilla
terkikik geli kalau melihat ekspresi Cakka soal ‘target’, ‘lock’ dan ‘kunci’.
Kesannya Shilla adalah berlian mahal yang didapatkan Cakka dari lelang dengan
penawaran super tinggi.
Pukul 7nya,
sesuai dengan janji Mama akan mengajak Shilla shopping, Shilla langsung
mempersiapkan diri di kamarnya. Shilla juga nggak pakai yang aneh-aneh untuk
pergi keluar, apalagi hanya shopping dengan Mama. Shilla juga malas kalau pakai
dress terus, sesekali dia ingin mencoba tampil kasual. Seperti pribadinya.
Shilla
memakai jersey Manchester United kebanggannya—original bok!—dan celana pendek
selutut berwarna hitam. Shilla juga hanya memakai sepatu kets semata kaki
berwarna merah. Perpaduan warna yang cocok! Tak lupa, Shilla memakai jam tangan
kesayangannya yang berwarna putih. Agak nabrak sedikit, sih, but no problem!
Shilla tetap cantik apa adanya.
Oh ya,
Shilla juga nggak lupa untuk bawa uang sendiri. Kali aja jiwa shopaholic-nya
keluar kala melihat aksesoris cantik disana. Shilla nggak mau minta terus sama
Mama. Gimana pun juga, Shilla orangnya bosenan. Sekali pakai, pasti bakal
dibuang. Walau nggak semua aksesorisnya berakhir di tong sampah, sih…
Setelah terasa
cukup, Shilla langsung turun ke bawah. Ternyata Mama sudah menunggu di mobil.
Beliau meng-klakson dari luar, memberi tanda bahwa Beliau sudah siap. Shilla
langsung naik ke mobil, duduk di depan, pastinya. Kemudian Mama langsung tancap
gas menuju Pondok Indah Mall.
Di PIM,
Shilla memutuskan untuk berpisah dengan Mama. Selesai shopping, secara nggak
sengaja atau memang ‘sengaja’, ternyata Mama bertemu dengan client-nya. Mama
adalah seorang manager di salah satu perusahaan ternama di Jakarta, juga
merangkap sebagai perancang busana. Sebetulnya, merancang busana adalah hobby
Mama.
Pekerjaan
itu awalnya hanya iseng-iseng. Ditengah kesibukan Mama yang kian padat, Mama
selalu mendapat inspirasi mengenai busana-busana yang indah. Entah itu dress
selutut, gaun, atau wedding dress. Mama bisa semua. Tergantung inspirasi dan
idenya bekerja. Tapi lambat laun, akhirnya Mama mulai sedikit serius ke bidang
itu. Jadilah Mama membuka butik di daerah Jakarta Selatan.
Mama juga
makin lama makin terkenal. Rancangan Mama banyak dipamerkan, butik Mama pun
kini bercabang hingga ke daerah Jabodetabek. Ya… makanya Mama semakin sibuk.
Dan kesempatan untuk menjalani hari bersama Shilla jadi berkurang. Makanya,
sewaktu Mama mengajak Shilla shopping, Shilla langsung meng-iyakan dengan
antusias. Tapi ternyata, Shilla harus berakhir dengan jalan sendirian juga.
Karena
terasa lapar, Shilla memutuskan untuk makan. Setelah makan, Shilla langsung
menuju ke tempat dia biasa membeli aksesoris. Siapa tahu saja bisa membunuh
kebosanannya. Biasanya, Mama akan selalu lama jika bertemu client. Pernah
Shilla diajak Mama bertemu client di restoran. Shilla hampir saja mati
kebosanan menunggu percakapan yang dia sama sekali nggak ngerti selama 3 jam.
Dari situlah
Shilla kapok. Dia nggak ingin lagi tahu-menahu tentang apa yang Mama bicarakan
dengan client-nya.
Tidak terasa
waktu berlalu begitu cepat. Shilla baru saja membeli topi Arale berwarna pink
dengan sayap. Lucu. Shilla suka kartun Arale. Shilla juga membeli earphone
bergambar Stitch. Tuh kan, coba kalau Shilla nggak bawa uang. Dia cuma bisa
ngiler-ngiler dari luar etalase kaca.
Shilla
merasakan ponselnya berdering. Nada dering yang Shilla sukai banget, yaitu
lagunya abang Bieber; One Love. Sejak Cakka mengajaknya ke taman bunga seminggu
yang lalu, Shilla jadi suka banget lagu itu. Shilla juga baru mengangkat
telepon Mama setelah lebih dari 7 detik. Ingin mendengarkan lagu itu lebih
lama, tapi urung, takut Mama ngomel nantinya.
“Shil, ayo
pulang. Mama di depan resto yang tadi, ya.,” kata Mama cepat. Tanpa menunggu
balasan dari Shilla, Mama sudah me-reject panggilan tersebut. Shilla menghela
napas pelan, lalu beranjak ke restaurant. Tempat berpisahnya Shilla dengan Mama
tadi.
Di depan
resto, Mama terlihat kerepotan dengan troli yang dibawanya. Tanpa aba-aba,
Shilla langsung memasukkan barang-barangnya ke dalam troli dan mendorong troli
tersebut menuju escalator khusus troli dan juga langsung menuju basement. Mama
memang selalu memarkirkan mobilnya di basement.
Tiba-tiba
tangan Mama menyetop gerakan Shilla. Shilla menatap Mama heran.
“Shill, itu
bukannya temen kamu, ya?” tanya Mama antusias. Shilla mengedarkan pandangannya
ke kanan dan kiri. Temen yang mana, ya?
“Dimana, Ma?
Temen siapa?” Mama menunjuk-nunjuk ke arah jam 9 dari Shilla. Tepat di depan
sebuah toko jam tangan. Mata Shilla membulat.
Sial! Sial
seribu kali sial! Diantara teman-temannya yang banyak, kenapa harus bertemu
DIA!?!!!! Shilla berulang kali merutuk. Merutuki kesialannya. Merutuki, kenapa
Mama harus hapal dengan wajah oriental cowok itu. Cowok brengsek itu! Padahal
cowok itu hanya beberapa kali ke rumah untuk sekedar menjemput Shilla, atau
ngajak jalan.
Dewa sial
benar-benar sedang jatuh cinta pada Shilla, sepertinya.
“Siapa
namanya, Shill? Al-Al…” ALVIN! SI BRENGSEK ALVIN! Maki Shilla dalam hati. Tentu
aja dia nggak menyuarakan makiannya itu.
“Apaan, sih,
Ma. Itu bukan temen Shilla! Udah ayo pulang, ah. Itu cuma mirip doang!” tukas
Shilla sambil menarik lengan Mama. Tapi sebelum Shilla berhasil menarik Mama ke
eskalator—yang jaraknya tinggal 2 meter lagi—mendadak Mama memanggil Alvin.
“ALVIN!”
teriak Mama keras. Shilla terhenti, bahunya menegang. Mama kurangajar! Maki
Shilla lagi, dalam hati pastinya.
“Mama
apaansih! Malu-maluin, ah!” kata Shilla ngotot tetap mau narik Mama turun
menuju basement. Tapi ternyata Alvin sudah berada di dekatnya. Menggandeng
seorang cewek! Pasti pacar barunya!
DASAR MUKA
DUA! MUKA TEMBOK! CICAK! KODOK! BRENGSEK! Maki Shilla dalam hati—untuk yang
kesekian kalinya—ketika melihat Alvin melingkarkan tangannya di pundak cewek
itu. Shilla menggeram marah, tapi nggak bisa berbuat apa-apa. Mama juga nggak
tahu-menahu tentang masalah Shilla dengan cowok di depannya ini.
“Halo,
Tante. Halo, Shilla.,” sapanya ramah. Shilla mendecih, dia paling muak bertatap
muka dengan Alvin. “Habis belanja, ya?” tanya Alvin dengan senyum ramah. Mama
juga ikut meleleh kalo disenyumin begitu sama Alvin, mah.
“Iya, nih,”
jawab Mama ramah. Shilla tetap membuang muka. Malas mendengarkan tawa ramah
dari ketiganya—Mama, Alvin dan cewek disebelahnya—. Mereka bertiga layaknya
kawan lama yang nggak pernah ketemu, deh. Padahal, kenal juga enggak.
“Oh ya, Vin.
Tante boleh minta nomer kamu, nggak? Biasanya ‘kan, Shilla suka main sama kamu,
takut ada apa-apa sama Shilla, Tante bisa minta tolong sama kamu ‘kan?” tanya
Mama sambil mengeluarkan ponselnya. Shilla melotot tajam. Dia menyikut pelan
lengan Mama.
“Mama
apaansih! Kan ada Ify sama Sivia! Lagian aku nggak sering main sama dia, kok!
Sekolahnya aja beda!” tukas Shilla keras. Tanda dia sudah benar-benar kesal.
“Shilla,
sayang… Ify sama Sivia itu ‘kan perempuan. Kalau kamu diculik, atau dirampok,
emang mereka bisa ngelindungin kamu?” ih! Mama ini suka ada-ada aja
perumpaannya! Kalo Shilla beneran diculik gimana?!
“Mama kok
doanya jelek, sih!” sunggut Shilla lagi. Dia sudah benar-benar mau pulang.
Sedangkan Alvin masih tetap senyam-senyum. Merasa menang karena ternyata Mama
‘suka’ dengan cowok itu.
“Mama nggak
doain kamu begitu. Tapi takutnya aja, Shill.,” kata Mama pelan. Shilla pasrah.
TERSERAH! Tanpa aba-aba, Shilla langsung turun ke eskalator sambil mendorong
trolinya, menuju basement. Sebelumnya dia juga menghentak-hentakkan kakinya
kesal.
Mama
membiarkan Shilla. Beliau tetap minta nomor telepon Alvin. Awalnya Alvin juga
kaget. Ada angin darimana tiba-tiba Mamanya Shilla ini mau tahu nomor
teleponnya. Tapi setelah mendengar argumen dari Ibu dan Anak tadi, Alvin
langsung sumringah. Dengan hati gembira dia menyebutkan nomor teleponnya pada
Mama.
Nggak berapa
lama, Mama sudah ada di basement. Shilla sudah kesal setengah mati dengan hari
ini. Perasaan baru beberapa jam yang lalu dia sedikit merasakan kesenangan.
Merasa melayang-layang karena penuturan Cakka. Tapi sekarang? Shilla bagai
dihinggapi ratusan tawon di lumpur!
Sudah jatuh
tertimpa tangga. Sudah bertemu Alvin, Mama yang minta nomor Alvin, terus
sekarang dia juga harus merasakan hawa panas basement. Sial! Seribu kali sial!
Shilla bahkan bertekad untuk nggak ngomong sama Mama selama perjalanan pulang.
Dia juga nggak akan bantuin Mama untuk beresin belanjaan. Dia mau langsung
ngerem di kamar tanpa makan malam! Bodo amat.
Masalah
lapar, biarin aja. Nanti malam, pas Mama sudah tidur, dia bisa turun ke bawah
dengan mengendap-endap, lalu mengambil makanan. Mama nggak akan tahu, ya ‘kan?
“Mama seneng
deh, sama Alvin.,” nah kan! Topik yang paling ingin Shilla hindari. Inilah
sebabnya kalau Shilla nggak menceritakan perihal jadiannya dia sama Alvin,
perihal sakit hatinya, dan banyak lagi. Mama jadi seenaknya meracau.
Sepanjang
jalan Mama terus-menerus memuji Alvin. Bilang kalau Alvin adalah tipe cowok
yang tampan, ganteng, berkharisma, baik, bertanggungjawab, dan banyak lagi.
Cocok buat Shilla. WHAT?! Mama nggak salah ngomong, tuh? Shilla sendiri
juga cuma berdehem-dehem nggak jelas. Dia kelewat kesal. Rasanya mau marah
dengan semua penuturan Mama.
Sedangkan
Mama? Malah mengusulkan Shilla jadian dengan Alvin. Mama bilang akan mendukung
seribu persen hubungan keduanya.
Shilla
geram. Mau ngamuk! Rasanya REM dari death note mau keluar dari tubuhnya,
bersiap untuk membantai siapa saja! Kecuali Mama. Yaaa… walaupun Mama adalah
biang keroknya—nahloh—tapi tetap aja Shilla butuh Mama.
Sampai di
rumah, Shilla benar-benar ngamuk. Dia benar-benar menjalankan idenya tadi. Mama
juga nggak menghiraukan. Mama tahu Shilla ngambek. Dan Mama tahu Shilla bakal
keluar kalo Mama sudah masuk kamar. Mama emang paling tahu, ‘kan?
***
Rite guys.. ini part 4nya. Hope u enjoy. comment aja so i can fix it oke:) follow me @Lysaafeb or add Lysa Keyness Hutcherson . Thank u :)
Next Part -->
Next Part -->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar