Try! (Part 4)

Rabu, 29 Mei 2013


EMPAT

Sudah seminggu ini Shilla mengenal Cakka. Pemuda itu semakin hari semakin menunjukkan perhatiannya pada Shilla. Sesekali pernah gadis itu nyuekin Cakka seharian, tapi cowok itu malah datang ke rumahnya dan menyanyikan sebuah lagu dari luar gerbang. Membuat Shilla akhirnya luluh.

Meskipun Shilla masih belum terlalu yakin dengan perasaannya. Jujur, ia masih ragu. Ia belum siap menjalin hubungan dengan siapa-siapa lagi sekarang. Ia masih selalu teringat akan Alvin, teringat akan apa yang sudah cowok itu perbuat kepadanya. Teringat kalau semua cowok itu sama aja, cuma bisa menghancurkan ketulusan.

Cowok itu egois. Cuma mikirin perasaan mereka sendiri, tanpa mau tahu perasaan cewek. Nggak ada cowok yang benar-benar mengerti perasaan cewek. Dan Shilla sudah tahu hal itu. Sama seperti halnya Alvin, cowok itu juga tidak mendatanginya lagi belakangan ini. Mungkin cowok itu sudah menyerah.

Tapi ada sebagian dari diri Shilla yang menyayangkan hal itu. Menyayangkan kalau Alvin benar-benar sudah menyerah. Shilla tidak mau cowok itu menyerah. Ia ingin melihat kesungguhan pemuda itu untuknya. Tapi rasanya tidak mungkin juga. Toh, dari dulu Alvin memang hanya berniat menyakitinya ‘kan?

Buktinya; selama pacaran Alvin nggak pernah menyatakan dia cinta—setelah acara penembakan—cowok itu juga selalu mengacuhkannya. Bahkan cowok itu tidak pernah berniat menjelaskan yang sebenarnya. Mungkin memang inilah yang sebenarnya.

Kemudian Shilla menggeleng pelan. Untuk apa ia kembali memikirkan cowok brengsek itu? Dia sudah cukup bahagia dengan dunianya yang baru. Dan ia yakin, setelah cowok itu nggak datang lagi ke kehidupannya, kesempatan Shilla untuk menutup lukanya pun akan semakin besar.

Lagipula, ia punya Cakka. Yaaa… meskipun belum ada tanda-tanda cowok itu akan menembaknya dalam waktu dekat—mengingat mereka masih belum cukup mengenal—tapi Shilla yakin suatu saat Cakka akan menyatakan perasaannya.

Bukan apa-apa. Tapi selama seminggu ini, Cakka sering mengajaknya pergi. Mungkin Cakka juga punya banyak waktu sekarang, soalnya dia masih kelas 11. Tingkatan kelas yang paling enak. Cakka juga bilang dia nggak ikut latihan sementara karena sedang dalam masa pemulihan.

Selama semingguan ini, Cakka selalu saja punya alasan untuk mengajaknya keluar. Entah itu menemaninya check up ke dokter—yang dihadiahi perkiraan bahwa Shilla adalah istri Cakka, mengingat betapa tingginya cowok itu—, sekedar bermain basket di lapangan basket dekat rumah Shilla atau bahkan pergi makan malam ke restoran mahal di daerah Kemang.

“DORRR!!!” Shilla tersentak kaget. Untung saja Shilla nggak punya latah macem Acha. Kalo enggak, Shilla bakal malu setengah mati.

Dibelakangnya, Sivia dan Ify sedang nyengir-nyengir nggak jelas. Shilla mengerutkan keningnya, memandang kedua sohibnya dengan heran. Ify lalu duduk di depan Shilla, diikuti Sivia yang juga duduk di dekat Ify.

“Shillaaaa~ tumben banget lo ada di PERPUSTAKAAN. Ada wangsit apa nih?” tanya Ify dengan tawa kecilnya. Takut penjaga perpustakaan mendadak menghujaninya. (maksudnya bilang ‘ssstttt’ keras dengan ludah yang menyembur kemana-mana.)

“Sialan. Emangnya nggak boleh ya, sekali-kali gue rajin? Lagian di kelas bosen. Guru-guru kan lagi pada rapat,” jawab Shilla malas-malasan. Sivia mengangkat sebelah alisnya.

“Rajin darimana? Yang lo lakuin sekarang cuma duduk sambil bertopang dagu. Bukan lagi baca buku seperti tujuan khalayak orang banyak kalo dateng ke perpus.,” tukas Sivia pelan. Sama seperti Ify, Sivia juga takut dihujani dengan librarian sekolahnya. Shilla menghela napas. Dia memang tidak akan pernah bisa bersembunyi dari kedua sohibnya ini.

“Kapan sih, gue bisa sehariiiii aja kabur dari kalian?” tanya Shilla masih sambil bertopang dagu. Ia mengeluarkan ponselnya, memencet-mencet keypadnya asal. Berusaha menghilangkan kebimbangannya.

“Jadi lo mau kabur dari kita berdua?!” tanya Sivia keras. Ify langsung menyenggol lengan Sivia, takut ia juga kena ‘hujannya’ si librarian.

“Ada masalah apa, sih? Kan nggak biasanya lo galau begini. Jujur, gue lebih lega liat lo nangis daripada menyendiri di perpustakaan sambil galau. Galauin apaansih?” Ify menuntut penjelasan. Tapi Shilla hanya menghela napas panjang, mengacuhkan Ify.

“Nggak ada apa-apa, kok. Serius,”

“Kita ini sama-sama cewek, Shill. Nggak ada apa-apa versi cewek itu, berarti ‘ada apa-apa’. Kita sobatan udah berapa lama, sih?” timpal Sivia gemas. Walau kadang Sivia suka kurang tangkas, tapi Shilla akui, cewek itu luar biasa. Sivia selalu menegaskan padanya bahwa ada Sivia dan Ify yang akan terus bersamanya. Begitupun sebaliknya.

“Iya, gue seakan lupa kalo kita udah sobatan hampir 3 tahun.,” jawab Shilla tanpa semangat. Ketiganya memang sudah bersahabat dari SMP. 3 tahun sudah cukup untuk membuat ketiganya memahami karakter masing-masing.

“Hhhh~ dasar Ratu Galau.,” ujar Ify lalu memutar bola matanya. Shilla hanya menanggapinya dengan helaan—lagi—.

Sorry, guys. Tapi gue mau sendiri dulu.,” ujar Shilla langsung bangkit dari duduknya dan meninggalkan Ify dan Sivia yang terbengong-bengong menatapi kepergian Shilla.

***

Sebenarnya ada apa sih dengan Shilla? Tadi pagi rasanya dia baik-baik aja. Dia nggak bertemu Alvin di depan rumahnya seperti seminggu yang lalu, dia juga nggak dijemput Cakka tadi pagi. Lagipula, ngarep amat Cakka jemput dia. palingan nanti juga Cakka ngajak main.

Shilla sih, bukan galau. Cuma lagi bimbang. Antara move on tapi sekarat, atau mundur malah makin sakit hati. Antara Cakka yang selama seminggu ini membahagiakannya, atau Alvin yang selalu menyakitinya? Bahkan Alvin membuat luka invisible untuk Shilla yang langka obatnya.

Tapi diantara kebaikan Cakka, Shilla masih merasakan sesuatu yang ganjal. Dia tidak bisa tenang saat bersama pemuda itu. Tidak pernah benar-benar menangkap sinyal-sinyal cinta yang tipis dari pemuda itu. Lagipula, sepertinya Cakka juga nggak berniat mengirimkan sinyal-sinyal cinta yang pasti. Dia hanya menjalankan yang patut ia jalankan.

Shilla juga jadi merasa nggak enak dengan kedua sohibnya. Mereka seakan menjauh, soalnya Shilla jarang teleponan lagi sama mereka. Biasanya, Shilla selalu curhat pada Ify dan Sivia soal Alvin. Walaupun sahabat, Shilla nggak mau dianggap sebagai kacang lupa kulit. Atau cuma butuh sohib kalau lagi sedih aja.

Gimanapun juga, sahabat adalah bagian dari keluarganya. Shilla harusnya juga membagi kebahagiaannya disaat-saat bersama Cakka. Lagipula, kalau cowok itu benar-benar menyayanginya, dia nggak akan keberatan kalau setiap mau main Shilla harus mengajak Ify dan Sivia.

Karena kedua sohibnya pun harus tahu kalau ia sedang dekat dengan Cakka. Jadi kedua sohibnya nggak perlu repot nyari pengganti Alvin untuknya. Dan juga, kedua sohibnya harus benar-benar mengenal ‘calon pacar’nya kan?

Sebenarnya Shilla juga nggak begitu suka jalan berdua saja dengan Cakka. Cowok itu kelewat manja, kelewat manis dan kelewat perhatian padanya. Kesannya jadi lebay. Padahal Shilla pikir Cakka itu cowok yang nggak banyak omong. Tapi, yeaah… isi buku nggak sama ‘kan dengan cover-nya?

“Yah, ada orang..,” Shilla menengadah. Sekarang ia memang sedang berada di bawah pohon dekat lapangan basket. Lapangan itu lumayan ramai karena para OSIS lagi tanding basket.

“Kenapa? Mau duduk disini? Gue bisa geser, kok.,” ucap Shilla pelan. Rio langsung mendudukkan diri di dekat Shilla. “Tunggu, tunggu! Lo bukannya yang di UKS itu, ya?” tanya Shilla sambil menunjuk-nunjuk Rio. Yang ditunjuk langsung menjauh sedikit dari jari-jari Shilla yang tengah menunjuknya.

“Ah… elo. Si cengeng. Yah, yah.. kayaknya dewa sial lagi ngikutin gue, nih.,” jawab Rio sarkatis. Shilla melotot, sedangkan Rio hanya menyandarkan tubuhnya ke batang pohon dengan acuh.

“Gue nggak cengeng! Lagian lo siapa, sih? Kelas 11 aja belagu.,” liat aja nanti juga gue kelas 11, tambah Shilla dalam hati. Kadang-kadang Shilla kalo membatin emang nggak pake mikir.

“Serius lo nggak tau gue?”

“Kalo gue udah tau juga nggak bakalan nanya, kaleee!” tukas Shilla sewot. Rio tersenyum sedikit. Dan itu malah membuat Shilla—errr—melting?

“Gue Mario Stevano, panggilannya Rio. Gue nggak suka dipanggil Mario soalnya gue bukan game.,” kata Rio kalem. Shilla mengangguk-anggukan kepalanya.

“Oh ya, emang jabatan lo di sekolah ini apaan, sih? Kenapa lo jagain UKS?”

“Gue bukan jagain UKS, tapi gue lagi ambil laporan soal siswa yang udah pernah masuk UKS selama seminggu ini. Kalo lo belum tau gue, mending lo liat di mading aja nanti, ya. Gue capek jelasinnya,” jawab Rio lalu memejamkan matanya. Shilla memandang Rio heran.

Mungkin pohon ini adalah persemayamannya Rio kali, ya? Buktinya tadi cowok itu bilang, ‘yah.. ada orang,’. Sudah gitu, dengan santainya Rio langsung memejamkan matanya seperti nggak ada orang disampingnya. Padahal sekarang cukup berisik, mau tidur juga nggak bakal bisa.

Tapi Shilla nggak mau tahu. Selama cowok itu nggak keberatan dengan adanya Shilla, cewek itu masih mau disana. Menikmati semilir angin sambil meredakan hatinya yang sedang bimbang. Walau sekarang sudah nggak begitu bimbang. Terimakasih untuk Rio yang sedikit melupakan kebimbangannya.

Shilla masih duduk di bawah pohon, sampai akhirnya… Rio jatuh ke pundaknya. Shilla terbelalak. Sialan ni cowok, batinnya berseru lantang. Langsung saja tangan Shilla berusaha menyingkirkan kepala Rio dari pundaknya. Namun Rio malah jatuh ke pahanya.

“KAK! KAK RIO! WOY BANGUN WOY! Ah kurangajar!” seru Shilla kesal. Dia takut ada yang iseng atau jail mengambil fotonya saat sedang seperti ini. Walau bagaimanapun, Shilla malas jadi bahan gossip. Apalagi kena gencet kakak kelas cewek.

Shilla sudah membulatkan tekad, dia mengangkat kepala Rio dan meletakkannya lagi di rerumputan setelah cewek itu berhasil menyingkir. Tanpa aba-aba, Shilla langsung lari luntang-lantung kembali ke kelasnya.
                                                              
***

Sepulang sekolah, Shilla terkejut mendapati mobil Cakka sudah berada di depan gerbang. Pemuda itu turun dari mobilnya dan langsung menghampiri Shilla. Membuat beberapa murid cewek menatap Shilla iri.

“Ada waktu ‘kan?” tanya Cakka setelah berhadapan dengan Shilla.

“Hmm… ada sih, kalo sekarang. Tapi nanti malem gue mau anter nyokap belanja,” jawab Shilla sembari memperhatikan jam tangannya, yang kini menunjukkan pukul 14.35. Cakka mengangguk-anggukkan kepalanya paham.

“Temenin latihan basket, yuk!” ajak Cakka—lebih tepatnya meminta—. Shilla berpikir sebentar. Mungkin ini adalah saat terbaik baginya untuk mendeklrasikan kedekatannya dengan Cakka kepada kedua sohibnya. Lagian, Shilla memang ingin agar setiap Cakka mengajaknya jalan, kedua sohibnya juga ikut ‘kan?

“Boleh. Tapi, lo ajakin Ify sama Sivia dong. Biar nyokap gue bisa maklum kalo pulang telat.,” ucap Shilla sedikit menambahkan disana-sini. Padahal memang niatnya cewek itu mau ngajak Ify dan Sivia.

“Iya.. terserah lo aja,” kata Cakka selow. Shilla tersenyum senang. Ia lalu mengeluarkan ponselnya, kemudian mengirim pesan pada Ify dan Sivia agar mereka segera ke mobil land cruiser Cakka yang berada di luar gerbang.

Tak lama, Ify dan Sivia datang dan langsung masuk ke mobil Cakka. Shilla duduk di depan, disamping Cakka. Terlihat gurat ingin tahu serta keheranan dari Ify juga Sivia. Sejak kapan Shilla dekat dengan Cakka?

“Lo berutang penjelasan ke gue sama Sivia.,” kata Ify tegas. Shilla meringis, sementara Cakka sudah melajukan mobilnya.

“Sebenernya kita udah deket dari seminggu yang lalu.,” ucap Shilla berusaha menjelaskan. Ify menaikkan sebelah alisnya.

Guys, Shilla juga punya privasi ‘kan? So, nggak semua gerak-geriknya kalian harus tau. Yang penting, sekarang Shilla mau ngajak kalian kalo gue ajak main. Mungkin seminggu yang lalu, Shilla masih harus menyesuaikan sama gue. Kalo sekarang kan Shilla udah kenal, jadi kalian nggak perlu canggung juga.,” jelas Cakka menengahi. Cowok itu lalu tersenyum pada Shilla. Sementara cewek itu hanya bisa memandang Cakka takjub.

Mungkinkah cowok itu tahu kalau Shilla mau terus ngajak kedua sohibnya setiap Cakka ajak jalan? Jangan-jangan, perkataan Cakka tentang dia cucu-nya Eyang Cangkok bener lagi?

Shilla memandang Cakka, menuntut meminta penjelasan. Nggak peduli walau cowok itu sedang berkonsentrasi menyetir. Cakka hanya tersenyum menenangkan, seakan berkata ‘selow. Ntar-gue-jelasin.’

Sesampainya di lapangan basket taman kota, keempatnya langsung turun dan meregangkan otot. Cakka mengeluarkan bola basketnya dan langsung men-dribble bola tersebut. Ify dan Sivia langsung ikut-ikutan Cakka main basket dengan semangat. Nggak peduli walau mereka lagi pakai seragam sekolah.

Sedangkan Shilla hanya duduk di undakan dekat mobil. Menatap ketiga teman-temannya sambil tersenyum. Ternyata Ify dan Sivia cepat akrab dengan Cakka. Apalagi ketiganya itu gila basket. Shilla juga malas ikut-ikutan main, karena selain panas, Shilla nggak nyaman dengan seragamnya. Shilla juga nggak bisa main basket.

“Shilla!! Ayo ikut main!!” ajak Sivia dari kejauhan. Wajahnya agak berkilau di bawah matahari karena keringat. Shilla cuma tersenyum miris.

“Ayo turun, Shill!” Ify ikut menimpali. Ketiganya serempak memberhentikan permainan dan hanya menuntut Shilla untuk ikut main.

Shilla menghela napas. Dia paling malas dengan puppy eyes-nya Sivia, padahal matanya sedang menghalau cahaya matahari yang begitu bersinar. Sementara Ify, seperti biasa, selalu memandang Shilla dengan pandangan tegas dan mengintimidasi. Hhh… susah juga punya sohib yang punya watak keras dan nggak mau dibantah.

Akhirnya Shilla turun, walau sambil menghela napas malas. Tapi agaknya Ify dan Sivia nggak memperdulikan ekspresi malas sohibnya. Cuma Cakka yang menatap Shilla khawatir. Kali aja Shilla punya alergi panas? Kali ajaaa….

“Gue nggak bisa main basket.,” ucap Shilla pelan. Matanya menyipit karena silaunya cahaya matahari. Cakka mengangkat kedua alisnya, dibalas dengan kedua bahu yang diangkat oleh Shilla.

“Kenapa nggak ngomong dari tadi? Gue, Ify sama Sivia ‘kan bisa sertamerta ngajarin lo.,” kata Cakka sembari menyodorkan bola basketnya yang berwarna oranye ke arah Shilla.

“Ify sama Sivia mana mau ngajarin gue,” sunggut Shilla pelan. yang pasti hanya didengar oleh Cakka, karena Ify dan Sivia lagi asik rebutan bola berwarna hitam milik Cakka juga.

“Yaudah, gue aja yang ajarin. Gue ‘kan lebih jago dari mereka,” kata Cakka narsis. Shilla menjitak pelan pelipis Cakka. Maklum, Shilla mana nyampe kalau harus menjitak kepala Cakka?

Cakka kembali memposisikan dirinya dibelakang Shilla, seperti waktu mereka berdua berada di bukit. Shilla merasakan déjà vu saat itu, bedanya, sekarang matahari begitu terik. Dan Shilla juga jadi malas ber-déjà vu. Aneh ‘kan?

Kemudian cowok itu menumpang-tindihkan tangannya diatas tangan Shilla yang memegang bola, ia lalu mengarahkan bola tersebut ke arah ring. Shilla menahan napas kala Cakka menginstruksikan apa yang harus Shilla perhatikan saat hendak melempar bola ke dalam ring.

“Jangan pake kekuatan pergelangan tangan, yang ada malah jadi sakit. Pake kekuatan lengan tangan supaya bola yang terlempar jadi lebih kuat dan terarah.,” ucap Cakka pelan, supaya hanya terdengar oleh Shilla. Dibelakang, Ify dan Sivia hanya memperhatikan keduanya sambil cekikikan. Kadang Ify atau Sivia envy juga, sih. Yang pertama kenal Cakka ‘kan mereka berdua, tapi yang deket duluan malah Shilla.

Cakka langsung men-shoot bola tersebut dengan kencang, Shilla sebenarnya hanya tumpang-tindihannya Cakka saja. Shilla juga nggak sedikitpun mengeluarkan kekuatan. Itu murni kekuatan lengan Cakka. Tapi hebatnya, bola bundar oranye itu masuk ke dalam ring dengan cepat dan terarah.

Shilla jadi tahu seberapa jagonya Cakka, dan alasan kenapa cowok itu selalu jadi top scorer dan best player of the game. Dengar-dengar, Cakka di Rajawali juga dibayar per tahunnya. Itu sih dengar-dengarnya juga dari Ify dan Sivia, yang selama ini gencar cari informasi tentang Cakka.

“Kalian mau diajarin juga? Itung-itung buat pamer ntar di sekolah,” kata Cakka dengan alis terangkat. Shilla tersenyum menahan tawa. Cakka ini ada-ada aja..

Tapi Ify dan Sivia langsung mengangguk sumringah, kemudian Cakka juga menumpang-tindihkan tangannya seperti yang dilakukannya pada Shilla tadi. Shilla juga nggak keberatan dengan hal itu, mungkin itu memang metode pemain basket kalau ngajarin cewek yang buta soal basket.

Toh, Shilla mengajak Ify dan Sivia juga supaya akrab dengan Cakka ‘kan? Lagipula, Cakka juga bukan siapa-siapanya, dan Shilla juga belum merasakan apa yang namanya ‘jealous’. Semuanya murni seperti pertemanan ala kadarnya. Seperti keempatnya adalah satu geng yang memang sudah bersahabat dari lama.

Tak lama, Shilla, Ify, Sivia dan Cakka sudah bertarung dengan seru. One by one yang acak-acakan. Bola yang mondar-mandir kesana-kemari. Yang Shilla salutkan dari Cakka adalah; cowok itu sama sekali nggak menunjukkan skill-nya seperti di lapangan. Cowok itu nggak show off, dan cowok itu juga tampak menikmati permainan asal-asalannya dengan ketiga cewek ini.

Diam-diam Shilla tersenyum. Mungkin pandangannya tentang Cakka sudah cukup kuat. Tapi Shilla masih belum yakin. Masih terlalu cepat untuk menafsirkan dan memutuskan. Shilla masih butuh banyak waktu untuk memahami segalanya tentang Cakka. Segalanya.

***

Shilla pulang pukul setengah 6 sore. Tentunya diantar oleh Cakka. Cowok itu juga sebelumnya telah mengantar Ify dan Sivia yang arah rumahnya memang lebih dekat daripada Shilla. Jadilah, cowok itu menjelaskan kenapa dia tahu kalau Shilla mau kedua sohibnya diajak setiap Cakka ngajak Shilla main.

Cakka sih, cuma bilang; rata-rata cewek tipe Shilla, alias tipe pecinta sohib, pasti bakal melakukan hal yang kayak gitu. Bagi Cakka, itu lumrah-lumrah aja. Lagipula, Cakka juga nggak akan tertarik dengan Ify atau Sivia ‘kan? Kalau target yang sudah di ‘lock’-nya adalah Shilla, kenapa harus membuka kunci itu lagi? Cakka juga sudah membuang kuncinya jauh-jauh.

Shilla terkikik geli kalau melihat ekspresi Cakka soal ‘target’, ‘lock’ dan ‘kunci’. Kesannya Shilla adalah berlian mahal yang didapatkan Cakka dari lelang dengan penawaran super tinggi.

Pukul 7nya, sesuai dengan janji Mama akan mengajak Shilla shopping, Shilla langsung mempersiapkan diri di kamarnya. Shilla juga nggak pakai yang aneh-aneh untuk pergi keluar, apalagi hanya shopping dengan Mama. Shilla juga malas kalau pakai dress terus, sesekali dia ingin mencoba tampil kasual. Seperti pribadinya.

Shilla memakai jersey Manchester United kebanggannya—original bok!—dan celana pendek selutut berwarna hitam. Shilla juga hanya memakai sepatu kets semata kaki berwarna merah. Perpaduan warna yang cocok! Tak lupa, Shilla memakai jam tangan kesayangannya yang berwarna putih. Agak nabrak sedikit, sih, but no problem! Shilla tetap cantik apa adanya.

Oh ya, Shilla juga nggak lupa untuk bawa uang sendiri. Kali aja jiwa shopaholic-nya keluar kala melihat aksesoris cantik disana. Shilla nggak mau minta terus sama Mama. Gimana pun juga, Shilla orangnya bosenan. Sekali pakai, pasti bakal dibuang. Walau nggak semua aksesorisnya berakhir di tong sampah, sih…

Setelah terasa cukup, Shilla langsung turun ke bawah. Ternyata Mama sudah menunggu di mobil. Beliau meng-klakson dari luar, memberi tanda bahwa Beliau sudah siap. Shilla langsung naik ke mobil, duduk di depan, pastinya. Kemudian Mama langsung tancap gas menuju Pondok Indah Mall.

Di PIM, Shilla memutuskan untuk berpisah dengan Mama. Selesai shopping, secara nggak sengaja atau memang ‘sengaja’, ternyata Mama bertemu dengan client-nya. Mama adalah seorang manager di salah satu perusahaan ternama di Jakarta, juga merangkap sebagai perancang busana. Sebetulnya, merancang busana adalah hobby Mama.

Pekerjaan itu awalnya hanya iseng-iseng. Ditengah kesibukan Mama yang kian padat, Mama selalu mendapat inspirasi mengenai busana-busana yang indah. Entah itu dress selutut, gaun, atau wedding dress. Mama bisa semua. Tergantung inspirasi dan idenya bekerja. Tapi lambat laun, akhirnya Mama mulai sedikit serius ke bidang itu. Jadilah Mama membuka butik di daerah Jakarta Selatan.

Mama juga makin lama makin terkenal. Rancangan Mama banyak dipamerkan, butik Mama pun kini bercabang hingga ke daerah Jabodetabek. Ya… makanya Mama semakin sibuk. Dan kesempatan untuk menjalani hari bersama Shilla jadi berkurang. Makanya, sewaktu Mama mengajak Shilla shopping, Shilla langsung meng-iyakan dengan antusias. Tapi ternyata, Shilla harus berakhir dengan jalan sendirian juga.

Karena terasa lapar, Shilla memutuskan untuk makan. Setelah makan, Shilla langsung menuju ke tempat dia biasa membeli aksesoris. Siapa tahu saja bisa membunuh kebosanannya. Biasanya, Mama akan selalu lama jika bertemu client. Pernah Shilla diajak Mama bertemu client di restoran. Shilla hampir saja mati kebosanan menunggu percakapan yang dia sama sekali nggak ngerti selama 3 jam.

Dari situlah Shilla kapok. Dia nggak ingin lagi tahu-menahu tentang apa yang Mama bicarakan dengan client-nya.

Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Shilla baru saja membeli topi Arale berwarna pink dengan sayap. Lucu. Shilla suka kartun Arale. Shilla juga membeli earphone bergambar Stitch. Tuh kan, coba kalau Shilla nggak bawa uang. Dia cuma bisa ngiler-ngiler dari luar etalase kaca.

Shilla merasakan ponselnya berdering. Nada dering yang Shilla sukai banget, yaitu lagunya abang Bieber; One Love. Sejak Cakka mengajaknya ke taman bunga seminggu yang lalu, Shilla jadi suka banget lagu itu. Shilla juga baru mengangkat telepon Mama setelah lebih dari 7 detik. Ingin mendengarkan lagu itu lebih lama, tapi urung, takut Mama ngomel nantinya.

“Shil, ayo pulang. Mama di depan resto yang tadi, ya.,” kata Mama cepat. Tanpa menunggu balasan dari Shilla, Mama sudah me-reject panggilan tersebut. Shilla menghela napas pelan, lalu beranjak ke restaurant. Tempat berpisahnya Shilla dengan Mama tadi.

Di depan resto, Mama terlihat kerepotan dengan troli yang dibawanya. Tanpa aba-aba, Shilla langsung memasukkan barang-barangnya ke dalam troli dan mendorong troli tersebut menuju escalator khusus troli dan juga langsung menuju basement. Mama memang selalu memarkirkan mobilnya di basement.

Tiba-tiba tangan Mama menyetop gerakan Shilla. Shilla menatap Mama heran.

“Shill, itu bukannya temen kamu, ya?” tanya Mama antusias. Shilla mengedarkan pandangannya ke kanan dan kiri. Temen yang mana, ya?

“Dimana, Ma? Temen siapa?” Mama menunjuk-nunjuk ke arah jam 9 dari Shilla. Tepat di depan sebuah toko jam tangan. Mata Shilla membulat.

Sial! Sial seribu kali sial! Diantara teman-temannya yang banyak, kenapa harus bertemu DIA!?!!!! Shilla berulang kali merutuk. Merutuki kesialannya. Merutuki, kenapa Mama harus hapal dengan wajah oriental cowok itu. Cowok brengsek itu! Padahal cowok itu hanya beberapa kali ke rumah untuk sekedar menjemput Shilla, atau ngajak jalan.

Dewa sial benar-benar sedang jatuh cinta pada Shilla, sepertinya.

“Siapa namanya, Shill? Al-Al…” ALVIN! SI BRENGSEK ALVIN! Maki Shilla dalam hati. Tentu aja dia nggak menyuarakan makiannya itu.

“Apaan, sih, Ma. Itu bukan temen Shilla! Udah ayo pulang, ah. Itu cuma mirip doang!” tukas Shilla sambil menarik lengan Mama. Tapi sebelum Shilla berhasil menarik Mama ke eskalator—yang jaraknya tinggal 2 meter lagi—mendadak Mama memanggil Alvin.

“ALVIN!” teriak Mama keras. Shilla terhenti, bahunya menegang. Mama kurangajar! Maki Shilla lagi, dalam hati pastinya.

“Mama apaansih! Malu-maluin, ah!” kata Shilla ngotot tetap mau narik Mama turun menuju basement. Tapi ternyata Alvin sudah berada di dekatnya. Menggandeng seorang cewek! Pasti pacar barunya!

DASAR MUKA DUA! MUKA TEMBOK! CICAK! KODOK! BRENGSEK! Maki Shilla dalam hati—untuk yang kesekian kalinya—ketika melihat Alvin melingkarkan tangannya di pundak cewek itu. Shilla menggeram marah, tapi nggak bisa berbuat apa-apa. Mama juga nggak tahu-menahu tentang masalah Shilla dengan cowok di depannya ini.

“Halo, Tante. Halo, Shilla.,” sapanya ramah. Shilla mendecih, dia paling muak bertatap muka dengan Alvin. “Habis belanja, ya?” tanya Alvin dengan senyum ramah. Mama juga ikut meleleh kalo disenyumin begitu sama Alvin, mah.

“Iya, nih,” jawab Mama ramah. Shilla tetap membuang muka. Malas mendengarkan tawa ramah dari ketiganya—Mama, Alvin dan cewek disebelahnya—. Mereka bertiga layaknya kawan lama yang nggak pernah ketemu, deh. Padahal, kenal juga enggak.

“Oh ya, Vin. Tante boleh minta nomer kamu, nggak? Biasanya ‘kan, Shilla suka main sama kamu, takut ada apa-apa sama Shilla, Tante bisa minta tolong sama kamu ‘kan?” tanya Mama sambil mengeluarkan ponselnya. Shilla melotot tajam. Dia menyikut pelan lengan Mama.

“Mama apaansih! Kan ada Ify sama Sivia! Lagian aku nggak sering main sama dia, kok! Sekolahnya aja beda!” tukas Shilla keras. Tanda dia sudah benar-benar kesal.

“Shilla, sayang… Ify sama Sivia itu ‘kan perempuan. Kalau kamu diculik, atau dirampok, emang mereka bisa ngelindungin kamu?” ih! Mama ini suka ada-ada aja perumpaannya! Kalo Shilla beneran diculik gimana?!

“Mama kok doanya jelek, sih!” sunggut Shilla lagi. Dia sudah benar-benar mau pulang. Sedangkan Alvin masih tetap senyam-senyum. Merasa menang karena ternyata Mama ‘suka’ dengan cowok itu.

“Mama nggak doain kamu begitu. Tapi takutnya aja, Shill.,” kata Mama pelan. Shilla pasrah. TERSERAH! Tanpa aba-aba, Shilla langsung turun ke eskalator sambil mendorong trolinya, menuju basement. Sebelumnya dia juga menghentak-hentakkan kakinya kesal.

Mama membiarkan Shilla. Beliau tetap minta nomor telepon Alvin. Awalnya Alvin juga kaget. Ada angin darimana tiba-tiba Mamanya Shilla ini mau tahu nomor teleponnya. Tapi setelah mendengar argumen dari Ibu dan Anak tadi, Alvin langsung sumringah. Dengan hati gembira dia menyebutkan nomor teleponnya pada Mama.

Nggak berapa lama, Mama sudah ada di basement. Shilla sudah kesal setengah mati dengan hari ini. Perasaan baru beberapa jam yang lalu dia sedikit merasakan kesenangan. Merasa melayang-layang karena penuturan Cakka. Tapi sekarang? Shilla bagai dihinggapi ratusan tawon di lumpur!

Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah bertemu Alvin, Mama yang minta nomor Alvin, terus sekarang dia juga harus merasakan hawa panas basement. Sial! Seribu kali sial! Shilla bahkan bertekad untuk nggak ngomong sama Mama selama perjalanan pulang. Dia juga nggak akan bantuin Mama untuk beresin belanjaan. Dia mau langsung ngerem di kamar tanpa makan malam! Bodo amat.

Masalah lapar, biarin aja. Nanti malam, pas Mama sudah tidur, dia bisa turun ke bawah dengan mengendap-endap, lalu mengambil makanan. Mama nggak akan tahu, ya ‘kan?

“Mama seneng deh, sama Alvin.,” nah kan! Topik yang paling ingin Shilla hindari. Inilah sebabnya kalau Shilla nggak menceritakan perihal jadiannya dia sama Alvin, perihal sakit hatinya, dan banyak lagi. Mama jadi seenaknya meracau.

Sepanjang jalan Mama terus-menerus memuji Alvin. Bilang kalau Alvin adalah tipe cowok yang tampan, ganteng, berkharisma, baik, bertanggungjawab, dan banyak lagi. Cocok buat Shilla. WHAT?! Mama nggak salah ngomong, tuh? Shilla sendiri juga cuma berdehem-dehem nggak jelas. Dia kelewat kesal. Rasanya mau marah dengan semua penuturan Mama.

Sedangkan Mama? Malah mengusulkan Shilla jadian dengan Alvin. Mama bilang akan mendukung seribu persen hubungan keduanya.

Shilla geram. Mau ngamuk! Rasanya REM dari death note mau keluar dari tubuhnya, bersiap untuk membantai siapa saja! Kecuali Mama. Yaaa… walaupun Mama adalah biang keroknya—nahloh—tapi tetap aja Shilla butuh Mama.

Sampai di rumah, Shilla benar-benar ngamuk. Dia benar-benar menjalankan idenya tadi. Mama juga nggak menghiraukan. Mama tahu Shilla ngambek. Dan Mama tahu Shilla bakal keluar kalo Mama sudah masuk kamar. Mama emang paling tahu, ‘kan?

***

Rite guys.. ini part 4nya. Hope u enjoy. comment aja so i can fix it oke:) follow me @Lysaafeb or add Lysa Keyness Hutcherson . Thank u :) 

Next Part --> 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS