Bel pulang
sekolah berbunyi. Sementara Shilla dan Rio bagaikan kubu yang berpura-pura
berbaikan, layaknya Indonesia dengan Malaysia. Padahal sebenarnya mereka tidak
menjalani hubungan persahabatan yang baik.
Ify sendiri
masih bingung menyaksikan semuanya. Shilla, ada apa dengannya. Pikiran dan
kecaman tadi membuat Ify bingung sendiri. susah untuk tidak diambil pusing.
Masalahnya, Ify
sudah tahu semua kelakuan Shilla. Selama satu angkatan dengannya, di kelas XI
ini, Ify memang paling getol mencari-cari informasi tentang Shilla. Dan yang
paling nyangkut di otaknya cuma satu, cewek itu kalo marah kejam banget.
Yang terparah
sih, menurut Ify nih, diasingin. Makanya Ify ribet banget mikirin bagaimana
caranya Shilla bisa memaafkan dia, dengan dia sendiri nggak tahu pasti akar
masalahnya.
Hari ini Ify
tidak dijemput Mang Ubay. Gantinya, dia naik taksi. Ray juga tidak bersamanya,
karena terpaksa ikut ekskul basket yang lagi rajin diikutinya.
Setelah sampai
di rumah, seperti biasa. Selalu hening. Hanya ada pelayan-pelayan yang
berkeliaran di sekeliling rumah. Membersihkan keramik-keramik dan berbagai
macam hiasan di ruang tamu, yang memang cepat kotor dan dipenuhi sarang
laba-laba itu.
“Non.. tadi
Nyonya dan Tuan besar pulang. Mereka sudah menyiapkan semua untuk Non.
Aksesori, kostum, semua sudah ada di kamar Non.” Ify menghela nafas berat, tapi
hanya manggut-manggut mengerti.
“Mama bilang apa
lagi?”
“Nyonya cuma
bilang, Non harus ikut nyiapin hotelnya aja. Nanti jam 4 sore. Tepat setelah
makan siang di paviliun dekat taman,” jelas Bi Okky sambil sedikit membungkuk.
Ify langsung menuju kamarnya.
Ify tidak mood
ke kamarnya. Seperti biasa, ia mengurung diri di kamar rahasianya. Meraih
boneka snoopy yang telah dijaganya bertahun-tahun itu.
“Abi… aku butuh
kamu, Bi. Kamu dimana?” gumam Ify sambil menatap boneka snoopy tersebut.
“Besok aku ulang
tahun Bi. Aku harap kamu dateng,” gumam Ify lagi. “Buat aku…”
Ify tahu,
bergumam seperti itu tidak ada gunanya. Abi, teman kecilnya, tidak akan
mendengarnya. Walau mungkin angin telah membawa pesan gumaman Ify tadi.
Besok adalah
hari terbesar Ify. Sweet seventeen, harus berjalan dengan manis. Tanpa gangguan
sedikit pun. Titik.
Apa-apa yang
telah dipersiapkan mungkin memang terlalu cepat. Persiapannya memang sekitar 2
minggu lebih. Tapi segalanya disiapkan hanya dalam 1 hari.
Ify melangkah ke
dalam kamarnya. Melihat gaun yang ter-setrika rapi dan selicin mungkin di atas
tempat tidurnya. Warnanya sangat amat Ify suka, merah berpadu dengan hitam.
Disamping itu,
ada juga aksesori yang tidak begitu girly disana. Mulai dari gelang, kalung,
tiara, sampai anting-anting berbentuk matahari. Ify tersenyum senang. Semoga
tidak ada yang aneh-aneh terjadi besok.
Ify melirik
sekeliling, menatapi kamarnya yang sekarang dipenuhi oleh berbagai macam bunga.
17 macam bunga terjejer rapi disana. Mulai dari Anggrek sampai Matahari.
Senyum kembali
mengembang dari bibir mungil Ify. Rencananya, hari ini Ify bakal ganti karet
behel. Warna atas merah dan warna bawah hitam. Sama seperti warna gaunnya
nanti.
Masih pukul 3
kurang lima belas menit di jam dinding kamar Ify. Berarti masih ada waktu
beberapa menit lagi hingga pukul setengah 4 nanti. Acara makan rutin yang
selalu dilaksanakan setiap minggu.
Orang tua Ify
merupakan salah satu bagian orang tua sibuk dunia. Mereka berpindah dari satu
Negara ke Negara lain. Atau satu benua ke benua lain. Maka dari itu, Ify tak
ingin melewatkan kesempatan ini.
Kali ini acara
makan siang –yang dilaksanakan pada sore hari- itu, dilangsungkan di paviliun
rumah Ify yang berada dekat taman. Perlu diketahui, rumah Ify mempunyai 5
paviliun di sekitar rumahnya.
“Online twitter
dulu deh,” gumam Ify lalu mengambil laptop-nya dari laci.
Ify mulai
menggerakan kursor naik turun, memainkan jari-jarinya diatas keyboard untuk
membalas beberapa mention dari teman-temannya. Atau sekedar mengganti avatar.
Muncul satu
tweet baru di timeline Ify,
zahradmrv
twitter baru si jutek @/ashillazhrt ? :O
Ify terkesiap.
Ia segera men-search twitter user name Shilla. Dilihatnya baik-baik. Avatarnya
memang benar Shilla, bionya hanya “Flotet International School XI IPA 3”.
Masih belum
yakin sebenarnya, karena user twitter tersebut belum meng-update apapun. Bukan
karena Shilla gaptek loh. Nilai IT Shilla itu melebihi kapasitas guru-guru yang
udah jago.
Shilla juga bisa
membuat antvir. Tapi sengaja tidak ia jual. Antvir itu juga berkapasitas
tinggi, multiguna dan sangat mutakhir. Bahkan, Shilla bisa menyadap jaringan
internet mana pun.
Jadi
satu-satunya alasan adalah, Shilla masih tidak peduli. Sebenarnya followersnya
juga sudah banyak. Mungkin satu sekolah memfollownya. Waktu di search juga
sudah banyak yang mention dia.
Ify me-retweet
tweet Zahra tadi.
Ifyalyssa tau drimna
zah? RT @zahradmrv : twitter baru si jutek @/ashillazhrt ? :O
Tak lama, muncul
satu mention lagi. Bukan dari Zahra, tapi dari Obiet.
ObietIPA3
@Ifyalyssa neng.. kpn mau ngerjain b. ing ?
Ifyalyssa Ntr gw
kontak lw smua deh .. mslhny tu si jutek:/ RT @ObietIPA3 : @Ifyawn neng.. kpn
mau ngerjain b. ing ?
melihat itu, Ify
langsung membuka facebook-nya. Kemudian men-search email yahoo tersebut.
Ditemukanlah, facebook milik Shilla. Ify segera mengklik ‘add as friend’
kemudian sign out dan men-shut down laptopnya.
Ify melirik
sedikit jam beker di dekat latopnya, pukul setengah 4 pas! Ify buru-buru
mengganti bajunya –yang memang belum berganti dari seragam-, kemudian segera
berlari turun ke bawah menuju paviliun dekat taman.
Sampai disana,
Ify tercengang. Belum ada siapa pun, ataukah dia tertinggal? Ify menggeleng, nggak
mungkin. Karena baru pukul setengah 4 pas. Itu pun karena di kamar Ify semua
jam dipercepat 3 menit.
Tak lama, Bi
Okky menghampiri dengan tergopoh. Lalu membenarkan celemek yang tergantung di
bahunya. Ify menoleh, Bi Okky nampak serius.
“Non, Tuan dan
Nyonya sudah berangkat lagi. Mereka bilang ada urusan mendadak.” ucap Bi Okky
sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah.
Ify tertegun.
Bagaimana ulang tahunnya besok ?
***
Shilla menatapi
ruas jalan di depannya dengan seksama. Sesekali menghela napas panjang. Dalam
kurun waktu 2 menit, Shilla menarik napas panjang lalu menghembuskannya
kuat-kuat.
Cinta. Kenapa
sih harus ada cinta? Gerutu Shilla dalam hati. Hal ini membuatnya nelangsa. Ya
Allah… Shilla berucap.
Ia menutupi
wajahnya dengan kedua tangan. Menyandarkan tubuhnya ke belakang, tepat menempel
ke tembok rumahnya. Ia memang sedang berada di depan rumahnya, tepat di depan
gerbang rumahnya.
Shilla masih
bimbang, akankah semua ini… berjalan lancer? Haruskah ia melakukannya? Karena
apa? Cinta?
Shilla tertawa
sarkatis. Miris. Ia menertawakan dirinya sendiri. sebegitukah cinta
menghipnotisnya? Shilla sampai tidak bisa memikirkan bagaimana selanjutnya.
Lusa nanti.
Dalam nada baris
yang sama, seorang pemuda tersenyum tipis melihatnya. Lalu dengan cepat
menghampiri. Ia membungkuk dihadapan Shilla, lalu mengulurkan tangannya. Masih
dalam tatapan lembutnya, dan senyuman tipisnya yang begitu memukau.
Shilla
melebarkan mata, mendapati siapa yang ada di depannya. Penyakit agnosia
tiba-tiba menyerangnya serentak.
“Saya mau ajak
kamu jalan-jalan. Sepertinya kamu lagi banyak masalah,” ucapnya sopan. Shilla
tertegun, ada apa ini? Dunia semakin gila.
Pemuda itu
mengangkat kedua alisnya, membuat Shilla mau tak mau menerima uluran tangan
tersebut. Mereka berdua berjalan beriringan, menuju suatu tempat di dekat
komplek sana.
“Ini kedai kopi.
Saya sebetulnya nggak begitu suka kopi, apalagi semacam Capuccino begitu. Tapi
sepertinya pemandangan disini bagus buat kamu.” Shilla kembali tertegun. Pemuda
ini duduk di dekat kaca bening, yang diluarnya langsung terlihat sebuah pantai.
“Lo siapa?”
tanya Shilla tanpa basa-basi. Terlihat wajah shock pemuda ini, Shilla langsung
menggelengkan kepalanya. “Bukan maksud gue gitu.. takut aja lo mau nyulik gue.
Mentang-mentang gue lagi kayak gini,”
Pemuda ini
tertawa, tapi tidak lama karena banyak mata tertuju padanya. “Kamu nggak inget,
siapa saya?” tanya pemuda ini kembali. Shilla menggeleng tertahan.
“Siapa? Nggak
kenal tuh..”
“Saya yang anter
kamu waktu kamu hampir ketabrak sama mobil saya,” Shilla kembali tertegun.
Mungkin waktu itu dirinya masih dalam keadaan shock berlebihan.
“Hah? Eh..
maksud gue tuh, nama lo siapa?” tanya Shilla berusaha tidak terlihat kaget.
“Saya Gabriel..
perlu dikasih tau umur dan sekolah saya?” Shilla mengangguk-aggukan kepala tak
acuh. Gabriel tersenyum. “Umur saya 19. Kuliah semester 4..”
Shilla kembali
tertegun. Ya Tuhan… cowok ini.. Shilla membatin. Gabriel tersenyum, mendapati
wajah pura-pura tak acuh di depannya ini. Shilla memandang keluar, menembus
kaca bening di sebelahnya.
Indah. Mengapa
harus ada tempat seperti ini? Bersama pemuda ini? Saat dirinya seperti ini?
Shilla bertanya dalam hati. Sudah cukup! Dirinya telah cukup dibebani pikiran.
“Kenapa?” tanya
Shilla masih memandang keluar. Tatapan muka yang masam, membuat Gabriel
menatapnya serius. “Kenapa lo baik sama gue? Kenapa lo ngajak gue kesini?”
“Dari pertama
saya ngeliat kamu, kayaknya kamu banyak dibebani pikiran. Ya, remaja sekarang
pasti tentang cinta. Saya liat kamu kayak lebih terpuruk dari orang yang abis
patah hati,” Gabriel tertawa pelan.
“Sok tau banget
sih lo!” tukas Shilla tajam. Gabriel tersenyum, lalu memesan secangkir kopi
kepada pelayan.
“Kamu tau nggak?
Saya kuliah bagian bisnis. Karena saya harus nerusin pekerjaan ayah saya di
Paris. Tapi saya juga pernah kuliah bagian psikolog satu semester.”
“Jadi? Lo bisa
tau, gitu? Nggak semua psikolog mampu baca karakter orang kali. Apalagi lo baru
satu semester kan?” lagi-lagi Gabriel tersenyum. Keras kepala, jahat, tertekan.
Itulah Shilla dipikiran Gabriel.
“Saya pernah
punya teman, dia seumuran kamu. Tapi sekarang dia berada di surga. Kamu tau?
Dia percaya banget sama saya, karena dia yakin saya bisa milih teman yang baik
buat dia.
“Tapi
kenyataannya? Dia berubah pikiran. Dia nggak percaya saya, karena dia lagi
tertekan. Dia pilih teman seenaknya. Sewaktu itu, saya udah nggak pernah
kontakan lagi sama dia.
“Akhirnya dia
dicelakain oleh temannya sendiri. mulai saat itu, saya memutuskan untuk nggak
jadi psikolog lagi. Selain karena dia, Ayah saya juga lebih menginginkan saya
belajar berbisnis. Ekonomi.” Shilla kembali tertegun.
Shilla merasakan
tenggorokannya tercekat. Tidak dapat berbicara apa pun lagi. Seakan kata-kata
Gabriel tadi merupakan senjata paling ampuh untuk melumpuhkannya. Saat itu juga
pesanan kopi Gabriel datang.
Kopi hitam dan
sebungkus krim chocogranno. Shilla menghela nafas pelan, lalu melihat kembali
ke arah pantai. Sementara Gabriel sibuk mengaduk kopinya, tetapi belum
memasukan krim chocogranno-nya.
“Gue pernah
punya temen.. waktu sd. Tapi dia ninggalin gue setelah kelulusan. Dia bilang
sih ke Paris, gue nggak tau. Sampe disitu, gue mutusin buat nggak punya temen
lagi..” Gabriel terhenti, tercekat. Tapi kembali menetralkan perasaannya.
“Kamu tau?
Kehidupan itu bagaikan roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang diatas. Tapi
dalam menjalani hidup, itu kayak kopi. Kadang pahit, tapi kalo kita sabar
nunggu, pasti jadi manis.
“Kayak kopi saya
ini. Kalo saya kasih chocogranno diatasnya, jadi manis. Kalo di kehidupan, sama
aja move on. Move on untuk melupakan dia, untuk belajar menganggap bahwa dia
adalah masa lalu.
“Buat apa
menunggu yang lama, jika ada seseorang yang lebih baik di masa depan? Justru
dengan menunggu lama kelamaan, ampas kopi dibawah akan selalu mengendap. Saat
kamu udah menghabiskan yang atas, itu terasa hambar.
“Dan ketika
sampai di bawah, kamu merasakan pahit itu. Jadi… kamu harus tambahkan
chocogranno ini, sesuatu baru. Memberikan rasa manis, dan kamu nggak harus
nunggu sampe ampas kopinya turun.
“Karena sebanyak
apa pun ampas kopi tersebut, kalo kamu menambahkannya dengan kemanisan, pasti
akan terasa manis. Makanya… belajar untuk menghargai masa depan.”
Shilla
termenung, mencerna kata-kata Gabriel yang begitu bijaksana. Meski ada sedikit
kata yang belum dicernanya, karena terlalu terpukau dengan cara Gabriel
menjelaskan, tetapi Shilla tetap mengerti.
Gabriel meminum
kopinya, yang telah ia tambahkan dengan chocogranno diatasnya. Kemudian
menawarkannya pada Shilla. Ia menggeleng, lalu semakin tercekat lagi.
“Kita udah
ngobrol panjang lebar gini, tapi kayaknya lo belum tau nama gue ya, kak?” tanya
Shilla sedikit melunak. Gabriel mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi.
“Yap! Akhirnya
kamu sadar juga..”
“Gue Shilla.
Ashilla Zahrantiara. Mmm… gue sekolah di Flotet International School.” Gabriel
mengangguk-anggukan kepalanya.
Bias-bias warna
oranye di langit, membuat keduanya menoleh. Memandangi sunset di ujung air laut
disana. Matahari mulai tenggelam. Semburat-semburat jingga disana, membuat keduanya
terdiam diimbangi keterpukauan.
Shilla tersadar.
Sudah sore sekarang. Gabriel tampaknya mengerti. Mereka pun pulang bersama,
setelah Gabriel membayar pesanan kopinya. Sampai di rumah, Shilla lebih
tertekan lagi.
Move on dari
bertahun-tahun lalu itu susah loh. Apalagi… tidak ada objek lain.
***
Rio memasuki
kamar Alvin tanpa se-izin sang empunya kamar. Tadinya, Rio hanya ingin
mengambil 4 kertas HVS di laci Alvin. Karena persediaan pemuda yang satu itu
selalu banyak.
Rio mencari-cari,
membuka setiap laci. Tapi nihil, kertas tersebut tidak ditemukan. Masih sibuk
mencari, sampai Rio tidak menyadari tugasnya yang terbengkalai di komputer
kamarnya. Sudah jam 9 malam.
“Mana sih? Kok
nggak ada? Biasanya tu anak banyak banget persediaannya.” gerutu Rio masih
sibuk mencari. Hingga ke kolong meja belajar Alvin.
Satu tempat yang
belum disinggahi Rio. Laci kanan di samping tempat tidur Alvin. Tanpa
basa-basi, karena tugas tersebut harus dikumpulkan besok, Rio melangkah kesana.
Rio menoleh
sekilas, mendapati kotak berukuran sedang tertata rapi diatas kanvas milik
Alvin. Perlahan-lahan diraihnya kotak tersebut. Kotak jingga dengan lukisan
sunset diatasnya begitu menarik perhatian Rio.
Ia membuka kotak
tersebut perlahan. Tapi kemudian Rio terhenti, lalu segera menoleh ke arah
pintu. Takut-takut Alvin sudah datang. Setelah dirasakan cukup aman, barulah
Rio membukanya.
Bandana –yang
sepertinya khusus untuk dipakai di leher- berwarna merah marun terbentang
begitu saja. Sengaja tidak diikatkan ke satu sisinya. Rio mengambilnya
perlahan.
“Gue baru tau
Alvin…”
“Ngapain lo
disana, Yo?” tanya Alvin tajam, meski nadanya tetap cool. Rio tersentak.
Buru-buru dikembalikannya kotak jingga tersebut ke tempat asalnya.
“Sori Vin.
Gue..”
“Keluar dari
kamar gue..” ucap Alvin dingin. Rio tetap mematung di tempatnya, merasa tak
enak dengan Alvin. “SEKARANG!!”
Mendengar Alvin
membentak, karena sepertinya sudah sangat marah, Rio segera berjalan keluar
kamar Alvin. Rio juga sudah tahu, jika Alvin marah, urusannya bisa panjang.
Bukan karena Alvin manja, tapi karena Alvin harus mentoleransi.
Rio memasuki
kamarnya. Gara-gara kejadian tadi, tugasnya jadi makin terbengakalai. Rio masih
sibuk memikirkan keponakannya tersebut. Mengapa Alvin tak pernah bercerita
tentang ini?
Rio tahu, dia
memang keponakan tiri Alvin. Mereka juga berbeda marga. Karena salah satu
saudara Alvin, menikah dengan kakak Rio saja. Jadi mereka bisa bersatu layaknya
keluarga.
Tapi Rio tidak
yakin. Pemuda se-ceria Alvin, meski kadang dia cuek, mempunyai kenangan yang
tak di duga sebelumnya. Baru satu benda saja, Rio sudah dibentak begitu. Tidak
pandang bahwa Rio keponakannya.
Rio berdecak
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Semilir angin malam menusuk kulit di
balkon kamarnya. “Gue nggak nyangka,” sesaat Rio terdiam. Meresapi keheningan
dan semilir angin malam.
Sementara Rio
masih sibuk memikirkan kenangan apa yang sebenarnya terjadi di kehidupan Alvin,
hingga ia tak pandang bulu membentak siapa pun yang mendekati kotak jingga
tadi. Pemilik kenangan tersebut terdiam ditelan ketersimaan.
Alvin mematung
di tempatnya. Tak sedikit pun bergerak. Rahangnya perlahan-lahan mengeras,
tangannya tanpa sadar mengepal. Gigi geraham atas dan bawah yang saling mengadu
menimbulkan bunyi gemeretak.
Bener-benar
tidak dapat dipercaya, pikir Alvin. Bahkan dirinya sendiri belum sempat membuka
kembali kenangan tersebut, setelah sekian lamanya. Tapi Rio? Yang bahkan tidak
tahu apa maknanya, sudah membuka terlebih dahulu.
Belum saatnya.
Belum saatnya Alvin membuka kembali luka lamanya. Luka yang telah lama
mengering, kemudian disiram kembali, lalu mengering kembali. Kini Alvin harus
menelan perih.
“Gue... ka..”
Alvin terdiam.
Tidak melanjutkan kata-katanya. Percuma, pikirnya lagi. Beribu kata yang sama
telah diucapkan, dan tak ada hasil apapun. Masih sama. Sang pemberi luka itu
belum menghapus apa yang diberinya.
Alvin, Rio,
kedua pemuda yang saling bersaudara tersebut terdiam ditelan ketersimaan satu
sama lain. Bukan saling salah menyalahkan. Namun mencari apa yang dicari.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar