Permintaan Takdir -Part 8-

Jumat, 09 Desember 2011


Bel pulang sekolah berbunyi. Sementara Shilla dan Rio bagaikan kubu yang berpura-pura berbaikan, layaknya Indonesia dengan Malaysia. Padahal sebenarnya mereka tidak menjalani hubungan persahabatan yang baik.

Ify sendiri masih bingung menyaksikan semuanya. Shilla, ada apa dengannya. Pikiran dan kecaman tadi membuat Ify bingung sendiri. susah untuk tidak diambil pusing.

Masalahnya, Ify sudah tahu semua kelakuan Shilla. Selama satu angkatan dengannya, di kelas XI ini, Ify memang paling getol mencari-cari informasi tentang Shilla. Dan yang paling nyangkut di otaknya cuma satu, cewek itu kalo marah kejam banget.

Yang terparah sih, menurut Ify nih, diasingin. Makanya Ify ribet banget mikirin bagaimana caranya Shilla bisa memaafkan dia, dengan dia sendiri nggak tahu pasti akar masalahnya.

Hari ini Ify tidak dijemput Mang Ubay. Gantinya, dia naik taksi. Ray juga tidak bersamanya, karena terpaksa ikut ekskul basket yang lagi rajin diikutinya.

Setelah sampai di rumah, seperti biasa. Selalu hening. Hanya ada pelayan-pelayan yang berkeliaran di sekeliling rumah. Membersihkan keramik-keramik dan berbagai macam hiasan di ruang tamu, yang memang cepat kotor dan dipenuhi sarang laba-laba itu.

“Non.. tadi Nyonya dan Tuan besar pulang. Mereka sudah menyiapkan semua untuk Non. Aksesori, kostum, semua sudah ada di kamar Non.” Ify menghela nafas berat, tapi hanya manggut-manggut mengerti.

“Mama bilang apa lagi?”

“Nyonya cuma bilang, Non harus ikut nyiapin hotelnya aja. Nanti jam 4 sore. Tepat setelah makan siang di paviliun dekat taman,” jelas Bi Okky sambil sedikit membungkuk. Ify langsung menuju kamarnya.

Ify tidak mood ke kamarnya. Seperti biasa, ia mengurung diri di kamar rahasianya. Meraih boneka snoopy yang telah dijaganya bertahun-tahun itu.

“Abi… aku butuh kamu, Bi. Kamu dimana?” gumam Ify sambil menatap boneka snoopy tersebut.

“Besok aku ulang tahun Bi. Aku harap kamu dateng,” gumam Ify lagi. “Buat aku…”

Ify tahu, bergumam seperti itu tidak ada gunanya. Abi, teman kecilnya, tidak akan mendengarnya. Walau mungkin angin telah membawa pesan gumaman Ify tadi.

Besok adalah hari terbesar Ify. Sweet seventeen, harus berjalan dengan manis. Tanpa gangguan sedikit pun. Titik.

Apa-apa yang telah dipersiapkan mungkin memang terlalu cepat. Persiapannya memang sekitar 2 minggu lebih. Tapi segalanya disiapkan hanya dalam 1 hari.

Ify melangkah ke dalam kamarnya. Melihat gaun yang ter-setrika rapi dan selicin mungkin di atas tempat tidurnya. Warnanya sangat amat Ify suka, merah berpadu dengan hitam.

Disamping itu, ada juga aksesori yang tidak begitu girly disana. Mulai dari gelang, kalung, tiara, sampai anting-anting berbentuk matahari. Ify tersenyum senang. Semoga tidak ada yang aneh-aneh terjadi besok.

Ify melirik sekeliling, menatapi kamarnya yang sekarang dipenuhi oleh berbagai macam bunga. 17 macam bunga terjejer rapi disana. Mulai dari Anggrek sampai Matahari.

Senyum kembali mengembang dari bibir mungil Ify. Rencananya, hari ini Ify bakal ganti karet behel. Warna atas merah dan warna bawah hitam. Sama seperti warna gaunnya nanti.

Masih pukul 3 kurang lima belas menit di jam dinding kamar Ify. Berarti masih ada waktu beberapa menit lagi hingga pukul setengah 4 nanti. Acara makan rutin yang selalu dilaksanakan setiap minggu.

Orang tua Ify merupakan salah satu bagian orang tua sibuk dunia. Mereka berpindah dari satu Negara ke Negara lain. Atau satu benua ke benua lain. Maka dari itu, Ify tak ingin melewatkan kesempatan ini.

Kali ini acara makan siang –yang dilaksanakan pada sore hari- itu, dilangsungkan di paviliun rumah Ify yang berada dekat taman. Perlu diketahui, rumah Ify mempunyai 5 paviliun di sekitar rumahnya.

“Online twitter dulu deh,” gumam Ify lalu mengambil laptop-nya dari laci.

Ify mulai menggerakan kursor naik turun, memainkan jari-jarinya diatas keyboard untuk membalas beberapa mention dari teman-temannya. Atau sekedar mengganti avatar.

Muncul satu tweet baru di timeline Ify,
zahradmrv twitter baru si jutek @/ashillazhrt ? :O

Ify terkesiap. Ia segera men-search twitter user name Shilla. Dilihatnya baik-baik. Avatarnya memang benar Shilla, bionya hanya “Flotet International School XI IPA 3”.

Masih belum yakin sebenarnya, karena user twitter tersebut belum meng-update apapun. Bukan karena Shilla gaptek loh. Nilai IT Shilla itu melebihi kapasitas guru-guru yang udah jago.

Shilla juga bisa membuat antvir. Tapi sengaja tidak ia jual. Antvir itu juga berkapasitas tinggi, multiguna dan sangat mutakhir. Bahkan, Shilla bisa menyadap jaringan internet mana pun.

Jadi satu-satunya alasan adalah, Shilla masih tidak peduli. Sebenarnya followersnya juga sudah banyak. Mungkin satu sekolah memfollownya. Waktu di search juga sudah banyak yang mention dia.

Ify me-retweet tweet Zahra tadi.

Ifyalyssa tau drimna zah? RT @zahradmrv : twitter baru si jutek @/ashillazhrt ? :O

Tak lama, muncul satu mention lagi. Bukan dari Zahra, tapi dari Obiet.
ObietIPA3 @Ifyalyssa neng.. kpn mau ngerjain b. ing ?

Ifyalyssa Ntr gw kontak lw smua deh .. mslhny tu si jutek:/ RT @ObietIPA3 : @Ifyawn neng.. kpn mau ngerjain b. ing ?

zahradmrv dy nyantumn d fbny.. (shiver_wanted@yahoo.com) RT @Ifyalyssa : tau drimna zah ?

melihat itu, Ify langsung membuka facebook-nya. Kemudian men-search email yahoo tersebut. Ditemukanlah, facebook milik Shilla. Ify segera mengklik ‘add as friend’ kemudian sign out dan men-shut down laptopnya.

Ify melirik sedikit jam beker di dekat latopnya, pukul setengah 4 pas! Ify buru-buru mengganti bajunya –yang memang belum berganti dari seragam-, kemudian segera berlari turun ke bawah menuju paviliun dekat taman.

Sampai disana, Ify tercengang. Belum ada siapa pun, ataukah dia tertinggal? Ify menggeleng, nggak mungkin. Karena baru pukul setengah 4 pas. Itu pun karena di kamar Ify semua jam dipercepat 3 menit.

Tak lama, Bi Okky menghampiri dengan tergopoh. Lalu membenarkan celemek yang tergantung di bahunya. Ify menoleh, Bi Okky nampak serius.

“Non, Tuan dan Nyonya sudah berangkat lagi. Mereka bilang ada urusan mendadak.” ucap Bi Okky sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah.

Ify tertegun. Bagaimana ulang tahunnya besok ?

***

Shilla menatapi ruas jalan di depannya dengan seksama. Sesekali menghela napas panjang. Dalam kurun waktu 2 menit, Shilla menarik napas panjang lalu menghembuskannya kuat-kuat.

Cinta. Kenapa sih harus ada cinta? Gerutu Shilla dalam hati. Hal ini membuatnya nelangsa. Ya Allah… Shilla berucap.

Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Menyandarkan tubuhnya ke belakang, tepat menempel ke tembok rumahnya. Ia memang sedang berada di depan rumahnya, tepat di depan gerbang rumahnya.

Shilla masih bimbang, akankah semua ini… berjalan lancer? Haruskah ia melakukannya? Karena apa? Cinta?

Shilla tertawa sarkatis. Miris. Ia menertawakan dirinya sendiri. sebegitukah cinta menghipnotisnya? Shilla sampai tidak bisa memikirkan bagaimana selanjutnya. Lusa nanti.

Dalam nada baris yang sama, seorang pemuda tersenyum tipis melihatnya. Lalu dengan cepat menghampiri. Ia membungkuk dihadapan Shilla, lalu mengulurkan tangannya. Masih dalam tatapan lembutnya, dan senyuman tipisnya yang begitu memukau.

Shilla melebarkan mata, mendapati siapa yang ada di depannya. Penyakit agnosia tiba-tiba menyerangnya serentak.

“Saya mau ajak kamu jalan-jalan. Sepertinya kamu lagi banyak masalah,” ucapnya sopan. Shilla tertegun, ada apa ini? Dunia semakin gila.

Pemuda itu mengangkat kedua alisnya, membuat Shilla mau tak mau menerima uluran tangan tersebut. Mereka berdua berjalan beriringan, menuju suatu tempat di dekat komplek sana.

“Ini kedai kopi. Saya sebetulnya nggak begitu suka kopi, apalagi semacam Capuccino begitu. Tapi sepertinya pemandangan disini bagus buat kamu.” Shilla kembali tertegun. Pemuda ini duduk di dekat kaca bening, yang diluarnya langsung terlihat sebuah pantai.

“Lo siapa?” tanya Shilla tanpa basa-basi. Terlihat wajah shock pemuda ini, Shilla langsung menggelengkan kepalanya. “Bukan maksud gue gitu.. takut aja lo mau nyulik gue. Mentang-mentang gue lagi kayak gini,”

Pemuda ini tertawa, tapi tidak lama karena banyak mata tertuju padanya. “Kamu nggak inget, siapa saya?” tanya pemuda ini kembali. Shilla menggeleng tertahan.

“Siapa? Nggak kenal tuh..”

“Saya yang anter kamu waktu kamu hampir ketabrak sama mobil saya,” Shilla kembali tertegun. Mungkin waktu itu dirinya masih dalam keadaan shock berlebihan.

“Hah? Eh.. maksud gue tuh, nama lo siapa?” tanya Shilla berusaha tidak terlihat kaget.

“Saya Gabriel.. perlu dikasih tau umur dan sekolah saya?” Shilla mengangguk-aggukan kepala tak acuh. Gabriel tersenyum. “Umur saya 19. Kuliah semester 4..”

Shilla kembali tertegun. Ya Tuhan… cowok ini.. Shilla membatin. Gabriel tersenyum, mendapati wajah pura-pura tak acuh di depannya ini. Shilla memandang keluar, menembus kaca bening di sebelahnya.

Indah. Mengapa harus ada tempat seperti ini? Bersama pemuda ini? Saat dirinya seperti ini? Shilla bertanya dalam hati. Sudah cukup! Dirinya telah cukup dibebani pikiran.

“Kenapa?” tanya Shilla masih memandang keluar. Tatapan muka yang masam, membuat Gabriel menatapnya serius. “Kenapa lo baik sama gue? Kenapa lo ngajak gue kesini?”

“Dari pertama saya ngeliat kamu, kayaknya kamu banyak dibebani pikiran. Ya, remaja sekarang pasti tentang cinta. Saya liat kamu kayak lebih terpuruk dari orang yang abis patah hati,” Gabriel tertawa pelan.

“Sok tau banget sih lo!” tukas Shilla tajam. Gabriel tersenyum, lalu memesan secangkir kopi kepada pelayan.

“Kamu tau nggak? Saya kuliah bagian bisnis. Karena saya harus nerusin pekerjaan ayah saya di Paris. Tapi saya juga pernah kuliah bagian psikolog satu semester.”

“Jadi? Lo bisa tau, gitu? Nggak semua psikolog mampu baca karakter orang kali. Apalagi lo baru satu semester kan?” lagi-lagi Gabriel tersenyum. Keras kepala, jahat, tertekan. Itulah Shilla dipikiran Gabriel.

“Saya pernah punya teman, dia seumuran kamu. Tapi sekarang dia berada di surga. Kamu tau? Dia percaya banget sama saya, karena dia yakin saya bisa milih teman yang baik buat dia.

“Tapi kenyataannya? Dia berubah pikiran. Dia nggak percaya saya, karena dia lagi tertekan. Dia pilih teman seenaknya. Sewaktu itu, saya udah nggak pernah kontakan lagi sama dia.

“Akhirnya dia dicelakain oleh temannya sendiri. mulai saat itu, saya memutuskan untuk nggak jadi psikolog lagi. Selain karena dia, Ayah saya juga lebih menginginkan saya belajar berbisnis. Ekonomi.” Shilla kembali tertegun.

Shilla merasakan tenggorokannya tercekat. Tidak dapat berbicara apa pun lagi. Seakan kata-kata Gabriel tadi merupakan senjata paling ampuh untuk melumpuhkannya. Saat itu juga pesanan kopi Gabriel datang.

Kopi hitam dan sebungkus krim chocogranno. Shilla menghela nafas pelan, lalu melihat kembali ke arah pantai. Sementara Gabriel sibuk mengaduk kopinya, tetapi belum memasukan krim chocogranno-nya.

“Gue pernah punya temen.. waktu sd. Tapi dia ninggalin gue setelah kelulusan. Dia bilang sih ke Paris, gue nggak tau. Sampe disitu, gue mutusin buat nggak punya temen lagi..” Gabriel terhenti, tercekat. Tapi kembali menetralkan perasaannya.

“Kamu tau? Kehidupan itu bagaikan roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang diatas. Tapi dalam menjalani hidup, itu kayak kopi. Kadang pahit, tapi kalo kita sabar nunggu, pasti jadi manis.

“Kayak kopi saya ini. Kalo saya kasih chocogranno diatasnya, jadi manis. Kalo di kehidupan, sama aja move on. Move on untuk melupakan dia, untuk belajar menganggap bahwa dia adalah masa lalu.

“Buat apa menunggu yang lama, jika ada seseorang yang lebih baik di masa depan? Justru dengan menunggu lama kelamaan, ampas kopi dibawah akan selalu mengendap. Saat kamu udah menghabiskan yang atas, itu terasa hambar.

“Dan ketika sampai di bawah, kamu merasakan pahit itu. Jadi… kamu harus tambahkan chocogranno ini, sesuatu baru. Memberikan rasa manis, dan kamu nggak harus nunggu sampe ampas kopinya turun.

“Karena sebanyak apa pun ampas kopi tersebut, kalo kamu menambahkannya dengan kemanisan, pasti akan terasa manis. Makanya… belajar untuk menghargai masa depan.”

Shilla termenung, mencerna kata-kata Gabriel yang begitu bijaksana. Meski ada sedikit kata yang belum dicernanya, karena terlalu terpukau dengan cara Gabriel menjelaskan, tetapi Shilla tetap mengerti.

Gabriel meminum kopinya, yang telah ia tambahkan dengan chocogranno diatasnya. Kemudian menawarkannya pada Shilla. Ia menggeleng, lalu semakin tercekat lagi.

“Kita udah ngobrol panjang lebar gini, tapi kayaknya lo belum tau nama gue ya, kak?” tanya Shilla sedikit melunak. Gabriel mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi.

“Yap! Akhirnya kamu sadar juga..”

“Gue Shilla. Ashilla Zahrantiara. Mmm… gue sekolah di Flotet International School.” Gabriel mengangguk-anggukan kepalanya.

Bias-bias warna oranye di langit, membuat keduanya menoleh. Memandangi sunset di ujung air laut disana. Matahari mulai tenggelam. Semburat-semburat jingga disana, membuat keduanya terdiam diimbangi keterpukauan.

Shilla tersadar. Sudah sore sekarang. Gabriel tampaknya mengerti. Mereka pun pulang bersama, setelah Gabriel membayar pesanan kopinya. Sampai di rumah, Shilla lebih tertekan lagi.

Move on dari bertahun-tahun lalu itu susah loh. Apalagi… tidak ada objek lain.

***

Rio memasuki kamar Alvin tanpa se-izin sang empunya kamar. Tadinya, Rio hanya ingin mengambil 4 kertas HVS di laci Alvin. Karena persediaan pemuda yang satu itu selalu banyak.

Rio mencari-cari, membuka setiap laci. Tapi nihil, kertas tersebut tidak ditemukan. Masih sibuk mencari, sampai Rio tidak menyadari tugasnya yang terbengkalai di komputer kamarnya. Sudah jam 9 malam.

“Mana sih? Kok nggak ada? Biasanya tu anak banyak banget persediaannya.” gerutu Rio masih sibuk mencari. Hingga ke kolong meja belajar Alvin.

Satu tempat yang belum disinggahi Rio. Laci kanan di samping tempat tidur Alvin. Tanpa basa-basi, karena tugas tersebut harus dikumpulkan besok, Rio melangkah kesana.

Rio menoleh sekilas, mendapati kotak berukuran sedang tertata rapi diatas kanvas milik Alvin. Perlahan-lahan diraihnya kotak tersebut. Kotak jingga dengan lukisan sunset diatasnya begitu menarik perhatian Rio.

Ia membuka kotak tersebut perlahan. Tapi kemudian Rio terhenti, lalu segera menoleh ke arah pintu. Takut-takut Alvin sudah datang. Setelah dirasakan cukup aman, barulah Rio membukanya.

Bandana –yang sepertinya khusus untuk dipakai di leher- berwarna merah marun terbentang begitu saja. Sengaja tidak diikatkan ke satu sisinya. Rio mengambilnya perlahan.

“Gue baru tau Alvin…”

“Ngapain lo disana, Yo?” tanya Alvin tajam, meski nadanya tetap cool. Rio tersentak. Buru-buru dikembalikannya kotak jingga tersebut ke tempat asalnya.

“Sori Vin. Gue..”

“Keluar dari kamar gue..” ucap Alvin dingin. Rio tetap mematung di tempatnya, merasa tak enak dengan Alvin. “SEKARANG!!”

Mendengar Alvin membentak, karena sepertinya sudah sangat marah, Rio segera berjalan keluar kamar Alvin. Rio juga sudah tahu, jika Alvin marah, urusannya bisa panjang. Bukan karena Alvin manja, tapi karena Alvin harus mentoleransi.

Rio memasuki kamarnya. Gara-gara kejadian tadi, tugasnya jadi makin terbengakalai. Rio masih sibuk memikirkan keponakannya tersebut. Mengapa Alvin tak pernah bercerita tentang ini?

Rio tahu, dia memang keponakan tiri Alvin. Mereka juga berbeda marga. Karena salah satu saudara Alvin, menikah dengan kakak Rio saja. Jadi mereka bisa bersatu layaknya keluarga.

Tapi Rio tidak yakin. Pemuda se-ceria Alvin, meski kadang dia cuek, mempunyai kenangan yang tak di duga sebelumnya. Baru satu benda saja, Rio sudah dibentak begitu. Tidak pandang bahwa Rio keponakannya.

Rio berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Semilir angin malam menusuk kulit di balkon kamarnya. “Gue nggak nyangka,” sesaat Rio terdiam. Meresapi keheningan dan semilir angin malam.

Sementara Rio masih sibuk memikirkan kenangan apa yang sebenarnya terjadi di kehidupan Alvin, hingga ia tak pandang bulu membentak siapa pun yang mendekati kotak jingga tadi. Pemilik kenangan tersebut terdiam ditelan ketersimaan.

Alvin mematung di tempatnya. Tak sedikit pun bergerak. Rahangnya perlahan-lahan mengeras, tangannya tanpa sadar mengepal. Gigi geraham atas dan bawah yang saling mengadu menimbulkan bunyi gemeretak.

Bener-benar tidak dapat dipercaya, pikir Alvin. Bahkan dirinya sendiri belum sempat membuka kembali kenangan tersebut, setelah sekian lamanya. Tapi Rio? Yang bahkan tidak tahu apa maknanya, sudah membuka terlebih dahulu.

Belum saatnya. Belum saatnya Alvin membuka kembali luka lamanya. Luka yang telah lama mengering, kemudian disiram kembali, lalu mengering kembali. Kini Alvin harus menelan perih.

“Gue... ka..”

Alvin terdiam. Tidak melanjutkan kata-katanya. Percuma, pikirnya lagi. Beribu kata yang sama telah diucapkan, dan tak ada hasil apapun. Masih sama. Sang pemberi luka itu belum menghapus apa yang diberinya.

Alvin, Rio, kedua pemuda yang saling bersaudara tersebut terdiam ditelan ketersimaan satu sama lain. Bukan saling salah menyalahkan. Namun mencari apa yang dicari.

***
How's guys ?? nice ?? no ?? keep support me please :') and share this ;)

Next Part ==>> 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS