Permintaan Takdir -Part 9-

Minggu, 29 Januari 2012

Hellooooo !!!! I'm back pemirsah !! maaf sekaleh jarang post, jarang nge blog . itu dikarenakan saya nggak ada waktu . Terimakasih banget buat yang baca . aku bersyukur banget ada yang suka, baca dan sampe vote di paling bawah. makasih juga buat yang udah jadi member . sumpah bersyukur banget :)

***



Jam tujuh tepat!! Hari ini, hari pertama Alvin sekolah. H-1 kompetisi Musikal yang harus Rio jalani.

Keduanya terlihat dingin satu sama lain. Lebih fokus kepada sarapan mereka masing-masing. Alvin mengunyah sandwich dengan lambat. Masih dipenuhi rasa kesal dan amarah tertahan.

Sementara Rio menunduk, sambil mengunyah roti selai cokelatnya dengan rasa tak enak hati. Sesaat setelahnya, Alvin berdiri. Sambil menghela nafas, Rio ikut berdiri.

“Vin, gue..”

“Gue berangkat.” Alvin langsung berjalan santai dengan langkah panjang ke depan rumah. Rio kembali menghela nafas.

“Kok belum berangkat, Yo?” Rio tersentak. Sentuhan lembut Kartika di pundaknya seketika membuat Rio bergidik pelan. Rio hanya memberikan senyuman biasa, lalu segera beranjak ke teras depan.

Hari ini pula, Rio diperbolehkan menyetir mobilnya sendiri. tidak perlu diantar supirnya, yang menurut Rio bisa membaca pikiran. Sejenak Rio termenung, menatap baik-baik spion tengah mobilnya.

Alvin belum berangkat. Rio menatap lekat-lekat spion tengah mobilnya. Keponakannya itu masih berdiri santai sambil menatap ponselnya. Rio paham betul itu keponakannya.

Segera Rio menstater mobilnya, lalu keluar dari rumah. Dengan ketelitian yang pas, mobil yang dikendarai Rio berhenti tepat di depan Alvin. Ia mengklaksonkan mobilnya beberapa kali, membuat Alvin menoleh acuh.

“Kok lo belum berangkat, Vin?” tanya Rio setelah membuka kaca pintu sebelahnya. Alvin menoleh sekilas, kemudian kembali menatap layar ponselnya. “Macet loh Vin. Bareng sama gue aja,” tawar Rio.

“Berangkat aja duluan. Lagian sekolah kita nggak searah.” tolak Alvin dingin. Rio menghela nafas, belum menggerakkan tuas gigi.

“Vin, kalo ini soal..”

“BUKAN!! Ini sama sekali nggak ada hubungannya sama itu. Tolong jangan bahas itu!” cegah Alvin cepat. Rio tersentak, seketika membelalakkan matanya. Tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut Alvin.

“Yaudah Vin. Gue berangkat ya..” pamit Rio lalu menutup kaca mobilnya. Alvin mengangguk tak acuh, tidak memandang Rio.

Sementara Rio melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, tentu saja dihantui kegalauan. Akibat tadi. Alvin berjalan ke depan kompleks setelah menerima sms dari sobat karibnya.

Dulu memang Alvin pernah berada disini. Namun tuntutan pekerjaan orang tuanya memaksa pergi, Alvin jadi harus meninggalkan sobat karibnya. Beruntung mereka masih saling kontak satu sama lain.

Tak lama, Alvin sudah sampai di depan kompleks. Menunggu sebuah mobil yang begitu banyak fans-nya, hingga bergelantungan di dalamnya. Alvin tak bereksperesi.

Bus way belum juga datang. Alvin melirik jam tangan Swiss Army-nya. Lima belas menit lagi bel masuk. Alvin mulai resah. Meski Alvin bisa jadi pentolan disana, namun ini adalah hari pertamanya.

Seseorang menepuk pundak Alvin pelan, membuatnya sedikit tersentak. Ia menoleh, mendapati seorang gadis cantik berambut panjang berwajah baby face itu sedang menatapnya memelas.

Ia melirik cepat kearah badge di sisi kanan gadis tersebut. Sekolah yang sama, SMAN 70. Alvin mencolos, pasti mau minta bantuan, pikirnya.

“Ada apa?” tanya Alvin dingin. Gadis tersebut mengulum bibirnya, menunduk sambil meremas-remas ujung dasi yang ia kenakan.

“Mobil saya mogok.” Alvin mencolos lagi, benar saja. Pasti mau minta bantuan.

“Terus?”

“Saya sekolah di SMAN 70. Kalo kamu mau nolongin, nanti bisa bareng sama saya. Please… ini udah siang banget. Saya nggak tau harus kemana lagi,” ucapnya memohon. Kepanikan tergambar jelas di wajahnya. Alvin menghela nafas.

“Yaudah. Gue periksa dulu. Kalo gue nggak bisa, hari ini bukan hari keberuntungan lo.” gadis itu mengangguk, lalu melangkah menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat Alvin berdiri.

Alvin membuka kap mobil gadis tadi. Memang sedikit mengeluarkan asap. Ia mengotak-atik mobil tersebut, sementara gadis tadi hanya bisa berdiri di sebelahnya. Karena memang tidak mengerti.

Tujuh menit berlalu, guratan kecemasan makin jelas tergambar di wajah gadis tersebut. Ini memang bukan hari senin, tidak ada upacara. Tapi hari ini, pelajaran pertamanya adalah Pendidikan Kewarganegaraan.

Selain gurunya killer abis, pelajarannya juga membuat dia pusing. Ada pr pula. Tadinya ia berangkat pagi-pagi, niatnya mau pinjam contekan. Pinjamnya juga nggak ke sembarang orang. Dia pinjam ke sahabatnya yang paling encer otaknya.

Sivia. Sayangnya kelas mereka terbentang begitu jauh. Memang aneh. Gurunya juga tidak sama, tapi buku mereka sama. Meski guru Sivia tidak memberikan pr macam gadis ini, tapi tetap dia mengerjakannya.

Tapi sekarang, harapan itu harus kandas ditelan waktu. Siapa suruh mobilnya mogok ditengah jalan begini. Untunglah hari ini tidak terlalu padat seperti biasa. Jadi kemungkinan masih bisa sampai di sekolah, meski nyaris bel.

“Nih, udah selesai.” Alvin menutup kap mobil gadis ini, lalu menyuruhnya menstater. Berhasil. Gadis itu turun lagi dari mobilnya.

“Karena udah berhasil, kamu berangkat bareng saya ya?”

“Kalo gue nggak mau?” tanya Alvin dingin, sambil mengangkat sebelah alisnya. Gadis ini mengerutkan kening, aneh. Seharusnya dia bahagia, karena nggak ada bus way yang lewat sini.

“Ini udah siang loh.” gadis ini terus membujuk. Alvin buang muka.

“Terus?”

“Katanya sih nggak ada bus way. Soalnya lagi pada demo,” lanjut gadis ini sambil tersenyum menggoda. Alvin mencolos –lagi-, perempuan ini…

“Yaudah. Tapi gue yang nyetir. Nggak mungkin kan cewek nyetirin cowok?” tawar Alvin, gadis ini mengangguk saja.

Di dalam mobil, bagaikan di kuburan. Alvin tak berniat berbicara, karena memang harus berkonsentrasi pada jalanan. Sementara gadis pemilik mobil ini pun sibuk dengan pr Kewarganegaraannya.

“Oh iya, nama kamu siapa?” tanya gadis ini tanpa mengalihkan pandangannya dari LKS di pangkuannya.

“Emang mau tau banget?” balas Alvin dingin, masih tanpa ekspresi. Gadis ini tertawa renyah, lalu diam.

“Gue Pricilla, bisa dipanggil Prissy.” ucapnya. “Eh, keceplosan tadi ngomong gue-nya..” ralat Prissy lalu tertawa lagi. Alvin menyipitkan matanya, bawel, komentarnya dalam hati.

“Pake gue-lo aja kali kalo emang udah kebiasaan.” nggak usah sok alim, tambah Alvin dalam hati. Prissy menampilkan sederetan pagar pada giginya.

“Gue belum tau nama lo nih.”

“Buat apa? Nggak penting lagi. Kita cuma akan berkomunikasi sampe di sekolah nanti. Selanjutnya nggak bakal ada kayak gini,” timpal Alvin. Prissy terbelalak, diam-diam menelan ludah.
 
Alvin membelokan setir mobil menuju parkiran timur. Setelah itu, ia turun. Tanpa mengucapkan terima kasih, -karena menurut pemikiran Alvin, ia dipaksa-. Prissy segera turun dari mobil. Sementara kuncinya menggantung di stater.

“MAKASIH!!” teriaknya dalam dua makna. Terima kasih untuk pertolongannya, dan sindiran untuk Alvin juga.

Dalam jarak yang tak kasat mata, masa lalu yang telah lama terkubur dalam-dalam dari kenangan Alvin, mulai menampakkan dirinya. Permintaan takdir yang tak dapat digubris lagi, selanjutnya hanya bisa dihirup oleh Alvin.

Prissy melangkahkan kakinya masuk ke sekolah. Berjalan melalui koridor sekolah yang dipenuhi banyak siswa-siswi SMA 70 itu membuatnya sedikit menyembunyikan perasaannya.

Menemui Alvin tadi, adalah pengalaman yang langka buat Prissy. Bukan baru, dia sudah pernah bertemu laki-laki es macam Alvin. Contohnya Alfiano. Tapi Alvin berbeda, jauh di dalamnya.

Alfiano masih bisa Prissy taklukan, meski masih dalam rangka “pendekatan”. Tapi tetap saja, Nono bisa ditaklukan oleh Prissy. Tapi yang satu ini, apa bisa ?

Jika dilihat baik-baik, menembus mata Alvin yang hitam pekat dengan tatapan menyeramkan, akan ditemukan bagaimana sifat Alvin. Akan ditemukan penyebab Alvin menjadi makhluk es.

Tapi siapa yang berani berbuat seperti itu? Mendekatinya saja butuh waktu yang lama, apalagi seorang perempuan. Kalau laki-laki, cenderung mengerti. Jadi bergabung ya bergabung saja, masalah hati dan masa lalu, mereka tidak akan menggubrisnya.

“Pagi Prissy. How’s everything today?” sapa Nono di depan Prissy. Mau tak mau membuat gadis ini tersenyum lebar.

“Pagi juga Nono. Not bad, just so so..” jawab Prissy lalu berjalan mendahului Nono ke kelasnya.

“Mmm... I guess you go to school with someone this morning. Who is he?” Prissy diam, tak menjawab. Mukanya pucat, meski Nono masih berstatus pedekate, tapi kan nggak enak aja kesannya.

“I… was..”

“That’s okay. I believe you honey.. there’s nothing to worry about. Moreover, I’m not your father. I’m just, your…”

Kringg…. Bel masuk berbunyi merdu. Nono menoleh ke arah pintu, takut-takut guru yang mengajar di kelas Prissy sudah datang. Terpaksa tidak melanjutkan kata-katanya, Prissy menunggu.

Nono kembali memandang Prissy, lalu tersenyum. Kedua tangan Nono, yang sejak tadi memang selalu terpaut dibalik tubuh jangkungnya, lalu terulur ke arah Prissy.

“It maybe just an ordinary thing that I can give to you. Keep it save, dear. Bye. Take care..” setelah mengucapkan kata romantis tersebut, Nono keluar dari kelas Prissy.

Ditatapnya pemberian Nono tadi. Benar katanya, bukan apa-apa. Hanya benda biasa, yang bagi Prissy sangat berarti. Sebuah kotak musik yang indah, yang sangat Prissy sukai dan idam-idamkan.

Padangan Prissy memang tertuju pada kotak musik tadi. Tapi pikirannya melayang pada kejadian tadi pagi. Sadar. Prissy menggelengkan kepalanya. Mengingat, lelaki tadi berkata, “Kita cuma akan berkomunikasi sampe di sekolah nanti. Selanjutnya nggak bakal ada kayak gini.”

Okelah, Prissy harus bisa menahan rasanya. Rasa? Rasa apa? Rasa penasaran, ataukah…

Entahlah. Biar waktu yang menjawab.

***

Rio tidak semangat sekolah hari ini. Berbagai macam pikiran berkecamuk di batok kepalanya. Banyak sekali masalah, sejak kemarin malam. Sampai pagi ini pun, masalah itu masih jadi masalah.

Meski begitu, ternyata ada yang membuatnya menjadi semangat untuk menjalani aktivitas lagi di sekolah. Kabar angin yang dibawa teman-teman sekelas Ify bahwa hari ini ia berulang tahun, membuat Rio tersenyum amat lebar.

Diraihnya satu tombol berwarna hijau dari ponsel-nya, lalu mendekatkan ponselnya ke telinga.

“Ton, lo cari informasi tentang..”

“Gue udah tau. Pasti tentang yang lagi heboh sekarang ini kan?”

“Yee… yang lagi heboh kan banyak.”

“Iya! Tapi yang paling heboh, hari ini!”

“Iyee… ulang tahunnya si Alyssa..” di seberang sana Patton tertawa keras, bahkan hingga terbungkuk-bungkuk. Rio mengerutkan kening.

“Yo… Yo.. dasar anak baru. Manggilnya Ify aja kali,” Rio makin mengerutkan keningnya.

“Darimana dapet panggilan kayak gitu? Kan namanya Alyssa Saufika Umari?” tanya Rio. Pertanyaan yang ditanyakan oleh setiap teman Ify saat pertama bertemu.

“Kalo itu sih nggak usah ditanyain, Yo. Dia sendiri aja nggak pernah mau jawab kalo ditanya kayak gitu.” Patton menyangkutkan ponselnya ke bahu, karena satu tangannya sibuk mencatat dan membolak-balikan buku cetak.

“Yaudah deh terserah. Yang penting lo cari informasi tentang acara itu!” ucap Rio, setelah terdengar kata yang meyakinkan dari Patton, barulah sambungan telepon itu terputus.

Dalam jarak yang tak kasat mata, Shilla memperhatikan lekat-lekat pembicaraan Rio dengan Patton. Nama Ify yang disebutkan Rio secara frontal membuat Shilla bisa langsung menebak apa yang sedang dicari Rio.

Kini, tekad Shilla untuk menjalani rencananya semakin bulat. Tidak dibantu siapa-siapa, hanya beberapa orang luar yang membantu memegang akun social network-nya.

Rencana itu akan ia share ke seluruh jaringan. Agar rencana balas dendamnya berhasil, Shilla berani memberikan separuh uang jajannya selama seminggu untuk menyewa beberapa orang.

Untuk masalah social network, twitter atau facebook Ify bisa langsung ia blokir abis. Tamat. Mati. Tidak akan bisa kembali. Satu-satunya cara adalah membuat akun baru.

Shilla sedikit tersentak, kala seseorang menepuk bahunya lumayan kencang. Kak Cakka.

“Kenapa?”

“Ayo latihan di ruang musik. The competition starts tomorrow!” jawab Cakka semangat, masih dihiasi senyum. Shilla menghela napas panjang sebelum mengikuti langkah Cakka.

“Lo diundang ke acara sweet seventeen-nya Ify kan?” tanya Cakka sambil membuka kenop pintu. Shilla hanya berdehem pelan. itu lagi, itu lagi, pikir Shilla.

“Mau dateng?” Shilla mengangkat bahu.

“Emangnya lo diundang kak?” kini Shilla gantian bertanya. Cakka hanya tersenyum tipis.

“Kalo lo nggak dateng, gue males dateng.” satu kata yang tergambar jelas disana, Frontal! Namun baik Shilla maupun Cakka, acuh tak acuh saja. Kalimat tadi seperti hembusan angin.

“Gue nggak bakal dateng. Jadi lo gak usah dateng.” ucap Shilla lalu duduk disalah satu bangku penonton. Ini sama sekali bukan urusan hati. Sama sekali bukan karena Shilla tidak menginginkan Cakka untuk datang, tapi lebih karena dendamnya.

“Iya. Gue nggak dateng deh,” kata Cakka menurut. Entah kenapa ia bisa berbicara seperti itu. Intonasi nada perintah Shilla yang kalem, layaknya seorang kekasih yang memerintahkan, Cakka jadi tidak bisa berbuat apa-apa selain menurut.

Cakka sebenarnya menganggap kalimat tadi adalah suatu harapan cerah untuknya. Siapa tahu saja Shilla bisa berubah, karena satu kalimat. Tapi tak ada yang tahu, selain Shilla sendiri.

Tanpa disadari, Shilla secara tidak langsung menyandang status ‘Pemberi Harapan Palsu’. Meski Shilla sendiri tidak merasa, namun itulah kenyataannya. Salah satu korbannya, Cakka. Dan dia adalah korban pertama.

Bel masuk berbunyi dengan nyaring. Dan ketika waktu terus berputar, seiring jalan, takdir telah ditentukan. Mereka diam dalam keheningan. Menunggu roda kehidupan berputar.

***

Di dalam kelas XI IPA 3, Ify terkena penyakit syndrome questions of the day(?). alias penyakit pertanyaan dari banyak orang. Bombardir SMS dan telepon yang membuat ponselnya berdering tidak karuan, terpaksa dihiraukannya.

Meski jam pelajaran telah berlangsung, ponsel itu tetap saja berdering. Menanyakan bagaimana acaranya nanti, dan berbagai pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dijawab. Karena nanti mereka akan lihat sendiri.

“Fy..” panggil Obiet yang duduk tepat dibelakangnya. Ify baru sadar, ternyata Obiet yang memanggil.

“Apa?” tanya Ify berbisik. Bu Isti yang suaranya benar-benar lantang dan pandangan mata yang waspada, harus diwaspadai juga oleh Ify dan Obiet.

“Happy birthday,” jawab Obiet datar. Mau tak mau, Ify tertawa. Sikap polos Obiet tadi. Mati-matian Ify menahan tawa.

“Iya, makasih.” ujar Ify datar juga, tanpa menoleh dan tetap berbisik. Kemudian hening.

Bu Isti dengan semangatnya yang menggebu-gebu makin getol menjelaskan pelajaran paling disegani oleh sejuta pelajar di dunia. Matematika. Maka dari itu, Ify memfokuskan tatapannya pada penjelasan guru terbaik di depannya ini.

Sejarah sih Ify oke, oke banget malah. Tapi urusan matematika, Ify bolot banget. Makanya, daripada kena nilai merah di rapot, lebih baik dimengerti pelajaran itu dalam-dalam.

“Ify..” panggil Zahra pelan, sambil mencolek pelan bahu Ify.

Kejadian itu, mengingatkan Ify pada beberapa hari yang lalu. Saat dirinya mencolek pelan bahu Shilla, meminjam pensil. Dan alangkah tidak percayanya Ify, ia meminjamkannya.

Pada saat itu, dan masih sampai sekarang, Ify menanggap Shilla sebenarnya baik. Hanya saja, ia ditelan oleh kekecewaan. Dikhianati oleh euroforia. Meski nyatanya, kepercayaan itu mulai pudar dari hati Ify.

“Fy..” panggil Zahra lagi, mungkin karena tidak mendapat respon.

Ify tersentak, langsung menoleh pada Zahra. “Eh, iya. Apaan Zah?”

“Tugas bahasa Inggris kita gimana ini? Pelajarannya besok loh,” terlihat raut kecemasan dari Zahra. Ify jadi bingung sendiri, masalah yang ia hadapi terlalu banyak.

“Aduh, Zah. Masalahnya, gue sama Shilla juga sibuk nih. Ntar deh gue ngomong dulu sama Shilla-nya.” Zahra terpaksa nurut, ia juga sadar diri. Ify dan Shilla itu anak cerdas di kelas ini. Apalagi sekarang hari ulang tahun Ify, jadi Zahra tidak mau membebani Ify dulu.

“Oh iya Fy, happy birthday ya!” ucap Zahra disertai senyuman manisnya. Ify mengangguk lalu tersenyum.

Ify pun jadi serba salah. Kenapa pula Sir Joe harus mengelompokannya dengan Shilla? Apa ini yang namanya takdir?

Sekelompok dengan Shilla sama saja sekelompok dengan batu. Tidak pernah berbicara, acuh tak acuh, dan keras kepala. Tidak mau diatur. Tapi mungkin jika urusannya tentang pelajaran, Shilla masih bisa diajak kompromi.

Urusannya bukan hanya tugas yang terbengkalai, namun juga karena masalah pribadinya dengan Shilla. Bahkan Ify sendiri belum yakin apa masalahnya.

Ify pikir sih, kalau Shilla itu gentlewomen, alias bertanggung jawab, pasti dirinya akan menjelaskan apa yang terjadi. Bukannya malah main hakim sendiri, mengasingkan.

Tapi memang itu yang selama ini Shilla lakukan. Selama kelas XI, apalagi kelasnya sudah akan naik tingkat ke kelas XII, jelas akan membuat pamornya semakin tinggi dan semakin semena-mena.

Tidak akan mudah untuk bertanya baik-baik. Ify kalah pamor dari Shilla? Harus dijawab iya. Shilla lebih ditakuti karena sifatnya, sedangkan Ify ditakuti karena jabatannya.

Biarlah. Biarkan waktu yang menjawab.

======
Gimana guys ? tambah ancur yah ? aduh, pokoknya mohon maaf yang sebesar-besarnya deh . Makasih kalo mau support :) keep share this guys

Next Part ==>

1 komentar:

  1. Lysaa, baru komen nih :D cepetin ya lanjutnya. makin seru aja, nih. couple harus AlShill . HARUS!! #maaf maksa ._.

    BalasHapus

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS