***
Jam tujuh
tepat!! Hari ini, hari pertama Alvin sekolah. H-1 kompetisi Musikal yang harus
Rio jalani.
Keduanya
terlihat dingin satu sama lain. Lebih fokus kepada sarapan mereka
masing-masing. Alvin mengunyah sandwich dengan lambat. Masih dipenuhi rasa
kesal dan amarah tertahan.
Sementara Rio
menunduk, sambil mengunyah roti selai cokelatnya dengan rasa tak enak hati.
Sesaat setelahnya, Alvin berdiri. Sambil menghela nafas, Rio ikut berdiri.
“Vin, gue..”
“Gue berangkat.”
Alvin langsung berjalan santai dengan langkah panjang ke depan rumah. Rio
kembali menghela nafas.
“Kok belum
berangkat, Yo?” Rio tersentak. Sentuhan lembut Kartika di pundaknya seketika
membuat Rio bergidik pelan. Rio hanya memberikan senyuman biasa, lalu segera
beranjak ke teras depan.
Hari ini pula,
Rio diperbolehkan menyetir mobilnya sendiri. tidak perlu diantar supirnya, yang
menurut Rio bisa membaca pikiran. Sejenak Rio termenung, menatap baik-baik
spion tengah mobilnya.
Alvin belum berangkat.
Rio menatap lekat-lekat spion tengah mobilnya. Keponakannya itu masih berdiri
santai sambil menatap ponselnya. Rio paham betul itu keponakannya.
Segera Rio
menstater mobilnya, lalu keluar dari rumah. Dengan ketelitian yang pas, mobil
yang dikendarai Rio berhenti tepat di depan Alvin. Ia mengklaksonkan mobilnya
beberapa kali, membuat Alvin menoleh acuh.
“Kok lo belum
berangkat, Vin?” tanya Rio setelah membuka kaca pintu sebelahnya. Alvin menoleh
sekilas, kemudian kembali menatap layar ponselnya. “Macet loh Vin. Bareng sama
gue aja,” tawar Rio.
“Berangkat aja
duluan. Lagian sekolah kita nggak searah.” tolak Alvin dingin. Rio menghela
nafas, belum menggerakkan tuas gigi.
“Vin, kalo ini
soal..”
“BUKAN!! Ini
sama sekali nggak ada hubungannya sama itu. Tolong jangan bahas itu!” cegah
Alvin cepat. Rio tersentak, seketika membelalakkan matanya. Tak percaya dengan
apa yang keluar dari mulut Alvin.
“Yaudah Vin. Gue
berangkat ya..” pamit Rio lalu menutup kaca mobilnya. Alvin mengangguk tak
acuh, tidak memandang Rio.
Sementara Rio
melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, tentu saja dihantui kegalauan.
Akibat tadi. Alvin berjalan ke depan kompleks setelah menerima sms dari sobat
karibnya.
Dulu memang
Alvin pernah berada disini. Namun tuntutan pekerjaan orang tuanya memaksa
pergi, Alvin jadi harus meninggalkan sobat karibnya. Beruntung mereka masih
saling kontak satu sama lain.
Tak lama, Alvin
sudah sampai di depan kompleks. Menunggu sebuah mobil yang begitu banyak
fans-nya, hingga bergelantungan di dalamnya. Alvin tak bereksperesi.
Bus way belum
juga datang. Alvin melirik jam tangan Swiss Army-nya. Lima belas menit lagi bel
masuk. Alvin mulai resah. Meski Alvin bisa jadi pentolan disana, namun ini
adalah hari pertamanya.
Seseorang
menepuk pundak Alvin pelan, membuatnya sedikit tersentak. Ia menoleh, mendapati
seorang gadis cantik berambut panjang berwajah baby face itu sedang menatapnya
memelas.
Ia melirik cepat
kearah badge di sisi kanan gadis tersebut. Sekolah yang sama, SMAN 70. Alvin
mencolos, pasti mau minta bantuan, pikirnya.
“Ada apa?” tanya
Alvin dingin. Gadis tersebut mengulum bibirnya, menunduk sambil meremas-remas
ujung dasi yang ia kenakan.
“Mobil saya
mogok.” Alvin mencolos lagi, benar saja. Pasti mau minta bantuan.
“Terus?”
“Saya sekolah di
SMAN 70. Kalo kamu mau nolongin, nanti bisa bareng sama saya. Please… ini udah
siang banget. Saya nggak tau harus kemana lagi,” ucapnya memohon. Kepanikan
tergambar jelas di wajahnya. Alvin menghela nafas.
“Yaudah. Gue
periksa dulu. Kalo gue nggak bisa, hari ini bukan hari keberuntungan lo.” gadis
itu mengangguk, lalu melangkah menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari
tempat Alvin berdiri.
Alvin membuka
kap mobil gadis tadi. Memang sedikit mengeluarkan asap. Ia mengotak-atik mobil
tersebut, sementara gadis tadi hanya bisa berdiri di sebelahnya. Karena memang
tidak mengerti.
Tujuh menit
berlalu, guratan kecemasan makin jelas tergambar di wajah gadis tersebut. Ini
memang bukan hari senin, tidak ada upacara. Tapi hari ini, pelajaran pertamanya
adalah Pendidikan Kewarganegaraan.
Selain gurunya
killer abis, pelajarannya juga membuat dia pusing. Ada pr pula. Tadinya ia
berangkat pagi-pagi, niatnya mau pinjam contekan. Pinjamnya juga nggak ke
sembarang orang. Dia pinjam ke sahabatnya yang paling encer otaknya.
Sivia. Sayangnya
kelas mereka terbentang begitu jauh. Memang aneh. Gurunya juga tidak sama, tapi
buku mereka sama. Meski guru Sivia tidak memberikan pr macam gadis ini, tapi
tetap dia mengerjakannya.
Tapi sekarang,
harapan itu harus kandas ditelan waktu. Siapa suruh mobilnya mogok ditengah
jalan begini. Untunglah hari ini tidak terlalu padat seperti biasa. Jadi
kemungkinan masih bisa sampai di sekolah, meski nyaris bel.
“Nih, udah
selesai.” Alvin menutup kap mobil gadis ini, lalu menyuruhnya menstater.
Berhasil. Gadis itu turun lagi dari mobilnya.
“Karena udah
berhasil, kamu berangkat bareng saya ya?”
“Kalo gue nggak
mau?” tanya Alvin dingin, sambil mengangkat sebelah alisnya. Gadis ini
mengerutkan kening, aneh. Seharusnya dia bahagia, karena nggak ada bus way yang
lewat sini.
“Ini udah siang
loh.” gadis ini terus membujuk. Alvin buang muka.
“Terus?”
“Katanya sih
nggak ada bus way. Soalnya lagi pada demo,” lanjut gadis ini sambil tersenyum
menggoda. Alvin mencolos –lagi-, perempuan ini…
“Yaudah. Tapi
gue yang nyetir. Nggak mungkin kan cewek nyetirin cowok?” tawar Alvin, gadis
ini mengangguk saja.
Di dalam mobil,
bagaikan di kuburan. Alvin tak berniat berbicara, karena memang harus
berkonsentrasi pada jalanan. Sementara gadis pemilik mobil ini pun sibuk dengan
pr Kewarganegaraannya.
“Oh iya, nama
kamu siapa?” tanya gadis ini tanpa mengalihkan pandangannya dari LKS di
pangkuannya.
“Emang mau tau
banget?” balas Alvin dingin, masih tanpa ekspresi. Gadis ini tertawa renyah,
lalu diam.
“Gue Pricilla, bisa
dipanggil Prissy.” ucapnya. “Eh, keceplosan tadi ngomong gue-nya..” ralat
Prissy lalu tertawa lagi. Alvin menyipitkan matanya, bawel, komentarnya dalam
hati.
“Pake gue-lo aja
kali kalo emang udah kebiasaan.” nggak usah sok alim, tambah Alvin dalam hati.
Prissy menampilkan sederetan pagar pada giginya.
“Gue belum tau
nama lo nih.”
“Buat apa? Nggak
penting lagi. Kita cuma akan berkomunikasi sampe di sekolah nanti. Selanjutnya
nggak bakal ada kayak gini,” timpal Alvin. Prissy terbelalak, diam-diam menelan
ludah.
Alvin membelokan
setir mobil menuju parkiran timur. Setelah itu, ia turun. Tanpa mengucapkan
terima kasih, -karena menurut pemikiran Alvin, ia dipaksa-. Prissy segera turun
dari mobil. Sementara kuncinya menggantung di stater.
“MAKASIH!!” teriaknya
dalam dua makna. Terima kasih untuk pertolongannya, dan sindiran untuk Alvin
juga.
Dalam jarak yang
tak kasat mata, masa lalu yang telah lama terkubur dalam-dalam dari kenangan
Alvin, mulai menampakkan dirinya. Permintaan takdir yang tak dapat digubris
lagi, selanjutnya hanya bisa dihirup oleh Alvin.
Prissy
melangkahkan kakinya masuk ke sekolah. Berjalan melalui koridor sekolah yang
dipenuhi banyak siswa-siswi SMA 70 itu membuatnya sedikit menyembunyikan
perasaannya.
Menemui Alvin
tadi, adalah pengalaman yang langka buat Prissy. Bukan baru, dia sudah pernah
bertemu laki-laki es macam Alvin. Contohnya Alfiano. Tapi Alvin berbeda, jauh
di dalamnya.
Alfiano masih
bisa Prissy taklukan, meski masih dalam rangka “pendekatan”. Tapi tetap saja,
Nono bisa ditaklukan oleh Prissy. Tapi yang satu ini, apa bisa ?
Jika dilihat
baik-baik, menembus mata Alvin yang hitam pekat dengan tatapan menyeramkan,
akan ditemukan bagaimana sifat Alvin. Akan ditemukan penyebab Alvin menjadi
makhluk es.
Tapi siapa yang
berani berbuat seperti itu? Mendekatinya saja butuh waktu yang lama, apalagi
seorang perempuan. Kalau laki-laki, cenderung mengerti. Jadi bergabung ya
bergabung saja, masalah hati dan masa lalu, mereka tidak akan menggubrisnya.
“Pagi Prissy.
How’s everything today?” sapa Nono di depan Prissy. Mau tak mau membuat gadis
ini tersenyum lebar.
“Pagi juga Nono.
Not bad, just so so..” jawab Prissy lalu berjalan mendahului Nono ke kelasnya.
“Mmm... I guess
you go to school with someone this morning. Who is he?” Prissy diam, tak
menjawab. Mukanya pucat, meski Nono masih berstatus pedekate, tapi kan nggak
enak aja kesannya.
“I… was..”
“That’s okay. I
believe you honey.. there’s nothing to worry about. Moreover, I’m not your
father. I’m just, your…”
Kringg…. Bel
masuk berbunyi merdu. Nono menoleh ke arah pintu, takut-takut guru yang
mengajar di kelas Prissy sudah datang. Terpaksa tidak melanjutkan kata-katanya,
Prissy menunggu.
Nono kembali
memandang Prissy, lalu tersenyum. Kedua tangan Nono, yang sejak tadi memang
selalu terpaut dibalik tubuh jangkungnya, lalu terulur ke arah Prissy.
“It maybe just
an ordinary thing that I can give to you. Keep it save, dear. Bye. Take care..”
setelah mengucapkan kata romantis tersebut, Nono keluar dari kelas Prissy.
Ditatapnya
pemberian Nono tadi. Benar katanya, bukan apa-apa. Hanya benda biasa, yang bagi
Prissy sangat berarti. Sebuah kotak musik yang indah, yang sangat Prissy sukai
dan idam-idamkan.
Padangan Prissy
memang tertuju pada kotak musik tadi. Tapi pikirannya melayang pada kejadian
tadi pagi. Sadar. Prissy menggelengkan kepalanya. Mengingat, lelaki tadi
berkata, “Kita cuma akan berkomunikasi sampe di sekolah nanti. Selanjutnya
nggak bakal ada kayak gini.”
Okelah, Prissy
harus bisa menahan rasanya. Rasa? Rasa apa? Rasa penasaran, ataukah…
Entahlah. Biar
waktu yang menjawab.
***
Rio tidak
semangat sekolah hari ini. Berbagai macam pikiran berkecamuk di batok
kepalanya. Banyak sekali masalah, sejak kemarin malam. Sampai pagi ini pun,
masalah itu masih jadi masalah.
Meski begitu,
ternyata ada yang membuatnya menjadi semangat untuk menjalani aktivitas lagi di
sekolah. Kabar angin yang dibawa teman-teman sekelas Ify bahwa hari ini ia
berulang tahun, membuat Rio tersenyum amat lebar.
Diraihnya satu
tombol berwarna hijau dari ponsel-nya, lalu mendekatkan ponselnya ke telinga.
“Ton, lo cari
informasi tentang..”
“Gue udah tau.
Pasti tentang yang lagi heboh sekarang ini kan?”
“Yee… yang lagi
heboh kan banyak.”
“Iya! Tapi yang
paling heboh, hari ini!”
“Iyee… ulang
tahunnya si Alyssa..” di seberang sana Patton tertawa keras, bahkan hingga
terbungkuk-bungkuk. Rio mengerutkan kening.
“Yo… Yo.. dasar
anak baru. Manggilnya Ify aja kali,” Rio makin mengerutkan keningnya.
“Darimana dapet
panggilan kayak gitu? Kan namanya Alyssa Saufika Umari?” tanya Rio. Pertanyaan
yang ditanyakan oleh setiap teman Ify saat pertama bertemu.
“Kalo itu sih
nggak usah ditanyain, Yo. Dia sendiri aja nggak pernah mau jawab kalo ditanya
kayak gitu.” Patton menyangkutkan ponselnya ke bahu, karena satu tangannya
sibuk mencatat dan membolak-balikan buku cetak.
“Yaudah deh
terserah. Yang penting lo cari informasi tentang acara itu!” ucap Rio, setelah
terdengar kata yang meyakinkan dari Patton, barulah sambungan telepon itu
terputus.
Dalam jarak yang
tak kasat mata, Shilla memperhatikan lekat-lekat pembicaraan Rio dengan Patton.
Nama Ify yang disebutkan Rio secara frontal membuat Shilla bisa langsung
menebak apa yang sedang dicari Rio.
Kini, tekad
Shilla untuk menjalani rencananya semakin bulat. Tidak dibantu siapa-siapa,
hanya beberapa orang luar yang membantu memegang akun social network-nya.
Rencana itu akan
ia share ke seluruh jaringan. Agar rencana balas dendamnya berhasil, Shilla
berani memberikan separuh uang jajannya selama seminggu untuk menyewa beberapa
orang.
Untuk masalah
social network, twitter atau facebook Ify bisa langsung ia blokir abis. Tamat.
Mati. Tidak akan bisa kembali. Satu-satunya cara adalah membuat akun baru.
Shilla sedikit
tersentak, kala seseorang menepuk bahunya lumayan kencang. Kak Cakka.
“Kenapa?”
“Ayo latihan di
ruang musik. The competition starts tomorrow!” jawab Cakka semangat, masih
dihiasi senyum. Shilla menghela napas panjang sebelum mengikuti langkah Cakka.
“Lo diundang ke
acara sweet seventeen-nya Ify kan?” tanya Cakka sambil membuka kenop pintu.
Shilla hanya berdehem pelan. itu lagi, itu lagi, pikir Shilla.
“Mau dateng?”
Shilla mengangkat bahu.
“Emangnya lo
diundang kak?” kini Shilla gantian bertanya. Cakka hanya tersenyum tipis.
“Kalo lo nggak
dateng, gue males dateng.” satu kata yang tergambar jelas disana, Frontal!
Namun baik Shilla maupun Cakka, acuh tak acuh saja. Kalimat tadi seperti
hembusan angin.
“Gue nggak bakal
dateng. Jadi lo gak usah dateng.” ucap Shilla lalu duduk disalah satu bangku
penonton. Ini sama sekali bukan urusan hati. Sama sekali bukan karena Shilla
tidak menginginkan Cakka untuk datang, tapi lebih karena dendamnya.
“Iya. Gue nggak
dateng deh,” kata Cakka menurut. Entah kenapa ia bisa berbicara seperti itu.
Intonasi nada perintah Shilla yang kalem, layaknya seorang kekasih yang
memerintahkan, Cakka jadi tidak bisa berbuat apa-apa selain menurut.
Cakka sebenarnya
menganggap kalimat tadi adalah suatu harapan cerah untuknya. Siapa tahu saja
Shilla bisa berubah, karena satu kalimat. Tapi tak ada yang tahu, selain Shilla
sendiri.
Tanpa disadari,
Shilla secara tidak langsung menyandang status ‘Pemberi Harapan Palsu’. Meski
Shilla sendiri tidak merasa, namun itulah kenyataannya. Salah satu korbannya,
Cakka. Dan dia adalah korban pertama.
Bel masuk
berbunyi dengan nyaring. Dan ketika waktu terus berputar, seiring jalan, takdir
telah ditentukan. Mereka diam dalam keheningan. Menunggu roda kehidupan
berputar.
***
Di dalam kelas
XI IPA 3, Ify terkena penyakit syndrome questions of the day(?). alias penyakit
pertanyaan dari banyak orang. Bombardir SMS dan telepon yang membuat ponselnya
berdering tidak karuan, terpaksa dihiraukannya.
Meski jam
pelajaran telah berlangsung, ponsel itu tetap saja berdering. Menanyakan
bagaimana acaranya nanti, dan berbagai pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu
dijawab. Karena nanti mereka akan lihat sendiri.
“Fy..” panggil
Obiet yang duduk tepat dibelakangnya. Ify baru sadar, ternyata Obiet yang
memanggil.
“Apa?” tanya Ify
berbisik. Bu Isti yang suaranya benar-benar lantang dan pandangan mata yang
waspada, harus diwaspadai juga oleh Ify dan Obiet.
“Happy
birthday,” jawab Obiet datar. Mau tak mau, Ify tertawa. Sikap polos Obiet tadi.
Mati-matian Ify menahan tawa.
“Iya, makasih.”
ujar Ify datar juga, tanpa menoleh dan tetap berbisik. Kemudian hening.
Bu Isti dengan
semangatnya yang menggebu-gebu makin getol menjelaskan pelajaran paling
disegani oleh sejuta pelajar di dunia. Matematika. Maka dari itu, Ify
memfokuskan tatapannya pada penjelasan guru terbaik di depannya ini.
Sejarah sih Ify
oke, oke banget malah. Tapi urusan matematika, Ify bolot banget. Makanya,
daripada kena nilai merah di rapot, lebih baik dimengerti pelajaran itu
dalam-dalam.
“Ify..” panggil
Zahra pelan, sambil mencolek pelan bahu Ify.
Kejadian itu,
mengingatkan Ify pada beberapa hari yang lalu. Saat dirinya mencolek pelan bahu
Shilla, meminjam pensil. Dan alangkah tidak percayanya Ify, ia meminjamkannya.
Pada saat itu,
dan masih sampai sekarang, Ify menanggap Shilla sebenarnya baik. Hanya saja, ia
ditelan oleh kekecewaan. Dikhianati oleh euroforia. Meski nyatanya, kepercayaan
itu mulai pudar dari hati Ify.
“Fy..” panggil
Zahra lagi, mungkin karena tidak mendapat respon.
Ify tersentak,
langsung menoleh pada Zahra. “Eh, iya. Apaan Zah?”
“Tugas bahasa
Inggris kita gimana ini? Pelajarannya besok loh,” terlihat raut kecemasan dari
Zahra. Ify jadi bingung sendiri, masalah yang ia hadapi terlalu banyak.
“Aduh, Zah.
Masalahnya, gue sama Shilla juga sibuk nih. Ntar deh gue ngomong dulu sama
Shilla-nya.” Zahra terpaksa nurut, ia juga sadar diri. Ify dan Shilla itu anak
cerdas di kelas ini. Apalagi sekarang hari ulang tahun Ify, jadi Zahra tidak
mau membebani Ify dulu.
“Oh iya Fy,
happy birthday ya!” ucap Zahra disertai senyuman manisnya. Ify mengangguk lalu
tersenyum.
Ify pun jadi
serba salah. Kenapa pula Sir Joe harus mengelompokannya dengan Shilla? Apa ini
yang namanya takdir?
Sekelompok
dengan Shilla sama saja sekelompok dengan batu. Tidak pernah berbicara, acuh
tak acuh, dan keras kepala. Tidak mau diatur. Tapi mungkin jika urusannya
tentang pelajaran, Shilla masih bisa diajak kompromi.
Urusannya bukan
hanya tugas yang terbengkalai, namun juga karena masalah pribadinya dengan
Shilla. Bahkan Ify sendiri belum yakin apa masalahnya.
Ify pikir sih,
kalau Shilla itu gentlewomen, alias bertanggung jawab, pasti dirinya akan
menjelaskan apa yang terjadi. Bukannya malah main hakim sendiri, mengasingkan.
Tapi memang itu
yang selama ini Shilla lakukan. Selama kelas XI, apalagi kelasnya sudah akan
naik tingkat ke kelas XII, jelas akan membuat pamornya semakin tinggi dan
semakin semena-mena.
Tidak akan mudah
untuk bertanya baik-baik. Ify kalah pamor dari Shilla? Harus dijawab iya.
Shilla lebih ditakuti karena sifatnya, sedangkan Ify ditakuti karena
jabatannya.
Biarlah. Biarkan
waktu yang menjawab.
======
Gimana guys ? tambah ancur yah ? aduh, pokoknya mohon maaf yang sebesar-besarnya deh . Makasih kalo mau support :) keep share this guys
Next Part ==>
Next Part ==>
Lysaa, baru komen nih :D cepetin ya lanjutnya. makin seru aja, nih. couple harus AlShill . HARUS!! #maaf maksa ._.
BalasHapus