Permintaan Takdir -Part 10-

Jumat, 09 Maret 2012

Permintaan Takdir Part 10

Sebelumnyaaa... maaf ya kalau saya ngaret. Maaf juga karena saya jarang sekali mengecek blog ini karena keuangan yang sangat menipis. Belum lagi pada saat saya ulang tahun, *eaaaa dan saya kesel banget sama silent reader di facebook *eh

Pokoknya happy reading ya :) terus jangan lupa jadi member blog ini. Oh iya, saya juga butuh banget komentar kalian mengenai cerbung saya yang ini .. tolong banget . kalo disini ribet, ke twitter aku aja @LysaAJr atau facebook aku (Lysa Keyness Hutcherson)

CEKIDOT !

========


Pulang sekolah Ify mulai was-was, besok adalah gladi bersih untuk kompetisi Sejarah. Tapi bukan itu yang Ify takutkan, melainkan hari ini. Beberapa jam lagi, menuju sweet seventeen-nya.

Dan beberapa bulan lagi, menuju kelas dua belas. Sebagai perempuan, Ify tidak bisa tidak peduli, seperti halnya anak laki-laki lakukan. Apalagi sepertinya masalah ini sudah terlalu banyak menanti untuk diselesaikan.

Ify melangkah menyusuri koridor sekolah, melewati segerombolan manusia yang sok kenal, mengucapkan Selamat Ulang Tahun buat Ify. Melewati ruang musik, yang ramai. Pasti.

Besok Musikal, Ify tidak harus datang melihat. Karena memang Ify tidak mau, yasudahlah.

Sementara di dalam ruangan, Shilla memandangi jam dinding penuh ketajaman. Kalau saja tatapan benar-benar tajam setajam silet, pasti jam dinding itu sudah berserakan dan jatuh berkeping-keping.

“Hari ini kayaknya nggak perlu lama-lama ya. Kalian kan udah cukup bisa tuh, cukup banget malah. Jadi istirahat aja dirumah.” Shilla menghela napas lega.

Langsung saja Shilla menggendong tasnya di salah satu bahu, lalu keluar tanpa pamit. Rio sebenarnya acuh tak acuh, namun ia tetap geleng-geleng kepala. Cewek itu… desahnya.

Sementara Cakka menatapnya nanar, matanya sayu menandakan kekecewaan mendalam. Seharusnya memang Cakka mengerti, bahwa itulah sifatnya. Itulah SHILLA!

“Si Shilla tuh emang sifatnya kayak gitu ya?” tanya Rio, spontan mengagetkan Cakka. Rahmi sendiri tidak peduli, kelancaran hari esok lah yang penting.

“Yaa begitulah. Lo anak baru sih, Yo..” jawab Cakka disela-selakan canda pada akhirnya. Rio tertawa renyah, nyaris garing.

“Ya udahlah. Gue balik dulu ya kak, kak Rahmi.” pamit Rio lalu melangkah keluar.

Baru beberapa langkah Rio keluar dari ruang musik, satu panggilan masuk menyerbunya. Langsung saja Rio menekan tombol garis hijau pada ponselnya.

“Halo..”

“Yo! Gue udah dapet info nih,” ucap pemuda di seberang sana. Rio mengerutkan kening.

“Siapa nih?”

“Gue Patton! Pake kartu nyokap nih, hand phone gue nggak ada pulsa.”

“Oh… iya deh. Info apa?” Rio kembali melangkahkan kakinya ke basement sekolahnya.

“Acara sweet seventeen-nya Ify nanti jam 7 di Hard Rock café. Terus yang diundang tuh temen-temen sekelasnya sama temen yang dia kenal di kelas lain.”

“Lo diundang, Ton?”

“Enggak. Dia kayaknya enggak kenal gue. Lagian gue males dateng,” ucap Patton serius. Rio tertawa pelan.

“Oke deh. Thanks info lo, Ton.”

“Sip!”

Rio turun menggunakan elevator sekolahnya yang berada di Pintu Timur. Lalu mulai berjalan mencari letak mobilnya. karena letaknya tidak begitu jauh, dan yang tersisa hanya beberapa mobil, Rio langsung menghampiri mobilnya.

Porsche silver melesat keluar dari basement Timur Flotet International School. Niatnya Rio ingin menjemput Alvin ke SMAN 70. Namun dikarenakan macet yang panjang, jadi Rio memutuskan untuk pulang saja.

Sampai di rumah, Rio memarkirkan mobilnya lalu masuk ke rumah. Setelah itu langsung saja ia menaiki tangga ke kamarnya.

Di kamar Rio, ia membuka laptop-nya dan me-log in ke Twitter. Ternyata, yang paling tidak dapat dipercaya adalah… diam-diam Shilla telah meng-hack twitter Ify sewaktu di bus way tadi.

Tweets Ify –yang sebenarnya digunakan oleh Shilla- menimbulkan bombardier mentions yang tak terhitung jumlahnya. Kebanyakan dari mereka kaget, ada yang hampir marah-marah.

Padahal Ify sekarang sedang di salon, membuat tatanan rambut barunya untuk acara terbesar sepanjang sejarah kehidupannya ini. Meski Ify sendiri merasa tidak tenang, entah karena apa.

Rio langsung terbelalak mendapati apa yang terjadi di depan matanya sekarang. Rasanya ingin ia melempari laptop-nya sekarang juga. Ada apa ini?

@ifyalyssa Acara sweet seventeen gue BATALKAN!! Soalnya gw mw ke Paris sm ortu gw. Sorry ya smw ! gw mnta maaf bgt. Jgn dtng dh mlm ni.

Dan itu bukan hanya di twitter, tapi juga di facebook. Di seberang sana, Shilla tersenyum puas. Senyuman itu memang tidak tercetak di bibir, tapi tercetak di matanya dengan pasti.

Sepulang dari sekolah tadi, Shilla langsung meng-hack twitter dan facebook Ify. Langsung meng-update tweet dan status tersebut. Dan ketika hal tersebut berjalan lancar, tinggal menunggu waktunya. Nanti malam.

Rio kalap!! Tiba-tiba ia jadi sibuk sendiri. kesana-kemari ia mencari jalan keluarnya. Sebenarnya banyak yang tidak percaya, termasuk Rio. Tidak mungkin Ify melakukan itu.

Masalahnya, sms atau telepon ke nomer Ify tidak akan diangkat. Karena selain ia tidak ingin menjawab pertanyaan teman-temannya yang tidak penting, ia juga ingin tampil sempurna untuk nanti malam.

Dan… tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu. Selanjutnya. Walau Rio sudah membuat renacana, dan akan ia bulatkan tekad tersebut!

***

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Alvin segera memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, lalu keluar. Hebatnya Alvin adalah, dalam hari pertamanya, ia sudah mendapatkan banyak teman.

Hampir seluruh murid kelas XI menjadi temannya. Dan lebih hebatnya lagi, semuanya COWOK! Nggak ada yang namanya CEWEK! So.. Alvin is the prince charming of this school for this year and next year.

“Kayaknya nggak bakalan ada yang nyaingin pamornya si Alvin tahun depan deh.” Begitu kira-kira tanggapan anak perempuan maupun laki-laki.

Dan anehnya, tidak ada rasa iri dari anak laki-laki yang sudah menjadi pentolan sekolah disana. Mereka fine fine saja, malah berteman baik dengan Alvin. Menjadikannya ketua dari geng mereka.

“Woy bro!” panggil Sion dari kejauhan. Alvin berhenti, menoleh sebentar. Setelah merasakan Sion merangkul Alvin, barulah ia berjalan lagi.

“Elaah! Gue kirain siapa lo!” ucap Alvin sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.

“Lebay ah lo, Vin.” Deg! Alvin langsung pucat pasi, meski tidak berhenti berjalan. Lebay, satu kata. Berlebihan. Dan kata itu mengingatkannya, dengan masa silam.

“Lo mau bakil sama gue, Vin?”

“Nggak usah deh. Gue lagi males naik mobil,” tolak Alvin datar. Sion mengacungkan satu ibu jarinya, lalu masuk ke mobilnya.

Alvin berjalan ke depan gerbang. Menunggu sebuah metro mini. Tanpa disadari, seseorang menepuk pundaknya pelan. membuatnya sedikit tersentak. Alvin menggumam, Cewek ini lagi…

“Apa?” tanya Alvin dingin.

“Tadi pagi kan gue udah bilang, nggak bakal ada metro mini yang lewat. Soalnya lagi pada demo,” jawab Prissy santai. Alvin melongos, kesal.

“Terus?” Prissy tersenyum, sedikit dipaksakan.

“Yaaa… daripada lo pulang jalan kaki, mendingan bareng lagi sama gue.” tawar Prissy masih dengan senyumannya. Alvin tersenyum sarkatis, lalu mengibaskan tangannya.

“Jadi lo nggak mau nih?” tanya Prissy meyakinkan. Alvin tertawa, makin terkesan sarkatis. Prissy manyun.

“Heh, Non. Masih banyak kendaraan lain selain mobil lo itu.” Alvin melangkah, menjauhi Prissy. Kemudian menyetop taksi yang kebetulan lewat.

Di kejauhan, Nono menatapnya nanar. Melihat dengan tidak percaya di depannya. Hampir saja Nono tertangkap mata Prissy. Namun buru-buru ia melangkah pergi.

Jarum jam berdetik seiring perjalanan pulang Alvin ke rumah. Masih belum terlalu memikirkan sekolahnya, masih belum terlalu memikirkan Prissy. Tapi perempuan itu memang menyebalkan –menurut Alvin-.

Supir taxi tersebut memutarkan lagu yang ceria, Kuat Kita Bersinar dari Superman Is Dead. Tapi Alvin merasakan kemurungan.

Ia memang tidak ingin, sama sekali, melupakan Anay. Hanya perempuan cilik itu dan Ibu-nya yang ada dihatinya. Tidak ada yang lain.

Alvin tahu betul, saat itu ia masih kecil. Tapi sepertinya rasa cinta pada saat itu sudah tumbuh besar dan sudah terlalu jauh untuk dihentikan. Maka dari itu, sampai sekarang, Alvin tidak bisa melupakan Anay.

Secantik apapun perempuan Paris, sebaik apapun perempuan London, se-sempurna apapun perempuan Hollywood sekalipun tidak bisa menggantikan Anay dihatinya.

“Mau turun dimana, Mas?” tanya supir tersebut. Alvin tersentak, buru-buru tersadar dari masa lalu.

“Point One..” jawab Alvin singkat. Tidak lagi memikirkan masa lalunya, namun fokus pada jalanan.

Beberapa saat setelahnya, taxi yang ditumpangi Alvin sampai di rumah. Tepat di depan rumahnya. Supir taxi tersebut sampai ternganga-nganga melihat rumah Alvin.

Setelah Alvin membayar argo, ia langsung masuk ke dalam. Langsung menaiki tangga menuju lantai 3, masuk ke kamarnya dengan sedikit membanting. Alvin meletakkan tas-nya asal, lalu masuk ke ruangan di kamarnya.

Ruangan ini. Sumber setiap kemarahan Alvin. Salah satu dindingnya dilapisi bantal. Kedap suara. Satu rak gelas siap dipecahkan kapan saja. Panah, dan banyak lagi. Dan hanya Rio dan pelayan kepercayaannya –yang selalu membersihkan ruangan ini- yang tahu.

Dengan napas tersenggal-senggal, penuh kemarahan, Alvin mengambil satu gelas. Pelan-pelan ia menggenggam gelas tersebut. Namun sedetik kemudian, ia melemparkannya pada tembok dengan keras.

Terus menerus seperti itu, menonjok, menendang, apa saja yang membuatnya lebih tenang. Berteriak sekeras-kerasnya pun sering Alvin lakukan disini.

Perlahan, Alvin terduduk di pojok ruangan. Kotak jingga yang pernah dibuka Rio telah dibuka oleh Alvin. Salah satu penyebab kemarahan Alvin. Bukan saat Rio membuka kotak tersebut.

Tapi saat kenangannya kembali meluap. Bandana leher berwarna merah marun itu digenggam Alvin dengan satu tangan. Sementara ia menelungkupkan wajahnya di lututnya yang tertekuk.

“Gue kangen lo, Nay!! Gue kang..e..nn..!” ucap Alvin bergetar. Kali ini, Alvin menangis lagi.

Terdengar suara ketuka pintu dari luar. Alvin terdiam, masih terisak. Karena pintu memang tidak pernah dikunci olehnya, Rio masuk ke dalam. Menutup pintu, kemudian bersandar santai di pintu.

“Sekarang apa?” tanya Rio santai. Alasan Alvin memang tidak pernah bersangkutan dengan Anay. Namun sebenarnya, semua tentang Anay.

Alvin mengangkat wajahnya, melihat ke arah Rio. Kemudian membereskan kembali kotak-kotak jingga tersebut. Rio mengerti, kotak tersebut. Yang pernah dibukanya. Beberapa waktu yang lalu.

“Gue punya kenangan..” Alvin mendesah, kemudian memejamkan matanya.

***

Shilla melangkah masuk ke kompleks menuju rumahnya dengan wajah ceria. Senyuman puas tercetak lebar di bibirnya. Dipastikan rencananya akan berhasil 99,99 persen.

Sementara dirinya dirundung keberhasilan, diseberang sana Gabriel dirundung kemalangan. Besok ia harus UTS. Susahnya menjadi anak kuliahan. Pasti berat jadi Gabriel.

“Kak Shilla!” panggil Bastian dari atas rumahnya. Shilla sedikit tersentak, Bastian tertawa puas, Shilla makin geram.

“Apa lo! Awas lo ye Bintang! Gue bunuh lo!” teriak Shilla langsung lari ke dalam rumah.

Bastian ini aneh. Waktu Shilla lagi galau, ia bisa sebegitu baiknya sama Shilla. Kata-katanya juga manis, sampai-sampai Shilla mau berlinangan air mata. Tapi sekarang, nyebelinnya minta ampun.

Shilla menggebrak-gebrak pintu Bastian, karena sang empunya kamar mengunci pintunya. Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda dari sang empunya kamar, Shilla makin geram.

“Kak Shilla!!” teriak Bastian dari luar. Shilla langsung menuju balkon, melihat Bastian di bawah.

“Heh! Ngapain lo anak kecil?!” hardik Shilla kesal. Bastian menautkan kedua tangannya di belakang.

“Di rumah kakak itu nggak ada siapa-siapa loh!! Cuma ada dia seorang..” teriak Bastian menggoda. Shilla menyernyitkan dahi.

“Terus kenapa?” tanya Shilla heran. Bastian melangkah lagi, membuka gerbang. Bersiap menuju rumah Gabriel.

“Cuma mau bilang kalo kak Shilla senyum-senyum sendiri karena mikirin kakak itu!” jawab Bastian sambil senyum-senyum. Shilla geram. Langsung ia mengejar Bastian.

Saat itu pula Bastian keluar dari gerbang, lalu menuju rumah Gabriel. Shilla sudah lari sekuat tenaga. Bastian sialan, runtuk Shilla dalam hati. Padahal ia masih memakai seragam lengkap.

Bastian sampai di depan gerbang, langsung terbuka karena Bastian diberi tahu Gabriel password gerbang tersebut. Tak jauh di belakang, Shilla mengikuti dengan penuh amarah.

“Bintaaannggg!! Ah, rese lo!” hardik Shilla masih sambil berlari. Bastian mengetuk pintu, Gabriel langsung muncul.

“Ada apa, Bas?” tanya Gabriel ramah. Shilla langsung kalap, kontan melebarkan mata. Satu yang dpikirkannya, Gabriel kenal Bastian?

“Kak Shilla…”

“BINTAAANGGG!!” teriak Shilla langsung membekap mulut Bastian. Sedangkan Bastian meronta-ronta minta dilepaskan.

“Apaan sih Kak! Gue kan mau ngobrol sama Kak Briel!” sunggut Bastian bohong. Shilla memancarkan ribuan volt tatapan tajam.

“Maaf ya Kak, sepupu gue emang nakal!” ucap Shilla sambil tersenyum dipaksakan. Bastian ngakak, ngakak se-ngakak-ngakaknya. Gabriel tersenyum lebar, hampir tertawa.

“Hell-o!! gue udah kenal kali sama Kak Briel!” kata Bastian sambil menjulurkan lidahnya ke Shilla.

“Yaudah. Bastian, kita ngomonginnya di tempat rahasia aja. Oke?” saran Gabriel lalu mengedipkan sebelah matanya. Bastian menyeringai.

“Oke Kak!!” ucap Bastian. Shilla jadi bingung sendiri.

“Pamit dulu, Kak!” ujar Shilla langsung menarik kerah baju Bastian. Lalu berjalan pulang. Gabriel geleng-geleng kepala.

Shilla duduk menyendiri di balkon kamarnya. Hanya tinggal beberapa jam lagi, dan tinggal menunggu hasil. Dalam hati Shilla tertawa sendiri, biar tau rasa tu orang! hardik Shilla dalam hati.

Sedangkan Bastian ikut merenung di balkon yang sama, memikirkan obrolan tadi dengan Gabriel. Bukan hal yang penting, hanya aneh untuk bocah seusianya.

“Kayaknya bentar lagi gue bakal jadi Prince galau nih,” gumam Bastian lalu menghela napas. Shilla tersentak, sedikit memundurkan wajahnya.

“Masih kecil udah galau lo!”

“Alaaahh !! daripada kakak, nggak ada objek buat digalauin. Aneh!” gantian Bastian membela diri. Terjadilah adu argument itu.

Sementara Bastian sudah perang dunia –lagi-, di kejauhan Gabriel memandang mereka sambil tersenyum. Cewek itu, galak tapi baik. Manis tapi garang. Sopan tapi jenuh. Terlihat dibuat-buat.

Namun takdir memang tidak dapat dirubah. Siapapun sesungguhnya Shilla, tetap Gabriel tidak dapat melupakan masa lalunya. Siapa bilang semua manusia tidak punya masa lalu? Semua berhak mendapatkan masa lalu. Sepahit apapun itu.

***

Setengah jam sebelum dimulainya pesta. Ya Tuhan, ucap Ify. Paru-parunya serasa sesak, jantungnya berdebar-debar sangat kencang. Aliran darahnya berdesir seketika. Umur ini, sangat indah.

Ify memang tidak ditemani oleh kedua orang tuanya. Hanya ada kedua pembantunya. Dan salahnya Ify adalah, mengapa hand phone harus ia matikan? Jadi tidak terlihat satupun sms dari teman-temannya yang menanyakan kegagalan pesta tersebut.

15 menit sebelum pesta. Ify mulai gusar, belum ada yang datang. Ruangan itu kosong. Jangan dibayangkan bila memang tak sanggup. Ini sungguh mengecewakan Ify. Sama sekali.

“Kok belum pada dateng ya, Bi?” tanya Ify cemas. Ia meremas-remas tangannya yang terbalut hand cover.

“Mungkin mereka berangkat bareng-bareng non. Terus macet.” Ucap pembantunya menenangkan. Tetap saja Ify jadi kalap.

“Masa iya sih, Bi? Tapi satupun belum dateng. Zahra juga. Nggak mungkin dia terlambat,” kata Ify semakin cemas.

Mondar-mandir Ify tidak karuan, mengelilingi ruangan hard rock café yang cukup menampung 1000 tamu undangan itu. Kecemasan makin menjadi saat 5 menit menjelang pesta sweet seventeen Ify.

Apa yang selanjutnya terjadi?

======

Mind to share this guys ?? THANKS BEFORE !!

2 komentar:

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS