Sebelumnyaaa... maaf ya kalau saya ngaret. Maaf juga karena saya jarang sekali mengecek blog ini karena keuangan yang sangat menipis. Belum lagi pada saat saya ulang tahun, *eaaaa dan saya kesel banget sama silent reader di facebook *eh
Pokoknya happy reading ya :) terus jangan lupa jadi member blog ini. Oh iya, saya juga butuh banget komentar kalian mengenai cerbung saya yang ini .. tolong banget . kalo disini ribet, ke twitter aku aja @LysaAJr atau facebook aku (Lysa Keyness Hutcherson)
CEKIDOT !
========
Pulang
sekolah Ify mulai was-was, besok adalah gladi bersih untuk kompetisi Sejarah.
Tapi bukan itu yang Ify takutkan, melainkan hari ini. Beberapa jam lagi, menuju
sweet seventeen-nya.
Dan
beberapa bulan lagi, menuju kelas dua belas. Sebagai perempuan, Ify tidak bisa
tidak peduli, seperti halnya anak laki-laki lakukan. Apalagi sepertinya masalah
ini sudah terlalu banyak menanti untuk diselesaikan.
Ify
melangkah menyusuri koridor sekolah, melewati segerombolan manusia yang sok
kenal, mengucapkan Selamat Ulang Tahun buat Ify. Melewati ruang musik, yang
ramai. Pasti.
Besok
Musikal, Ify tidak harus datang melihat. Karena memang Ify tidak mau,
yasudahlah.
Sementara
di dalam ruangan, Shilla memandangi jam dinding penuh ketajaman. Kalau saja tatapan
benar-benar tajam setajam silet, pasti jam dinding itu sudah berserakan dan
jatuh berkeping-keping.
“Hari ini
kayaknya nggak perlu lama-lama ya. Kalian kan udah cukup bisa tuh, cukup banget
malah. Jadi istirahat aja dirumah.” Shilla menghela napas lega.
Langsung
saja Shilla menggendong tasnya di salah satu bahu, lalu keluar tanpa pamit. Rio
sebenarnya acuh tak acuh, namun ia tetap geleng-geleng kepala. Cewek itu…
desahnya.
Sementara
Cakka menatapnya nanar, matanya sayu menandakan kekecewaan mendalam. Seharusnya
memang Cakka mengerti, bahwa itulah sifatnya. Itulah SHILLA!
“Si Shilla
tuh emang sifatnya kayak gitu ya?” tanya Rio, spontan mengagetkan Cakka. Rahmi
sendiri tidak peduli, kelancaran hari esok lah yang penting.
“Yaa
begitulah. Lo anak baru sih, Yo..” jawab Cakka disela-selakan canda pada
akhirnya. Rio tertawa renyah, nyaris garing.
“Ya
udahlah. Gue balik dulu ya kak, kak Rahmi.” pamit Rio lalu melangkah keluar.
Baru
beberapa langkah Rio keluar dari ruang musik, satu panggilan masuk menyerbunya.
Langsung saja Rio menekan tombol garis hijau pada ponselnya.
“Halo..”
“Yo! Gue
udah dapet info nih,” ucap pemuda di seberang sana. Rio mengerutkan kening.
“Siapa
nih?”
“Gue
Patton! Pake kartu nyokap nih, hand phone gue nggak ada pulsa.”
“Oh… iya deh.
Info apa?” Rio kembali melangkahkan kakinya ke basement sekolahnya.
“Acara
sweet seventeen-nya Ify nanti jam 7 di Hard Rock café. Terus yang diundang tuh
temen-temen sekelasnya sama temen yang dia kenal di kelas lain.”
“Lo
diundang, Ton?”
“Enggak.
Dia kayaknya enggak kenal gue. Lagian gue males dateng,” ucap Patton serius.
Rio tertawa pelan.
“Oke deh.
Thanks info lo, Ton.”
“Sip!”
Rio turun
menggunakan elevator sekolahnya yang berada di Pintu Timur. Lalu mulai berjalan
mencari letak mobilnya. karena letaknya tidak begitu jauh, dan yang tersisa
hanya beberapa mobil, Rio langsung menghampiri mobilnya.
Porsche
silver melesat keluar dari basement Timur Flotet International School. Niatnya
Rio ingin menjemput Alvin ke SMAN 70. Namun dikarenakan macet yang panjang,
jadi Rio memutuskan untuk pulang saja.
Sampai di
rumah, Rio memarkirkan mobilnya lalu masuk ke rumah. Setelah itu langsung saja
ia menaiki tangga ke kamarnya.
Di kamar
Rio, ia membuka laptop-nya dan me-log in ke Twitter. Ternyata, yang paling
tidak dapat dipercaya adalah… diam-diam Shilla telah meng-hack twitter Ify
sewaktu di bus way tadi.
Tweets Ify
–yang sebenarnya digunakan oleh Shilla- menimbulkan bombardier mentions yang
tak terhitung jumlahnya. Kebanyakan dari mereka kaget, ada yang hampir
marah-marah.
Padahal Ify
sekarang sedang di salon, membuat tatanan rambut barunya untuk acara terbesar
sepanjang sejarah kehidupannya ini. Meski Ify sendiri merasa tidak tenang,
entah karena apa.
Rio
langsung terbelalak mendapati apa yang terjadi di depan matanya sekarang.
Rasanya ingin ia melempari laptop-nya sekarang juga. Ada apa ini?
@ifyalyssa
Acara sweet seventeen gue BATALKAN!! Soalnya gw mw ke Paris sm ortu gw. Sorry
ya smw ! gw mnta maaf bgt. Jgn dtng dh mlm ni.
Dan itu
bukan hanya di twitter, tapi juga di facebook. Di seberang sana, Shilla
tersenyum puas. Senyuman itu memang tidak tercetak di bibir, tapi tercetak di
matanya dengan pasti.
Sepulang
dari sekolah tadi, Shilla langsung meng-hack twitter dan facebook Ify. Langsung
meng-update tweet dan status tersebut. Dan ketika hal tersebut berjalan lancar,
tinggal menunggu waktunya. Nanti malam.
Rio kalap!!
Tiba-tiba ia jadi sibuk sendiri. kesana-kemari ia mencari jalan keluarnya.
Sebenarnya banyak yang tidak percaya, termasuk Rio. Tidak mungkin Ify melakukan
itu.
Masalahnya,
sms atau telepon ke nomer Ify tidak akan diangkat. Karena selain ia tidak ingin
menjawab pertanyaan teman-temannya yang tidak penting, ia juga ingin tampil
sempurna untuk nanti malam.
Dan… tidak
ada yang bisa dilakukan selain menunggu. Selanjutnya. Walau Rio sudah membuat
renacana, dan akan ia bulatkan tekad tersebut!
***
Bel pulang
sekolah berbunyi nyaring. Alvin segera memasukkan buku-bukunya ke dalam tas,
lalu keluar. Hebatnya Alvin adalah, dalam hari pertamanya, ia sudah mendapatkan
banyak teman.
Hampir
seluruh murid kelas XI menjadi temannya. Dan lebih hebatnya lagi, semuanya
COWOK! Nggak ada yang namanya CEWEK! So.. Alvin is the prince charming of this
school for this year and next year.
“Kayaknya
nggak bakalan ada yang nyaingin pamornya si Alvin tahun depan deh.” Begitu
kira-kira tanggapan anak perempuan maupun laki-laki.
Dan
anehnya, tidak ada rasa iri dari anak laki-laki yang sudah menjadi pentolan
sekolah disana. Mereka fine fine saja, malah berteman baik dengan Alvin.
Menjadikannya ketua dari geng mereka.
“Woy bro!”
panggil Sion dari kejauhan. Alvin berhenti, menoleh sebentar. Setelah merasakan
Sion merangkul Alvin, barulah ia berjalan lagi.
“Elaah! Gue
kirain siapa lo!” ucap Alvin sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku
celananya.
“Lebay ah
lo, Vin.” Deg! Alvin langsung pucat pasi, meski tidak berhenti berjalan. Lebay,
satu kata. Berlebihan. Dan kata itu mengingatkannya, dengan masa silam.
“Lo mau
bakil sama gue, Vin?”
“Nggak usah
deh. Gue lagi males naik mobil,” tolak Alvin datar. Sion mengacungkan satu ibu
jarinya, lalu masuk ke mobilnya.
Alvin
berjalan ke depan gerbang. Menunggu sebuah metro mini. Tanpa disadari,
seseorang menepuk pundaknya pelan. membuatnya sedikit tersentak. Alvin
menggumam, Cewek ini lagi…
“Apa?”
tanya Alvin dingin.
“Tadi pagi
kan gue udah bilang, nggak bakal ada metro mini yang lewat. Soalnya lagi pada
demo,” jawab Prissy santai. Alvin melongos, kesal.
“Terus?”
Prissy tersenyum, sedikit dipaksakan.
“Yaaa…
daripada lo pulang jalan kaki, mendingan bareng lagi sama gue.” tawar Prissy
masih dengan senyumannya. Alvin tersenyum sarkatis, lalu mengibaskan tangannya.
“Jadi lo
nggak mau nih?” tanya Prissy meyakinkan. Alvin tertawa, makin terkesan
sarkatis. Prissy manyun.
“Heh, Non.
Masih banyak kendaraan lain selain mobil lo itu.” Alvin melangkah, menjauhi
Prissy. Kemudian menyetop taksi yang kebetulan lewat.
Di
kejauhan, Nono menatapnya nanar. Melihat dengan tidak percaya di depannya.
Hampir saja Nono tertangkap mata Prissy. Namun buru-buru ia melangkah pergi.
Jarum jam
berdetik seiring perjalanan pulang Alvin ke rumah. Masih belum terlalu
memikirkan sekolahnya, masih belum terlalu memikirkan Prissy. Tapi perempuan
itu memang menyebalkan –menurut Alvin-.
Supir taxi
tersebut memutarkan lagu yang ceria, Kuat Kita Bersinar dari Superman Is Dead.
Tapi Alvin merasakan kemurungan.
Ia memang
tidak ingin, sama sekali, melupakan Anay. Hanya perempuan cilik itu dan Ibu-nya
yang ada dihatinya. Tidak ada yang lain.
Alvin tahu
betul, saat itu ia masih kecil. Tapi sepertinya rasa cinta pada saat itu sudah
tumbuh besar dan sudah terlalu jauh untuk dihentikan. Maka dari itu, sampai
sekarang, Alvin tidak bisa melupakan Anay.
Secantik
apapun perempuan Paris, sebaik apapun perempuan London, se-sempurna apapun
perempuan Hollywood sekalipun tidak bisa menggantikan Anay dihatinya.
“Mau turun
dimana, Mas?” tanya supir tersebut. Alvin tersentak, buru-buru tersadar dari
masa lalu.
“Point
One..” jawab Alvin singkat. Tidak lagi memikirkan masa lalunya, namun fokus
pada jalanan.
Beberapa
saat setelahnya, taxi yang ditumpangi Alvin sampai di rumah. Tepat di depan
rumahnya. Supir taxi tersebut sampai ternganga-nganga melihat rumah Alvin.
Setelah
Alvin membayar argo, ia langsung masuk ke dalam. Langsung menaiki tangga menuju
lantai 3, masuk ke kamarnya dengan sedikit membanting. Alvin meletakkan tas-nya
asal, lalu masuk ke ruangan di kamarnya.
Ruangan
ini. Sumber setiap kemarahan Alvin. Salah satu dindingnya dilapisi bantal.
Kedap suara. Satu rak gelas siap dipecahkan kapan saja. Panah, dan banyak lagi.
Dan hanya Rio dan pelayan kepercayaannya –yang selalu membersihkan ruangan ini-
yang tahu.
Dengan
napas tersenggal-senggal, penuh kemarahan, Alvin mengambil satu gelas.
Pelan-pelan ia menggenggam gelas tersebut. Namun sedetik kemudian, ia
melemparkannya pada tembok dengan keras.
Terus
menerus seperti itu, menonjok, menendang, apa saja yang membuatnya lebih
tenang. Berteriak sekeras-kerasnya pun sering Alvin lakukan disini.
Perlahan,
Alvin terduduk di pojok ruangan. Kotak jingga yang pernah dibuka Rio telah
dibuka oleh Alvin. Salah satu penyebab kemarahan Alvin. Bukan saat Rio membuka
kotak tersebut.
Tapi saat
kenangannya kembali meluap. Bandana leher berwarna merah marun itu digenggam
Alvin dengan satu tangan. Sementara ia menelungkupkan wajahnya di lututnya yang
tertekuk.
“Gue kangen
lo, Nay!! Gue kang..e..nn..!” ucap Alvin bergetar. Kali ini, Alvin menangis
lagi.
Terdengar
suara ketuka pintu dari luar. Alvin terdiam, masih terisak. Karena pintu memang
tidak pernah dikunci olehnya, Rio masuk ke dalam. Menutup pintu, kemudian
bersandar santai di pintu.
“Sekarang
apa?” tanya Rio santai. Alasan Alvin memang tidak pernah bersangkutan dengan
Anay. Namun sebenarnya, semua tentang Anay.
Alvin
mengangkat wajahnya, melihat ke arah Rio. Kemudian membereskan kembali
kotak-kotak jingga tersebut. Rio mengerti, kotak tersebut. Yang pernah
dibukanya. Beberapa waktu yang lalu.
“Gue punya
kenangan..” Alvin mendesah, kemudian memejamkan matanya.
***
Shilla
melangkah masuk ke kompleks menuju rumahnya dengan wajah ceria. Senyuman puas
tercetak lebar di bibirnya. Dipastikan rencananya akan berhasil 99,99 persen.
Sementara
dirinya dirundung keberhasilan, diseberang sana Gabriel dirundung kemalangan.
Besok ia harus UTS. Susahnya menjadi anak kuliahan. Pasti berat jadi Gabriel.
“Kak
Shilla!” panggil Bastian dari atas rumahnya. Shilla sedikit tersentak, Bastian
tertawa puas, Shilla makin geram.
“Apa lo!
Awas lo ye Bintang! Gue bunuh lo!” teriak Shilla langsung lari ke dalam rumah.
Bastian ini
aneh. Waktu Shilla lagi galau, ia bisa sebegitu baiknya sama Shilla.
Kata-katanya juga manis, sampai-sampai Shilla mau berlinangan air mata. Tapi
sekarang, nyebelinnya minta ampun.
Shilla
menggebrak-gebrak pintu Bastian, karena sang empunya kamar mengunci pintunya.
Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda dari sang empunya kamar, Shilla makin
geram.
“Kak
Shilla!!” teriak Bastian dari luar. Shilla langsung menuju balkon, melihat
Bastian di bawah.
“Heh! Ngapain
lo anak kecil?!” hardik Shilla kesal. Bastian menautkan kedua tangannya di
belakang.
“Di rumah
kakak itu nggak ada siapa-siapa loh!! Cuma ada dia seorang..” teriak Bastian
menggoda. Shilla menyernyitkan dahi.
“Terus
kenapa?” tanya Shilla heran. Bastian melangkah lagi, membuka gerbang. Bersiap
menuju rumah Gabriel.
“Cuma mau
bilang kalo kak Shilla senyum-senyum sendiri karena mikirin kakak itu!” jawab
Bastian sambil senyum-senyum. Shilla geram. Langsung ia mengejar Bastian.
Saat itu
pula Bastian keluar dari gerbang, lalu menuju rumah Gabriel. Shilla sudah lari
sekuat tenaga. Bastian sialan, runtuk Shilla dalam hati. Padahal ia masih
memakai seragam lengkap.
Bastian
sampai di depan gerbang, langsung terbuka karena Bastian diberi tahu Gabriel
password gerbang tersebut. Tak jauh di belakang, Shilla mengikuti dengan penuh
amarah.
“Bintaaannggg!!
Ah, rese lo!” hardik Shilla masih sambil berlari. Bastian mengetuk pintu,
Gabriel langsung muncul.
“Ada apa,
Bas?” tanya Gabriel ramah. Shilla langsung kalap, kontan melebarkan mata. Satu
yang dpikirkannya, Gabriel kenal Bastian?
“Kak
Shilla…”
“BINTAAANGGG!!”
teriak Shilla langsung membekap mulut Bastian. Sedangkan Bastian meronta-ronta
minta dilepaskan.
“Apaan sih
Kak! Gue kan mau ngobrol sama Kak Briel!” sunggut Bastian bohong. Shilla
memancarkan ribuan volt tatapan tajam.
“Maaf ya
Kak, sepupu gue emang nakal!” ucap Shilla sambil tersenyum dipaksakan. Bastian
ngakak, ngakak se-ngakak-ngakaknya. Gabriel tersenyum lebar, hampir tertawa.
“Hell-o!!
gue udah kenal kali sama Kak Briel!” kata Bastian sambil menjulurkan lidahnya
ke Shilla.
“Yaudah.
Bastian, kita ngomonginnya di tempat rahasia aja. Oke?” saran Gabriel lalu
mengedipkan sebelah matanya. Bastian menyeringai.
“Oke Kak!!”
ucap Bastian. Shilla jadi bingung sendiri.
“Pamit
dulu, Kak!” ujar Shilla langsung menarik kerah baju Bastian. Lalu berjalan
pulang. Gabriel geleng-geleng kepala.
Shilla
duduk menyendiri di balkon kamarnya. Hanya tinggal beberapa jam lagi, dan
tinggal menunggu hasil. Dalam hati Shilla tertawa sendiri, biar tau rasa tu
orang! hardik Shilla dalam hati.
Sedangkan
Bastian ikut merenung di balkon yang sama, memikirkan obrolan tadi dengan
Gabriel. Bukan hal yang penting, hanya aneh untuk bocah seusianya.
“Kayaknya
bentar lagi gue bakal jadi Prince galau nih,” gumam Bastian lalu menghela
napas. Shilla tersentak, sedikit memundurkan wajahnya.
“Masih
kecil udah galau lo!”
“Alaaahh !!
daripada kakak, nggak ada objek buat digalauin. Aneh!” gantian Bastian membela
diri. Terjadilah adu argument itu.
Sementara
Bastian sudah perang dunia –lagi-, di kejauhan Gabriel memandang mereka sambil
tersenyum. Cewek itu, galak tapi baik. Manis tapi garang. Sopan tapi jenuh.
Terlihat dibuat-buat.
Namun
takdir memang tidak dapat dirubah. Siapapun sesungguhnya Shilla, tetap Gabriel
tidak dapat melupakan masa lalunya. Siapa bilang semua manusia tidak punya masa
lalu? Semua berhak mendapatkan masa lalu. Sepahit apapun itu.
***
Setengah
jam sebelum dimulainya pesta. Ya Tuhan, ucap Ify. Paru-parunya serasa sesak,
jantungnya berdebar-debar sangat kencang. Aliran darahnya berdesir seketika.
Umur ini, sangat indah.
Ify memang
tidak ditemani oleh kedua orang tuanya. Hanya ada kedua pembantunya. Dan
salahnya Ify adalah, mengapa hand phone harus ia matikan? Jadi tidak terlihat
satupun sms dari teman-temannya yang menanyakan kegagalan pesta tersebut.
15 menit
sebelum pesta. Ify mulai gusar, belum ada yang datang. Ruangan itu kosong.
Jangan dibayangkan bila memang tak sanggup. Ini sungguh mengecewakan Ify. Sama
sekali.
“Kok belum
pada dateng ya, Bi?” tanya Ify cemas. Ia meremas-remas tangannya yang terbalut
hand cover.
“Mungkin
mereka berangkat bareng-bareng non. Terus macet.” Ucap pembantunya menenangkan.
Tetap saja Ify jadi kalap.
“Masa iya
sih, Bi? Tapi satupun belum dateng. Zahra juga. Nggak mungkin dia terlambat,”
kata Ify semakin cemas.
Mondar-mandir
Ify tidak karuan, mengelilingi ruangan hard rock café yang cukup menampung 1000
tamu undangan itu. Kecemasan makin menjadi saat 5 menit menjelang pesta sweet
seventeen Ify.
Apa yang
selanjutnya terjadi?
Mind to share this guys ?? THANKS BEFORE !!
di lanjut dong ka,,,, plisss,,
BalasHapuslanjut ka
BalasHapus