Rahasia Hati (Part 1)

Minggu, 14 Juli 2013

Ashilla Zahrantiara. Gadis dengan tutur kata sopan, yang selalu menjaga kata-katanya agar tidak menyakiti hati orang lain. Cenderung suka menyendiri, dan terlalu rajin memasang fake smile.

Mempunyai sahabat baik sejak SMP bernama; Alvin Jonathan Sindhunata dan Sivia Azizah. Alvin adalah seorang photographer, selalu membawa kamera kemana-mana. Sementara Sivia adalah modelnya.

Gadis ini telah lama terjebak dalam permainan hatinya sendiri. Dengan siklus yang sama, membuatnya harus siap dengan segala konsekuensi. Tanpa berani mengungkapkan, tanpa berani berkata-kata, sebab takut akan merubah segalanya. Bersahabat selama lebih dari 3 tahun tidak akan dihancurkannya karena keegoisan. Ia harus bisa menekan seluruh perasaannya.

Karena Shilla tahu, pasti akan ada jalan untuk kisahnya. Karena akan selalu ada harapan yang terpanjat dari setiap doanya. Karena akan selalu ada kata, ‘terkabul’, dalam doa-doa yang setiap manusia panjatkan pada Tuhan-nya.

***

Selalu begini.

Meski tahun demi tahun bergulir, tetap saja begini. Shilla yang menatap Alvin, dan Alvin yang menatap Sivia. Selalu begini, Shilla yang berpura-pura tidak mempunyai perasaan apapun terhadap Alvin, berusaha menenangkannya setiap Sivia berpacaran dengan siapapun.

Shilla bukannya tidak tahu perasaan Alvin pada Sivia. Meski pemuda itu tidak pernah sekalipun bercerita banyak padanya, Shilla tahu dengan jelas melalui tatapan mata itu. Entah itu tatapan mata setajam elangnya, atau tatapan lensa kameranya.

Kedua lensa itu selalu berhenti dan terfokus pada objek yang sama. Sivia. Tidak ada Shilla, hanya Sivia, atau mereka bertiga.

Frekuensi bertemunya mereka bertiga dapat dihitung dengan jari. Itu dikarenakan Sivia lebih sering menghabiskan waktu bersama pacarnya, Gabriel Stevent Damanik. Kakak kelas mereka yang sebentar lagi lulus.

Sementara frekuensi bertemu Alvin dengan Shilla benar-benar sangat banyak. Shilla selalu menempel pada Alvin layaknya magnet dengan besi. Tidak pernah sekalipun Shilla meninggalkan Alvin saat sedang kemana-mana. Sebabnya hanya satu, Shilla takut ia bertemu Sivia dan Gabriel.

Gadis itu sangat mengerti rasanya sakit hati. Bahkan, ia sendiri tidak tahu sudah seperti apa rupa hatinya. Dicabik, digores, dipatahkan, diiris, dan banyak lagi. Sudah terlalu banyak plester yang menempel pada hatinya. Tidak ada ruang untuk plester yang lain.

Dan tidak ada yang bisa disalahkan disini. Tidak pula Alvin, tidak pula Sivia. Justru Shilla menganggap dirinyalah yang selama ini bersalah. Masuk dalam lingkaran yang tanpa ia ketahui akan memporak-porandakan semuanya.

Ia tidak berhak bersikap egois. Karena Alvin dan Sivia, telah ada sebelum dirinya datang.

Kedekatannya bersama Alvin karena ia ingin menguatkan pemuda itu. Tidak ada yang begitu mengerti dirinya. Tidak ada yang tahu cinta diam-diamnya pada Sivia. Hanya Shilla yang mengerti, meski pemuda itu tidak bercerita padanya.

Oh, masalah percintaan Shilla…

Pemuda-pemuda yang mendekatinya cukup banyak. Namun tidak ada satupun yang mendapat respon lebih dari Shilla. Dan karena gadis itu selalu saja berdekatan dengan Alvin, tanpa peduli pemuda-pemuda lainnya. Akhirnya, mereka semua mundur teratur. Sadar bahwa Shilla—mungkin—hanya menyayangi Alvin.

“Hai, Alvin, Shilla!” sapa Sivia riang. Tentunya, bersama Gabriel.

Meski rumah Alvin dan Sivia berdekatan, tetapi jelas, Sivia ingin berangkat bersama Gabriel. Alasannya yang klasik, mereka berpacaran. Alasan lainnya, Gabriel adalah siswa tahun terakhir. Sebelum lulus, Sivia harus memberikan banyak kenangan untuk Gabriel.

Karena Sivia berangkat bersama Gabriel, maka Alvin berangkat bersama Shilla. Rumah mereka searah, meski tidak berdekatan. Shilla awalnya menolak, takut merepotkan Alvin. Tapi ia tersadar, bahwa Alvin butuh perlindungan. Apalagi saat seperti ini. Saat pemuda itu bertemu Sivia bersama Gabriel, di parkiran.

Sivia terlihat menyikut-nyikut Gabriel. Membuat Shilla dan Alvin mengernyit heran.

“Ah, ya. Nanti malam, gue mau ajak kalian ke TamKot. Yang baru dibuka itu. Disana bagus view-nya, ada padang bunga, juga.” Gabriel membuka sleting pada ranselnya, lalu mengeluarkan dua buah tiket dan memberikannya pada Shilla dan Alvin. “Oh ya, gue juga denger dari Sivia, kalo lo photographer kan, Vin? Kebetulan, view disana indah banget. Sekalian, kalo boleh…” Gabriel menghentikan kalimatnya. Ia menatap Sivia sambil meringis.

Shilla melongo, sementara tampaknya Alvin sudah mengerti maksud Gabriel.

“Tenang aja. Lo siapin aja semuanya. Buat Sivia, apasih yang enggak,” ucap Alvin kalem. Sivia dan Gabriel tersenyum, lalu pamit duluan ke kelas.

Shilla baru saja tersadar. Apa yang baru dikatakan Alvin. Ya, benar, buat Sivia. Apa yang enggak buat dirinya? Meski Alvin harus memberikan seluruh hatinya, lalu Sivia meremukkannya tanpa ampun juga, Alvin akan melakukannya.

Untuk Sivia. Bukan dirinya.

***

“Vin, lo yakin?” tanya Shilla kala Alvin menjemputnya. Seperti biasa, dengan motor besar berwarna hitam miliknya.

“Yaelah, kenapa juga gue jemput lo kalo nggak yakin?” tanya Alvin sambil tersenyum. Pemuda itu menyerahkan helm pada Shilla.

“Tapi, kan…”

“Shill, udah berapa kali gue ngeliat mereka bersama? Beginian doang, sih, nggak ada apa-apanya,” ucap Alvin tenang.

Shilla menghela napas. Mungkin Alvin sama seperti dirinya. Tidak ada ruang lain untuk plester-plester yang melekat pada hatinya. Keduanya sama-sama menyimpan rasa. Cinta diam-diam.

Mungkin Shilla sedikit lebih beruntung daripada Alvin. Dia tidak harus melihat seseorang yang dicintainya bersama dengan oranglain. Iya kan?

Sepanjang perjalanan, Shilla hanya diam. Tidak juga berani untuk memeluk Alvin. Apa yang dilakukannya sudah cukup. Menemani Alvin. Tidak boleh ada maksud lain selain itu.

Meski Sivia sangat menghargainya sebagai sahabat, karena gadis itu yang pertama kali mengajaknya membuat Trio bersama Alvin, tapi Shilla tidak pernah tahu pendapat Alvin. Pemuda itu tampaknya mengiyakan segala yang Sivia minta.

Sesampainya di Taman Kota, Sivia langsung melambai dari balik pagar yang menjulang tinggi. Alvin dan Shilla segera menyerahkan tiket yang diberikan Gabriel tadi pagi kepada petugas.

Taman Kota itu termasuk hutan lindung, karena didalamnya juga terdapat padang bunga luas yang sangat indah, maka pemerintah memutuskan untuk menjadikannya sebagai tempat wisata. Sebab itulah Gabriel harus membeli tiket dulu sebelum kemari.

Alvin langsung mengeluarkan kameranya dari dalam tas, sementara Shilla berdiri di belakang Alvin waspada.

“Oke. Jadi mau dimana?” tanya Alvin pada pasangan dihadapannya.

“Eh… lo aja deh, yang tentuin tempatnya,” jawab Gabriel disertai senyuman.

“Iya, Vin. Lo kan photographer, jadi pasti tau mana view yang pas. Gue sama Gabriel duduk disitu dulu, ya.” Alvin mengangguk, sementara Sivia dan Gabriel sudah duduk manis dibawah pohon yang rindang. Pohon itu menghadap langsung pada padang bunga di depan.

“Gue… gue ikut Alvin, ya. Takut jadi kacang, hehe..” ucap Shilla mencoba tertawa. Gabriel dan Sivia juga ikut tertawa sebentar, kemudian mengangguk.

Memang seperti itulah Shilla disetiap tempat. Tidak dibutuhkan. Shilla kebanyakan hanya jadi penjual kacang yang tidak laku-laku meski harganya didiskon hingga 90%.

Shilla segera menyusul Alvin yang sudah turun ke padang bunga tersebut.

Banyaknya bunga membuatnya sulit bergerak. Beberapa kali Shilla harus tersandung bunga-bunga tersebut saking banyaknya. Alvin tampaknya tidak sama sekali mengindahkan Shilla yang tersaruk-saruk mengikutinya.

Seperti yang selama ini Shilla lakukan. Tersaruk-saruk mengikutinya, tanpa pernah Alvin pedulikan. Terjatuh, bangkit lagi, lalu tersandung, terjatuh lagi, bangkit lagi, hanya untuk mengejar Alvin.

Yang tidak akan pernah menoleh padanya. Yang akan terus berjalan ke depan, mengikuti jalan yang Sivia lewati.

Shilla berdiri diam beberapa langkah dibelakang Alvin. Memperhatikan punggung Alvin yang tegap. Memperhatikan Alvin yang sedang mengambil beberapa foto untuk contoh. Meski sudah malam, padang bunga ini begitu terang karena banyaknya lampu-lampu yang menerangi.

Gadis itu terhenyak sendiri. Baru saja sadar bahwa Alvin bersedia menjadi photographer untuk Sivia dengan Gabriel. Lalu bagaimana dengan dirinya?

Tanpa sadar Shilla sudah mencengkram kemeja yang dipakai Alvin. Membuat pemuda itu berhenti memotret, lalu menoleh sedikit pada Shilla.

“Kenapa, Shill?”

“Kenapa lo bisa…” Shilla memejamkan mata. Berusaha menetralkan rasa sakit pada dadanya. “ngelakuin ini?”

“Buat Sivia,” jawab Alvin pendek. Shilla menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Tapi ini udah keterlaluan, Vin. Jangan sakitin hati lo terus,” ucap Shilla pelan. Lalu bagaimana dengan hatimu, Shilla?

“Tenang aja. Gue udah biasa kok,” kata Alvin lalu tertawa pelan. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. “Lo pikir, udah berapa lama gue berlatih untuk ini? Gue bukan orang yang baru aja jatuh cinta sama Sivia,” lanjut Alvin kemudian.

Shilla tersentak. Tak mampu lagi berkata-kata.

Berapa lama Alvin telah memendam perasaannya pada Sivia? Kalau Shilla saja memendam perasaan pada Alvin selama kurang lebih 3 tahun, lalu bagaimana dengan Alvin? Sudah berapa tahun pemuda itu tersakiti?

Oleh gadis yang sama. Berulang kali.

**

Shilla duduk di tempat Sivia dan Gabriel tadi duduk. Dibawah pohon rindang yang menghadap ke padang bunga. Duduk sendiri. Menatap Alvin, Sivia dan Gabriel dibawah sana. Tertawa-tawa karena pose yang Sivia dan Gabriel buat.

Kenapa? Kenapa Alvin yang menyaksikan itu semua masih bisa tertawa begitu lepas? Mengapa Shilla tidak bisa seperti Alvin, yang setiap melihat Alvin menatapi Sivia dengan tatapan memuja, masih bisa menyembunyikan kesedihannya?

Mungkin, karena Shilla belum mencintai Alvin, se-lama Alvin mencintai Sivia. Mungkin, karena Shilla belum bisa mengerti Alvin, seperti Sivia mengerti dirinya. Mungkin, karena Shilla tidak bisa memberikan Alvin dunianya, seperti Sivia memberikan dunianya.

Atauhkah, karena tali yang terikat antara Alvin dengan Sivia terlalu kuat? Hingga tidak bisa lagi disambungkan dengan tali milik Shilla?

“Thanks, ya, Alv. Besok langsung diambil bisa?” tanya Sivia setelah usai mengambil beberapa fotonya bersama Gabriel.

Shilla sontak berdiri saat Alvin menghampirinya bersama Sivia dan Gabriel dibelakangnya. Raut wajah itu masih sama seperti pertama kali Shilla bertemu dengannya. Datar. Seakan yang sudah terjadi hanya sebuah ilusi, yang tidak perlu diingat kembali.

“Oke,”

“Besok gue ke kelas lo aja, ya,” Alvin mengangguk-angguk, lalu tersenyum.

Shilla ikut tersenyum. Meski sulit untuknya. Mengingat bahwa ia dan Alvin berada dalam satu kelas membuatnya miris. Bagaimana Shilla bisa dengan mudah melupakan Alvin, saat pemuda itu merupakan teman sekelasnya? Saat pemuda itu juga merupakan sahabatnya?

Shilla tahu ia tidak bisa menyalahkan Tuhan. Bahkan keadaan. Tapi menekan hatinya sendiri rasanya ia juga tidak bisa. Terlalu sakit, dan rasanya ia sudah tidak bisa lagi meremukkannya sendiri karena pada dasarnya hati itu sudah hancur.

“Thanks, Vin. Kita pulang dulu, ya!” seru Gabriel sambil melangkah menjauh. Sivia melambai, dibalas oleh Alvin, juga Shilla.

Dengan dorongan kuat, Shilla menyelipkan jemarinya pada jemari Alvin. Meremasnya kuat. Memberinya perlindungan. Tidak ada maksud apa-apa. Dia hanya merasa nelangsa melihat Alvin yang terus-menerus tersakiti.

Alvin sendiri hanya tersenyum. Tanpa membalas remasan tangan Shilla.

***

Yap, this is the new story of mine. hehe. gakuat kalo nggak nulis ... so, yang try tetep vacuum sementara yang ini dulu yang di publish. CIAO!! give me your comment yeaaa :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS