Ashilla Zahrantiara. Gadis dengan
tutur kata sopan, yang selalu menjaga kata-katanya agar tidak menyakiti hati
orang lain. Cenderung suka menyendiri, dan terlalu rajin memasang fake smile.
Mempunyai sahabat baik sejak SMP
bernama; Alvin Jonathan Sindhunata dan Sivia Azizah. Alvin adalah seorang
photographer, selalu membawa kamera kemana-mana. Sementara Sivia adalah
modelnya.
Gadis ini telah lama terjebak dalam
permainan hatinya sendiri. Dengan siklus yang sama, membuatnya harus siap
dengan segala konsekuensi. Tanpa berani mengungkapkan, tanpa berani
berkata-kata, sebab takut akan merubah segalanya. Bersahabat selama lebih dari
3 tahun tidak akan dihancurkannya karena keegoisan. Ia harus bisa menekan
seluruh perasaannya.
Karena Shilla tahu, pasti akan ada
jalan untuk kisahnya. Karena akan selalu ada harapan yang terpanjat dari setiap
doanya. Karena akan selalu ada kata, ‘terkabul’, dalam doa-doa yang setiap
manusia panjatkan pada Tuhan-nya.
***
Selalu begini.
Meski tahun demi tahun bergulir, tetap
saja begini. Shilla yang menatap Alvin, dan Alvin yang menatap Sivia. Selalu
begini, Shilla yang berpura-pura tidak mempunyai perasaan apapun terhadap
Alvin, berusaha menenangkannya setiap Sivia berpacaran dengan siapapun.
Shilla bukannya tidak tahu perasaan
Alvin pada Sivia. Meski pemuda itu tidak pernah sekalipun bercerita banyak
padanya, Shilla tahu dengan jelas melalui tatapan mata itu. Entah itu tatapan
mata setajam elangnya, atau tatapan lensa kameranya.
Kedua lensa itu selalu berhenti dan
terfokus pada objek yang sama. Sivia. Tidak ada Shilla, hanya Sivia, atau
mereka bertiga.
Frekuensi bertemunya mereka bertiga
dapat dihitung dengan jari. Itu dikarenakan Sivia lebih sering menghabiskan
waktu bersama pacarnya, Gabriel Stevent Damanik. Kakak kelas mereka yang
sebentar lagi lulus.
Sementara frekuensi bertemu Alvin
dengan Shilla benar-benar sangat banyak. Shilla selalu menempel pada Alvin
layaknya magnet dengan besi. Tidak pernah sekalipun Shilla meninggalkan Alvin
saat sedang kemana-mana. Sebabnya hanya satu, Shilla takut ia bertemu Sivia dan
Gabriel.
Gadis itu sangat mengerti rasanya
sakit hati. Bahkan, ia sendiri tidak tahu sudah seperti apa rupa hatinya.
Dicabik, digores, dipatahkan, diiris, dan banyak lagi. Sudah terlalu banyak
plester yang menempel pada hatinya. Tidak ada ruang untuk plester yang lain.
Dan tidak ada yang bisa disalahkan
disini. Tidak pula Alvin, tidak pula Sivia. Justru Shilla menganggap dirinyalah
yang selama ini bersalah. Masuk dalam lingkaran yang tanpa ia ketahui akan memporak-porandakan
semuanya.
Ia tidak berhak bersikap egois.
Karena Alvin dan Sivia, telah ada sebelum dirinya datang.
Kedekatannya bersama Alvin karena ia
ingin menguatkan pemuda itu. Tidak ada yang begitu mengerti dirinya. Tidak ada
yang tahu cinta diam-diamnya pada Sivia. Hanya Shilla yang mengerti, meski
pemuda itu tidak bercerita padanya.
Oh, masalah percintaan Shilla…
Pemuda-pemuda yang mendekatinya
cukup banyak. Namun tidak ada satupun yang mendapat respon lebih dari Shilla.
Dan karena gadis itu selalu saja berdekatan dengan Alvin, tanpa peduli
pemuda-pemuda lainnya. Akhirnya, mereka semua mundur teratur. Sadar bahwa
Shilla—mungkin—hanya menyayangi Alvin.
“Hai, Alvin, Shilla!” sapa Sivia
riang. Tentunya, bersama Gabriel.
Meski rumah Alvin dan Sivia
berdekatan, tetapi jelas, Sivia ingin berangkat bersama Gabriel. Alasannya yang
klasik, mereka berpacaran. Alasan lainnya, Gabriel adalah siswa tahun terakhir.
Sebelum lulus, Sivia harus memberikan banyak kenangan untuk Gabriel.
Karena Sivia berangkat bersama
Gabriel, maka Alvin berangkat bersama Shilla. Rumah mereka searah, meski tidak
berdekatan. Shilla awalnya menolak, takut merepotkan Alvin. Tapi ia tersadar,
bahwa Alvin butuh perlindungan. Apalagi saat seperti ini. Saat pemuda itu
bertemu Sivia bersama Gabriel, di parkiran.
Sivia terlihat menyikut-nyikut
Gabriel. Membuat Shilla dan Alvin mengernyit heran.
“Ah, ya. Nanti malam, gue mau ajak
kalian ke TamKot. Yang baru dibuka itu. Disana bagus view-nya, ada padang
bunga, juga.” Gabriel membuka sleting pada ranselnya, lalu mengeluarkan dua
buah tiket dan memberikannya pada Shilla dan Alvin. “Oh ya, gue juga denger
dari Sivia, kalo lo photographer kan, Vin? Kebetulan, view disana indah banget.
Sekalian, kalo boleh…” Gabriel menghentikan kalimatnya. Ia menatap Sivia sambil
meringis.
Shilla melongo, sementara tampaknya
Alvin sudah mengerti maksud Gabriel.
“Tenang aja. Lo siapin aja semuanya.
Buat Sivia, apasih yang enggak,” ucap Alvin kalem. Sivia dan Gabriel tersenyum,
lalu pamit duluan ke kelas.
Shilla baru saja tersadar. Apa yang
baru dikatakan Alvin. Ya, benar, buat Sivia. Apa yang enggak buat dirinya?
Meski Alvin harus memberikan seluruh hatinya, lalu Sivia meremukkannya tanpa
ampun juga, Alvin akan melakukannya.
Untuk Sivia. Bukan dirinya.
***
“Vin, lo yakin?” tanya Shilla kala
Alvin menjemputnya. Seperti biasa, dengan motor besar berwarna hitam miliknya.
“Yaelah, kenapa juga gue jemput lo
kalo nggak yakin?” tanya Alvin sambil tersenyum. Pemuda itu menyerahkan helm
pada Shilla.
“Tapi, kan…”
“Shill, udah berapa kali gue ngeliat
mereka bersama? Beginian doang, sih, nggak ada apa-apanya,” ucap Alvin tenang.
Shilla menghela napas. Mungkin Alvin
sama seperti dirinya. Tidak ada ruang lain untuk plester-plester yang melekat
pada hatinya. Keduanya sama-sama menyimpan rasa. Cinta diam-diam.
Mungkin Shilla sedikit lebih
beruntung daripada Alvin. Dia tidak harus melihat seseorang yang dicintainya
bersama dengan oranglain. Iya kan?
Sepanjang perjalanan, Shilla hanya
diam. Tidak juga berani untuk memeluk Alvin. Apa yang dilakukannya sudah cukup.
Menemani Alvin. Tidak boleh ada maksud lain selain itu.
Meski Sivia sangat menghargainya
sebagai sahabat, karena gadis itu yang pertama kali mengajaknya membuat Trio
bersama Alvin, tapi Shilla tidak pernah tahu pendapat Alvin. Pemuda itu
tampaknya mengiyakan segala yang Sivia minta.
Sesampainya di Taman Kota, Sivia
langsung melambai dari balik pagar yang menjulang tinggi. Alvin dan Shilla
segera menyerahkan tiket yang diberikan Gabriel tadi pagi kepada petugas.
Taman Kota itu termasuk hutan
lindung, karena didalamnya juga terdapat padang bunga luas yang sangat indah,
maka pemerintah memutuskan untuk menjadikannya sebagai tempat wisata. Sebab
itulah Gabriel harus membeli tiket dulu sebelum kemari.
Alvin langsung mengeluarkan
kameranya dari dalam tas, sementara Shilla berdiri di belakang Alvin waspada.
“Oke. Jadi mau dimana?” tanya Alvin
pada pasangan dihadapannya.
“Eh… lo aja deh, yang tentuin
tempatnya,” jawab Gabriel disertai senyuman.
“Iya, Vin. Lo kan photographer, jadi
pasti tau mana view yang pas. Gue sama Gabriel duduk disitu dulu, ya.” Alvin
mengangguk, sementara Sivia dan Gabriel sudah duduk manis dibawah pohon yang
rindang. Pohon itu menghadap langsung pada padang bunga di depan.
“Gue… gue ikut Alvin, ya. Takut jadi
kacang, hehe..” ucap Shilla mencoba tertawa. Gabriel dan Sivia juga ikut
tertawa sebentar, kemudian mengangguk.
Memang seperti itulah Shilla
disetiap tempat. Tidak dibutuhkan. Shilla kebanyakan hanya jadi penjual kacang
yang tidak laku-laku meski harganya didiskon hingga 90%.
Shilla segera menyusul Alvin yang
sudah turun ke padang bunga tersebut.
Banyaknya bunga membuatnya sulit
bergerak. Beberapa kali Shilla harus tersandung bunga-bunga tersebut saking
banyaknya. Alvin tampaknya tidak sama sekali mengindahkan Shilla yang
tersaruk-saruk mengikutinya.
Seperti yang selama ini Shilla
lakukan. Tersaruk-saruk mengikutinya, tanpa pernah Alvin pedulikan. Terjatuh,
bangkit lagi, lalu tersandung, terjatuh lagi, bangkit lagi, hanya untuk
mengejar Alvin.
Yang tidak akan pernah menoleh
padanya. Yang akan terus berjalan ke depan, mengikuti jalan yang Sivia lewati.
Shilla berdiri diam beberapa langkah
dibelakang Alvin. Memperhatikan punggung Alvin yang tegap. Memperhatikan Alvin
yang sedang mengambil beberapa foto untuk contoh. Meski sudah malam, padang
bunga ini begitu terang karena banyaknya lampu-lampu yang menerangi.
Gadis itu terhenyak sendiri. Baru
saja sadar bahwa Alvin bersedia menjadi photographer untuk Sivia dengan
Gabriel. Lalu bagaimana dengan dirinya?
Tanpa sadar Shilla sudah mencengkram
kemeja yang dipakai Alvin. Membuat pemuda itu berhenti memotret, lalu menoleh
sedikit pada Shilla.
“Kenapa, Shill?”
“Kenapa lo bisa…” Shilla memejamkan
mata. Berusaha menetralkan rasa sakit pada dadanya. “ngelakuin ini?”
“Buat Sivia,” jawab Alvin pendek.
Shilla menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tapi ini udah keterlaluan, Vin.
Jangan sakitin hati lo terus,” ucap Shilla pelan. Lalu bagaimana dengan hatimu,
Shilla?
“Tenang aja. Gue udah biasa kok,”
kata Alvin lalu tertawa pelan. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya yang
tertunda. “Lo pikir, udah berapa lama gue berlatih untuk ini? Gue bukan orang
yang baru aja jatuh cinta sama Sivia,” lanjut Alvin kemudian.
Shilla tersentak. Tak mampu lagi
berkata-kata.
Berapa lama Alvin telah memendam
perasaannya pada Sivia? Kalau Shilla saja memendam perasaan pada Alvin selama kurang lebih 3 tahun, lalu bagaimana dengan Alvin? Sudah berapa tahun pemuda itu
tersakiti?
Oleh gadis yang sama. Berulang kali.
**
Shilla duduk di tempat Sivia dan
Gabriel tadi duduk. Dibawah pohon rindang yang menghadap ke padang bunga. Duduk
sendiri. Menatap Alvin, Sivia dan Gabriel dibawah sana. Tertawa-tawa karena
pose yang Sivia dan Gabriel buat.
Kenapa? Kenapa Alvin yang
menyaksikan itu semua masih bisa tertawa begitu lepas? Mengapa Shilla tidak
bisa seperti Alvin, yang setiap melihat Alvin menatapi Sivia dengan tatapan
memuja, masih bisa menyembunyikan kesedihannya?
Mungkin, karena Shilla belum
mencintai Alvin, se-lama Alvin mencintai Sivia. Mungkin, karena Shilla belum
bisa mengerti Alvin, seperti Sivia mengerti dirinya. Mungkin, karena Shilla
tidak bisa memberikan Alvin dunianya, seperti Sivia memberikan dunianya.
Atauhkah, karena tali yang terikat
antara Alvin dengan Sivia terlalu kuat? Hingga tidak bisa lagi disambungkan
dengan tali milik Shilla?
“Thanks, ya, Alv. Besok langsung
diambil bisa?” tanya Sivia setelah usai mengambil beberapa fotonya bersama
Gabriel.
Shilla sontak berdiri saat Alvin
menghampirinya bersama Sivia dan Gabriel dibelakangnya. Raut wajah itu masih
sama seperti pertama kali Shilla bertemu dengannya. Datar. Seakan yang sudah
terjadi hanya sebuah ilusi, yang tidak perlu diingat kembali.
“Oke,”
“Besok gue ke kelas lo aja, ya,”
Alvin mengangguk-angguk, lalu tersenyum.
Shilla ikut tersenyum. Meski sulit
untuknya. Mengingat bahwa ia dan Alvin berada dalam satu kelas membuatnya
miris. Bagaimana Shilla bisa dengan mudah melupakan Alvin, saat pemuda itu
merupakan teman sekelasnya? Saat pemuda itu juga merupakan sahabatnya?
Shilla tahu ia tidak bisa
menyalahkan Tuhan. Bahkan keadaan. Tapi menekan hatinya sendiri rasanya ia juga
tidak bisa. Terlalu sakit, dan rasanya ia sudah tidak bisa lagi meremukkannya
sendiri karena pada dasarnya hati itu sudah hancur.
“Thanks, Vin. Kita pulang dulu, ya!”
seru Gabriel sambil melangkah menjauh. Sivia melambai, dibalas oleh Alvin, juga
Shilla.
Dengan dorongan kuat, Shilla
menyelipkan jemarinya pada jemari Alvin. Meremasnya kuat. Memberinya
perlindungan. Tidak ada maksud apa-apa. Dia hanya merasa nelangsa melihat Alvin
yang terus-menerus tersakiti.
Alvin sendiri hanya tersenyum. Tanpa
membalas remasan tangan Shilla.
***
Yap, this is the new story of mine. hehe. gakuat kalo nggak nulis ... so, yang try tetep vacuum sementara yang ini dulu yang di publish. CIAO!! give me your comment yeaaa :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar