Permintaan Takdir -Part 1-

Selasa, 27 September 2011

Selama ini saya seliweran gak karuan di Facebook, sekarang pindah ke blog yee .. Insya Allah kalo banyak yang suka, bakal pindah ke fb + disini juga ..

^^^


Gadis ini terpaku menatapi soal di depannya. Tetap dalam parasnya yang sama. Tetap dalam pemikirannya yang sama. Gadis pintar, juara kelas setiap tahun, juara setiap olimpiade yang ia ikuti selama di sekolah itu. Gadis yang cantik, mungkin paling cantik se-antero sekolah itu. Gadis yang sangat amat jutek, tidak peduli dengan sekitarnya. Gadis yang ditakuti, bahkan oleh kakak kelas sekalipun. Gadis yang … kesepian. Ya, kesepian. Tanpa satu teman pun disisinya.

5 menit berlalu sejak dilangsungkannya ulangan harian Sejarah itu. Gadis ini perlahan menorehkan coretan pertamanya di kertas jawaban. Tetap sama, tetap tanpa senyuman. Tetap pada dasarnya, jutek dan cuek. Tanpa helaan napas sekalipun, ketika menemukan soal yang sulit.

Ditatapnya 2 soal terakhir dari ke-lima belas soal yang diberikan. Sulit –mungkin- bagi gadis ini. Sehingga ia sedikit memiringkan kepalanya. Sedetik kemudian, ia merasakan seseorang di sebelahnya mencolek lengannya dengan ujung jari. Membuatnya mencibir sedikit, lalu melirik tajam dengan ekor matanya. Lalu mengangkat salah satu alisnya.

“Err.. lo.. eh, emm.. kamu.. err.. pu.. puny..a pe..pe..pensil la..lagi gak? Pe..pen..sil ak.. aku.. ket..tinggalan..” ucapnya hingga tergagap-gagap. Shilla menyernyitkan dahi, tanpa senyum, seperti biasanya. Tanpa menjawab, ia kembali terpaku dengan 2 soal terakhir. Meski baru 10 menit ulangan harian itu berlangsung. Perempuan tadi –yang mencolek lengannya- menghela napas. Belum sama sekali mengerjakan.

“Kenapa lo nggak minjem yang laen aja? Kurang kerjaan lo minjem-minjem ke gue. Sekarang, jangan ganggu gue lagi!” hardik gadis cuek ini pelan, tapi tetap terdengar. Perempuan tadi mencibir pelan, tidak tahu apa daritadi gue sibuk minjem pensil dari pojok kanan belakang sampe sini, batinnya.

“Ma..maaf,” ujar perempuan itu masih tergagap. Maaf, kata terakhir setiap orang yang mengajaknya mengobrol. Hati gadis cuek ini tergerak juga, ia mengambil pensil dari kostaknya, lalu memberikan pada perempuan di sebelahnya yang terlihat dengan jelas keputus-asaan dari wajahnya.

“Nih. Pake aja.” ucap gadis cuek ini langsung terpaku lagi dengan soalnya.

“Ma.. makasih ya..” kata perempuan ini mulai menulis. Dan hanya dalam waktu tujuh menit, soal itu sudah selesai. Sedangkan gadis cuek ini masih ragu dengan jawabannya pada salah satu soal yang ia anggap sulit.

“Nomer 11 isinya : Marcopolo, Turki, perang salib dan Eropa. Kalo nomer 15 isinya : a) Gubernur jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan yang diatur dalam undang-undang. B) Gubernur jenderal tidak diperbolehkan menjual tanah. C) Tanah-tanah diberikan dengan hak penguasaan selama waktu tidak lebih dari 75 tahun sesuai ketentuan. D) Gubernur jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah yang dibuka untuk rakyat,” setelah menjawab soal yang gadis cuek renungi tadi, ia mengembalikan pensil itu sambil tersenyum. Gadis cuek itu menerimanya, tetap tanpa senyum. Jawaban tadi seakan berbalas budi. Tidak asik sekali. Gadis ini merutuki dirinya sendiri, soal sebegitu mudahnya tidak dapat ia jawab.

“Waktu habis, silakan kumpulkan jawaban dan soal kalian disini!” ucap guru Sejarah tersebut sedikit berteriak. Gadis cuek ini langsung melangkah maju setelah mengisi soal tadi.

“Kamu! Namanya belum?” tanya guru itu lagi, Bu Winda. Gadis cuek itu kembali merutuki dirinya, bodoh sekali ia hari ini. Ditariknya lagi kertas yang telah dikumpulkan, lalu menulis namanya. Ashilla Zahrantiara, (4) –sebagai nomer absen-.

***

Seketika ruangan itu kosong, saat Bu Winda keluar tadi, seluruh siswanya langsung keluar kelas untuk berganti baju. Hari ini pelajaran Olaharaga. Pelajaran yang paling Shilla sukai. Karena olahraga apapun, pasti ia yang akan memenangkannya. Dan jika pun dia menang, tidak akan tersenyum miring seperti yang lain kepada lawannya. Ia langsung meninggalkan lapangan dan meminum air yang telah disediakannya sebelum olahraga tadi.

Shilla menggesekkan student card-nya untuk membuka loker disamping ruang ganti perempuan. Memasukkan baju dan rok batik sekolahnya, tak lupa juga dengan blazer abu-abu ala sekolahnya. Shilla menyingkirkan sedikit baju dan rok batiknya, melihat lebih jelas. Gelang itu masih disana. Syukurlah, batinnya.

Ia berjalan dengan tatapan angkuh seperti biasa. Hari ini materinya adalah… basket! Hal yang ditunggu-tunggu oleh Shilla di kelas sebelas-nya ini. Shilla menatap ruangan itu dingin, banyak banget anak-anak yang olahraga basket hari ini, batin Shilla masih menatap dengan dingin. Dalam lamunan itu pula, seketika bola basket menggelinding di dekat kakinya. Berhenti karena membentur sisi sepatunya. Shilla terperangah, bola siapa ini?

“Err… kak. Itu.. bola saya,” ucap seorang cowok dengan badan terbungkuk sedikit menghampiri. Shilla tidak berpura-pura seperti yang lain, tersenyum manis kepada adik kelasnya. Tidak begitu. Shilla tetap dingin, menatap bola basket itu, kemudian menatap adik kelasnya lagi, bola basketnya lagi.

“Apa lo bilang? Bola lo? Lo nggak salah bilang gitu?” tanya Shilla sedikit kesal. Meski awalnya bercanda, tapi tetap saja begitu sifat Shilla.

“I.. iya kak. Itu memang bola saya. Saya mohon kakak mengembalikannya sama saya.” ujar adik kelas berkacamata tebal itu polos. Shilla ingin sekali terkikik geli, tapi ternyata tidak bisa. Meski dengan kata ‘mohon’ sekalipun, ia tetap memainkan bola basketnya seakan itu bola miliknya.

“Lo bawa sendiri dari rumah?” tanya Shilla lagi, cowok itu mengangguk. Tiba-tiba temannya menghampiri, mungkin kesal karena terlalu lama menunggu cowok berkacamata itu mengambil bola basketnya.

“Kalo dia nanya, jangan ngangguk doang! Cepetan minta maaf!” bisik temannya yang tadi menghampiri. Cowok berkacamata itu mengerutkan keningnya, aneh.

“Emang kenapa?”

“Udah… nanti aku ceritain. Sekarang cepet minta maaf!” perintah temannya itu masih berbisik. Shilla menyernyit, melihat kasak-kusuk manusia aneh di depannya.

“Maaf kak. Maaf banget ya,” ujar cowok berkacamata itu akhirnya. Shilla melempar bola basket itu, dengan sigap cowok tadi menangkapnya.

“Jangan pernah ganggu gue kayak gitu lagi! Dan elo, dek, ajarin nih temen lo. Sopan-santun sama gue di SEKOLAH ini tuh kayak apa!” tukas Shilla lalu beranjak berdiri. Cowok berkacamata itu lagi-lagi mengerutkan kening.

“I.. iya kak. Kami minta maaf,” ucap adik kelas yang sudah mengerti tadi sedikit tenang. Pemuda kecil berkacamata tadi, kembali mengerutkan kening. Mengapa jadi ‘kami’ yang minta maaf? Itu berarti, ia dan temannya ini kan? Saat pemuda berkacamata tadi ingin segera pergi, temannya menahannya. Menunggu Shilla melangkah mendahului mereka duluan. Setelah Shilla melangkah menjauh, pemuda berkacamata tadi langsung berlari pelan, diikuti temannya yang tadi.

“Eh, dek! Yang tadi, sama kamu.. namanya siapa?” tanya Shilla sedikit menoleh.

“Yang tadi namanya Alvaro, dan saya.. Iqbaale,” jawab pemuda tadi seadanya. Mengerti apa yang biasa disukai Shilla. Menjawab apa yang perlu dijawab. Tanpa ada kata-kata lagi, Shilla melangkah menjauh. Menghampiri kumpulan kelasnya yang bersiap melakukan stretching.

***

Pelajaran Olahraga selesai. Seluruh murid kelas Shilla berganti baju lagi. Shilla melangkahkan kakinya kembali ke kelasnya. Saat itu, rival besarnya lewat. Sengaja atau bagaimana, ia menumpahkan minuman yang kini dibawanya. Tepat mengenai baju Shilla, tapi hanya sedikit. Shilla berdecak kesal, namun tetap berjalan santai. Sampai tangan lembut nan kecil itu mencegahnya.

“Mau kemana lo? Bersihin dulu tuh lantai! Gantiin juga bubble gue!” perintahnya seenak jidat. Shilla tidak menghela napas kesal, tidak marah-marah atau mencak-mencak. Ia hanya menatap rivalnya ini, Keke, dengan tajam.

“Emang sekolah ini nggak punya cleaning servis? Kenapa juga gue harus gantiin bubble lo? Bukannya lo sendiri yang numpahin ke gue?” tanya Shilla kesal. Keke berdecak, kemudian mendekati Shilla. Sementara peperangan itu terjadi, murid yang lain sudah ngeri setengah mati.

“Bilang aja lo nggak bisa gantiin. Bukannya lo ya, cleaning servis-nya sekolah? Ups.. gue lupa.. pantesan lo gak bisa gantiin, kerjaannya aja cuma cleaning servis. Cabut guys!” ucap Keke meremehkan. Saat Keke hendak hengkang dari situ, Shilla langsung menarik kerah Keke dan menariknya kasar.

“Eh, kalo lo nggak tahu.. nggak usah nge-judge yah! Gue nggak gantiin bubble lo, karena bukan gue yang numpahin. Bukan karena gue nggak bisa gantiin!” bantah Shilla masih mencengkram kencang kerah blazer Keke. Postur tubuh Shilla yang lebih besar, jelas-jelas bisa memenangkan dirinya dalam peperangan ini. Keke berasa sesak, tapi tetap stay cool.

“Udah lah Shil, lepasin aja. Nggak guna tahu nggak, berantem sama cewek gatel kayak gini!” tukas Ify dari kejauhan. Keke mengerutkan dahinya, kurang ajar, batinnya. Tampaknya kata-kata tersebut berdampak banyak untuk Shilla. Karena sedetik kemudian, ia langsung melepaskan cengkramannya.

“Yeah… ada benernya juga apa yang dibilang anak ini. Nggak guna berantem sama lo,” ujar Shilla langsung hengkang dari sana dan berjalan ke kelasnya. Ify langsung mengikuti langkah Shilla, tepat disebelahnya.

“Hey, kenalin gue Ify. Lo pasti belom tahu gue kan?” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Shilla melirik sedikit, anak ini yang minjem pensil, batin Shilla mengingat-ingat.

“Penting?” tanya Shilla ketus. Ify keki juga mendengarnya. Sabar Fy, sabar… batinnya menyemangati. Ify menarik tangannya, berubah menjadi menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. “Oh iya, lo mendingan jalan di belakang gue deh. Nggak banget gue sejajar sama lo..” lanjut Shilla masih ketus. Ify berhenti, lalu mendengus kesal. Tampaknya memang tidak ada yang bisa meluluhkan hati gadis ini. Kasihan sekali.

***

Shilla menatap layar LED Projector di depannya dengan serius, sesekali menengok ke arah jam dinding di tengah kelas. Sebentar lagi, batinnya. Lalu kembali menatap Projector di depannya. Dan tepat setelah Mr. Erwin mengucapkan, “I think enough for today. I hope you can lead this task next week. See ya!” bel berbunyi. Beberapa murid langsung membereskan buku-buku mereka. Tapi berbeda dengan Shilla. Ia langsung hengkang sambil menggendong tasnya.

Ify masih penasaran dengan anak yang satu itu. Benar-benar batu, benar-benar membuat bingung, juga kesal. Mungkin Shilla cuma kesepian, batinnya setengah membela. Sebenarnya, setelah kejadian tadi, Ify tidak akan mau mendekati gadis itu lagi. Tapi karena rasa penasarannya sungguh tinggi, jadi… tidak ada salahnya mencoba lagi.

Setelah selesai membereskan bukunya, Ify langsung berlari menerobos keramaian di lantai 4. Sukur-sukur kalau Shilla belum jauh. Hanya satu ciri-cirinya, satu sisi kosong. Pasti ada Shilla, berjalan disana. Ify menjulurkan lehernya lebih tinggi. Ah, disana!

“Shilla!!” panggil Ify kencang. Sontak semua murid disana menoleh pada Ify, berani sekali.. siapa dia? batin semua anak murid disitu. Yaa, kira-kira begitulah..

Shilla pun tak mau menggubrisnya. Ia tetap berjalan dengan angkuh dengan jalanan yang begitu lengang, karena anak murid tidak ada yang berani berjalan di depannya. Walau sebenarnya ia mencibir juga, dipanggil dengan nada tidak takut begitu sama Ify.

Ify juga tidak takut, ia menepuk pundak Shilla. Membuat gadis itu terlonjak kaget, tapi langsung menatap Ify dengan tajam. Meski Ify sempat ciut, tapi ia tepis jauh-jauh perasaan itu. Batinnya kembali menyemangatinya.

“Berani banget lo! Siapa lo siapa gue sih?” tanya Shilla masih menatap Ify tajam. Shilla juga masih berjalan dengan angkuh, menerobos keramaian tanpa macet. Ify tersenyum, sementara Shilla makin menajamkan tatapannya.

“Lo pulangnya kemana?” tanya Ify tidak menggubris pertanyaan Shilla sebelumnya. Shilla kontan berhenti, kemudian berdecak kesal.

“Lebaran kemaren beli baju ya? Tahun depan nggak usah. Beli aja cotton but yang banyak, biar lebih jelas dengernya..” sunggut Shilla kesal. Benar-benar kesal. Anak murid yang lainnya mulai berbisik-bisik heboh. Soal Ify, yang pasti.

“Kalo searah, bareng aja yuk! Nanti gue telepon supir gue,” ucapnya kembali tak menggubris sunggutan Shilla tadi. Shilla mencibir, lebih baik meninggalkan orang gila itu, pikir Shilla.

“Nggak ngerti apa, kalo gue siapa dan elo siapa!” cibir Shilla agak kencang, mungkin supaya Ify mendengar. Ify masih tersenyum, walau hatinya meringis pelan.

Shilla sudah jauh mendahului Ify. Dan seketika itu juga Ify berhenti, menghembuskan napas pelan. sialan, batinnya hengkang menyemangati. Shilla telah menghilang, jauh dari sekolah. Entah kemana. Ify sendiri baru menyadari, sudah tidak ada tanda-tanda cewek jutek itu dimana-dimana. Aneh. Pantas saja tidak ada yang tahu kediaman cewek jutek yang satu itu.

Ify merasakan geli di lehernya. Pasti Ray, batinnya senang. Diam-diam Ify tersenyum sendiri. Entah kenapa, setiap ada Ray, hatinya benar-benar tenang.

“Heh! Berani banget lo tadi! Nggak nyadar, dia siapa-lo siapa?” tanya Ray keluar dari balik punggung Ify. Ify menghela nafas, selalu topik yang sama. Mereka berjalan ke depan gerbang berdua.

“Iya iya, gue tahu. Dia Shilla, cewek ter-jutek di sekolah. Paling terkenal, dan wah banget! Gue Ify, cewek biasa dari kelas XI IPA 3. Puas?” ujar Ify setengah maksa. Ray tertawa, lama-lama tawanya makin lebar. Ify jadi heran, benar-benar pribadi yang aneh.

“Udahlah Fy.. nggak bakal ada yang bisa deketin dia. bahkan kalau lo Albatross sekalipun,” tukas Ray pelan. dalam hati Ify kasihan juga. Se-kesepian itukah Shilla? Atau lebih tepatnya, se-menyedihkan itukah Shilla?

“Pulang sama gue lagi?” tanya Ify seketika. Ray hanya menampakkan sederetan giginya. Ray-Ify, rumahnya sebelahan. Jadilah, Ray numpang melulu. Meskipun Ray juga sama-sama kaya raya-nya seperti Ify, mungkin ada alasan lain..

***

Shilla merasa terendahkan kali ini. Benar-benar bukan hari yang baik. Masih pukul 15.35 sekarang. Boleh juga lah, online simsimi. Tahu simsimi kan? Robot bayi yang unyu, tapi bisa banget bikin jengkel. Kadang-kadang pertanyaan sama jawaban nggak sama-sekali nyambung. Tapi nggak apa-apalah, buat ngisi waktu luang.

Shilla          : Simi, sifat aku tuh gimana sih?
Simsimi      : Jutek, judes. Pasti nggak banyak yang mau temenan sama kamu!

Shilla mengerutkan kening. Benar juga sih, kok gitu ya? Coba lagi deh, batinnya mulai seru.

Shilla          : Kira-kira aku bakal punya pacar gak?
Simsimi      : Nggak lah. Siapa yang mau sama kamu? Kan kamu jahat.

Deg. Mulai deh… malesin, batin Shilla. Tapi, meski begitu. Simsimi ada benarnya juga kan? Benar-benar menegangkan pertanyaan Shilla ini.

Shilla          : Apa kata lo?
Simsimi      : Takut adek :3

Dweennggg… Shilla langsung off. Benar-benar malas. Mending tidur sajalah..

***

Hampir pukul setengah empat Shilla bangun dari tidurnya. Tumben, lama sekali dirinya ini tertidur. Entahlah, apa yang diimpkannya. Tanpa basa-basi lagi, Shilla turun dari tempat tidurnya. Meraih BlackBerry-nya yang setiap hari selalu menganggur.

No contact BBM, no contact SIM, no contact phone.

Misterius sekali kau Shilla… meskipun cewek ini belum merasakan kesepian. Tetap saja kan, ada sebuah penyesalan disana? Di dalam hati. Buat apa punya BlackBerry tapi tidak ada yang calling atau sms?

Setelah cukup pertimbangan, Shilla membuat social network. Nggak apa-apa lah, kalo di social network. Ber-sosialisasi sedikit kan boleh. Daripada terpuruk kesepian kayak begini? Kan, menyedihkan sekaleh.

Mulai dengan e-mail, cukuplah dengan (shiverwanted_97@yahoo.com). Kedua, bikin facebook. Mulai dengan sign up, bio dan kutipan, dan lain sebagainya. Ketiga upload foto banyak-banyak, lalu jadikan Profile Picture. Keempat mulai buat twitter, nick name @ashillazhrt. Okey, bagus bagus.

Shilla langsung off. Tanpa disadari, sudah pukul 17.00! bagus, bagus sekali. Tanpa pamit pada laptop-nya, ia melangkahkan kakinya ke kamar mandi dan mulai bernyanyi ria disana (?)

Setelah mandi, Shilla bergegas menuju meja makan. Waktunya makan malam, meski masih agak lama. Biarin deh, daripada bosan kan di kamar? Entah mau apa.

“Shilla… tolong bantu mama dong!!” teriak Ibu-nya dari arah dapur. Shilla manyun, kesal. Shilla paling tidak suka disuruh-suruh, meski itu disuruh Ibu-nya sendiri. Mungkin Shilla terlahir untuk hidup enak dan tidak mau susah. Entahlah..

“Hufftt… iya ma!! Mama dimana?” tanya Shilla basa-basi. Padahal ia sudah mengetahui posisi mamanya itu.

“Mama di dapur nih. Cepetan kesini dong!!” sunggut Ibu-nya yang sepertinya sudah sangat kerepotan. Baiklah Shilla, itu ibumu, ayo bantu beliau nak, batinnya menyemangati.

“Apa yang mau dibantu, Ma?” tanya Shilla sambil melangkah mendekati Ibu-nya. Mulai dengan memegang sebilah pisau dan iseng-iseng memegang cream yang entah untuk apa itu.

“Bantu Mama bikin kue tart. Tapi kayak blackforrest gitu Shil. Ngerti nggak?” Shilla hanya membulatkan mulutnya sambil ngangguk-ngangguk tanda mengerti.

Sejenak, Shilla menoleh ke depan. Karena dapurnya ada di bagian depan rumahnya. Dapurnya itu transparent, jadi bisa melihat keluar. Tapi yang di luar, tidak bisa melihat ke dalam.

Shilla mengerutkan dahi. Siapa disana? Seperti ada sekeluarga yang baru pindah. Mereka masih sibuk menenteng bawaan (seperti koper, kardus berisi bawaan, dan lain-lain). Tapi Shilla berusaha untuk tidak peduli.

“Buat apa sih tart ini, Ma?” tanya Shilla basa-basi. Iseng aja gitu, biar nggak kikuk dan hening banget.

“Buat tetangga baru. Yang depan rumah itu tuh..” jawab Ibu-nya santai, masih sambil membuat blackforrest setengah tart-nya dengan serius. Shilla membatin, Jangan sampe gue yang disuruh nganterin.

“O..” ujar Shilla akhirnya.

***

Selesai membuat tart yang menggairah itu, Shilla langsung menuju kamarnya. Tangannya buru-buru diolesi ‘Minyak Zaitun’ lalu dipijat pelan. pegal juga, harus sabar ya ternyata?

Shilla berdiam diri sejenak. Kemudian menghela nafas panjang. Sepi, bukan? Yaa.. memang seperti itulah, keadannya. Tanpa pikir panjang, Shilla berjalan menuju balkon. Menatap bintang, yang jumlahnya lumayan terlihat banyak malam ini.

“Bintang… aku kesepian. Kamu mau kan temenin aku?” tanya Shilla pada bintang. Bukan berarti Shilla itu gila loh.

“Bintangnya nggak bakal mau nemenin kakak. Soalnya kakak terlalu jutek!” sahut seseorang dari belakang. Shilla manyun, masih belum sadar.

“Aku kan cuma jutek sama manusia. Aku nggak jutek sama kamu, bintang..” ujar Shilla masih manyun. Dan masih belum sadar, siapa yang menyahut tadi.

“Bintang kan manusia kak!” sahut suara yang sama lagi. Shilla mengerutkan dahinya, manusia? Ia menoleh ke belakang, dan akhirnya…

“Aaaa!!! Babaaaasss!!! Kamu kesini nggak bilang-bilang sama kakak?!”

“Aku… Bastian Bintang.. kalo kakak mau ditemenin sama Bintang. Bintang mau kok..” ujar Bastian ucul. Shilla jadi terharu. Sepupu yang baik..

“Iya Bintang.. Bintang baik banget sih sama cewek jutek kayak kakak,” ucap Shilla sambil memeluk Bastian. Bastian melepaskannya, lalu mengamit tangan Shilla ke lantai bawah.

“Tante bawa Moccachino non kafein special dari Jerman, buat kamu.” ujar Tante-nya, a.k.a Ibu-nya Bastian. Shilla langsung meraihnya, melihat bagian cover Moccachino tersebut.

“Thanks tan. Kok kesini nggak bilang-bilang sih?” tanya Shilla lalu menghempaskan dirinya ke sofa terdekat.

“Iya dong.. kan biar surprise!” jawab tante-nya, alias tante Amanda sambil tertawa renyah. Shilla hanya tersenyum masam. Mungkin hanya disini, ia bisa menampilkan senyumnya.

“Eh, Nda, sudah lihat tetangga di depan rumah?” tanya Ibu-nya Shilla, alias Romi. Amanda hanya mengangguk, kemudian mencicipi kue-kue kering di atas meja.

“Iya.. mau kesana kapan? Denger-denger, cuma ada anak tunggal. Cowok lagi..” ujar Amanda semangat. Sedikit melirik ke arah Shilla saat menyebut 2 kata terakhir.

“Oh.. saya sih maunya sekarang. Soalnya sudah bikin balckforrest nih..”

“Jangan bilang, Shilla yang nganterin itu!” tukas Shilla cepat. Romi mengerutkan kening. Tak lama kemudian, ia tertawa pelan.

“Enggak lah. Kita kesana bareng-bareng. Nggak enak dong kalo kayak gitu. Nggak sopan namanya,” ucap Romi sembari tersenyum. Sementara Shilla menghela napas lega.

“Terus jadinya kapan?” tanya Amanda yang diangguki Shilla. Romi sedikit menimbang-nimbang.
 
“Besok aja deh. Nanti blackforrest-nya saya taruh dulu di kulkas,” jawab Romi final.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS