Sempat Memiliki

Sabtu, 24 September 2011

Terik mentari menyinari bumi. Entah sudah berapa lama aku berdiri di sini. Menatapnya, dengan nanar. Ingin rasanya aku menumpahkan semua air mataku yang tertahan. Hampir setiap malam, aku mengisinya. Air mataku tumpah hanya untuknya. Untuknya yang tidak mungkin bisa kembali padaku. Sampai kapanpun tidak bisa. Aku tidak mengharapkannya kembali kepadaku. Aku juga tidak mengharapkan ia menjadi pemilik hatiku lagi. Aku kecewa padanya. Aku, memandang setiap lekuk wajahnya dari tempatku berdiri sekarang. Meski sangat jauh dirinya berada, aku masih dapat melihatnya dengan jelas. Ia tampan, baik, cool, apa lagi yang kurang? Aku tersenyum melihatnya yang juga tersenyum. Meskipun sakit itu masih terasa di hatiku. Sejujurnya, aku menyalahkan dirinya. Menyalahkan dirinya yang tidak menghargai tulusnya cintaku kepadanya. Setiap perhatian yang aku curahkan padanya, setiap lagu yang aku nyanyikan untuknya saat kami memulai percakapan di telefon. Apa aku salah terlalu mencintainya? Aku tidak bisa melupakan dirinya. Hingga saat ini. Bulan ke dua putusnya kami. Kisah cinta kami, yang terukir sangat harmonis untukku. Tapi tidak 
untuknya.

Apa ia memang tidak pernah sadar? Aku di sini. Menunggunya untuk menjelaskan semua. Semua yang terjadi antara kami. Menunggunya untuk meminta maaf atas segalanya yang telah ia perbuat padaku. Menunggunya untuk tidak lagi berbohong kepadaku akan semuanya. Saat siluet-siluet kisah kami membentang luas di fikiranku, aku kembali menumpahkan air mataku yang sedari tadi tertahan. Baiklah, aku kalah. Kalah akan dirinya, dan semua perlakuannya. Bulir-bulir hangat itu, turun semakin deras. Meski sudah berkali-kali aku menghapusnya. All right.. I’m a looser. I can’t move on.

Ia berjalan menuju ke kantin, menatap lurus ke depan. Hey, apakah dia tidak tahu aku berada di dekatnya? Apa ia memang tidak pernah mengingat aku lagi? Dia, memang tidak sadar. Bahwa aku masih memperhatikan segala tentangnya. Tentang dirinya, dan tentang kisah cinta kami. Semua yang ada di dalam dirinya, ku torehkan dalam sebuah catatan kecil. Agar aku dapat membuatnya tahu bahwa aku tulus mencintainya. Dan semuanya… hanya sia-sia.

Aku menghapus segala tentangnya. Nomor handphone nya, semua pesan singkat yang ia kirimkan kepadaku. Aku, tidak pernah merasakan perhatiannya. Semua kata-kata manisnya, hanya untuk membuatku merasa bahwa ia benar-benar menyukaiku. Sejak pertama aku bertemu dengannya, tidak pernah aku merasa ia benar-benar tulus mencintaiku. Dan semua terbukti.

***

Aku, masih mengingat tentangnya. Senyumnya yang sangat manis menurutku. Senyumannya yang selalu menampilkan sederetan giginya. Senyumannya yang menghiasi hari-hariku. Candanya, tawanya. Masih tersimpan rapat dalam memoriku. Perlahan, aku duduk di teras mushola di sekolahku.
 
“ Lo nangis ya Shil? “ Tanya temanku, Via. Aku menggeleng pelan, kemudian tersenyum. Okey, aku ketahuan. Dan masih mencoba mengelak. Aku beranjak dari tempatku. Ingin membeli sebungkus tissue untuk mengelap air mataku. Tunggu! Membeli tissue? Ke kantin? Oh tidak! Aku akan bertemu dengannya. Hufftt… nekat. Atau, pipiku akan terus basah.
Aku berjalan pelan-pelan. Mencoba untuk tidak melihatnya. Namun, aku tidak bisa. Tidak pernah bisa aku melupakan dirinya. Siapa pun, tolong aku!! Aku tidak ingin terpuruk karenanya!
 
“ Mbak, tissue nya satu yah.. “ kataku dengan jelas. Membayarnya, lalu segera pergi dari situ. Terserah. Aku tidak ingin terus-terusan menatap dirinya. Aku termenung di sini. Di bawah ring basket, duduk menyendiri dengan sebuah minuman kaleng di sebelahku. Tempat pertama kali aku melihat wajahnya. Ya, ring basket. Aku menatap ring basket di atasku nanar. Okey, aku kembali mengingatnya. Saat ia bermain basket, melompat dan shoot ke ring. Aku tidak pernah lupa.

*

Saat itu olahraga, dan guru olahraga kelasnya sangat dekat dengan kami, anak-anak ekskul yang kami ikuti. Aku menatapnya, sedang mendrible bola, kemudian menshootnya. Aku terpana melihatnya. Mmm, dia…. tampan. Baiklah, aku terpojok.
 
“ Liatin siapa lu? “ Tanya Zahra penasaran. Ia mengikuti arah pandanganku. Lalu, kembali memandangku. Aku merutuki diriku sendiri. Bodoh. Kenapa aku terus memandanginya? Aargghh!!
 
“ Namanya Cakka Kawekas Nuraga, “ kata guru olahraganya sambil melihat daftar absen. Aku terbelalak. Bagaimana beliau bisa tahu? Oh, Zahra, Via, Acha. Selalu saja…
 
“ Kak Cakka!! “ teriak teman-temanku. Sontak aku menjauh, atau lebih tepatnya kabur. Ia melihatku, entah bagaimana pandangannya. Hanya saja, ada sesuatu yang aneh. Ya, sejak saat itu, aku mulai ber-sms ria dengannya. Bisa di bilang kami, PDKT. Hmmm, aku tidak merasa bahwa aku yang menembaknya terlebih dahulu. Aku hanya bilang, “ Aku suka sama kakak, “ dan ia berkata itu lagi kepadaku. Mataku terbelalak saat itu, saat ia menyatakan hal yang sama padaku. Bagaimana mungkin? Baru beberapa jam kami melakukan pendekatan, lalu ia langsung berkata suka padaku? Aku tidak yakin akan perkataannya. Setengah jam berlalu, kami tidak lagi saling berkirim pesan.
Hand phone ku bergetar, tanda pesan singkat datang. Aku membukanya dengan malas-malasan.

From : My prince
Lo mau gak jadi cewek gue?
I love u

Kata sesingkat itu, tidak romantic, tidak berbobot dan errr… bikin geregetan. Namun, apapun itu, aku menerimanya. Aku sudah terlalu sayang padanya, hanya dia seorang. Kemudian, kami tidak lagi saling berkirim pesan sampai esok hari.

Keesokan harinya

Aku bangun dari tidurku, membereskan tempat tidur dan selimut. Ku lihat hand phone yang tergeletak di tengah kasur, 1 pesan baru. Aku membukanya..

From : My prince
Bangun…

Sebuah kata yang membuat aku kecewa dengannya. Tapi apapun itu, aku tersenyum dan membalas pesannya. Aku hargai semua perhatiannya yang bagiku itu bukan perhatian. Aku menggendong tasku dikala temanku telah meneriaki namaku dari luar rumah. Hari ini mungkin hari bahagia, satu hari berjalan hubunganku dengannya. Meski semuanya berjalan sangat tidak stabil, tapi aku akan terus mempertahankannya. Demi dia, laki-laki yang aku sayangi.

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah dengan senyuman. Dan aku, masih membayangkan kejadian tadi malam, saat ia menyatakan cintanya. What? Cinta? Aku sendiri tidak yakin itu cinta. Mungkin hanya suka, dan suka belum tentu cinta. Bagiku, suka mempunyai banyak arti. Dan menurutku, kak Cakka hanya menyukaiku untuk hal tertentu. Bukan cinta dan kasih sayang…
 
Tak terasa, aku sampai di kelasku, temanku yang kelasnya berbeda denganku berpamitan. Aku mulai memasuki kelasku dan menaruh tasku di barisan paling depan. Aku duduk sebentar, lalu berjalan keluar kelas meskipun belum ada satu perempuan pun yang datang. Aku memang tidak betah lama-lama di kelas, apalagi duduk menyendiri. Aku lebih suka duduk santai di tanah di temani seorang sahabat, dan kita saling curhat, berbincang ataupun bercanda bersama.

Aku melihat kedatangan Acha dari jauh, ia tersenyum padaku, dan aku membalas senyumannya. Saat ia meletakkan tasnya di belakangku, aku mengajaknya duduk di depan laboratorium IPA. Sekedar curhat dan memberitahunya bahwa aku telah berstatus dengan kak Cakka.
 
“ Mau curhat apa? “ tanya Acha sambil melihat-lihat sekeliling sekolah. Biasanya sih, kami duduk juga untuk melihat kakak-kakak kelas yang cakep-cakep. Ahaha,
 
“ Semalem gue jadian sama kak Cakka, “ kataku sembari tersenyum. Acha menoleh kepadaku, dan sedikit terkejut.
 
“ Kok bisa? Cepet banget! Wew, PJ nih.. “ ujar Acha gak nyante. Aku hanya menyunggingkan senyum dan tertawa renyah. Ini yang tidak aku suka dari anak zaman sekarang. Kalau ada yang berpacaran, pasti minta PJ alias Pajak Jadian. Huft.. “ Emang gimana ceritanya? “ tanya Acha kemudian. Aku menceritakan semuanya, dari awal kami berkirim pesan sampai acara penembakan itu. Acha senyum-senyum sendiri mendengarnya. Aku mempercayai Acha sebagai teman curhatku, ia juga sering curhat denganku.
 
“ Tapi gue juga gak yakin kalau dia beneran suka sama gue, “ kataku pelan dan menunduk.
 
“ Kalau dia gak suka sama lo, ngapain dia nembak lo? “ kata Acha menyemangati. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Tak lama, kak Cakka datang bersama teman-temannya. Ia tidak menoleh padaku, padahal aku di sini tersenyum senang akan kedatangannya. Kecewa. Sungguh kecewa aku padanya.
 
“ Tuh kan, dia gak nengok.. “ kataku kepada Acha. Ia menepuk pundakku beberapa kali.
 
“ Mungkin dia gak lihat lo, “ ucap Acha masih terus menyemangatiku. “ Lo itu beruntung bisa jadian sama dia, “ lanjut Acha kemudian berjalan ke kelas. Aku mengikutinya. Tapi.. buat apa mensyukuri hubungan ini, jika kak Cakka sendiri tidak mencintaiku.

*

Aku masih mengingatnya, saat ia berjalan di sisiku, merangkul tapi terlihat dipaksakan. Aku masih mengingatnya, saat ia mengajakku jalan, tapi saat hari H kami tidak dapat menjalankan rencana kami untuk jalan. Aku masih mengingatnya, saat ia menungguku di kantin, tapi kami tidak duduk bersama. Aku masih mengingatnya, saat ia selalu berusaha tersenyum kapanpun bertemu denganku. Aku masih mengingatnya, saat ia berkata aku baik, cantik, segalanya. 

Tidak pernah aku lupa semuanya. Karena aku masih mencintainya, dirinya yang tidak mencintaiku. Sulit ya? Yah, semua memang sulit untukku.

Aku masih mengingatnya, saat ia menemaniku sampai jam 3 subuh karena aku ‘insomnia’. Dan hari itu juga, setelah pulang sekolah, hubungan kami cukup sampai disitu. Kami putus karena Zahra, sebenarnya bukan karena Zahra juga. Tapi aku memang sedikit menyalahkannya, meskipun ia temanku, tapi aku tidak sepenuhnya percaya padanya. Aku bukannya pilih-pilih, tapi aku merasa dia sedikit tidak bisa diandalkan.

***

Aku berjalan melewati kelasnya, cukup jauh dari kelasku. Rencananya, aku hanya mencari guru kami, dan berharap ia melihatku meskipun hanya menoleh. Tapi, semua tidak seperti yang kuharapkan. Ia lebih menyibukkan dirinya mengobrol dengan salah satu perempuan yang aku benci. Perempuan yang disukainya, perempuan yang membuat hubungan kami sirna, perempuan yang sejujurnya tidak mengetahui apa-apa tapi sebernanya ia terlibat sangat jauh.

Perlahan, aku dan Via melewati kelasnya, XII IS3. Akhirnya kami menemukan guru kami, pak Joe, guru kesenian. Aku sedikit menabraknya karena terus melihat kak Cakka.
 
“ Maaf pak. Saya gak sengaja, “ kataku kikuk. Kali ini ia menoleh padaku, hanya sebentar, lalu mengalihkan pandangannya lagi. Baiklah, aku berharap terlalu jauh. Aku berjalan sambil merutuki diriku sendiri, bodohnya aku. Hey Shilla.. laki-laki bukan hanya dia saja, banyak cowok yang mau sama lo. Ckckck,
 
“ Shilla! Mau kemana kamu? Kelasnya di sini! “ ucap pak Joe. Aku tersadar dari lamunanku, ternyata aku sudah jauh dari kelasku. Sial. Kenapa hanya karena dia, sampai begini jadinya.
 
“ Maaf pak. Saya… “
 
“ Sudah sudah. Ayo masuk, “ katanya. Aku masuk kelas dengan takut-takut, jangan sampai aku melamun lagi di kelas nanti. Aku mencoba untuk tidak memikirkan hal itu, dan … berhasil !! aku mencerna setiap penjelasan yang pak Joe berikan padaku. Mungkin aku sudah tidak terlalu mencintainya seperti dulu kala.
 
Bel istirahat berbunyi dengan merdu, aku keluar kelas dan berjalan menuju kantin. Wew, sialnya aku bertemu lagi dengannya, kak Cakka. Aku ingat, saat kami putus.

*

Kami saling berkirim pesan, aku ingin sekali membuatnya cemburu. Tapi ia tidak pernah cemburu, ia selalu santai apapun yang aku katakan. Berarti, ia memang tidak menyukaiku apalagi mencintai.
 
“ Kak, kalau aku suka sama kak Alvin gimana? “ tanyaku yang pada dasarnya hanya ingin mengetes dirinya.
 
“ Ya udah, tembak aja kak Alvin. Kita putus yah, “ jawabnya begitu saja. Wah, berarti benar fikiranku selama ini. Aku hanya mengiriminya sebuah kata-kata putus dan menjelaskannya bahwa aku sudah mengetahui semuanya.

*

Sejak saat itu, aku selalu menyimpan erat perasaan ini. Sampai saat inipun, perasaanku terhadapnya tidak akan pernah berkurang. Meski ia tidak pernah menyukaiku ataupun memperdulikanku, aku tetap untuknya. Dirinya satu di hatiku. Aku bersyukur sempat memiliknya, meski semua bukan hubungan yang manis, meski kami tidak seperti layaknya kedua makhluk adam dan hawa memulai suatu relationship. Tapi aku akan menjaga perasaan ini, menjadi cinta dalam hati, yang semestinya ia tidak akan tau bahwa aku masih menyimpan semua perasaan ini. Aku sempat memiliki kamu kak…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS