Permintaan Takdir -Part 2-

Kamis, 29 September 2011

Alhamdulillah yah, part 2 di post sekarang . seneng nggak?? Harus seneng yaah :p
Promosi juga, kalo suka, blognya di follow yaa .. nggak perlu punya blog untuk follow, cukup pakai account facebook atau twitter aja ..

Selamat Membaca guys :)

^^^


Krasak-krusuk pembantu di rumah itu telah terdengar sejak setengah jam yang lalu. Membuat pemuda ini tidak pernah bangun terlambat, meski tidak ada alarm di kamarnya.

Pemuda ini langsung mandi, berganti baju dan sarapan di bawah. Masih belum pasti, apa yang harus dilakukannya sesudah ini. Sekolah, atau bagaimana. Ia masih bingung dan tidak mengerti.

Sejenak, pemuda ini meneguk teh putihnya. Menetralisir sisa roti di lidahnya. Tak lama setelah itu, seorang wanita paruh baya datang dan langsung duduk di depannya. Mengolesi roti dengan selai kacang dan melahapnya.

“Jadi?” tanya pemuda ini to the point. Wanita paruh baya tadi membenarkan letak kaca matanya, lalu memandang pemuda di depannya.

“Maunya?” wanita paruh baya ini balik bertanya. Membuat pemuda ini berdecak kesal.

“Sekolah aja di SMAN 70! Sekolahnya keren tuh!” sahut seseorang dari arah tangga. Pemuda ini menoleh, kemudian menjulurkan lidahnya muak.

“Nggak mau sekolah negeri!” sunggutnya keras. Wanita paruh baya tadi menghela nafas, bingung.

“Besok aja kamu sekolahnya. Mama carikan dulu sekolah terbaik, ok?” ucap wanita paruh baya tadi, kemudian berlalu pergi.

“I don’t like waiting!! Find it quickly mom!!” tukasnya setengah berteriak. Pemuda lainnya, yang tadi berada di tangga, turun dengan langkah sedikit tergopoh.

“Masih sakit, Vin? Masih belum bisa lari-lari kayak dulu? Masih belum bisa main bola?” tanya pemuda ini beruntun. Pemuda yang tadi dipanggil ‘Vin’ hanya menghembuskan nafas pelan.

“Belum, kenapa? Kangen ya, main bola sama gue?” tanya pemuda yang dipanggil ‘Vin’ , yang aslinya Alvin ini, narsis.

“Nggak jaman banget sih main bola. Gue sih basket baller yee, sorry!” tukas pemuda ini cepat. Alvin tersenyum miring.

“Rio.. Rio… gue aneh sama lo. Lo suka basket, tapi.. jarang banget mainin basket. Malah, bola basket doang dibanyakin.” ujar Alvin sambil geleng-geleng kepala. Pemuda ini, Rio, membuang mukanya ke arah lain.

“Gue nggak mau aja cidera kayak lo. Nggak enak kan?” kata Rio lalu sengaja memukul pelan letak cidera-nya Alvin ini. Membuat Alvin meringis pelan, kemudian memegangi lukanya.

“Manja!” sunggut Alvin sarkastis. Rio menautkan alis, sedikit memanyunkan bibirnya.

“Kenapa sih?” tanya Rio. Alvin mengerutkan kening, heran. “Kenapa gue harus sering main basket, meskipun gue suka? Kenapa juga, harus cidera demi hobby?” lanjut Rio kemudian mengangkat alis. Alvin kembali tersenyum miring, terkesan meremehkan.

“Cowok itu nggak boleh manja, Yo! Kayak ginian doang mah… permulaan! Tandanya lo udah gentle, bergulat sama hobby lo. Kalo lo kalah sama hobby lo, berarti lo sayang banget sama hobby lo.

“Kalo gue.. daripada harus kehilangan kegemaran gue, mendingan cidera kayak gini.” Rio geleng-geleng kepala. Aneh sekali keponakannya ini, benar-benar pecinta bola.

“Tapi kalo lo cidera juga, nggak bisa main bola kan?”

“Justru itu! Cidera itu tantangan, apakah kita bener-bener suka main bola atau enggak.” jawab Alvin lalu mulai mengolesi rotinya dengan selai cokelat. Rio menautkan alis, aneh. Jawaban yang benar-benar aneh.

“Loh? Kok bisa gitu?” tanya Rio penasaran.

“Kalo seandainya lo suka main bola beneran, meskipun lo dalam keadaan sakit, pasti lo bakal terus main bola. Setelah cidera sekalipun, atau pas cidera sekalipun. Itu baru namanya cowok!” jawab Alvin mantap. Meninggalkan Rio yang masih terbengong-bengong memikirkan ucapan Alvin barusan.

***

Shilla melirik jam tangan Swatch berwarna putihnya. Belum masuk, masih lama. Shilla berjalan pelan, memasuki gerbang sekolah yang begitu banyak murid disana.

Meski sudah ada Bastian di rumah, sudah ada tetangga baru di depan rumahnya. Shilla tetap Shilla. Tetap seorang gadis yang angkuh, tetap tanpa senyum, tetap dengan tatapan mengerikan.

Ify sedikit menyunggingkan senyumannya saat tahu Shilla datang. Tapi tetap saja, gadis ini cuek bebek. Malah terkesan mementahkan senyuman Ify tadi.

“Shil, udah ngerjain pr Bahasa?” tanya Ify basa-basi. Shilla keki setengah mati, lalu melirik tajam ke Ify. Badak banget nih orang, batin Shilla masih keki setengah mati.

“Menurut lo?” praanngg.. hati Ify seperti dihantam. Benar-benar cuek. Shilla memang bukan seperti yang Ify pikirkan. Shilla tak akan pernah bisa luluh.

“Ify!!” teriak seorang gadis dari luar kelas, kemudian masuk ke dalam. Mencak-mencak di depan Ify dan bagusnya… di sebelah Shilla.

“Apaan apaan apaaann??” tanya Ify sedikit histeris juga. Shilla malah menyernyit, alay, batinnya.

“Gue pinjem batre BB! Batre gue low banget! Penting nih…” ucap temannya sambil menampilkan sederetan giginya. Shilla langsung keluar kelas, meski sudah mau masuk. Entahlah, dunia serasa bukan miliknya jika bertemu dengan anak alay.

Sementara di tempat lain, tampaknya kedua adik kelas kemarin sedang berbincang-bincang. Mungkin mengenai Shilla kemarin. Alvaro dan Iqbaale. Kedua cowok tampan di kelas 10 tahun ini.

“Kenapa sih Baale? Kakak kelas kayak gitu aja ditakutin!” sunggut Alvaro yang memang belum mengetahui kakak kelasnya yang satu itu. Iqbaale berdecak kesal, menatap Alvaro tajam. Seakan berkata dengerin-gue-dulu-kenapa-sih.

“Itu namanya kak Shilla. Kelas XI IPA 3. Murid paling kece se-antero sekolah. Paling nggak bisa yang namanya ngeliat orang yang berani sama dia.” Iqbaale berhenti sejenak. Mengambil napas panjang, bersiap melanjutkan.

“Kalo ada yang berani sama dia, yakin deh… langsung digibas dari sekolah. Soalnya, pertama, diasingin semua murid di sekolah ini. Kalo ada yang berani deketin orang yang udah dicap begitu sama kak Shilla, bakal diasingin juga. Kedua, orang itu jadi stress dan akhirnya pindah sekolah.” Alvaro mengerutkan dahi. Sedangkan Iqbaale tersenyum masam.

“Segitunya apa? Emang dia itu siapa?” tanya Alvaro sambil mengambil sebuah penghapus di dekat tempat yang ia duduki sekarang. Iqbaale sendiri mengangkat bahu, tanda bahwa ia tidak begitu tahu.

“Entahlah. Aku aja baru tahun ini kan, sekolah disini?” Alvaro sedikit merutuk. Benar juga ya, batinnya masih merutuk. Iqbaale kembali tersenyum masam.

“Terus? Gue harus gimana kalo ketemu dia lagi?” tanya Alvaro sedikit sarkastis. Iqbaale memicingkan matanya, kesal dengan lemotnya Alvaro.

“Yaaa… jaga sikap aja. Nanti juga kamu tahu,” jawab Iqbaale seadanya. Alvaro menaikkan alisnya, terkejut dengan jawaban Iqbaale.

***

Shilla merapal dengan serius kata-kata di depannya. Ulangan Pendidikan Kewarganegaraan yang satu ini, materinya benar-benar banyak. Meski yang Shilla tahu, pelajaran ini hanya diputar-putar saja. Tetap saja pelajaran yang satu ini membuatnya pusing.

Konsentrasinya buyar seketika, saat bel masuk berbunyi dengan nyaring. Siswa/i yang masih berkerumunan keluar, cepat-cepat masuk ke kelasnya masing-masing. Shilla menghela nafas pelan, kemudian berjalan lambat ke kelasnya.

Demi apapun, Shilla benci dengan perempuan di depannya ini. Seakan tak takut sama sekali, ia malah menyenggol sengaja bahu Shilla sambil keluar. Shilla benar-benar tak dapat menahan amarahnya, saat ia pun tahu gadis tadi sudah kelas XI.

“Bisa jaga sopan santun nggak sama gue?” tanya Shilla ketus. Masih belum bisa meng-abarkan kemarahannya. Gadis tadi mengangkat salah satu ujung bibirnya, membentuk senyum miring yang sarkastis.

“Emang lo siapa? Penguasa? Dewa?” tanya gadis itu balik. Diam-diam Shilla melirik name tag-nya, Sheila Blee. Nama yang aneh, batin Shilla heran.

“Heh!” panggil Shilla yang jelas ditujukan pada Ify, yang tengah asik menikmati perdebatan Shilla dengan Sheila. Ify buru-buru menghampiri.

“Iya? Kenapa Shil?”

“Ajarin nih temen lo, caranya sopan-santun sama gue. Otomatis di sekolah ini..” ucap Shilla barbar. Ify mengangguk lemah, kemudian menjawil pelan bahu Sheila.

Setelah Shilla masuk ke kelas, Ify langsung menatap tajam Sheila. Sementara yang ditatap hanya mengangkat bahu, kemudian hengkang dari sana. Ify segera masuk ke kelas, dikala Pak Duta berjalan tegap menuju kelasnya.

“Pagi murid-murid. Sudah berdoa? Sudah siap ulangan?” tanya Pak Duta beruntun, meski diiringi senyuman menggoda. Shilla mengambil kotak pensilnya, kemudian langsung menyiapkan papan alas.

“Shil..” panggil Ify pelan, disaat Pak Duta masih sibuk membagikan soal. Shilla berdecak kesal, benar-benar pengganggu, batinnya.

“Kenapa? Lo nggak bawa pensil lagi? Mau minjem pensil lagi?” tanya Shilla sarkastis. Ify menggeleng sambil tersenyum, kemudian menyerahkan secarik kartu yang licin dengan motif bunga di bagian depan. Shilla mengerutkan kening, bingung.

“Itu udangan ulang tahun. 3 hari lagi, gue ultah. Itu ada alamat hotelnya kok. gue ngerayain disana. Gue mohon lo dateng ya…? Please? I beg you..” ucap Ify menjelaskan sekaligus memohon. Shilla mengangkat bahu cuek, kemudian menyimpan kartu tersebut di kotak pensilnya.

“Lo berani jamin berapa persen sih gue dateng? Sampe ngundang gue segala?” tanya Shilla pelan, dikala Pak Duta melewatinya. Ify tersenyum manis, lalu mengedipkan sebelah matanya. Shilla menyernyit, jijik.

“Sekian ribu persen. Dan… tenang aja. Di pesta itu nggak diharuskan bawa pasangan kok,” jawab Ify terkesan sarkastis. Shilla memercikan bara api pada tatapannya, lalu mendengus kesal. Benar-benar jawaban yang sarkastis yang pernah di dengar Shilla.

“Baiklah… ulangan dimulai dari….. SEKARANG!!” teriak Pak Duta semangat. Shilla langsung mengalihkan pandangannya ke arah kertas putih kosong terbengkalai di depannya, lalu mulai mengisi satu per satu soal.

Soal tadi benar-benar mudah untuk Shilla. Satu menit 3 soal dapat ia isi. Dengan angkuhnya, sebelum waktu ulangan selesai, Shilla telah meletakkan jawabannya di meja Pak Duta. Lalu dengan senang hati keluar kelas, meski wajahnya tetap memasang tampang jutek se-jutek-juteknya.

Kata orang, Shilla itu afrit. Entah mengapa, Shilla risih sendiri mendengar ungkapan yang satu itu untuk dirinya. Afrit. Merupakan setan yang melakukan pekerjaan dengan daya dan cara yang keji. Shilla mengerutkan kening, apa yang sama dengannya? Bukankah, Shilla hanya tampak jutek saja? Tidak keji, bukan?

Tapi bagaimanapun Shilla membantah ungkapan itu.. orang-orang tetap menyamakannya dengan afrit. Benar-benar mengenaskan.

***

Jarum jam masih menunjukkan pukul setengah dua belas. Saatnya istirahat untuk sekolah ini. Tepatnya istirahat kedua.

Shilla duduk di deretan terdepan kedai-kedai makanan dan minuman. Saat ini merupakan saat tenangnya, ketika tidak banyak yang berani ke kantin, karena satu alasan rutin. Shilla masih melahap roti gandum polosnya dengan tenang, dan ekspresi tak tergambarkan.

Hampa. Roti gandum yang sedikit manis ini jadi benar-benar hambar. Sendirian. Pikiran Shilla melayang, memikirkan jawaban Simsimi tadi malam. Bukankah itu, err.. menyakitkan?

Shilla sendirian, jelas bukan karena ia agoraphobia. Ia sendiri karena keinginannya, karena ia berpikir bahwa tidak ada yang boleh menemaninya. Bahkan saat ia ingin sekali ditemani.

Drrt.. drtt… drrrt…

Shilla terperangah, mendapati hand phone-nya berbunyi. Eh? Shilla terpana, hand phone-nya berbunyi? Apa tidak salah? Bukankah tidak ada contact sim atau pun contact BBM? Aneh..

From : 085xxx
Have a nice day belle . keep smiling(:

Shilla mengerutkan kening. Siapa ini? Benar-benar aneh, kan? Baru saja ia berpikir, pasti Bastian. Ya, pasti sepupunya yang satu itu. Mana mungkin orang lain tahu nomer hand phone pribadinya. Jika iya, pasti orang aneh –julukan dari Shilla- itu akan mendapat rekor muri.

Drrtt .. drrtt ..

From : 085xxx
Still remember ur besfriend? I’ll come soon to ur school. Just watch out, belle (:

Shilla masih mengerutkan kening. Besfriend? Siapa? Satu yang Shilla yakin, ia bukan penghayal. Ini nyata, dan ia tahu itu. Yang ia tahu… besfriend yang dimaksud itu hanya.. pemuda dari masa lalunya. Saat ia masih sd. Yang kemudian bagaikan hilang ditelan bumi saat kelulusan.

Shilla berniat membalasnya, meski masih ragu. Baru kali ini, Shilla… memainkan jarinya di atas keypad BB-nya untuk membalas sebuah pesan singkat. Mungkin ia harus masuk world recor. Tapi sedetik kemudian, ia menghela napas. Biarkan sajalah, batinnya sambil menghapus sederetan kalimat tadi.

“Lo tahu nggak, bokap gue kemarin abis beli mobil lagi. Katanya sih itu Infiniti, cuma… gue males aja gitu nanggepinnya,” ucap seseorang dengan angkuhnya. Shilla hanya bisa tertawa dalam hati, tentu. Ia belum bisa menampilkan senyuman manisnya pada semua murid di sekolah ini.

“Eh, eh, ada Shilla tuh..” bisik salah satu dayang-dayangnya menunjuk norak ke arah Shilla yang masih menekuni roti gandumnya. Keke tersenyum sinis sekilas, kemudian menghampiri Shilla.

“Masih inget soal bubble gue?” tanya Keke sarkastis. Shilla hanya mengangkat sebelah alisnya, kemudian melanjutkan melahap roti gandum polosnya. Keke berdecak kesal.

“Mumpung lo ada disini, bisa kan gantiin bubble gue?” tanya Keke lagi. Shilla menatap Keke tajam, benar-benar tajam hingga membuat Keke bergidik ngeri. Shilla bangkit berdiri, membenarkan sedikit roknya, lalu menyambar kotak makannya dan pergi begitu saja.

“Nggak penting,” gumam Shilla sarkastis. Keke melotot samar, setelah Shilla menghilang di ujung koridor.

“Sialan tuh anak. Harus dikasih pelajaran!” tukas Keke masih melotot ke koridor tempat menghilangnya Shilla tadi. Tak lama, ia menghentakkan kakinya berjalan mendahului keempat dayang-dayangnya.

“Tapi… apa lo nggak takut?”

“Money can give me everything. She’s just a dust, then have to cleaned quickly. And finaly, only become dust. We just have to buy some vacuum cleaner, isn’t it?” cerocos Keke lalu tersenyum sarkastis.


Satu yang Shilla tak sudi, selain mendapat jabatan ‘Afrit’ tadi, bersosialisasi dengan pihak lain. Dan kali ini, Shilla terpaksa melakukannya. Demi nilai, tanpa kata ‘Money can give everything’ untuk Shilla.

Sir Joe melakukan observasi lebih kepada setiap muridnya. Termasuk Shilla. Ia inginkan semuanya mengerti apa yang ia ajarkan, melalui kerja kelompok. Beliau membagikan tugas sesuai dengan tingkat kepandaian suatu kelompok tersebut. Sialnya, satu kelompok harus 5. Karena jumlah murid di kelas XI IPA 3 memang berjumlah 35.

Shilla mendengus sesaat. Tahu bahwa Sir Joe memilihkan kelompok aneh untuknya. Ify, Riko, Zahra dan Obiet. Sungguh permulaan yang baik. Apalagi mereka bawel semua. Selalu mengajak Shilla ngobrol, seperti memaksanya ber-sosialisasi dengan mereka semua. Meski nyatanya, Obiet sering mengeluarkan lelucon yang mampu membuat sekelompok itu tertawa demo. Ia tetap Shilla.. yang semua tahu.

***

Pulang sekolah, masih sama. Shilla masih tidak terlihat jejaknya. Masih tidak ada yang bisa mengikutinya sampai rumah. Shilla yang masih menaiki angkutan umum biasa. Tidak ada yang berbeda hari ini. Hanya masalah sepele, pesan singkat yang telah berkali-kali dikirimkan oleh pengirim yang sama.

Meski begitu, Shilla tetap tidak bisa begitu saja mengabaikan pesan kelewat akrab dengannya itu. Besfriend. Kata-kata familiar yang ia dengar, dimanapun. Tapi.. siapa? Entahlah, dirinya terlalu bingung memikirkan semuanya.

Setelah sampai di depan komplek perumahan Horizon, ia mulai berjalan ke dalam. Tidak jauh juga dari depan komplek perumahannya, untuk sampai ke rumahnya.

Tak lama, ia mulai memasuki pekarangan rumahnya yang luasnya sekitar 2 kali lipat jalan raya di depannya. Shilla melangkah maju dengan lunglai, lalu meraih handel pintu dan menariknya ke bawah.

“Shilla pulang!!” teriaknya kelewat lelah. Tanpa berpikir, tidak ada yang menjawab teriakannya, Shilla sudah lebih dulu merangkak naik ke tangga menuju kamarnya di lantai dua.

“Kak Shilla!!” panggil seorang anak kecil di depan kamarnya yang juga berada di lantai dua. Suara familiar yang sudah sangat Shilla kenal siapa pemiliknya.

“Kenapa Bintang?” tanya Shilla lirih. Bastian, yang akrab dipanggil Bintang oleh sepupunya ini, hanya tersenyum masam. Entah karena apa.

“Kakak nggak ikut sama Bunda?” tanya Bastian balik, menyebut nama Bunda a.k.a Ibu-nya sendiri. Shilla mengangkat alis lemah, entah untuk alasan apa.

“Kakak aja baru pulang. Ikut kemana emangnya?” Bastian melirik kanan dan kirinya. Lalu menggandeng tangan Shilla menuju kamar gadis itu.

“Fitting baju kak. Aku aja dibikinin sama Bunda. Aneh kan ya?”

“Buat apa emang?” tanya Shilla lagi. Mengulang pertanyaan tadi, sebenarnya. Bastian mengangkat bahunya, lalu memajukan bibirnya.

“Kunjungan.” jawabnya santai. Shilla mengerutkan kening saja, terlalu lelah mungkin.

“Ke?”

“Tetangga baru yang di depan rumah,” jawab Bastian final. Shilla terbelalak. Segitunya kah? Tanpa pikir panjang, Shilla melirik ke arah balkon kamarnya. Hanya darisana lah, terlihat rumah tetangga baru itu.

“Ngapain sih? Segitunya banget…” sunggut Shilla bermalas-malasan. Bastian menaiki undakan menuju balkon, kemudian mengedarkan pandangannya ke segala arah.

“Kak! Itu anaknya!!” teriak Bastian sambil menunjuk-nunjuk seseorang yang tengah menaiki sepeda fixie-nya. Shilla menyatukan alisnya, bingung.

“Anak siapa?” tanya Shilla kikuk. Bastian berlari menuruni undakan, kemudian menggandeng Shilla menuju balkon kamarnya.

“Itu itu!! Tetangga depan rumah!!” teriak Bastian masih sambil menunjuk-nunjuk norak. Shilla menganga, apa sih maksud sepupunya ini.

“Emang kenapa sih Bintang?” tanya Shilla lagi, setelah sekian kalinya tidak mengerti. Bastian tersenyum misterius, kemudian menuruni undakan dan membuka pintu kamar Shilla.

“Nanti juga kakak tahu!!” jawab Bastian masih sambil tersenyum misterius, lalu keluar dari kamar Shilla.

Entahlah apa yang berkecamuk di pikiran Shilla. Jawaban Bastian tadi memacunya untuk berpikiran negative. Antara di-jodohkan, atau sesuatu yang akan merubah nasibnya bersama anak itu. Shilla sendiri sebenarnya tidak mau ambil pusing, biar saja waktu yang menjawabnya.
  
  
Next Part >>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS