Permintaan Takdir -Part 3-

Minggu, 09 Oktober 2011

-Malam hari, masih di kediaman Shilla-

Romi dan Amanda baru saja pulang fitting baju, -seperti kata Bastian-. Mereka sempat bercanda sebentar, meski agak jayus.

Tepat setelah Romi membuka pintu depan, tubuh Shilla mengejang. Entah ada setan apa yang melekat pada dirinya, Shilla jadi mendadak seperti orang yang terkena penyakit Agnosia.

Menganga tak percaya, tetapi masih memegang beberapa benda di dekatnya. Tanpa mengetahui ada apa sebenarnya, Shilla jadi takut untuk keluar dari kamar. Bahkan sedari tadi, Romi dan Amanda sudah sibuk mempersiapkan kunjungan ke rumah yang suram –bagi Shilla- itu.

Tepat saat pintu kamarnya di buka, Shilla tambah seperti orang kesurupan. Tidak mendengar, walaupun Romi telah memanggilnya dari tadi. Takut anaknya kenapa-napa, Romi langsung menghampirinya.

“Shilla… kamu kenapa, sayang?” tanya Romi sambil mengusap lembut rambut Shilla. Sayangnya, anaknya diam tak bergeming. Tetap memikirkan hal yang negative.

“Ka Shilla gimana tan… te?” tanya Bastian sedikit jeda dibelakangnya, saat melihat Shilla bagai orang kesurupan. Bastian duduk disebelahnya, kemudian tersenyum jahil.

“Kenapa sih, Bas?” tanya Romi yang sepertinya bingung dengan senyuman Bastian.

“Nggak apa-apa kok tan.. kak Shilla mah emang lebay!” sunggut Bastian sambil cekikikan. Sedangkan Shilla masih terbengong-bengong, raganya menghilang entah kemana. Seketika itu juga Bastian menepuk pundak Shilla.

“Udah… nggak usah dipikirin ucapan aku yang tadi,” kata Bastian kemudian memberikan sebuah bungkusan yang berisi baju fittingan tadi. “Enjoy aja kak! Haha…” lanjutnya lalu keluar dari kamar Shilla.

“Cepat dipakai ya, Shil. Mama tunggu dibawah,” ucap Romi lalu meninggalkan kamar Shilla setelah beberapa kali menepuk puncak kepala anaknya.

Shilla cepat tersadar, lantas geleng-geleng kepala sendiri. Tidak memerlukan waktu lama untuk Shilla sadar untuk apa baju fittingan tadi ada di tangannya. Seperempat jam setelahnya, Shilla sudah siap.

Meski diiringi langkah yang berat di setiap ia menuruni tangga, tapi ia tetap harus menuruti tata krama kesopanan keluarganya, atau bahkan satu komplek disini. Ia menghela napas di tangga terakhir, mendapati Bastian sedang tersenyum manis ke arahnya.

“Kenapa kamu?” tanya Shilla lalu berjalan mendahului Bastian. Sepupu kecilnya hanya tertawa menanggapi pertanyaan Shilla tadi.

“Kakak cantik deh, pasti cocok sama yang diseberang sana!” jawab Bastian jahil. Tapi tanpa sadar, Shilla kembali menegang. Mengingat pikiran negative-nya tadi soal perjodohan dan teman-temannya. Bastian tertawa puas, melihat kakak sepupunya kembali seperti orang kerasukan.

“Becanda kaaa..!!” tukas Bastian cepat, sebelum Shilla benar-benar kesurupan.

“Udah siap kan?” tanya Amanda lembut. Bastian mengangguk pasti, diiringi senyum yang benar-benar manis. Sementara Shilla hanya mengangguk lemah, diiringi helaan napas panjang.

“Ayo berangkat!” ajak Romi sambil menutup pintu depan. “Shilla.. kamu yang bawa tart-nya ya! Mama ribet nih,” lanjut Romi kemudian memberikan tart tersebut kepada Shilla. Bastian kembali memasang tampang acum-nya, yang paling bisa membuat Shilla berpikiran negative lagi.

“Jangan macem-macem!!” ancam Shilla berbisik. Bastian hanya cekikikan nggak jelas.


Tepat di depan rumah tetangga barunya itu, Romi menekan bel di sebelah kiri pagar. Shilla menghela nafas sambil mencibir. Bastian hanya memandang ke dalam gerbang sambil senyum-senyum.

“Siapa yaa?” tanya pemilik rumah itu melalui bel. Romi menekan tombol merah sambil sedikit berdehem.

“Kami tetangga di depan rumah.” jawab Romi lalu melepaskan jarinya dari tombol merah tadi. Seketika itu juga gerbang terbuka. Dengan langkah pasti –yang tidak dimiliki Shilla-, mereka masuk ke dalam.
Rumah yang besar juga, sama seperti Shilla. Hanya saja, rumah ini terlihat lebih besar. Bisa dilihat juga dari gerbangnya, menjulang tinggi dan berwarna perak.

Shilla yang pada dasarnya memang cuek dengan segala sesuatunya, hanya bisa memajukan bibirnya. Kacau. Bastian yang aslinya norak, pasti langsung terpukau. Meski Bastian sudah lama tinggal di Jerman, norak itu pasti ada.

Sesaat sebelum mereka ber-empat menapaki lantai rumah tersebut, Shilla kembali menghela nafas panjang. Berharap fikiran negative-nya itu hanya khayalan. Dan mereka pun masuk ke sana…

***

Ruang tamu yang super duper megah telah ditapaki oleh Shilla sekarang. Bukan masalah besar tidaknya ruang tamu ini, Shilla hanya berpikir dan berharap supaya anak lelaki pilihan Bastian sedang tidak ada di rumah. Hingga pada ruang tengah rumah ini, barulah Shilla benar-benar merasakan ketegangan yang amat luar biasa.

“Kak, siap-siap!” bisik Bastian iseng. Shilla ingin sekali menjitak batok kepala sepupu labilnya ini. Jika saja ia tak membawa kue tart sebesar laptop-nya ini.

“Ayo duduk, duduk. Terima kasih loh sudah mau datang. Jadi ngerepotin,” ucap sang nyonya besar. Romi menyunggingkan senyuman hangat kemudian menjabat tangan kelewat kecil nyonya besar tersebut. Usianya sudah renta, tak ayal jika anaknya pun sudah lepas dari tanggung jawabnya.

“Sendirian saja, Bu?” tanya Amanda yang aslinya memang masih muda. Bastian saja masih SMP, padahal ia anak pertama.

“Iya.. saya sendiri saja. Suami saya ada di Perancis, kedua anak saya sudah menikah. Kalau Gabriel…” nyonya besar yang akrab disapa Asta ini menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari-cari Gabriel. Anaknya yang terakhir.

“Kayaknya lagi keluar tadi,” lanjutnya sambil tersenyum hangat. Diam-diam Shilla menghela nafas lega. Meski ia tidak tahu apakah Gabriel itu yang ditunjukan Bastian kemarin atau bukan, yang terpenting nyonya besar ini tengah sendirian di rumah.

“Shil, mana tart-nya?” tanya Romi sedikit berbisik. Shilla cepat tersadar, kemudian memberikan tart yang sedari tadi diganggamnya ke sang bunda.

“Ini.. untuk tanda kehormatan(?) kami. Hanya sedikit kue tart,” ucap Romi sembari memberinya ke Asta. Shilla dan Bastian tertawa kecil ketika Romi mengucapkan ‘tanda kehormatan’. Aneh, menurut mereka. (diasumsikan bahwa saya juga ber-aneh ria)

Tak lama setelah itu, mereka memutuskan untuk pulang. Kunjungan singkat, hanya sekitar 30 menit. Kenapa harus fitting baju? Batin Shilla masih belum bisa memecahkan pertanyaan ini.

“Mama! Kunjungan cuma 30 menit kan? Kenapa harus fitting baju segala?” tanya Shilla tak tahan. Romi mendorong pintu, lalu masuk.

“Kamu nggak tahu? Tetangga depan rumah itu seorang bangsawan. Mereka di-anugerahi nama ‘Baron’ yang artinya bangsawan. Jadi… wajar kan Mama fitting baju?” jelas Romi yang diangguki Amanda. Shilla mengernyit, bingung sendiri. Yang jelas, sifat masa bodoh-nya Shilla masih ada. Jadi ia hanya mengangkat bahunya dan pergi ke kamar.

***

Pemuda ini mengusapkan gel ke tangannya, lalu dibalurkan ke seluruh rambutnya. Sehingga rambutnya kini menjadi harajuku style. Ia memakai kemeja baru asal sekolahnya. Dengan lambang ‘F’ di tengah dan dihiasi background biji matahari.

Pemuda ini tersenyum sambil memandangi parasnya di cermin. Ganteng amat sih gue, batinnya. Ia tersenyum miring, menambah kesan yang amat sempurna untuk dimiliki olehnya. Senyum sarkastis untuk seluruh penjuru sekolah nanti.

Sedetik kemudian, pemuda ini berfikir. Tidak mungkin. Pemuda ini tidak mungkin memiliki wajah se-cuek keponakannya nanti. Meski kenyataan bahwa keponakannya yang paling dewasa –dalam pemikiran-. Tetap saja keponakannya yang satu itu bisa bersikap se-dingin es di kutub.

Pemuda ini menghela nafas panjang. Menteralisir perasaannya yang campur aduk. Pemuda ini seperti terkena penyakit ‘Demam Panggung’. Entahlah, yang jelas ia hanya akan bersikap biasa di sekolah nanti. Masa bodoh dengan perempuan, apakah ada yang menyukainya atau tidak.

Pemuda ini turun ke lantai paling dasar. Menenteng tas gembloknya dengan satu tangan. Tas besar berisi banyak buku dengan lambang ‘F’ di tengahnya kini diletakkan di kursi dekat dirinya duduk.

“Hari ini pertama masuk sekolah. Jangan bikin keributan. Student card kamu bakal jadi lusa,” jelas wanita paruh baya di depannya sambil membaca koran dengan serius. Pemuda ini hanya mengangguk-anggukan kepalanya bak Woody Woodpecker.

“SMA mana, Yo?” tanya keponakannya, yang tak lain adalah Alvin. Rio mengambil satu buah roti, kemudian mengolesinya dengan mentega.

“Flotet International School. How adorable!” jawab Rio lalu menggigit kecil ujung rotinya. Alvin tersenyum sarkastis, mendapati keponakannya sangat memuja-muja sekolah swasta atau berlabel ‘International’.

“Emang kenapa sih sama sekolah Negeri? Kan sama-sama bisa disogok kalo lo nggak naik kelas, Yo?” tanya Alvin kemudian terkikik geli. Rio berdecak kesal, ia reflek menekan letak cidera Alvin. Biar tahu rasa, batinnya menjelaskan. Alvin meringis, hampir berteriak.

“Sudah, sudah. Rio.. kamu dianterin sama Pak Asep aja yah. Jangan naik mobil sendiri dulu deh,” ucap Bunda-nya lalu meneguk tetesan terakhir teh putihnya. Rio menyudahi sarapannya, ketika Bunda-nya telah pergi meninggalkan pekarangan rumah. Meski roti mentega-nya belum habis.

“Berani kan di rumah sendiri?” tanya Rio sarkastis. Alvin menonjok pelan bahu Rio, kemudian tertawa renyah.

“Sialan lo! Berangkat sono lu!!” usir Alvin sambil mendorong bahu Rio sedikit kencang. Rio menjulurkan lidahnya, lalu keluar rumah, setelah sebelumnya Alvin melambaikan tangan sok dramatis.


Rio membuka pintu tengah mobil Fortuner yang sengaja dipilihnya tadi. Ia mengadahkan kepalanya, megotak-atik tombol air conditioner disana. Setelah air conditioner itu berfungsi, Rio bersandar ke belakang. Tasnya di letakkan di sampingnya.

“Sudah siap, den?” tanya Pak Asep sambil membenarkan kaca spion mobil. Rio berdehem, tanda bahwa ia berkata ‘iya’. Dan fortuner itu pun lenyap dari pandangan.

Kota ini… jauh berbeda dengan tempat tinggalnya selama 5 tahun itu. Benar-benar berbeda dengan Perancis. Jalanan Paris lebih rapi dan sepi. Dibanding dengan kota ini, sepertinya 1 : 1000.000 ya? Rio geleng-geleng kepala, kemudian menghembuskan nafas panjang.

Pak Asep menangkap gelagat majikannya, hanya tertawa renyah. Sementara Rio mengerutkan kening, heran. Pak Asep menggerakkan tuas gigi, masih sambil tertawa renyah.

“Kenapa sih Pak? Ada yang aneh ya, sama muka saya?” tanya Rio lalu menowel-nowel pipinya sendiri. Pak Asep malah semakin tertawa, membuat Rio sedikit berdecak kesal.

“Den.. disini memang beda dengan tempat den Rio berasal. Jadi den Rio nggak usah kaget,” ucap Pak Asep yang tanpa sadar mengabaikan pertanyaan Rio tadi. Rio menganga sedikit, tidak percaya Pak Asep akan mengetahui isi batok kepalanya.

“Kok bapak tahu kalo saya lagi mikirin itu?” tanya Rio lagi, sementara Pak Asep hanya mengangkat bahunya.

“Feeling mungkin…” jawab Pak Asep acuh tak acuh. Kali ini Rio benar-benar ternganga, aneh benar supirnya yang satu ini. Jangan-jangan dia bisa baca pikiran, batin Rio penuh tanda tanya.

“Bapak nggak bisa baca pikiran kan, ya?” tanya Rio pelan. sedikit penasaran, sedikit gengsi. Namun Pak Asep hanya tersenyum lebar, membuat Rio makin berpikir kesana.

“Semoga bukan deh..” gumam Rio pelan. benar-benar pelan.


Sebagai anak baru, Rio tidak diperbolehkan untuk langsung masuk ke sekolah. Selain Rio merupakan penerus dari perusahaan yang juga menjadi donatur sekolah ini, pasti murid-murid akan mengerubungi Rio yang mungkin akan menjadi most wanted tahun ini.

Sebenarnya Rio malas menunggu lama-lama di ruang ini. Apalagi ini bukan ruang guru, melainkan ruang Kepala Sekolah!! Bayangkan betapa Rio tidak nyaman berada di ruangan kelewat besar ini sendirian. Kepala Sekolah beserta guru lainnya sedang menyiapkan kelas yang pas untuk ditempatinya.

Rio mulai bosan. Ia melangkahkan kakinya menuju ruang piala yang memang berdekatan dengan ruang kepala sekolah. Dengan segala ke-sok-tahuannya, Rio masuk kesana sambil sesekali bersiul abstrak.

Banyak banget, batin Rio kagum. Diam-diam berharap, jika nanti ada lomba, namanya akan tercantum di salah satu piala dan dipajang di paling depan.

“Rio?” panggil sang kepala sekolah. Rio sedikit tersentak, kemudian mengikuti langkah sang kepala sekolah itu pergi.

***

Istirahat tiba.

Seluruh sekolah ikut gaduh. Benar saja. Semua anak murid tengah membicarakan Prince Sekolah kita. Mario Stevano Aditya Haling. Pindahan dari Perancis. Penerus Haling corporation, yang notebene-nya sebagai donatur terbesar di sekolah ini.

Selain karena harta yang melimpah. Yang mungkin tidak akan habis selama 7 turunan ini, Rio juga tampan. Ia juga anak yang ramah kepada sesamanya. Membuatnya semakin dipuja-puja dan semakin berada di atas awan.

Meski pada kenyataannya, banyak juga yang iri dengan posisi Rio sekarang –Anak baru yang kelewat artis-, mereka tidak berani dengan Rio.

Sementara seluruh sekolah ikut meramaikan aksi gossip Rio si Prince Charming, berbeda dengan kelas ini. XI IPA 5. Kelas ini benar-benar jadi sorotan masyarakat sekolah, sekarang. Kelas yang ditempati mr. charming Flotet International School.

Kelas ini dihujani banyak murid yang berkeliaran mencari perhatian. Dihujani banyak pertanyaan soal bagaimana Rio di kelas ini.

Yang jadi pernyataan, Rio baru satu hari, bahkan belum 4 jam berada di sekolah ini. Apalagi jika Rio sudah 4 bulan, atau bahkan 1 tahun disini? Semakin kelas ini dihujani pertanyaan yang kelewat menantang.

Rio jelas-jelas menikmati segalanya yang ada di sini. Mulai dari fasilitas, murid-murid serta pelajarannya yang –menurut Rio- lebih mudah daripada di Paris. Tapi ada satu yang mengganjal, akankah hatinya ikut larut dalam metamorfosa dunia remaja?

Satu kata. Cinta.



Bukan Rio namanya, jika tidak menikmati bekal sendiri dari rumah. Meski uang jajannya sehari bisa mencapai tiga ratus ribu, atau bahkan lebih, Rio lebih bisa menikmati apa yang ia dapat dari rumahnya.

Mengingat ketika dulu ia kecil. Sungguh pengalaman paling memalukan, juga paling berharga untuknya. Rio paling tidak bisa toleransi soal kesehatan, yang menyangkut makanan juga.

Seketika itu mata Rio tertumbuk pada seseorang. Cantik, batin Rio sambil terus menikmati pemandangan indah di depannya. Perempuan berdagu lancip itu tertawa renyah, memperlihatkan behel berkaret biru tosca-nya dengan samar. Rio bisa melihat mata indah itu disana, dengan kebaikan yang tidak di buat-buat.

Siapa sangka, ternyata perempuan berdagu lancip itu berfikir sesuatu tentang Rio. Mungkin Rio juga bermanfaat, benar kan? Meski tak ayal, dirinya juga menginginkan Rio.

***

Shilla berjalan lunglai ke kantin. Perutnya sudah demo minta asupan gizi. Semakin Shilla berjalan, cacing di perutnya malah semakin demo. Membuatnya harus meringis kesakitan. Benar-benar menyedihkan.

Ia terhenti di depan kedai bakso, memesan, lalu duduk di deretan bangku kosong di dekatnya. Matanya memperhatikan sekeliling, masih ramai.

Shilla tahu betul ada murid baru yang kece. Mungkin Shilla memang jutek, tapi ia tidak tuli. Ia juga tidak norak dan tidak gaptek. Bagaimana tidak, setiap ia lewat, murid perempuan dan laki-laki membicarakannya. Seperti saat Justin Bieber konser di Indonesia.

Tapi Shilla? Ya tetap Shilla. Merasa tidak peduli. Padahal ia sendiri belum mengerti sama sekali siapa Rio itu, darimana ia berasal, bagaimana raut wajahnya… namun yang Shilla yakini, love would never come close to her.

Sementara Shilla menunggu bakso-nya, seketika itu Rio melewatinya. Harum parfum –yang sepertinya berbau teh hijau- menyengat pembauannya. Mau tidak mau, Shilla menoleh. Tak sadar memandangi punggung cowok manis berpostur tinggi itu hingga hilang di ujung kantin/

Astaga. Apa yang baru saja terjadi? Shilla terperangah akan keyakinannya sendiri. harum teh hijau yang memabukkan itu kembali melayang-layang di batok kepalanya. Membuat Shilla hampir meleleh jika mengingatnya.

“Makan tuh bakso-nya! Nanti dingin.” ucap Ify sembari menepuk lembut bahu Shilla. Ify tahu betul apa arti lamunan Shilla, tapi ia masih harus memastikan.

Shilla kembali memasang tampang tak pedulinya, kemudian memakan bakso-nya yang mengepul. Ify tersenyum tipis lalu segera pergi dari sana.

***
Seneng nggak udah di post ?? Harus seneng yah !! wwkwkwkwk ... kalo suka, jadi member yaaa :D

Next Part >> 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS