Permintaan Takdir -Part 4-

Kamis, 20 Oktober 2011

Jam pelajaran terakhir berlangsung.

Shilla melirik jam tangan Swiss Army-nya yang baru. Ingin rasanya cepat-cepat keluar kelas dan melihat Prince Charming sekolah yang satu itu. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. Lalu menghela nafas. Hal yang baru-baru ini terjadi.

Ify memiringkan sedikit kepalanya, menatap Shilla aneh. Ada apa dengan makhluk es yang satu ini? Menghela nafas. Bukan tidak boleh dilakukan oleh manusia es ini, hanya saja… itu terlalu aneh dan harus dijadikan fenomena menarik.

“Maaf pak,” ucap seseorang dari ambang pintu. Pak Duta memberhentikan penjelasannya, lalu mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi kepada sang empunya suara.

“Ada apa?”

“Saya hanya ingin memanggil Ashilla Zahrantiara,” jawabnya sedikit takut. Pak Duta mengangguk, lalu mempersilahkan Shilla untuk keluar. Mengikuti langkah sang empunya suara bass jelek itu pergi.

“Mau kemana sih, Kka?” tanya Shilla berjalan berdampingan dengan pemilik suara bass kelewat aneh tadi. Ia hanya tersenyum tipis, tanpa menanggapi pertanyaan Shilla tadi.

“Aula,” jawab Cakka apa adanya. Takut jika Shilla akan melakukan genjatan senjata. Shilla hanya menganggukan kepalanya, tumben sekali. Biasanya Shilla bakal marah.. entahlah.


-ruang Aula-

Ruang Aula tampak lengang. Dengan kapasitas tiga ribu murid, jelas ruangan ini tampak lengang. Hanya ada sekitar dua belas murid di sana. Entah sedang apa.

Shilla mengerlingkan matanya ke Cakka, seakan bertanya ini-maksudnya-ada-apa??

“Ada acara High School Musical. Nanti di SMA Brawijaya. Kita mau seleksi,” kata Cakka mengerti maksud tatapan Shilla tadi. Ia berjalan mendahului Shilla masuk ke aula. Ingin rasanya ia mengamit tangan Shilla saat masuk ke dalam, tapi itu sangat amat mustahil, kan?

“Lo ikut juga?” tanya Shilla sambil memakan permen yang ia bawa dari rumah tadi. Cakka menggeleng, kemudian tersenyum.

“Gue udah nggak boleh ikut karena udah mau ujian. Mungkin ada.. nanti dari kelas XI.” Cakka berhenti, mengedarkan pandangannya ke penjuru aula. Masih sepi, bahkan ada beberapa murid yang memutuskan keluar lagi.

“Kenapa tuh?” tanya Shilla yang sedari tadi juga mengamati anak-anak yang baru saja keluar. Cakka mengangkat bahu, tidak tahu.

“Potensi bakat anak murid kelas XI belum bisa terpantau semua. Mungkin banyak yang berpotensi, tapi mereka nggak aktif. Jadi susah deh,” lanjut Cakka dari kata-katanya yang tadi. Shilla mengangguk-anggukan kepala acuh tak acuh.

Sementara di tempat lain, guru-guru tengah memasang selebaran di madding dan seluruh penjuru sekolah. Bulan ini merupakan bulan yang penuh dengan perlombaan. Hal yang ditunggu-tunggu murid berbakat.

ATTENTION !!
Murid –muridku yang berbahagia, dengan adanya perlombaan di berbagai bidang, dengan ini kami, pihak sekolah resmi membuka pendaftaran bagi siapa saja yang ingin ikut berpartisipasi dalam lomba tersebut.

Sudah ada 2 lomba yang akan diikuti oleh murid kita yang berprestasi, yaitu
Lomba MUSIKAL     : ASHILLA ZAHRANTIARA (XI IPA 3)
Lomba SEJARAH      : ALYSSA SAUFIKA UMARI (XI IPA 3)

Bagi siapa saja yang ingin menjadi pasangan bagi kedua lomba tersebut, harap segera datang ke aula. Terima kasih.


Ify berjalan penuh semangat ke aula. Entah kenapa, hatinya merasa bangga. Meski ini bukan pertama kalinya ia mengikuti lomba, tapi tetap Ify bangga. Berbeda dengan Shilla yang mungkin sudah sangat bosan dengan setiap kompetisi yang diadakan pihak sekolah.

Ify berdiri di ambang pintu aula, menghela nafas sebentar, kemudian masuk ke dalam sana. Masih ada Cakka dan Shilla yang asik berdiam-diaman. Sementara di lain tempat duduk, banyak murid yang sepertinya akan ikut seleksi. Entahlah siapa saja itu, yang penting Ify bisa memberi yang terbaik untuk sekolahnya.

Shilla menoleh ke arah pintu, mendapati Ify ada disana. Namun ia cuek saja, masa bodoh dengan Ify yang berharap ia akan menyapanya. Siapa lo, ngarep banget. Itulah yang ada di fikiran Shilla sekarang. Selalu berfikir sarkastis.

“Eh, dek. Sini.. kamu yang ikut lomba Sejarah itu kan?” panggil sekaligus tanya Cakka dari tempat duduknya. Ify mengangguk lalu tersenyum, menghampiri mereka berdua –hanya Cakka sebenarnya-.

“Pasangan saya belum ada ya, kak?” tanya Ify sembari duduk di sebelah kiri Cakka. Jadilah cowok cool itu diapit oleh dua perempuan cantik nan jenious.

“Belum. Ini baru mau di seleksi. Pasangan Shilla juga belum ada kok,” jawab Cakka ramah. Shilla mengangkat sebelah alis, tetap tidak ada senyuman menghiasi wajahnya.

“Harus pake pasangan? Nggak sendiri?” tanya Shilla beruntun. Cakka mengangguk, lalu tersenyum.

“Duet nih.. jarang-jarang kan?? Katanya sih, lagunya terserah pihak sana. Jadi tinggal tunggu konfirmasi aja,” ujar Cakka semangat. Meski tadinya ia memohon-mohon agar bisa menjadi pasangan Shilla di kompetisi itu nantinya. Tapi Dewi Fortuna belum berpihak padanya.

“Terus sekarang kita ngapain disini?” tanya Ify sambil mengangkat kedua alis matanya. Cakka tersenyum masam, ia juga bingung sebenarnya. Dengan helaan nafas berat, akhirnya Cakka menyuruh mereka kembali ke kelas.

***

Rio berjalan menuruni tangga sekolah menuju toilet. Masih menjadi topic hangat di sekolahnya, setiap langkahnya disertai senyuman dari orang lain. Rio sendiri sebenarnya tidak suka jadi trending topic. Tapi tidak apa lah, karena di Paris, Rio tidak seperti ini.

Rio berhenti tepat di depan madding. Mendapati pengumuman penting itu di sana. Tadinya Rio benar-benar ingin mengikuti seleksi Musikal, tapi sejurus kemudian ia melihat ke bawah. Alyssa Saufika Umari? Nama yang familiar, tapi siapa? Ah, Rio berjalan saja ke toilet. Siapa tahu, ia bisa mendapatkan jawaban.

Rio sendiri tidak mau ambil pusing. Ia hanya harus melihat satu per satu name tag seorang siswi perempuan bernama ‘Ashilla Zahrantiara’ dan ‘Alyssa Saufika Umari’. Rio bukannya mau pilih-pilih, siapa yang cantik. Tapi mungkin Alyssa itu… atau Ashilla itu… adalah incarannya.

Tapi heyyy… siapa yang tidak akan mengerutkan kening, mendapati ide –gila- tersebut? Melihat satu per satu name tag siswi di sekolah ini. Lebih dari 2000 murid di sini, kawan. Rio merutuki diri sendiri, lelah meneliti satu per satu name tag siswi di jalannya menuju kantin tadi.

Sudah ia putuskan, ia harus pergi ke teman sekelasnya. Yang kira-kira bisa memberitahunya soal ‘Alyssa’ atau ‘Ashilla’.

***

Setelah menjalani rutinitas perang dengan buku, pelajaran, dan teman-teman mereka. Tangan lemah gemulai yang kini tengah menonjok-nonjok samar udara, menghembuskan nafas lega. Dengan perilaku pasti, ia memasukkan buku-buku pelajarannya ke dalam tas. Kemudian berjalan keluar kelas dan pulang.

Ia masih tanpa senyuman, yang semua orang ingin tahu, pasti senyuman itu akan tampak sangat amat manis di banding semua murid di sini. Satu hal yang berbeda. Bibirnya tertarik ke atas, meski sedikit. Mereka menamainya, bibir datar.

Murid-murid pun sontak mengamati perubahan bibir Shilla, yang tadinya terkulai ke bawah, menjadi terangkat ke atas. Pemandangan aneh yang menyenangkan. Setidaknya, masih ada harapan. Shilla pasti berubah.

“Shilla!!” panggil pemuda bersuara bass jelek tadi, menghampiri Shilla dengan terpingkal-pingkal. Shilla tidak berdecak kesal seperti biasa, ia hanya mengangkat kedua alisnya.

“Besok kamu dispensasi. Harus bantuin kakak milih murid yang pas buat jadi pasangan kamu,” lanjut Cakka tegas, diiringi senyuman manis. Shilla hanya mengangguk lemah, lalu melangkah lagi.

Tetap Shilla yang sama, kan? Masa bodoh dengan semuanya. Cuek dengan setiap manusia yang mengajaknya bicara. Masih terus menyindir-nyindir manusia yang terlihat tidak takut dan ngeri terhadapnya. Bahkan, masih dirinya yang pulang ke rumah tanpa jejak. Tanpa ada yang bisa mengikutinya.

Sejujurnya, Shilla bosan. Bukankah harusnya, remaja se-usianya ini sedang bebas-bebasnya menikmati hidup? Sudah 16 tahun. Perlu diulang kah? Sudah 16 tahun Shilla hidup di dunia ini. Sebentar lagi menuju sweet seventeen-nya. Apa akan dirayakan? Tentu saja.

Tapi… satu hal terlintas di benaknya. Siapa? Siapa yang akan di undangnya nanti? Anak baru di depan rumah? Anak baru di sekolah? Ify? Sheila Blee? Iqbaale? Alvaro? Haha.. benar-benar lucu.

Shilla menarik salah satu ujung bibirnya, menunjukkan senyuman sarkastis. Me-nge-nas-kan. Benar-benar malang, nasib Cinderella kita yang satu ini. Bukan begitu?

“Misi om, mbak, semuanya…” sapa seorang pemuda dengan suara seraknya sambil sedikit membungkuk. Di tangannya terdapat satu buah gitar kecil, dan satu tangan lainnya terlihat menggenggam sebuah kantong plastik hitam. Shilla termangu sebentar, melihat gerak-gerik pemuda tersebut mulai memetik senar gitar kecilnya.

“Kita masih berdiri, kita masih disini.
Tunjukkan pada dunia, arti sahabaatt..” Shilla tersentak mendengar lantunan pemuda berpakaian compang-camping tersebut. Satu lirik lagu yang sekilas ia dengar, tiba-tiba menohoknya. Tepat di sana, ulu hatinya.

Ia terenyuh, mendapati pemuda berpakaian compang-camping tersebut turun dari metro mini. Pemuda tersebut menghampiri teman-temannya yang tidak sengaja bertemu. Mereka saling melemparkan celotehan lucu, hingga membuat yang lainnya tertawa.

Shilla memandang kosong ke luar. Menatapi dirinya sendiri di kaca transparent itu dengan nanar. Benar-benar luar biasa. Luar biasa menyedihkan. Tanpa teman. Hanya ada ia, Bintang dan keluarga. How tragic?

***

Ify mengetuk-ngetukkan jarinya di setir mobil jazz putih tulangnya. Sesekali ia menghela nafas panjang. Kesal. Kesal dengan kota ini, yang setiap harinya di penuhi kesesakkan.

Ini bukan jam pulang kerja, kan? Masih pukul 3 sore. Masih perlu diperjelas? Pukul 3 sore, 15.00 Waktu Indonesia Barat. Sudah lah.. kota ini memang sudah mendekati kelumpuhannya.

Ia menopang dagu lancipnya ke atas setir mobil, kemudian kembali menghela nafas panjang. Sesekali ia melirik ke arah kanan-kirinya, masih tidak jalan sama sekali. Tidak-jalan-sama-sekali. Bagus, bagus sekali !

“Bangke banget sih ini hari !” sunggut Ify kesal. Lalu mematikan mesin mobilnya.
Setelah lama-lama menunggu, akhirnya mobil di depan Ify tampak merayap. Berjalan menyusup jalanan kota ini. Ify mengikuti, menginjak pedal gas mobilnya pelan. menyebalkan. Sudah jam 15.45 di jam mobilnya.

Dengan erangan tertahan, Ify membelokkan setirnya ke kiri dan menginjak pedal gas kuat-kuat. Akhirnya, mobil eksotiknya ini masuk juga ke perumahan Algerian yang dilambangi dengan bunga tulip menjulang tinggi di pagar depannya.

Mobil jazz putih tulang tersebut mulai melewati gerbang kokoh berwarna emas di lengkapi pos satpam di sebelah kirinya. Kemudian melewati halaman yang begitu luas. Halaman yang dihiasi bunga-bunga mawar putih dan cempaka putih, serta Anggrek bulan dan berbagai macam bunga lily tumbuh dan menetap di sana.

Di tengah bunga-bunga yang mirip dengan taman itu, ada sebuah rumput besar. Disusun dan di pahat sehingga menjadi nama ‘UMARI’ yang nampak besar dan terlihat dari luar pagar –jika dilihat dari atas-. Rumput tersebut wajib di rawat setiap seminggu sekali.

Ify memarkirkan mobil jazznya ke dalam garasi yang dihubungkan langsung dengan pintu ruang tamunya. Setelah mobilnya berbunyi ‘tlit tlit’, dengan pasti Ify masuk ke dalam rumah. Tanpa ada sapaan pada orang-orang rumah, yang pada dasarnya dan digaris bawahi hanya ada pembantu yang sudah Ify anggap sebagai saudara sendiri, ia menaiki tangga dan langsung ke kamarnya.

“Berhenti terpuruk di rumah Fy… rumahku surgaku, isn’t it?” ucap Ify tanpa sadar, sebelum membuka pintu kamarnya.

Ify mulai berganti baju, merapikan tasnya dan langsung loncat ke tempat tidur super big size-nya. Ia mengambil sebuah album foto, yang terletak di bawah laci dekat tempat tidurnya. Ia membukanya, amat perlahan. Mengamati pertumbuhannya dari tahun ke tahun. Pindah dari satu Negara ke Negara lain, hingga sampailah ia di tanah kelahirannya sendiri.

Suatu impian bagi orang lain, mengunjungi Colloseum di Roma, Italy. Berfoto ria di sana, bersama dengan patung-patung gladiator yang memukau. Ify tersenyum sarkastis. Tak ada yang special di mata Ify tetang itu. Hanya sebuah topeng yang harus ia pakai setiap hari. Demi nama keluarga.

Ify membuka lembar berikutnya, berikutnya dan berikutnya lagi. Di sana ada dirinya sewaktu kelas 5 sd, berfoto, memeluk Ibunda-nya, tepat di depan patung animasi Shrek. Saat kelas 5 sd semester 2, dirinya kembali memeluk Ibunda-nya, di Universal Studio. Kini Ify tersenyum lirih.

Itulah yang ia inginkan selama ini. Sebuah kehangatan yang harusnya diciptakan di setiap keluarga. Yang bahkan saat ini, sulit sekali ia menemukan celah untuk mendapatkan itu kembali.

Belasan Negara telah Ify jelajahi. Tapi, apalah arti penjelajahan tanpa seorang Ibu disampingnya? Akankah itu menyenangkan? Tentu tidak. Itu akan sangat menyakitkan.

Tak terasa anak-anak sungai telah berpindah dari mata ke pipi. Ia menangis. Terisak. Entah mengapa air mata sialan itu turun tanpa se-izin pemiliknya. Ify kesal. Ify membenci kehidupannya. Kehidupan yang kini semakin suram.

Ia menghapus air matanya dengan punggung tangan kanannya. “Cengeng lo Fy. Payah!” tukasnya seakan membenci dirinya sendiri. tidak sama menyedihkannya dengan Shilla. Hanya saja… Ify terpaksa menggunakan topeng kebahagiaan, yang seharusnya tidak ditemukan dibalik sifat Ify yang kelewat baik dan ramah, serta ceria jika di sekolah.

***

Pemuda ini mematut dirinya di cermin. Menatapi parasnya yang biasa saja, namun dapat membuat banyak perempuan yang nekat menghampirinya. Satu hal, mungkin, yang membuat pemuda ini dikagumi. Dewasa.

Bukankah itu yang diinginkan semua wanita jika memilih suaminya? Mapan, dewasa. Begitulah pemuda ini. Ia dapat menasehati hampir seluruh teman sekampusnya dalam berbagai masalah. Mengagumkan? Ya, dia mengagumkan.

Ia mengamit sebuah rantai kecil dikelilingi bandul bintang dan terlihat putus itu. Diam-diam berharap, pemiliknya akan datang untuk mengambilnya. Semoga. Ya, semoga saja.

“Gab.. ayo makan malam. Ada kakak-kakak kamu di bawah,” suara kecil yang pemuda ini yakin siapa pemiliknya menyahut. Beliau tidak membuka pintu anaknya, hanya memanggil, tanpa paksaan. Membuat pemuda yang dipanggil tadi, menurut.

Tap, tap, tap, tap. Entah berapa kali terdengar derap bunyi seperti itu. Pemuda ini turun dari lantai empat, tempat dimana kamarnya berada. Membuatnya harus menuruni beberapa anak tangga untuk sampai di bawah.

“Kak Athina ?!” seru pemuda ini tak percaya. Tanpa ragu, Athina, kakaknya memeluk pemuda ini dengan kasih sayang. Meski pemuda ini lebih tinggi sedikit darinya.

“Udah tinggi banget lo Yel! Makan apaan kali lu !” canda kakaknya lalu duduk di meja makan, diikuti pemuda ini. Asta tertawa renyah, melihat ke-akraban kedua buah hatinya yang telah beranjak dewasa.

“Willy kemana, Na?” tanya Asta lalu menyendokkan nasi dan lauknya ke dalam mulutnya.

“Nggak tahu deh. Lagi siap-siap mau lahiran istrinya kayaknya. Jadi nggak kesini,” jawab Athina santai. Gabriel mengerutkan kening, sejak kapan kakak iparnya mengandung?

“Kapan istrinya kak Willy hamil?” Athina menyeringai, lalu memberikan tatapan menggodanya dulu pada adik kecilnya ini.

“Kapan-kapan.” jawab Athina santai.

“Seriusaaann!!” tukas Gabriel sembari menjawil-jawil pelan lengan kakaknya. Athina hanya tertawa renyah, lalu mengabaikan pertanyaan adik semata wayangnya.

“Sudah-sudah.. cepat habiskan makanan kalian!” cegah Asta sebelum menjadi kacau.

Gabriel melahap makan malamnya penuh semangat. Mungkin karena kakaknya ada di sini sekarang, kesepiannya berkurang. Sedetik kemudian, Gabriel menoleh ke luar kaca ruang makannya. Terlihat dari sela-sela gerbang, gerbang yang sama, menjulang tinggi. Tidak lebih tinggi dari gerbang rumahnya, berwarna perak dengan motif bunga-bunga krisan.

Tidak ingin terlalu larut memandangi gerbang rumah di sana, ia kembali melanjutkan makan malamnya. Berharap bisa mengetahui apa yang ada dibalik besi kokoh tersebut keesokan harinya.

***

Rio mulai memainkan jarinya di atas tablet PC-nya. Dengan raut wajah serius yang tak tergambarkan, Rio mengetik sebuah Y!M ke teman-teman satu kelasnya. Beruntung tadi pagi ia meminta alamat Y!M teman-teman barunya.

Tak lama, setelah ia mengetik sesuatu, sebuah Y!M berisi foto masuk. Rio buru-buru membukanya. Bibir Rio melengkung ke atas, kemudian melebar. Benar-benar tidak bisa dibayangkan. Alyssa dan Ashilla. Berbeda sekali.

“Baiklah Ashilla, gue bakal jadi pasangan lo di lomba itu…” gumam Rio, lalu me-log off tablet PCnya.

Sementara Rio sudah akan berlatih untuk dapat menjadi pasangan Ashilla di lombanya itu. Alvin berjalan tertatih ke kamarnya. Menaiki beberapa anak tangga agar sampai ke lantai 3 rumah keponakannya ini. Kenapa segini saja terasa sangat sulit untuknya?

Alvin memang sengaja tidak menggunakan tongkat, atau apapun semacamnya. Ia berusaha sendiri, mandiri. Meski kelihatannya Alvin sok gentle. Bahkan sekarang, ia bersusah payah menaiki tangga dengan berpegangan ke pegangan tangga.

Setelah terlihat pintu jati berwarna coklat-oranye dari tempat Alvin berdiri sekarang. Akhirnya ia dapat bernafas lega. Satu anak tangga lagi, maka ia hanya harus berjalan beberapa langkah ke kamarnya.

Coretan tangannya sendiri, kaligrafi bertuliskan ‘Love Could Never be Wrong’ dengan warna-warni pada background tulisannya terpampang besar di pintu jati tersebut. Tanpa ada yang menyadari, kaligrafi disana merupakan karya-nya yang berisi enam dimensi. Dimana tidak ada yang menyadari, apa yang ada dibalik sana.

Alvin memutar kenop pintu kayu jati tersebut, lalu masuk dengan tertatih. Demi Tuhan, Alvin ingin sekali seperti dulu. Mampu membuat segalanya tampak lebih mudah. Tapi sekarang? Hanya berjalan dari lantai 2 ke kamarnya saja sudah lebih dari susah. Bagimana selanjutnya?

Ia menghela nafas panjang. Kemudian menghempaskan tubuhnya ke sofa dekat pintu. Nuansa kamarnya yang begitu hidup, dengan hiasan kaligrafi dan foto-foto di dinding, membuat siapa pun yang masuk ke sana enggan keluar cepat-cepat.

Alvin mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Objek-objek di kamarnya yang begitu banyak, tidak membuat Alvin melupakan satu benda penting di sudut kamarnya. Sebuah kotak kecil, berisi kenangan manis dirinya. Masa kecilnya.

Bosankah? Tentu tidak. Semua manusia memiliki kenangan, masa kecil. Yang menurut sebagian manusia, apalagi teman dekat Alvin, yang senantiasa mendengarkan curhatannya merenggut sebal soal kenangan manisnya. Bukankah manusia hidup untuk sebuah masa depan? Masa lalu tidak ada hubungannya dengan masa depan, kan? Masa lalu hanya menghambat lajunya masa depan yang lebih cerah. Bukan, begitu?

Alvin tergopoh-gopoh menghampiri ranjangnya. Belum saatnya, membuka kembali kotak kecil tersebut. Belum. Ya, belum saatnya. Setelah dirinya hilang bagai di telan bumi, dulu. 5 tahun silam.

“Dimana kamu, Nay?” tanya Alvin lirih. Ia membenamkan wajahnya ke bantal. Berharap menemukan jawaban atas mimpi-mimpinya bertemu kenangan manisnya.

***
dum dum duuummm ... bagaimana guys ?? seneng ?? haruuusss !!
Please tell the other yea guys :) so I gonna be more spirit to continue this story. No offense, no body know the couples. because I don't decide it too...


Next Part >> 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS