Permintaan Takdir -Part 5-

Minggu, 30 Oktober 2011

Takdir tidak dapat dirubah, tapi nasib dapat dirubah -Mama Lauren-
#asdfghjkl #abaikan

=============================


Hari demi hari berlalu. Sang euroforia masa lalu masih enggan memunculkan rahasia kecilnya. Sehingga yang tersisa hanyalah angan-angan, agar euroforia itu muncul lagi.

Sang empunya energy terbesar di bumi tengah memunculkan sinarnya dengan angkuhnya. Menimbulkan bias-bias cahayanya di balik tirai kamar seorang perempuan cantik.

Si empunya kamar kontan bangun. Grasak-grusuk di kamarnya terdengar hingga lantai bawah. Benar-benar gaduh, dan seperti mengadakan sesuatu yang menggebu-gebu.

“Mama!! Liat kostak Shilla nggak?” tanya perempuan cantik ini dari dalam kamarnya. Entah kenapa tiba-tiba mencari kotak pensilnya. Bastian ikut ribut, berteriak meminta Shilla untuk diam.

“Dieeemmm!!! Gue mau tidurrrr!!!!!” teriak Bastian keras. Suaranya yang cempreng, memberi khas tambah gaduh. Amanda masuk ke kamar Shilla, mengecek apakah semua baik-baik saja.

“Kenapa Shil? Mama kamu pergi ke supermarket tadi.” Shilla tidak menghiraukan pertanyaan Amanda. Ada yang lebih penting dari ini. Tidak mungkin kan, nanti di kelas Shilla meminjam peralatan tulis? Apa kata dunia?

“Tante semalem beresin kamar aku nggak? Masuk gitu? Liat kostak aku?” tanya 
Shilla tanpa jeda. Amanda menggeleng pelan, kemudian membantu mencari kotak pensil sepupunya itu.

“Mungkin ketinggalan di sekolah Shil. Kalo di rumah, pasti ada.” Amanda mencoba mencairkan suasana yang sepertinya sangat tegang untuk Shilla.
                                        
Shilla melongok ke jam bekernya, pukul 06.40. sial, sudah siang sekali.

“Yaudah deh, tan. Shilla berangkat yah,” ucap Shilla lalu menyelempangkan tasnya dan berlalu. Membuat Amanda menganggukan kepalanya, lalu menggelengkan kepalanya.

Shilla masih Shilla, seperti biasanya, yang selalu diceritakan. Yang tanpa diketahui, Shilla sama saja. Sama-sama menaiki angkutan umum seperti yang lain. Menapaki jalan untuk sampai di rumahnya, dari depan gerbang perumahannya.

Tapi apa yang membuat mereka –siswa/i Flotet International School- tidak bisa mengikuti Shilla sampai rumah? Tidak tahu apa pun soal Shilla? Terlalu misterius kah? Atau terlalu ditakuti?

Pertanyaan itu sulit di jawab, bukan begitu? Siapa yang peduli soal kepribadian Shilla? Semua peduli. Hanya tidak ingin mengobrak-abrik soal Shilla.

Dan ketika takdir berkata lain, Shilla tidak akan mampu menghindar dari sentuhan takdir. Yang suatu saat bisa merobohkan dirinya ke jurang yang paling dalam. Dalam waktu yang tak kasat mata.

***

Ternyata… takdir memang berkata lain. Tidak ingin mengeluarkan rahasia kecil sang euroforia yang telah dijaganya. Euroforia dan masa lalu terlalu baik untuk mereka.

Hal unik selalu terjadi setiap saatnya. Bahkan saat tidak ada yang memintanya. Dewi fortuna pun sepertinya hanya harus menjalankan tugas-tugasnya.

Rio memang di kirimkan dua foto berisi yang mana Shilla, yang mana Ify. Tapi sang pengirim telah ditakdirkan untuk tidak meletakan nama mereka di bawah foto masing-masing.

Inilah salah satu kebodohan seorang Mario Stevano Aditya Haling, menafsirkan sendiri apa yang ada di hadapannya tanpa tahu sebetulnya. Benar-benar anak yang sok tahu dan keras kepala. Membuat siapa saja yang menceramahinya malah menjadi pusing sendiri.

Sampai di sekolah, diiringi dengan senyuman mengembang di bibirnya. Saking senangnya, ia menyapa seluruh siswa dan siswi yang ditemuinya. Entah siapa saja itu. Yang disapa pasti akan membalas, lalu tersenyum dan berasa nge-fly.

“Dum.. dum.. dum..” senandung Rio di koridor sekolah. Sepasang mata menubruk ke senandung ria milik Rio tadi. Merapal dalam hati, apa dia?

“Rio!! Mau ikut Musikal, kan?” tanya Patton dari kejauhan, menyeret kakinya untuk mendekat ke pangeran sekolah tersebut. Rio hanya mengangguk, lalu melempar tasnya asal.

“Kenapa? Harus bawa gitar sendiri?” tanya Rio balik. Patton langsung menarik tangan Rio, meski sang empunya tangan meronta-ronta minta dilepaskan karena kekuatan tangan Patton yang hampir ngalahin Ade Ray.

“Sekarang seleksinya. Masuk sana,” ucap Patton sembari mendorong bahu Rio pelan.

“Yakin? Apa nggak kepagian?” Rio sepertinya ragu. Memang aneh, masih pagi. Menurut para siswa/i FIS sih, pagi-pagi buta!

“Yakin!! Gue dapet inform langsung dari kak Cakka!” jawab Patton menggebu-gebu. Pasrah. Rio melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang musik. Masih belum ramai, Cakka sendiri masih sibuk mengurusi gitarnya.

Rio, yang pada dasarnya di landasi dengan ‘otak sotoy’, menghampiri Cakka dan mengambil salah satu gitar disana.


Well you done done me and you bet I felt it
I’m try to be chill but your so hot that I melted
I felt right through the cracks, now I’m tryin to get back


Cakka mengerutkan kening, bagus juga sih, batinnya masih memandangi Rio. Wajah Rio jelas mendukung, apalagi jika dipasangkan dengan Shilla, yang wajahnya paling cantik se-antero sekolah. Suaranya juga oke, oke banget malah. Kalau duet dengan Shilla, pasti nilainya sempurna.

Cakka sebenarnya tidak setuju jika duetnya laki-laki dan perempuan. Jelas-jelas membuatnya jealous dan hampir tak terkontrol emosinya. Diam-diam dia merutuk, kenapa harus masuk ke sini? Kenapa harus sudah kelas 12? Kenapa suaranya jadi nge-bass jelek begini?

Takdir. Destiny. Semua tidak ada yang tahu, semua telah direncakan dengan baik oleh yang di atas. Tuhan maha adil. Tapi pepatah itu sepertinya tidak berlaku banyak untuk Cakka, malangnya nasib prince kelas 12 kita.

Bertahun-tahun menunggu, supaya pilihan Shilla jatuh pada Cakka. Tapi apa daya, dewi fortuna enggan bersamanya. Benarkah dewi fortuna cemburu, dan tidak memperbolehkan Cakka dengan Shilla?? Satu yang terlintas di benak nakal pembuat madding sekolah, dewi fortuna jahat pada Cakka karena cemburu.

Saat itu juga Cakka tertawa renyah, mengingat pengakuan aneh para pembuat madding sekolah. Saat itu juga, Rio memberhentikan permainan gitarnya. Berhenti bernyanyi, namun gitar masih berada dalam pangkuannya.

“Gimana suara gue, kak?” tanya Rio sambil menaik turunkan alisnya. Cakka menoleh sebentar, kemudian seperti menimbang-nimbang. Sepertinya nanti saja, masih banyak anak kelas XI yang belum ikut seleksi. Siapa tahu ada yang lebih bagus dari kunyuk satu ini.

“Nanti aja ya dek, kan masih banyak anak kelas XI yang belum tampil. Tunggu dulu,” jawab Cakka lalu melompat turun dari panggung diikuti Rio.

“Yaelah kak.. nggak bakal ada yang lebih bagus dari gue!!” ucap Rio dengan pede-nya. Cakka mendengar kata itu, kemudian berfikir dua kali. Bukan, bukan berfikir apa langsung saja Rio mengikuti lomba tersebut. Tapi kata-kata pede itu harus di Blod, Italic serta UnderLine!

“Jangan ngeremehin yang lain. Suara lo tuh kayak cewek. Kalo dipasangin sama Shilla, jadinya kayak apa? Yang mana suara cewek, yang mana suara cowok!” kata Cakka sarkastis, cuma bercanda sebenarnya. Tapi ada nada sinis dibalik suara bass jeleknya tersebut. Rio menganggapnya hanya lelucon, yang mungkin ingin dibalas olehnya.

“Kakak juga suaranya kayak kaleng diseret-seret di jalan…” tukas Rio diimbuhi tawa renyah meledek di sana. Cakka tercengang, tapi ya sudahlah. Maklum, masih kelas XI.

“Udah, masuk kelas dulu sana. Nanti dipanggil lagi,” ucap Cakka yang sepertinya berniat mengusir. Rio mengacungkan kedua ibu jarinya ke arah Cakka dan bergegas ke kelasnya.

***

Pemuda yang satu ini, berdiam diri di rumah keponakannya. Mungkin sekarang juga bagian dari rumahnya. Orang tuanya bekerja bersama dengan ayah keponakannya. Sedangkan Ibu dari keponakannya tinggal disini, bersamanya. Mungkin beliau memutuskan untuk libur, menemaninya yang belum sembuh dari cidera parahnya.

Pemuda ini disodorkan macam-macam brosur sekolah terkenal. Dengan nama sekolah yang dibubuhi ‘International’. Pemuda ini ternyata telah lebih dulu memilih, sekolah mana yang akan jadi pijakannya nanti jika telah sembuh total.

Sebuah sekolah negeri, yang ia yakini, pasti ada teman kecilnya disana. Berharap sang euroforia menghampirinya saat disana, dengan cara yang tak kasat mata. Membuka lapis demi lapis kenangan bersama euroforia masa lalunya.

“Yang mana, Vin?” tanya Kartika sambil kembali menyodorkan brosur sekolah dengan gedung besar berkualitas international dan sangat memfasilitasi.

“SMA Negeri aja tan. SMAN 70 aja,” ucap Alvin kemudian mendorong pelan brosur di depan matanya itu. Kartika menghela nafas, namun Alvin tetap keukeuh mau bersekolah di sekolah negeri.

“Bener? SMAN 70? Apa nggak sekolah yang sama aja, kayak Rio?” tanya Kartika berusaha meyakinkan keponakannya ini. Alvin menggeleng, lalu tersenyum ketus.

“Sekolah negeri juga nggak kalah bagus sama swasta international kok, tan. Iya kan? Lagipula Alvin bukan Rio. Pemikiran kita nggak sama,” jawab Alvin masih tersenyum ketus. Kartika terpaksa tersenyum masam.

“Orang tua kamu? Apa mereka bakal setuju?” tanya Kartika, tetap berusaha meyakinkan bahwa sekolah swasta international lebih baik.

“Iyalah tan. Masa mereka nggak setuju anaknya jadi cerdas? Sekolah negeri cukup membawa bangsa Indonesia ke dunia international juga kok, tan.”

“Tapi FSI dibawah naungan Haling corporation, Vin. Kamu bakal gampang masuk sana. Orang tua kamu juga nggak mau yang ribet-ribet,”

“Nggak akan ribet kok, tan. Lagipula, Alvin nggak mau dibilang numpang nama Haling corporation biar nilai gede, atau nggak dikasih tugas sama guru. Itu bukan masa sekolah yang baik, tan.

“Masa sekolah yang seharusnya, yang seru, itu kayak gimana susahnya ngerjain pr kan? Gimana ribetnya nyari tugas atau bahan buat praktikum? Atau ngejalanin hukuman. Itu baru namanya sekolah,”

Kartika termenung, jawaban Alvin benar-benar membuatnya kontan diam. Bisu. Seakan membeku di tempatnya. Alvin… dewasa sekali. Jawaban final itu diterima oleh Kartika, meski hatinya tidak tergerak untuk memindahkan Rio ke sekolah negeri juga.

***

Dalam jarak yang tidak jauh, Shilla membuka setiap meja di kelasnya. Berusaha mencari kotak pensilnya, yang entah hilang kemana. Masalah kecil seperti ini, seharusnya memang tidak perlu menjadi besar. Tapi bisa membuat Shilla pusing memikirkannya.

Masalahnya, bukan karena ke-gengsian Shilla. Atau karena Shilla tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli lagi alat tulisnya. Hanya karena, ada sesuatu yang penting di dalam sana. Yang ia lupa untuk diletakkan di tempat yang tepat.

“Aiihh!! Kostak gue kemana ini ?!!!” sunggut Shilla kesal. Selain rumus-rumus penting di catat dan takdir memutuskan untuk tercatat disana, ada pula student card-nya, dan banyak lagi.

“Nyariin apa, Shil? Bentar lagi masuk loh,” tanya Keke dari ambang pintu. Murid kelas XI IPA 3 terpaksa mengungsi keluar, karena Shilla. Ya, pasti karena dia.

“Bukan urusan lo…” jawab Shilla ketus. Keke melangkah maju, mendekati Shilla yang masih ber-grasak-grusuk ria disana.

“Siapa tahu aja kan gue bisa bantu gitu..” ucap Keke disertai senyum sok manisnya. Shilla menyatukan alis, bingung. Ada apa dengan rivalnya yang satu ini?

“Lo nggak ada hubungannya soal ini, kan?” Keke memundurkan sedikit wajahnya, lalu tertawa renyah.

“Soal apa? Gue tahu aja enggak kok,” kini gantian Shilla yang memundurkan wajahnya. Lalu memicingkan mata setajam silet ke arah Keke.

“Udah deh, bukan urusan lo. Balik sono ke alam lo!” kata Shilla ketus. Keke tersenyum miring, lalu berbalik dan berjalan keluar.

“Jangan harap lo bisa lepas dari gue..” gumam Keke sebelum akhirnya menghentakan sepatu gosh-nya keras-keras ke lantai.

Dan… akhirnya, bel berbunyi dengan teramat sangat nyaring. Disertai dengan berakhirnya pula pencarian kotak pensil Shilla. Kini, ia terpaksa membeli alat tulis ke koperasi.

Dengan langkah kesal, marah dan panik, Shilla berjalan menuju koperasi. Jarak yang cukup jauh, membuat Shilla jadi semakin kesal. Pun ia harus melewati kelas XII yang terkenal usil dan sebagian murid, tidak tunduk padanya.

“Shilla! Mau kemana?” beruntung, Cakka datang. Persis seperti yang dikatakannya kemarin, ada seleksi untuk kompetisi Musikal.

“Mau tau aja,” jawab Shilla ketus. Meski terkesan lucu, jika Shilla yang mengucapkan, akan jauh lebih garing daripada kata-kata garing.

“Yeehh… ayo ke aula. Kan ada seleksi buat pasangan sama kamu,” ucap Cakka melangkah mendahului Shilla.

Beruntung? Atau… entahlah. Meskipun kebanyakan siswa/i FIS ingin sekali mendapatkan dispensasi dari pihak sekolah, nyatanya tidak untuk Shilla. Masih terbayang, bagaimana nasib penghuni kotak pensilnya?

Rumus fisika yang ia catat dengan susah payah, karena dirinya sedang dalam keadaan mengantuk. Atau benda itu, benda yang disimpannya sejak 5 tahun lalu. Semenjak dirinya ditinggal oleh sahabat, yang bagai hilang di telan bumi.

Shilla merutuki dirinya sendiri, bodoh sekali. Benda itu harusnya dijaga dengan baik, sebagai bukti bahwa ia masih bersahabat. Ternyata, benda itu raib karena keteledoran dirinya sendiri.

“Duduk..” ucap Cakka pelan, lebih pantas disebut perintah. Shilla duduk, menurut, meski hatinya tidak tenang.

“Gue ke toilet dulu.” Shilla buru-buru melangkah, sebelum Cakka mengizinkannya. Lagi pula, bila Cakka tidak mengizinkannya, ia akan tetap pergi ke toilet.

“Tapi.. tapi..” dan Cakka pun menyerah. Tak apa, lebih baik menyeleksi dengan baik. Siapa pun, pilihan Cakka takkan pernah salah.

Setengah jam berlalu, dan dalam keadaan ini, Shilla belum juga kembali. Mungkin masih mencari kotak pensilnya, yang ternyata student card miliknya juga tersimpan rapi disana. Loker tempat benda penting masa lalunya bertapa juga tidak dapat dibuka, karena student card.

Cakka sendiri sudah selesai menyeleksi. Kali ini, Rio menang. Rio berhasil. Ia yang akan berduet dengan Shilla nantinya. Rio tidak bisa mundur, juga keputusan ini tidak dapat di ganggu gugat.

Dengan adanya pengumuman melalui speaker sekolah yang ada di tiap-tiap kelas, Rio memasang tampang sumringahnya. Lalu mulai menyalami beberapa anak di kelasnya, yang terus-terusan berucap ‘Selamat ya, Yo!’

Bagaimana princess ice kita? Senang, atau malah tidak peduli? Entahlah, hanya hati kecilnya dan Tuhan yang tahu.

===============

kalo suka, blognya boleh di follow yaa :3 boleh di promote-in juga kok :) Sankyuuuu :*

Next Part >>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS